Konsep Islam Tentang Kerja

B..Konsep Islam Tentang Kerja

Setidaknya ada dua kata kunci untuk menjelaskan konsep kerja dalam pandangan Islam; `amal dan sun`. Kedua kata ini diungkap dalam al- Qur’an lebih kurang 602 kali, suatu jumlah yang cukup besar. Makna generik kata `amal menurut Sayyed Hosein Nasr adalah “tindakan peraksis” terhadap sesuatu, sedangkat sun` adalah membuat atau memproduksi sesuatu dengan

mengolah bahan baku atau mengolah ulang bahan yang sudah jadi. 4 Salah satu bentukan dari kata sun` adalah sina`ah yag berarti pabrik. 5

Di dalam al- Qur’an, Allah telah memberikan jaminan bahwa setiap makhluk yang ada dibumi ini telah ditetapkan rizkinya. Yang menarik al- Qur’an menggunakan kata dabbah seperti yang tampak pada ayat berikut ini :

Artinya: Tidak ada binatang yang melata (dabbah) di muka bumi ini kecuali telah ditetapkan Allah rezekinya. Menurut bahasa kata dabbah diartikan sebagai makhluk yang melata. Secara implisit rizki yang telah dipersiapkan Allah untuk manusia hanya bisa diperoleh bagi orang –orang yang selalu berusaha menemukannya dan itu hanya dapat dilakukan dengan bekerja.

Seperti yang telah diungkapkan Cak Nur (panggilan akrab untuk Nurcholis Madjid), kerja dalam pandangan Islam adalah mode of existence. Harga manusia sangat ditentukan oleh amal atau kerja yang dilakukannya. Jika ia melakukan suatu pekerjaan yang baik dengan penuh kesungguhan, maka ia akan mendapatkan balasan yang baik pula di dunia dan diakhirat. Sebaliknya, jika ia melakukan pekerjaan yang buruk, maka ia akan memperoleh balasannya. Lebih dari itu harga kemanusiaannya menjadi turun.

Atas dasar pemikiran tersebut dalam Islam kerja dipandang sebagai ibadah. Sejatinya seorang muslim yang bekerja keras haruslah berangkat dari kesadarannya bahwa kerja tersebut merupakan ibadah. Ini tidak berarti bahwa seseorang dilarang untuk mengharapkan reward (penghargaan) baik materil maupun non materil seperti gaji atau penghasilan, karier dan kedudukan yang

4 Seyyed Hosein Nasr,Perspektif Islam Perihal Etika Kerja” dalam, Nilai … op.cit., h.75.

5 Menurut Mustaq Ahmad, kata amal disebut sebanyak 360 kali, kata fa`ala dengan segala derivasinya sebanyak 109 kali, termasuk juga kata kasaba (usaha), sa`aa (usaha) dan jahada . Mustaq sampai pada

kesimpulan, banyaknya terma al- Qur’an tentang kerja menunjukkan betapa pentingnya segala bentuk kerja produktif dan aktivitas yang menghasilkan. Bandingkan, Mustaq Ahmad, op.cit, h.11 kesimpulan, banyaknya terma al- Qur’an tentang kerja menunjukkan betapa pentingnya segala bentuk kerja produktif dan aktivitas yang menghasilkan. Bandingkan, Mustaq Ahmad, op.cit, h.11

Penting untuk dicatat, dalam kaca mata ajaran Islam kerja tidak hanya semata-mata untuk mengharapkan profit-materi tetapi juga benefit-non materi. Dala hal ini paling tidak ada empat qimah (profit) yang akan diperoleh yaitu; qimah madiah (nilai materi), qimah insaniyah ( nilai kemanusiaan), qimah khuluqiyah (nilai akhlak) dan qimah ruhiyah (mencari keridaan Allah).

Jika pendekatan reward dan Punishment ini digunakan sebagai paradigma membangun etos kerja maka dapat dilihat dalam skema di bawah ini: 6

Madiah Gaji/Penghasilan besar Denda/Skorsing/PHK Insaniyah

Pujian,

Celaan,

Nama/Reputasi buruk Khuluqiyah

Nama/Reputasi baik

Antipati Ruhiyah

Rasa hormat/Simpati

Pahala/Keridaan

Dosa/Murka

Dari kerangka pemikiran di atas, pekerja yang baik akan mendapatkan hasil yang baik, sebaliknya pekerja yang buruk maka ia sendiri akan merasakan akibatnya. Berkenaan dengan masalah tersebuit ayat di bawah ini relevan untuk dijadikan landasan noramtifnya,

Allah SWT berfirman dalam surat al- Isra’ ayat 7 yang artinya, Jika kamu berbuat baik, maka kebaikan itu untuk dirimu dan apabila kamu berbuat buruk maka akib atnya juga akan menimpamu…

Berkaitan dengan kerja yang baik dapat dilihat pada hadis rasul yang menyatakan: Sesungguhnya Allah mewajibkan kepada kamu untuk berbuat baik (ihsan) terhadap sesuatu. Karena itu jika kamu menyembelih, maka berihsanlah dalam penyembelihan itu, dan seseorang hendaklah menajamkan pisaunya dan menenangkan

binatang sembelihannya itu. 7 Ihsan disini dapat dikatakan optimalisasi hasil kerja dengan jalan

melakukan pekerjaan itu sebaik mungkin dengan tetap mempertimbangkan

6 M.Ismail Yusanto dan M.Karebet Widjajakusuma, Menggagas Bisnis Islami, (Jakarta : Gema Insani Pers, 2002), h. 117

7 Al-Hafiz al-Munziri, Mukhtasar sahih Muslim, (Kuwait :Wazarah al-Awkaf wa al- Syu’un al- Islamiyyah, 1969), Juz II, h.47. (Hadis No.1249) 7 Al-Hafiz al-Munziri, Mukhtasar sahih Muslim, (Kuwait :Wazarah al-Awkaf wa al- Syu’un al- Islamiyyah, 1969), Juz II, h.47. (Hadis No.1249)

“Barang siapa benar-benar berharap bertemu dengan Tuhannya, maka hendaklah ia berbuat (bekerja) yang baik dan hendaknya dalam beribadah ia tidak melakukan syirik.

Sampai di sini ada ajaran yang luhur dalam Islam yaitu otonomi manusia. Kitab suci menegaskan bahwa manusia tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali apa yang ia usahakan sendiri. Al- Qur’an menyatakan, seseorang yang berdosa tidak akan menanggung dosa orang lain, dan bagi manusia adalah apa yang ia usahakan. (al-Najm/52-36-42). Kalaulah manusia tidak mendapatkan apa- apa kecuali yang ia usahakan sendiri, maka ia tidak boleh memandang ringan setiap pekerjaan yang dilakukannya. Ia harus memberi makna terhadap kerjanya, sehingga menjadi bagian integral dari makna kehidupannya secara menyeluruh. Ia harus menginsyafi bahwa kerja itu sebagai mode of existence

dirinya, baik dan buruk akan membentuk nilai peribadinya. 8 Ada dua hal sangat penting dari penjelasan Cak Nur di atas. Pertama,

pada dasarnya manusia memiliki kebebasan atau otonomi yang luas dalam bekerja. Dengan demikian kerja dan hasil kerja yang diterimanya bukanlah sesuatu yang telah ditentukan oleh Tuhan sehingga manusia hanya menjalani dan harus menerimanya. Dalam pembahasan Teologi Islam ini disebut dengan free will (Qadariyah) sebagai lawan dari predestination (jabariyah, fatalis). Bagi aliran Qadariyyah yang rasional , manusia memiliki kebebasan dalam berkehendak serta berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusialah yang menciptakan perbuatannya, manusia berbuat baik dan buruk, patuh tidak patuh kepada Tuhan adalah atas kehendaknya sendiri. Sedangkan bagi aliran jabariyyah (fatalis) manusia tidak memiliki kebebasan dalam berbuat dan berkehendak, manusia hanya dapat berusaha (al-kasb) sedangkan hasilnya tetap saja ditentukan oleh Tuhan.

Perdebatan dan perbedaan aliran di atas tidak begitu relevan dengan diskusi ini, yang penting adalah apa implikasinya terhadap etos kerja 9

8 Nurcholis Madjid, op.cit, h. 68

9 Secara etimologis kata etos yang berasal dari bahasa Yunani (etos) bermakna watak atau karakter. Dengan kata lain etos adalah karakteristik, sikap, kebiasaan, kepercayaan yang melekat pada seseorang 9 Secara etimologis kata etos yang berasal dari bahasa Yunani (etos) bermakna watak atau karakter. Dengan kata lain etos adalah karakteristik, sikap, kebiasaan, kepercayaan yang melekat pada seseorang

Dalam kesimpulannya Ia menyatakan: Bagi orang Islam yang cenderung ke pemikiran Qadariyah, pemahaman tentang ikhtiyar ialah bahwa keberhasilan manusia dalam kegiatan ekonomi sangat ditentukan oleh sejauh mana upaya-upaya yang dilakukan manusia itu sendiri untuk meraih keberhasilan atau keuntungan dalam usahanya, bukan semata-mata ditentukan oleh Allah SWT. Karena itu, kerja keras, hemat, jujur, dan perhitungan dalam usaha, merupakan bagian dari ikhtiyar manusia sebagai prasyarat untuk meraih keberhasialan atau keuntungan dalam usaha mereka. Berbeda halnya dengan orang Islam yang cenderung kepada pemikiran jabariyah, pemahaman mereka tentang ikhtiyar ialah bahwa keberhasilan manusia termasuk dalam kegiatan ekonomi sangat ditentukan oleh kehendak Allah SWT semata-mata, bukan ditentukan oleh

adanya kerja keras, hemat, jujur, dan berperhitungan dalam kegiatan usaha. 10 Dari penelitian yang dilakukan oleh Nanat Fatah Nasir di atas, jelaslah

bahwa ada korelasi (hubungan) yang signifikan antara pemahaman keagamaan dengan etos kerja. Pemahaman keagamaan seseorang yang cenderung fatalistic berimplikasi pada rendahnya etos kerja yang dimilikinya. Sebaliknya pemahaman keagamaan yang dinamis dan progresif seperti yang terdapat dalam aliran qadariyah, berimplikasi pada etos kerja yang tinggi.

Pengaruh kepercayaan terhadap etos kerja bukan hanya berlaku dalam Islam saja. Max Weber seorang sosiolog agama telah melakukan penelitian terhadap pengaruh etika Protestan terhadap sistem Kapitalisme. Bermula dari observasinya di Jerman ternyata, sebagian besar pimpinan perusahan pemilik modal dan perusahaan teknik dan komersial tingkat atas adalah orang Protestan bukannya Katolik. Apa yang memicu mereka untuk bekerja keras tidak lain adalah ajaran teologi Protestan itu sendiri.

Menurut Weber dalam Teologi Protestan khususnya sekte calvinisme - yang dianggap sebagai aliran yang paling banyak menyumbang bagi

atau sekelompok manusia. Dari perkataan ini terambil kata etika dan etis yang artinya lebih kurang sama dengan akhlak. Nurcholis Madjid menyebut etos sebagai jiwa khas suatu kelompok manusia, yang dari jiwa khas itu berkembang menjadi pandangan bangsa tentang yang baik dan yang buruk. Dapatlah dikatakan yang dimaksud dengan etos kerja itu merupakan kualitas esensial seseorang atau sekelompok orang menyangkut pandangan tentang kerja dan etikanya. Lihat, Ibid.,

10 Nanat Fatah Nasir, Etos Kerja Wirausahan Muslim,(Bandung: Gunung Djati Press,1999), h.153-154.

perkembangan semangat kapitalisme Barat- ada ajaran tentang takdir dan nasib manusia di hari nanti. Menurutnya takdir ini telah ditentukan dan keselamatan manusia akan diberikan kepada manusia terpilih. Siapakah yang terpilih, ajaran ini menyatakan tidak ada kepastian. Tetapi adalah kewajiban manusia untuk beranggapan bahwa ia adalah manusia terpilih dan berusaha untuk selalu memerangi segala keraguan dan godaan setan. 11

Untuk membangun kepercayaan terhadap diri sendiri itu, manusia harus bekerja keras, sebab hanya kerja keras inilah yang dapat menghilangkan keraguan manusia. Tuhan menurut calvinisme mengharuskan ummatnya tidak satu kerja yang baik, tetapi suatu hidup dari kerja yang baik. Demikianlah cara hidup yang sesuai dengan kehendak Tuhan.

Weber menyebut kerja merupakan panggilan (beruf), sedangkan menurut katolik kerja adalah sebagai satu keharusan untuk kelanjutan hidup. Jadi menurutnya, yang diinginkan oleh doktrin ini adalah askese duniawi, yaitu intensifikasi pengabdian agama yang dijalankan dengan kegairahan bekerja

sebagai gambaran dan pernyataan sebagai manusia terpilih. 12 Dalam Islampun seharusnya sikap tunduk dan patuh kepada Tuhan (pengabdiaan) harus

ditunjukkan dengan kerja keras yang nota bene juga dipandang ibadah untuk mencapai kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.

Akhirnya Weber menyatakan, semangat kapitalisme yang bersandarkan kepada cinta, ketekunan, hemat, berperhitungan, rasional dan sanggup menahan diri, menemukan pasangannya dalam semangat protestan. Selanjutnya sukses hidup yang dihasilkan oleh kerja keras bisa pula dianggap

sebagai pembenaran bahwa ia adalah manusia terpilih. 13 Dapatlah dikatakan betapa ajaran agama –terlepas agama apa yang

dianut- memiliki pengaruh yang signifikan terhadap etos kerja seseorang. Menyangkut hal ini Cak Nur menyatakan, utuhnya sistem kepercayaan akan menghasilkan utuhnya sistem nilai. Selanjutnya sistem nilai akan memberi manusia kejelasan apa yang baik dan apa yang buruk dan akhirnya ini pulalah yang akan mendasari seluruh kegiatan manusia dalam menciptakan

peradaban. 14

11 Ibid., h.10-11. Lebih luas kajian ini dapat dilihat dalam Max Weber, The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism (New York: Charles Scribner`s Sons, 1958)

12 Ibid ., h.12

13 Ibid., h.13

14 Nurcholis Madjid, Islam Doktrin Dan Peradaban, (jakarta: Paramadina, 1992), h.xxiii

Seorang muslim yang meyakini dan percaya bahwa kerja dan hasil kerja yang dilakukannya sudah ditentukan oleh Allah, maka yang terbaik baginya hanyalah menjalani kehidupan ini apa adanya, karena semuanya sudah ditentukan Allah. Ia akan beranggapan tidak ada pengaruh keseriusannya dalam bekerja terhadap perubahan hasil kerja. Sebaliknya, jika seorang Muslim beranggapan bahwa ialah yang akan menentukan nasibnya sendiri, maka implikasi dari keyakinan ini akan menjadikannya orang yang bersungguh-sungguh dalam bekerja agar mendapatkan hasil yang maksimal.

Dari pembahasan di atas, jelaslah terdapat hubungan yang erat antara agama terlepas apapun agamanya dan etos kerja. 15

Jika dikembangkan lebih jauh lagi, paling tidak ada delapan etos kerja yang harus dimiliki setiap orang seperti yang dijelaskan oleh Jansen H Sinamo dalam bukunya Ethos 21: Etos Kerja Profesional di era Digital Global, sebagai

berikut : 16

1. Kerja adalah rahmat: “aku bekerja tulus penuh syukur”. Hidup dan kerja dipahami sebagai manifestasi kekuatan kebaikan oleh rahmat Tuhan (the power of goodness by the grace of god).

2. Kerja adalah amanah. “Aku bekerja benar penuh tanggungjawab”. Kerja yang diamanahkan kepada kita harus dijunjung tinggi, dipelihara, dan dilaksanakan sebaik-baiknya sampai di sini akan muncul sikap bertanggungjawab terhadap apa yang dikerjakan.

3. Kerja adalah Panggilan. “Aku bekerja tuntas penuh integritas”. Kerja harus dilihat sebagai panggilan hidup sesuai dengan profesi kita masing-masing.

4. Kerja adalah aktualisasi. “Aku bekerja keras penuh semangat”. Kerja keras yang kita lakukan merupakan wahana aktualisasi diri sehingga potensi dirinya dapat berkembang dengan baik.

5. Kerja adalah ibadah. “Aku bekerja serius penuh kecintaan”. Kerja sebagai ibadah adalah sebuah tindakan menyerahankan atau memberikan kepada sesautu yang hidup ini kita abdikan untuk-NYA.

15 Beberapa karya yang dapat dirujuk berkenaan dengan masalah ini adalah, Taufiq Abdullah (ed), Agama dan etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi (Jakarta : LP3ES, 1979). Bahtiar Effendy,

Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan: Perbincangan Mengenai Islam, Masyarakat Madani, dan Etos Kewirausahaan, (Yogyakarta: Galang Pers, 2001). Amin Rais (ed) Islam di Indonesia: Suatu Ikhtiyar Mengaca Diri, (Jakarta : Rajawali Pers, 1994), Masyhur Amin, Teologi Pembangunan: Paradigma Baru Pemikran Islam, (Yogyakarta: LPSM-NU DIY, 1989).

16 Jansen H Sinamo, Ethos 21: Etos Kerja Profesional di era Digital Global,(Jakarta : Maharadika, 202)

6. Kerja adalah seni. “Aku bekerja kreatif penuh sukacita”. Kerja sebagai seni akan mampu mendatangkan kegairahan dalam bekerja yang bersumber dari aktivitas-aktivitas kreatif, artistic, dan interaktif.suka cita ini bertambah pula krena adanya suasana penuh tantangan yang memungkinkan terjadinya sense of accomplishment.

7. Kerja dalah kehormatan: “Aku bekerja tekun penuh keunggulan”. Kita wajib menjaga kehormatan itu dengan menampilkan kinerja yang unggul (excellent performance).

8. Kerja dalah pelayanan. Aku bekerja Sempurn apenuh kerendahan hati. Kemuliaan datang dari pelayanan dan orang yang melayani adalah orang yang mulia.

Delapan etos kerja yang dikemukan di atas, merupakan tafsir baru terhadap kerja. Jadi kerja tidak lagi sekedar sarana untuk memenuhi kebutuhan material tetapi lebih sebagai sarana mengaktualisasikan diri sebagai manusia yang bermartabat.