Status Qirâ`ât Shahih dan Syâdzât

1. Status Qirâ`ât Shahih dan Syâdzât

Kaidah yang umumnya dipakai dalam menentukan apakah suatu Qirâ`ât dikatakan shahih ataupun syâdz adalah sebagai berikut:

Setiap Qirâ`ât yang sesuai dengan salah satu mushaf 'Utsmâni, meskipun mirip, cocok dengan kaidah bahasa Arab, walaupun dalam satu sisi, dan shahih sanadnya, meskipun diambil dari selain Qurrâ` yang sepuluh, maka ia merupakan Qirâ`ât shahih yang tidak boleh ditolak dan tidak boleh mengingkarinya, bahkan ia adalan salah satu tujuh huruf di mana al-Qur`ân

diturunkan dengannya 45 . Adapun yang disebut qirâ`ât syâdz adalah

Yaitu Qirâ`ât yang diriwayatkan oleh perorangan dan berbeda dengan tulisan mushaf 'Utsmâni "al-Imam", tidak disifati sebagai syadz jika sanadnya shahih

dan sesuai dengan kaidah bahasa Arab. 46 Syarat yang diutarakan oleh Ibn al-Jazarî yang telah kami sebutkan

sebelumnya tentang qirâ`ât yang dinyatakan shahih dan syâdz ternyata mengandung polemik di antara ulama Qurrâ` karena syarat itu seakan-akan mengandung

45 Al-Zarqani, Manâhil…., h. 418. 46 Labib Said, Al-Jam'u al-Shaut ī al-Awwal aw al-Mushhaf al-Murattal bi Bawâ'itsihi wa Makhaththâtihi , (Kairo: Dar al-Kâtib al-Arabi, tth), h. 283.

pengertian bahwa ada qirâ`âh-qirâ`âh lain selain yang sepuluh, yang mungkin dapat dimasukkan dalam kategori shahih.

Pada kalimat terakhir, dinyatakan "baik dari imam tujuh, sepuluh atau imam- imam maqbul lainnya", ini mengandung arti bisa saja dalam qirâ`ât lain, terutama empat qirâ`ât lain yang dianggap syâdz. Dalam qirâ`ât empat (yang melengkapi menjadi empat belas), memang sebagian besar ulama menyatakan bahwa qirâ`ât

tersebut syâdz, namun pendapat ini ditujukan untuk bagian-bagian al-Qur`ân yang memang tidak memenuhi tiga syarat sebelumnya. Adapun bagi qirâ`ât lainnya yang

memang shahih dan sama bacaannya seperti imam-imam lainnya, maka dapat diterima dan dianggap shahih. Berikut ini kami ungkapkan contoh bacaan imam empat itu.

Dalam surat al-Fâtihah sebagian besar bacaannya tidak menyimpang dari rasm 'Utsmâni dan tidak menyalahi kaidah bahasa Arab. Kecuali bacaan berikut ini: v yang menyalahi Rasm 'Utsmâni:

Tunjukkanlah kami kepada jalan yang lurus

Qirâ`ât dari Hasan al-Bashri menyebutkannya tanpa ﻝﺍ sehingga berbunyi: ﺎﻤﻴِﻘﺘﺴﻣ ﺎﹰﻃﺍﺮِﺻ ﺎﻧِﺪﻫِﺍ

Tunjukkanlah kami kepada jalan yang lurus v yang menyalahi kaidah bahasa Arab

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam Qirâ`ât Hasan al-Bashri memberi kasrah pada huruf dal

ﻦﻴِﹶﳌﺎﻌﹾﻟﺍ ِّﺏﺭ ِﻪﹼﻠِﻟ ِﺪﻤﺤﹾﻟﹶﺍ Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam

v yang tidak menyalahi kaidah tetapi menyalahi qirâ`ât Jumhur:

Yang memiliki Hari Pembalasan Riwayat al-Mathû'i dari al-'Amasy membacanya dengan cara membaca fathah

pada lafaz ِﻚِﻟﺎﻣ hingga menjadi: ِﻦﻳِّﺪـﻟﺍ ِﻡﻮـﻳ ﻚـِﻟﺎﻣ (Yang memiliki Hari

Pembalasan) Qirâ`ât Hasan dalam membaca lafaz

ﻦﻴِﻌﺘﺴﻧ ﻙﺎﻳِﺍﻭ ﺪﺒﻌﻧ ﻙﺎﻳِﺍ Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon

pertolongan. menjadi:

Hanya kepada-Mu disembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.

dan qirâ`ât Ibn Muhaishin dalam bacaan

Bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.

Beliau membacanya dengan fathah pada kata ِﺮﻴﹶﻏ menjadi

Bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.

Pemahaman secara implisit tentang adanya qirâ`ât lain yang shahih selain qirâ`ât sepuluh ini diungkapkan oleh Abû Syammah, seorang pakar qirâ`ât,

47 Semua contoh qirâ'ât syâdz ini dikutip dari kitab karya Ahmad Muhammad al-Banna, Ittihâf Fudholâ al-Basyar bi al-Qirâ`ât al-Arba'ah al-'Asyar , (Beirut: Alam al-Kutub, 1987), cet. I, Jilid I, h. 363-368.

sebagaimana yang telah dikutip oleh Imam al-Zarqani, dia mengatakan: "Seyogyanya seseorang tidak terkecoh oleh setiap qirâ`ât yang dinisbatkan kepada salah seorang dari ketujuh imam dan dikatakan dengan status shahih seperti al-Qur`ân diturunkan, Kecuali bila memenuhi ketiga syarat tersebut. Justru qirâ`ât yang diriwayatkan dari selain mereka pun tidak dapat dipastikan ketidakshahihannya. Jadi, acuan dasarnya

adalah pada adanya ketiga syarat tersebut, bukan kepada siapa dinisbatkan." 48 Dalam persyaratan qirâ`ât shahih itu tidak disebutkan secara pasti tentang

kemutawatiran suatu riwayat. Padahal, periwayatan qirâ`ât al-Qur`ân itu ada yang ahad dan ada yang mutawâtir. Ahâd adalah jika suatu riwayat disampaikan kepada rawi yang jumlahnya tidak mencapai atau kurang dari sepuluh orang pada setiap tingkatannya (thabaqât), sementara mutawatir memiliki lebih dari sepuluh orang rawi pada setiap tingkatannya sehingga tidak disangsikan lagi tentang kebenaran suatu berita.

Al-Zarqâni, dalam mengomentari hal ini, mengatakan bahwa ketiga syarat yang diajukan oleh para ulama itu hanyalah suatu tolak ukur, bukan definisi. Kemutawâtiran telah dilekatkan dalam definisi al-Qur`ân sendiri yang menjadi bagian

yang tidak dapat terpisahkan. 49 Di samping itu, untuk memudahkan bagi siswa di bidang qirâ`ât dalam membedakan antara qirâ`ât yang diterima dan yang tidak. Jika

disebutkan adanya kemutawâtiran, maka ia akan sulit melakukan pembedaan dengan yang syâdz. Sebab untuk mengadakan pembedaan diperlukan sejumlah râwi (lebih

48 Al-Zarqâni, Manâhil…., Jilid I, h. 432. 49 Al-Qur`ân, menurut mayoritas mazhab empat, termasuk al-Ghazali, al-Maqdisi, al-Thufi dan lain-lain, adalah apa yang diriwayatkan secara mutawâtir yang ada di antara dua sampul mushaf. Lihat al-Zarqâni, Manâhil…., h. 437.

dari 10 orang) yang tidak mungkin melakukan kesepakatan untuk berdusta pada setiap tingkatannya.

Alasan yang terakhir, ketiga syarat di atas hampir memastikan bahwa qirâ`ât tersebut dapat diterima. Alasannya karena qirâ`ât tersebut mutawâtir dan disepakati oleh para sahabat, karena itu, apabila ada qirâ`ât yang shahih, sesuai dengan kaidah kebahasaan, dan sesuai dengan tulisan mushaf, maka semua ini merupakan indikasi

periwayatannya benar, meski diriwayatkan secara ahâd. Sedangkan khabar ahâd dapat menunjukkan ilmu yang pasti jika terdapat indikasi-indikasi yang

mendukungnya. 50 Imam Ahmad Al-Banna menyatakan dalam kitabnya:

Kemutawâtiran sesuatu (berita) itu tidak terbatas pada orang yang membacanya melalui jalan periwayatan. Akan tetapi hal itu memang mutawatir menurut setiap orang muslim yang mengucapkan syahadatain, meskipun hal itu dilakukan oleh orang yang buta huruf, dan tidak hafal al-

Qur`ân walaupun satu huruf. 51 Fenomena qirâ`ât syâdz menjadi polemik yang membutuhkan pemecahan

yang serius. Masalah utama yang sering muncul di benak kita adalah mengapa ada qirâ`ât syâdz ?

Bila kita membaca kembali kaidah tentang qirâ`ât syâdz di atas, maka dapat ditarik suatu ketetapan bahwa semua qirâ`ât yang tidak memenuhi kriteria qirâ`ât shahîh adalah syâdz. Karena sebagaimana yang kita ketahui, qirâ`ât shahih adalah

50 Al-Zarqâni, Manâhil…, Jilid I, h. 436. 51 Al-Banna, Ittihâf…., h. 156.

qirâ`ât yang sesuai dengan kaidah bahasa Arab, sesuai dengan rasm 'Utsmâni, dan shahih sanadnya. Sedangkan menurut al-Suyuthi dalam al-Itqân, qirâ`ât syâdz berbeda dengan qirâ`ât ahâd. Qirâ`ât syâdz ialah qirâ`ât yang tidak shahih sanadnya. Dan dari segi klasifikasinya, ia menempati urutan ke empat setelah mutawâtir,

masyhur, dan ahâd 52 . Sebenarnya istilah qirâ`ât syâdz merupakan penyebutan dari ulama qurrâ`

yang ingin membedakan antara qirâ`ât yang sesuai dengan rasm 'Utsmâni dengan yang tidak, tentunya dengan memakai kualifikasi di atas. Hal ini tidak ditemukan di

zaman Rasulullah Saw., bahkan beliau cenderung untuk membenarkan semua versi bacaan tersebut. Para sahabat tentu tidak pernah mencoba-coba untuk memalsukan al- Qur`ân. Karena itu, perbedaan bacaan mereka murni disebabkan oleh Rasulullah yang memang mengajarkan demikian.

Inisiatif yang dibangun oleh khalifah 'Usmân untuk membuat standarisasi penulisan al-Qur`ân dan membakar semua tulisan yang tidak merujuk kepadanya, seperti mushaf Ubay, Ibn Mas'ûd, dan Salîm, adalah Ijtihad Shahabi untuk

menyatukan kaum Muslimin dari perbedaan penulisan dan pembedaan bacaan. 53 Namun usaha tersebut tidak berarti mengesampingkan qirâ`ât lain yang tidak

terakomodasi dalam rasm tersebut. Qirâ`ât lain inilah yang disebut dengan qirâ`ât Syâdz . Adakalanya qirâ`ât syâdz ini riwayatnya shahih, namun tidak jarang yang

52 Al-Suyuthi, al-Itqân…., Jilid I, h. 236. 53 Penetapan rasm al-Mushaf itu mendapatkan persetujuan dari sahabat lain, seperti 'Ali bin

Abû Thâlib, Abdullah bin Mas'ûd (meskipun sebelumnya tidak setuju), Abdullah bin 'Umar dan lain- lain. Hanya saja, bentuk penulisan tersebut berbeda dengan penulisan Ubay, Ibn Mas'ûd, dan Salim sehingga mushaf-mushaf mereka dibakar, namun mushaf mereka sudah tersebar di beberapa tempat, seperti Ibn Mas'ûd tersebar di Kufah dan Ubay bin Ka'ab tersebar di Suriah. Lihat: Ahmad Amin, Tarikh al-Qur`ân, (Beirut: Muassasah al-A'lali al-Mathbu'at, 1969), h. 67. Lihat juga dalam Abdullah ibn Abû Daud, Kitab al-Mashâhif, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1405/1985), h. 25.

riwayatnya dhâ'if (lemah) atau bahkan maudhu' (palsu). Qirâ`ât syâdz yang tidak shahih ini kedudukannya seperti hadis ahâd dan yang lemah atau palsu dan tidak boleh sama sekali digunakan.

Dengan demikian, qirâ`ât yang sudah dianggap syâdz tidak dapat dipakai lagi untuk membaca al-Qur`ân, tetapi diperbolehkan untuk dipelajari dan dijadikan tafsir selama riwayatnya shahih.