Kerja Dan Kebutuhan Hidup

A.Kerja Dan Kebutuhan Hidup

Robert Maltus menyatakan bahwa pertambahan penduduk seperti deret ukur, sementara pertambahan makanan (kebutuhan hidup manusia) hanya seperti deret hitung. Teori ini menunjukkan adanya kesenjangan antara pertumbuhan manusia dengan ketersediaan kebutuhan pokok khususnya makanan. Pada gilirannya kerja yang didefinisikan sebagai usaha untuk mendapatkan makanan, bergeser pada maknanya yang lebih luas.

Pada zaman dahulu kerja dipahami hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti pangan, sandang dan papan. Sejalan dengan peradaban manusia masa itu yang masih sederhana, tujuan kerja bagi manusia hanyalah untuk menjaga kelangsungan hidup. Pada masa itu kebutuhan hidup manusia tidak menjadi persoalan yang serius karena alam masih bisa mencukupinya disamping jumlah manusia relatif sedikit.

Persoalan mulai muncul ketika jumlah penduduk terus bertambah dan alam tidak lagi mampu menyediakan kebutuhan hidup manusia, kalaupun ada, kebutuhan tersebut tidak cukup memadai sehingga manusiapun berupaya untuk memperoduksinya sendiri.

Disinilah kerja mulai menjadi persoalan serius bagi manusia. Dikatakan menjadi persoalan karena tidak seluruh manusia dapat menciptakan lapangan kerja untuk dirinya sendiri, dan ternyata kebutuhan manusia tidak hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan primernya, tetapi ia juga berkeinginan untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tertier.

Sampai disini definisi kerja mengalami perubahan. Pada zaman modern manusia bekerja memiliki beberapa tujuan yaitu: 1

Mengembangkan Bisnis Sehat, (Jakarta:Grasindo,19950, h. 81-82.

1 Redi Panuju, Etika

Bisnis:Tinjauan

Empiris

dan

Kiat

1. Memenuhi kebutuhan primer seperti makan, minum, rumah dan pakaian.

2. Memenuhi kebutuhan sekunder seperti, rekreasi, memiliki barang- barang mewah, kesehatan dan pendidikan.

3. Memenuhi kebutuhan tertier seperti ingin gengsi, terlihat mewah, aksesoris-aksesoris dan lain-lain.

4. Meneguhkan jati diri sebagai manusia. Tiga tujuan manusia bekerja yang disebut dimuka, tampaknya sudah

jelas. Namun yang disebut terakhir perlu mendapat penjelasan sedikit. Pada masa modern, bekerja bukan lagi persoalan hidup atau mati, tetapi sudah menyangkut tentang harga diri. Ukuran martabat manusia akan dilihat dari apakah ia memiliki pekerjaan atau tidak. Selanjutnya apakah pekerjaan yang digelutinya. Bagi orang yang belum memiliki pekerjaan akan merasa dirinya belum lengkap sebagai manusia. Ia akan menjadi rendah diri mendapat gelar sebagai “penganggur”. Selanjutnya, bidang kerja yang digeluti juga sangat mempengaruhi setatus sosialnya. Pegawai negeri akan dipandang lebih “hebat” dibanding buruh, pengusaha akan lebih dihormati oleh masyarakat dibanding dengan seorang guru.

Ada ungkapan yang menarik dari Nurcholis Madjid ketika berbicara tentang Tafsir Islam Perihal Etos Kerja. Ia menyatakan, … kerja atau amal adalah bentuk keberadaan (mode of existence) manusia. Artinya, manusia ada karena kerja dan kerja itulah yang mengisi eksistensi kemanusiaannya. Jadi jika failusuf Perancis Rene Descartes menyatakan “ cogito ergo sum”, aku berpikir maka aku ada, slogan ini harus ditambah dengan ungkapan “aku berbuat maka aku ada”. 2

Pergeseran makna kerja yang telah diungkap di atas, ternyata memiliki implikasi yang lebih jauh. Mungkin dipengaruhi konsep kerja pola kapitalisme yang mempunyai akar asumsi, manusia mempunyai kewajiban untuk memanfaatkan alam dengan menguasai ilmu pengetahuan dan tekhnologi agar sumber kekayaan alam menjadi barang komoditi yang secara ekonomis menguntungkan, maka upaya meraih keuntungan ekonomi tidak lagi dilihat sebagai imbalan kerja melainkan menjadi tujuan kerja itu sendiri.

Dengan kata lain, kerja harus menguntungkan terlepas bagaimana cara yang dilakukan untuk memperolehnya. 3 Dampaknya yang paling parah adalah

manusia menjadi serakah, kerja tidak lagi dalam rangka untuk meneguhkan

2 Nurcholis madjid, “Tafsir Islam Perihal Etos Kerja”, dalam, Nilai Dan Makna Kerja Dalam Islam , (ed) Firdaus Efendi dkk , (Jakarta: Nuansa Madani, 1999), h.66

3 Redi Panuju, op.cit., h.88 3 Redi Panuju, op.cit., h.88