Riba Versus Bunga : Samakah ?

C.Riba Versus Bunga : Samakah ?

Persoalan bunga bank merupakan topik yang sering diperdebatkan. Pertanyaannya adalah apakah bunga bank sama dengan riba ? Seperti yang telah disebut di muka, ulama telah sepakat bahwa riba hukumnya haram. Namun apakah riba sama dengan bunga bank, para ulama tampaknya berbeda pendapat. Bagi yang menyatakan sama, tentu akan menyatakan bunga bank itu haram. Bagi kelompok yang menyatakan berbeda tentu akan menyatakan bahwa bunga bank tidak haram. Perbedaan dalam memandang hukum bunga bank bukan isu baru. Sejak lama topik ini menjadi perdebatan dikalangan pakar hukum Islam Indonesia. Namun tetap saja tidak menemukan jalan keluar yang bisa diterima semua pihak.

Salah seorang pemikir ekonomi Islam yang cukup produktif, Umar Chapra telah menyelesaikan perdebatan ini dengan menyatakan, secara teknis riba (bunga) mengacu pada premi yang harus dibayar peminjam kepada pemberi pinjaman bersama pinjaman pokok sebagai syarat untuk memperoleh pinjaman lain atau untuk penangguhan. Sejalan dengan hal ini,

7 Syafi`I Antonio, op.cit, h. 63-64. Lihat Mu`amalat Institut, op.cit, h. 11-12 8 Umer Chapra, Ibid., h .27

Etika Bisnis Islam

riba mempunyai pengertian yang sama yaitu sebagai bunga sesuai dengan konsensus ulama fikih. 9

Kendati Chapra telah memberikan kesimpulan bahwa bunga sama dengan riba, namun tetap saja ada yang tidak sependapat. Untuk menyebut salah satu diantaranya adalah Muhammad Abduh. Baginya riba yang diharamkan hanyalah riba yang ad`aafan muda`aafah (berlipat ganda). Abduh membolehkan menyimpan uang di Bank dan mengambil bunganya. Dasarnya menurut Abduh adalah Pertama, maslahat mursalah. Kedua, Tabungan di bank bisa mendorong perkembangan ekonomi. Ketiga, Tabungan di bank disamakan dengan konsep kerjasama dalam Islam (mudarabah dan

musyarakah). 10 Dalam bentuknya yang agak berbeda paling tidak ada tiga alasan

mengapa sebagian ulama menyatakan bahwa bunga bank tidak haram. Pertama, pertimbangan darurat. Kedua, Yang dilarang oleh al- Qur’an adalah bunga yang berlipat ganda (tinggi). Ketiga, Bank sebagai lembaga tidak termasuk dalam katagori mukallaf, jadi bank tidak terkena khitab ayat-ayat Allah maupun hadis nabi.

Muhammad Syafi’i Antonio dalam bukunya Bank Syari’ah :Wacana Ulama dan Cendikiawan telah membantah argumen-argumen tersebut

Menurutnya menjadikan darurat sebagai alasan pembenaran riba tidak tepat. Dalam Ushul fiqh yang disebut darurat adalah suatu keadaan emergency dimana jika seseorang tidak segera melakukan tindakan cepat, maka akan

9 Ibid.,

10 Khoiruddin Nasution, Riba Dan Poligami : Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh , (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996), h. 59-60

Etika Bisnis Islam

membawanya kejurang kehancuran atau kematian. Jika demikian pertanyaannya adalah, apakah jika tidak menabung atau meminjam uang ke bank akan menjadikan perekonomian hancur sehingga manusia akan mengalami kesengsaraan. 11

Beberapa waktu yang lalu, Prof.Ali Yafi ketua MUI pernah menyatakan bolehnya mengambil bunga yang rendah karena pada waktu itu tidak ada bank yang tidak menggunakan sistem bunga. Padahal masyarakat perlu rasa aman untuk menitipkan uangnya. Namun sejak berdirinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) tahun 1992 alasan untuk menyebut darurat itu menjadi hilang. Tegasnya saat ini terlebih lagi setelah berdirinya Bank Syari’ah Mandiri (1999), BNI Syari`ah, Danamon Syari`ah, BPRS (Bank Perkreditan Rakyat Syari`ah) dan bank-bank Islam lainnya, alasan darurat tidak lagi dapat dibenarkan.

Mengenai alasan bunga yang berlipat ganda saja yang diharamkan, sedangkan tingkat suku bunga bank yang rendah tidak dipandang riba, didasarkan pada argumentasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Memahami ayat 130 surah Ali –Imran yang telah disebut, tidak dapat dipisahkan dari ayat riba lainnya. Ayat terakhir tentang riba telah menegaskan bahwa tambahan terlepas besar atau kecil tetap dilarang. Dengan demikian tidak ada satu ruangpun yang membedakan antara riba (usury) dengan bunga (interest) karena keduanya sama-sama merepresentasekan tambahan atau

peningkatan dari pokok modal yang ada. 12

11 Syafi`i Antonio, op.cit., h. 12 Mustaq Ahmad, Etika Bisnis Dalam Islam, (Jakarta: Al-Kaustar, 2000), h.128 . Lihat lebih luas, Ziaul

Haque, Riba: The Moral Economy of Usury, Intrest and Profit (Kuala Lumpur: S.Abdul Majeed & Co, 1995).

Etika Bisnis Islam

Kemudian kata “berlipat ganda” pada ayat 130 surah ali imran dalam ilmu tata bahasa Arab (nahu) disebut hal yang menggambarkan sifat riba

bukan sebagai syarat. Maksud bukan syarat adalah, apabila terjadi pelipat- gandaan yang besar baru disebut riba. Jika kecil tidak termasuk riba.

Berkenaan dengan hal ini Yusuf al-Qardhawi juga mengomentari persoalan adh`afan mudha`afah dengan menyatakan, “ Orang yang memiliki kemampuan memahami cita rasa bahasa Arab yang tinggi dan memahami retorikanya, sangat memaklumi bahwa sifat riba yang disebutkan dalam ayat ini dengan kata adh`afan mudha`afah adalah dalam konteks menerangkan kondisi objektif dan sekaligus mengecamnya. Mereka (orang-orang Mekah) telah sampai pada tingkat ini dengan cara melipatgandakan uang yang berlebihan. Pola berlipat ganda ini tidak dianggap sebagai kreteria (syarat)

dalam pelarangan riba. Dalam arti yang tidak berlipat ganda menjadi boleh. 13 Selanjutnya menurut al-Qardhawi, manakah yang disebut riba kecil dan

mana riba yang berlipat ganda. Jika dipahami struktur tata bahasa Arab kata adh`af itu sendiri jamak, paling sedikitnya tiga. Maka jika tiga dilipatgandakan walau sekali menjadi enam. Bisa jadi riba yang berlipat ganda itu mencapai 600 %. Adakah yang membenarkan hal ini, kata al-Qardhawi ?. 14 Tegasnya

kata adh`afan mudha`afah bukan syarat bagi pengharaman riba. Alasan ketiga yang menyebut bank bukan taklif juga keliru. Dalam tradisi hukum, perseroan atau badan hukum sering disebut sebagai juridical personality atau sakhsiyah hukmiyah dan dipandang sah serta dapat mewakili individu-individu secara keseluruhan. Ditinjau dari sisi mudharat dan manfaat, perusahan dapat menimbulkan kemudharatan yang lebih besar dari

13 Yusuf al-Qardhawi, Bunga Bank Haram, (Jakarta : Akbar Media Eka Sarana, 2001), h.74-75 14 Ibid.,

Etika Bisnis Islam

perorangan. Bank yang menggunakan sistem bunga dapat menimbulkan kerusakan yang lebih besar dibanding rentenir.

Dengan demikian ketika Allah mengharamkan riba melalui ayat- ayatnya, yang dituju bukan hanya individu-individu saja melainkan institusi yang melaksanakan praktek riba. Sampai di sini, pakar ekonomi Islam kontemporer berkesimpulan bahwa bunga bank terlepas dari tinggi rendahnya suku bunga yang diterapkan tetap haram.

Mendiskusikan riba dari sisi hukum, akan diwarnai dengan perbedaan pendapat. Untuk itu adalah menarik untuk melihat sisi lain mengapa al- Qur’an melarang praktek riba, atau dengan kata lain apa motivasi al-Qur’an ketika melarang riba ?

Pada intinya riba sangat bertentangan secara langsung dengan semangat kooperatif yang ada dalam ajaran Islam. Orang yang kaya, seharusnya memberikan hak-hak orang miskin dengan membayar zakat dan memberi sedekah sebagai tambahan dari zakat tersebut. Islam tidak mengizinkan kaum muslimin untuk menjadikan kekayaannya sebagai alat untuk menghisap darah orang-orang miskin. Maulana Maududi-seperti yang dikutip Mustaq Ahmad- menjelaskan kejahatan-kejahatan riba sebagai berikut:

1. Riba akan meningkatkan rasa tamak, menimbulkan rasa kikir yang berlebihan dan mementingkan diri sendiri, keras hati dan menjadi pemuja uang.

2. Riba akan menimbulkan kebencian, permusuhan dan bukan sikap simpati dan koorporasi.

3. Riba mendorong terjadinya penimbunan dan akumulasi kekayaan dan akan menghambat adanya investasi langsung dalam perdagangan. Jika ia melakukan investasipun, maka itu akan

Etika Bisnis Islam

dilakukan demi kepentingan dirinya sendiri tanpa memperhatikan kepentingan masyarakat.

4. Riba akan mencegah terjadinya sirkulasi kekayaan karena kekayaan itu hanya berada di dalam tangan pemilik-pemilik modal. 15

Dr..Muh Zuhri dalam Disertasinya yang berjudul: Riba dalam Al- Qur’an Dan Masalah Perbankan (Sebuah Tilikan Antisipatif) menyimpulkan, Riba dalam al- Qur’an dilarang disebabkan karena:

1. Riba menjadikan pelakunya kesetanan, tidak dapat membedakan antara yang baik dengan yang buruk.

2. Riba merupakan transaksi utang piutang dengan pertambahan yang dijanjikan di depan dan ini merupakan praktek kezaliman.

3. Riba dalam al-Qur’an yang selalu dihadapkan dengan zakat, infaq, sadaqah memberikan isyarat bahwa riba dapat menjauhkan persaudaraan bahkan dapat menimbulkan permusuhan. 16

Umer Chapra setelah membahas persoalan Riba sampai pada sebuah kesimpulan: Alasan pokok mengapa al- Qur’an memberi penjelasan larangan riba yang cukup keras, adalah karena Islam ingin menegakkan sistem ekonomi yang didalamnya semua bentuk eksploitasi dibatasi. Ketidakadilan yang terjadi dalam bentuk, penyandang dana yang dijamin memperoleh keuntungan tanpa melakukan sesuatu atau ikut menanggung risiko, sementara pengusaha, meskipun telah melakukan kerja keras, tidak

15 Ibid., , h.133-134

16 Muh.Zuhri, Riba Dalam Al- Qur’an Dan Masalah Perbankan, (Jakarta: Rajawali Pers, 1996), h.88-89.

Etika Bisnis Islam

mempunyai jaminan serupa. Islam ingin menegakkan keadilan di atara pengusaha dan pemilik modal. 17

Jauh sebelumnya, Imam al-Razi seorang Mufassir telah memberikan peringatan yang cukup keras tentang dampak negatif yang ditimbulkan Riba.

Setidaknya ada empat keburukan riba. 18

1. Merampas Kekayaan Orang lain. Transaksi yang melibatkan bunga sama halnya dengan merampas harta orang lain. Dalam transaksi satu rupiah di tukar dengan dua rupiah, baik secara kredit ataupun tunai. Salah satu pihak menerima kelebihan tanpa mengeluarkan apa-apa. Jenis transaksi ini tidak adil dan sewenang-wenang dan peminjam menjadi tereksploitasi.

2. Merusak Moralitas. Hati nurani merupakan cerminan jiwa yang paling murni dan utuh. Ketulusan seseorang akan runtuh bila egoisme pembungaan uang sudah merasuk ke dalam hatinya.Dia menjadi sangat tega untuk merampas apa saja yang dimiliki sipeminjam untuk mengembalikan bayaran bunga yang mungkin sudah berlipat-lipat dari pokok pinjaman.

3. Melahirkan Benih Kebencian dan Permusuhan. Bila egoisme dan perampasan harta si peminjam sudah dihalalkan, maka tidak mustahil akan timbul benih kebencian dan permusuhan antara si kaya dengan si miskin, si pemilik modak dengan si peminjam.

4. Yang Kaya Semakin Kaya, Yang Miskin Semakin Miskin Pada saat resesi ekonomi dan tigh money policy atau kebijakan uang ketat, si kaya akan memperoleh suku bunga yang cukup tinggi

17 Umer Chapra, op.cit, h.36`

Etika Bisnis Islam

Sementara biaya modal menjadi sangat mahal, si miskin menjadi tidak mampu meminjam dan tidak dapat berusaha, akibatnya dia akan semakin jauh tertinggal .

Dalam tinjauan ekonomi, para pakar menyebut bahwa riba banyak mengandung kerugian. Anwar Iqbal menyatakan bahwasanya riba adalah sumber segala bentuk kejahatan ekonomi, dan dia amat bertanggungjawab dalam melahirkan konsentrasi kekayaan pada satu tangan. Sistem bunga yang menjadikan penambahan dan akumulasi kekayaan tanpa usaha dan keringat akan melahirkan kebencian dan permusuhan. 19

Syekh Mahmud Ahmad menyatakan bahwa sistem bunga adalah berbanding terbalik dengan keputusan investasi, dan sepanjang sistem bunga mendominasi sistem perekonomian maka pengangguran akan muncul. Qutub menyatakan bahwa praktek riba akan menimbulkan matinya kesadaran moralitas pelaku bisnis. 20

Dilihat dari uraian terdahulu, jelaslah larangan al- Qur’an terhadap praktek riba karena aktivitas ini hanya menguntungkan sebelah pihak dan merugikan pihak lain, terutama orang yang ekonominya lemah. Dalam perjanjian itu mereka tidak punya pilihan lain kecuali harus menerima perjanjian berat sebelah tersebut. Tegasnya riba (bunga bank) mengandung unsur eksploitasi manusia terhadap manusia lain sesuatu yang sangat bertentangan dengan perinsip ekonomi Islam yaitu ta`awun dan win-win solution.

18 Syafi`i Antonio, op.cit, hlm.114-115. Lihat juga Adiwarman A Karim, loc.cit.,

19 Anwar Iqbal Quraisy, Economic and Social System of Islam, (Lahore : Islamic Book Service, 1979).

h. 8

20 Mustaq Ahmad, op.cit, h.134

Etika Bisnis Islam