Pekerjaan yang Halal dan yang Haram

C.Pekerjaan yang Halal dan yang Haram

Di muka telah disinggung bahwa konsep kerja yang selama ini dipahami sekedar cara untuk memenuhi kebutuhan hidup telah bergeser menjadi ukuran harga diri seseorang. Jenis dan bentuk pekerjaan sangat menentukan posisi sosialnya di masyarakat. Dalam pandangan Islam jenis dan bentuk pekerjaan tidak menjadi ukuran kemuliaan seseorang. Sama halnya dengan rupa, harta dan pangkat tidak membuat seseorang lebih mulia dari yang lain. Dengan demikian yang menjadi ukuran adalah kualitas kerja dan seberapa jauh pekerjaan itu dilakukan sesuai dengan tuntutan ajaran Islam.

Memang ada beberapa teks-teks hadis yang menjelaskan jenis-jenis pekerjaan yang dianjurkan dan dipandang lebih baik dari yang lain. Namun lagi-lagi harus diingat hadis-hadis tersebut sangat kontekstual (sesuai dengan situasi dan kondisi saat itu) dan tidak boleh dipahami secara literal (harpiah). Sebagai contoh dalam sebuah hadis, Rasul pernah ditanya sahabat tentang pekerjaan yang paling afdal (baik). Rasul menjawab `amal al-rajul biyadih (usaha mandiri). Usaha mandiri itu adalah bertani, berdagang dan bertukang. Dari ketiga jenis pekerjaan ini mana pula yang paling baik, para ulama memahaminya yang paling baik (afdal) adalah berdagang, karena Rasul sendiri berdagang disamping penyebutan jenis pekerjaan ini ada dalam al- Qur’an. Ingat kembali kata al-tijarah yang bermakna berdagang. Ada yang menyatakan pekerjaan yang paling baik adalah bertukang karena banyak nabi-nabi yang menjadi tukang seperti nabi Daud tukang besi, nabi Idris tukang jahit, nabi

Nuh tukang kayu, namun jumhur ulama (mayoritas ulama) berpendapat yang paling baik adalah bertani karena lebih dapat mendekatkan diri pada Allah. 17

Pernyataan hadis rasul tersebut tidak boleh dipahami secara literal, akan tetapi bagaimana menangkap esensi dari pesan tersebut. Agaknya yang paling esensial dari pesan tersebut adalah penekanan Rasul pada usaha mandiri dan larangannya untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain dengan jalan meminta-minta. Berkenaan dengan ini Rasul menyatakan, mukmin yang kuat lebih disukai Allah dari mukmin yang lemah walaupun pada kedua-duanya ada kebaikan. Perhatikanlah hal-hal yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan

pada Allah. 18 Ibn Taimiyyah pernah menyatakan bahwa Usman Ibn `Affan, Ali Ibn

Abi Talib dan `Abd al-Rahman Ibn `Auf adalah contoh-contoh mukmin yang kuat. Sedangkan Abu Zar al- Gifari adalah contoh mu’min yang lemah. Kelemahan Abu Zar bukanlah pada keimanannya tetapi pada pola hidup duniawi yang ditempuhnya. Baginya, manusia tidak boleh memiliki harta diluar kebutuhannya. Setiap harta berlebih adalah simpanan (kanz) yang bakal

disetrikakan ketubuhnya di hari akhirat nanti. 19 Kerja dalam pandangannya hanyalah memenuhi kebutuhan hidup primer agar bisa bertahan.

Dunia baginya bukanlah tempat untuk meraih kebahagiaan. Dengan kata lain Abu Zar pesimis dalam melihat dunia. Padahal duniapun sebenarnya dapat memberikan kebahagian kepada manusia walaupun harus diakui kebahagiaan akhirat lebih abadi. Memandang dunia secara pesimis akan berimplikasi pada menurunnya etos kerja seseorang. Ia tidak akan terpacu untuk meningkatkan prestasi dan kualitas kerjanya.

Jadi penghargaan yang diberikan rasul terhadap orang yang mau berusaha sendiri tanpa mengharap belas kasihan dari orang lain adalah implementasi dari otonomi manusia yang telah dijelaskan dimuka. Dengan demikian pekerjaan apapun yang dilakukan apakah bertani, berdagang, bertukang, mengajar, harus dipandang sebagai pekerjaan yang baik. Pekerjaan itu dapat dikatakan tidak baik jika dalam pelaksanaannya melanggar aturan- aturan syari`at yang telah digariskan Allah. Berdagang itu baik namun jika yang diperdagangkan itu adalah minuman keras, pekerjaan itu menjadi tidak

17 Abdullah Syah, “Mencari Rizki yang halal adalah Jihad fi Sabilillah” dalam, Media Ulama ,No. 9 Tahun III Maret 2000, MUI ,Sumatera Utara, h.32.

18 Al-Hafiz al-Munziri, op.cit., jilid II , h.246

19 Nurcholis Madjid, op.cit., h.70-71 19 Nurcholis Madjid, op.cit., h.70-71

Sampai disini pekerjaan yang halal dan yang haram dalam Islam dapat dilihat dari dua sisi. 1) Pekerjaan yang halal (bertani, berdagang dan sebagainya) namun dalam pelaksanaannya melanggar aturan syari`at dan 2) Pekerjaan yang nyata-nyata diharamkan Allah seperti mencuri, merampok, praktek rentenir (membungakan uang), melacurkan diri dan lain-lain.

Mengapa Islam membuat pemilahan terhadap pekerjaan yang halal dan haram ?. Jawabnya adalah pekerjaan dalam Islam bukan hanya dilihat dari sudut ekonomi untuk meraih keuntungan tetapi juga memiliki dimensi etis. Artinya, pekerjaan-pekerjaan yang haram mengasumsikan adanya pihak lain yang dirugikan atau dikorbankan. Ini tentu saja bertentangan dengan asas- asas ekonomi Islam yang sangat menjunjung nilai-nilai kemaslahatan dan saling tolong menolong.

Implikasinya lebih jauh adalah, pekerjaan yang haram akan menghasilkan sesuatu yang diharamkan pula. Pada akhirnya barang yang haram ini pula yang dijadikan untuk memenuhi kebutuhan hidup, seperti memberi makan keluarga. Pada hal dalam ajaran Islam dijelaskan, makanan yang haram atau sesuatu yang diperoleh dari yang haram, tidak saja diharamkan tetapi juga berpengaruh terhadap pertumbuhan jiwa manusia yang tidak baik.