Menampakkan perhiasan kepada para pekerja rumah tangga (Q.s. Al-Nûr/ 24: 31)

4. Menampakkan perhiasan kepada para pekerja rumah tangga (Q.s. Al-Nûr/ 24: 31)

Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka atau putera-

231 Al-Jashshâsh, Ahk â m… , h. 269 231 Al-Jashshâsh, Ahk â m… , h. 269

Perbedaan Qirâ`ât

Ibn 'Amir, Syu'bah yang meriwayatkan dari 'Âshim, dan Abû Ja'far membaca ayat ِﺔﺑﺭِﺈﹾﻟﺍ ﻲِﻟﻭﹸﺃ ﺮﻴﹶﻏ ﲔِﻌِﺑﺎﺘﻟﺍ ِﻭﹶﺃ dengan cara memberi tanda baca fathah pada huruf ra' pada lafaz ﺮـﻴﹶﻏ , sedangkan ulama Qurrâ` lainnya memberi tanda baca kasroh pada

lafaz itu, yakni 232

Implikasi Makna:

Jumhur ulama yang membaca ِﺔﺑﺭِﺈﹾﻟﺍ ﻲِﻟﻭﹸﺃ ِِِﺮﻴﹶﻏ ini menunjukkan bahwa kata ini menjadi sifat dari kata ﲔِﻌِﺑﺎــﺘﻟﺍ . maknanya, seorang perempuan itu boleh menampakkan perhiasannya kepada pelayan laki-laki atau pembantunya yang sudah

tidak memiliki syahwat kepada perempuan. Sementara jika dibaca ِﺔـﺑﺭِﺈﹾﻟﺍ ﻲـِﻟﻭﹸﺃ ﺮﻴﹶﻏ

menunjukkan bahwa kata ini menjadi itstitsna atau hal yang berarti perempuan boleh menampakkan perhiasannya kepada laki-laki manapun yang tidak memiliki syahwat kepada wanita.

Ada dua kata penting dalam ayat ini yang menjadi perselisihan para ulama, yakni; makna al-zînah al-zhâhirah (perhiasan yang nampak pada perempuan) dan ghoir uli al-Irbah (yang tidak mempunyai syahwat). Berikut ini kami paparkan Kedua nya sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Ibn al-'Arabi dalam tafsirnya:

232 Ibn al-Jazari, Taqrīb …, h. 149 232 Ibn al-Jazari, Taqrīb …, h. 149

Menurut Ibn al-'Arabi, setidaknya ada tiga pendapat dalam hal ini:

1) Ibn Mas'ûd : Maksudnya adalah baju yang dikenakannya

2) Ibn 'Abbâs: yang dimaksud adalah celak dan cincin.

3) Wajah dan dua telapak tangan. 'Aisyah ra. menambahkan gelang juga termasuk di dalamnya. 233

Semua pendapat ini dapat dibenarkan karena apa yang diungkapkan di atas adalah segala sesuatu yang dapat dilihat secara jelas dari perempuan yang memakai

jilbab, yaitu meliputi kepalanya hingga kaki yang tertutup selain wajah dan telapak tangan, serta perhiasan yang dipakainya, seperti make up, dan cincin atau gelang.

Sementara cendekiawan Syiria kontemporer Muhammad Shahrur menyatakan bahwa perhiasan yang terdapat dalam tubuh perempuan dibagi menjadi dua, yakni: Pertama, Bagian tubuh yang terbuka secara alami, yaitu apa yang diperlihatkan oleh Allah dalam penciptaan tubuh perempuan seperti: kepala, perut, punggung, dua kaki dan dua tangan. Dia berdalih bahwa Allah menciptakan laki-laki dan perempuan dalam keadaan telanjang bulat.

Kedua, Bagian tubuh yang tidak tampak secara alami, yaitu yang disembunyikan oleh Allah dalam bentuk dan susunan tubuh perempuan. Bagian- bagian ini disebut al-Juyûb atau bagian-bagian yang berlubang. Menurutnya, al- Juyûb adalah bagian terbuka yang memiliki dua tingkatan atau dua tingkatan sekaligus sebuah lubang, yang secara rinci berupa: bagian antara dua payudara,

233 Ibn al-'Arabi, Ahk â m … jilid 3, h. 1356 233 Ibn al-'Arabi, Ahk â m … jilid 3, h. 1356

Pendapat Shahrur ini ditentang oleh Quraish Shihab dengan pernyataannya: "Kalaulah dasar yang digunakan dalam menentukan hiasan yang nyata adalah

yang nampak ketika Allah menciptakan manusia, maka mengapa kemaluan, pantat dan lain-lain dia jadikan bagian hiasan yang tersembunyi? Bukankah bagian-bagian itu juga nampak ketika manusia lahir? Bukankah seperti dikatakannya sendiri bahwa manusia lahir telanjang? Sementara hidung, mulut dan kedua telinga yang memiliki lubang-lubang tidak termasuk dalam

bagian dari hiasan yang tersembunyi. Membedakannya dengan bagian yang lain-lain sama sekali tidak beralasan, walau dengan menyatakan itu bagian

dari wajah yang memperkenalkan identitas seseorang. Kalau logika itu yang digunakannya maka itu berarti wajah perempuan pun harus ditutup, tetapi dia

sama sekali tidak berpendapat demikian". 235 Selanjutnya Quraish Shihab membantah bahwa makna Juyûb adalah lubang

dari dua tingkatan. Kata ini, menurutnya, tidak terdapat dalam Kamus Bahasa Arab manapun. Sayangnya, Shahrur sendiri tidak menyebutkan sumber pengambilan atau

referensi dari pendapatnya tersebut sehingga susah untuk menelusurinya. 236 Sementara pendapat yang tengah-tengah dalam hal ini, sebagaimana

diungkapkan oleh Abû Hanîfah dan muridnya, Abû Yûsuf bahwa zīnah (hiasan tubuh) yang boleh ditampakkan kepada orang yang bukan muhrimnya ialah: wajah,

234 Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsuddin, et. al. (Yogyakarta: el-SAQ, 2004), h. 516 Jika pendapat ini dibenarkan, maka perempuan yang memakai baju yang hanya menutupi bagian dada, ketiak, perut, kemaluan dan pantat saja, seperti baju renang, dibolehkan. Ini berarti melegalkan praktek pornografi. Tentu saja, agama tidak mungkin sembrono melegalkan praktek jahiliyah semacam ini. Disamping itu, hal ini juga melanggar kode etik tradisi dan bangsa yang berperadaban.

235 Quraish Shihab, Jilbab: Pakaian Wanita Muslimah, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), h. 123 236 Setelah kami telusuri di berbagai macam kamus, maka kami tidak menemukan penjelasan

mengenai kata Juyûb yang berasal dari kata َﺐ ْﯿَﺟ atau َبْﻮ َﺟ yang menunjukkan arti lubang dari dua tingkatan.

tangan sampai siku, dan kaki, 237 serta perhiasan yang dipakai oleh anggota tubuh tersebut, seperti: gelang, cincin, celak, dan gelang kaki. 238

b. Ghair ulî al-Irbah

Ulama berbeda pendapat juga menganai kata ini. Al-Jashshâsh, mengutarakan beberapa pendapat dalam tafsirnya, antara lain:

1) Ibn 'Abbâs, Qatadah dan Mujâhid: Orang yang mengikutimu untuk mendapat makanan darimu (pelayan-pelayan), sementara dia tidak ada

keinginan dengan perempuan.

2) Ikrimah: orang yang impoten atau lemah syahwat.

3) Thâwus, Atho', Hasan: orang yang dungu atau idiot.

4) Ummu Salamah ra.: banci. Diriwayatkan oleh Hisyam dari Ummu Salamah bahwa ketika Rasulullah Saw. mengetahui bahwa banci itu tidak mempunyai syahwat kepada perempuan, beliau membolehkan, tetapi ketika beliau tahu bahwa ada di antara mereka yang syahwat, maka beliau

memberi hijab istri-istrinya dari banci itu. 239 Selain di atas, ada pula beberapa pendapat ulama dahulu (salaf) sebagaimana

dikutip oleh Ibn al-'Arabi berikut ini:

1) Mujâhid: anak kecil

2) orang gila karena dia hilang syahwatnya

237 Diriwayatkan bahwa 'Aisyah dan Ummu Salim, pada perang uhud bekerja sedemikian giat untuk memberi minum untuk pasukan kaum mislimin dan ketika itu Anas dan Abû Thalhah melihat gelang kaki yang dikenakan di betis-betis kedua perempuan mulia tersebut. Quraish Shihab, Jilbab…,

h. 134 238 Muhammad Ali al-Sais, Tafsīr Ayat al-Ahk â m, Muqarrar al-Sanah al-Ts â litsah , (Kairo: Mathba'ah Muhammad Ali Shabih, 1953), h. 161 239 Al-Jashshâsh, Ahk â m… , jilid 3, h. 424

3) orang tua renta karena dia lemah syahwatnya

4) Mujâhid: Orang yang tidak mementingkan kehidupannya selain mengisi perutnya

5) 240 Hasan: Pelayan suatu kaum untuk membantu pekerjaannya. Sementara itu, menurut sebagian ulama, ada yang berpendapat bahwa yang

termasuk dalam kategori ini adalah: orang-orang yang memiliki berahi, tetapi karena status sosial mereka yang demikian rendah menjadikan mereka takut mengaitkan

keinginan berahinya itu kepada siapa yang mereka layani, layaknya seorang cebol yang tidak memimpikan bulan. 241

Sementara Shahrur menafsirkan bahwa mereka adalah golongan laki-laki yang hukumnya mengikuti golongan sebelumnya (orang yang menjadi mahramnya). Mereka itu adalah golongan laki-laki yang tidak memiliki kepentingan seksual, tetapi bukan golongan yang abnormal, karena dorongan seksual pada golongan ini tidak berarti telah padam. Beliau mencontohkan orang dalam kategori ini ialah dokter laki-

laki yang dibolehkan melihat aurat perempuan. 242 Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa selain anak kecil

yang pengecualiannya secara jelas disebutkan pada ayat berikutnya, yakni: ِﻞﹾﻔﱢﻄﻟﺍ ِﻭﹶﺃ ِﺀﺎﺴﻨﻟﺍ ِﺕﺍﺭﻮﻋ ﻰﹶﻠﻋ ﺍﻭﺮﻬﹾﻈﻳ ﻢﹶﻟ ﻦﻳِﺬﱠﻟﺍ "anak kecil yang tidak nampak (adanya syahwat)

pada aurat perempuan" maka mereka terbagi pada dua kelompok:

240 Ibn al-'Arabi, Ahk â m …, jilid 3, h. 1362 241 Quraish Shihab, Jilbab..., h. 137 242 Shahrur, Metodologi…, h. 525

Pertama, Yang benar-benar tidak mempunyai potensi syahwat pada perempuan, seperti: orang gila, orang dungu, orang idiot, banci (yang karakternya condong kepada perempuan), orang tua renta yang hilang syahwatnya.

Kedua, Yang masih memiliki potensi syahwat pada perempuan; seperti: orang yang lebih mementingkan perutnya, pelayan, orang yang impoten (yang sangat mungkin dapat disembuhkan), orang yang status sosialnya rendah, dan sebagaimana

pendapat Shahrur, orang yang tidak mempunyai kepentingan seks. Kelompok pertama tidak perlu diperdebatkan karena sudah jelas tidak ada

persoalan. Sementara kelompok kedua ditanggapi oleh Ibn al-'Arabi sebagai berikut:

"Adapun orang yang tidak punya selera tehadap perempuan, meskipun ia masih mempunyai potensi syahwat padanya, maka analogi (dengan mahram) ini menunjukkan bahwa antara dia dengan perempuan memang tidak dalam keadaan darurat. Dalam hal ini, Syareat memberikan rukhshah (keringanan) karena adanya keperluan mendesak dan dengan maksud untuk menghilangkan

kesulitan (dalam pergaulan perempuan). 243

Implikasi terhadap Relasi Gender

Perempuan pada dasarnya memiliki sifat yang menyukai keindahan. Keindahan ini adakalanya bersifat alami dan merupakan kodrat yang diberikan Allah Swt. kepadanya dan adakalanya buatan manusia sendiri untuk memperindah sesuatu. Allah Swt. telah menciptakan pada diri perempuan keindahan alami yang dapat memberikan pesona bagi lawan jenisnya. Karena itu, tubuh perempuan itu disebut

ﺔﻨﻳِّﺰﻟﺍ (perhiasan) di mana jika ditampakkan bagian tertentu yang ada pada dirinya, maka akan menimbulkan hasrat dari lawan jenisnya.

243 Ibn al-'Arabi, Ahk â m…. , jilid 3, h. 1362

Adakalanya perhiasan itu berbentuk benda yang digunakan oleh perempuan untuk lebih mempercantik apa yang telah diberikan Allah pada dirinya. Perhiasan ini biasanya digunakan di bagian muka seperti; make up, celak, dan sebagainya, di bagian tangan seperti cincin dan gelang dan di bagian telingan anting-anting, di bagian leher kalung dan di bagian kaki gelang kaki (meskipun pada masa sekarang perhiasan ini tidak lazim lagi, kecuali di negara atau daerah tertentu, seperti India

misalnya). Pada ayat ini Allah Swt. memperbolehkan perempuan untuk memperlihatkan

perhiasannya kepada orang lain yaitu perhiasan yang biasa nampak, yakni wajah, tangan, dan kaki, serta apa yang dikenakannya. Sementara perhiasannya yang tidak tampak, yakni semua apa yang ada di tubuh perempuan dan apa yang dipakainya

sebagai perhiasan, 244 boleh diperlihatkan kepada suaminya, bapaknya, bapak suaminya, anak-anaknya, anak-anak suaminya, saudara-saudaranya, anak-anak

saudaranya, anak-anak laki-laki saudara perempuannya, perempuan mukmin lainnya, budak-budaknya, tâbi'în ghoir uli al-irbah, dan anak-anak kecil. Al-Jashshâsh menambahkan, semua orang yang termasuk dalam mahram mu'abad (orang-orang

yang diharamkan menikahinya) hukumnya sama dengan mereka. 245

244 Al-Jashshâsh mengatakan: …karena Allah tidak mengkhususkan tempat-tempat perhiasan (baik bagian tubuh maupun apa yang dikenakannnya) dan menyamakan hukum antara suami dan orang-orang yang disebutkan di atas, maka keumuman ayat ini menunjukkan kebolehan untuk melihat tempat perhiasan tersebut kepada orang-orang yang disebutkan sebagaimana apa yang diperbolehkan kepada suami untuk melihatnya. (Al-Jashshâsh, Ahk â m al-Qur â n, jilid 3, h. 462) Sementara menurut al-Râzî, sesuai dengan urutannya: 1) suami; diperbolehkan melihat apa saja yang ada pada istrinya tanpa kecuali, 2) Mahram; boleh melihat rambut, dada, tangan, dan betis ke bawah. 3) perempuan dan budak perempuan, dan pelayan yang tidak mempunyai berahi diperbolehkan melihatnya tanpa kerudung. (Al-Râzî, Maf â tih … , jilid 12, h. 210)

245 Al-Jashshâsh, Ahk â m… , h. 462.

Ulama berbeda pendapat dalam memberi makna ﻦِﻣ ِﺔﺑﺭِﺈﹾﻟﺍ ﻲِﻟﻭﹸﺃ ِﺮﻴﹶﻏ ﲔِﻌِﺑﺎﺘﻟﺍ ِﻭﹶﺃ ِﻝﺎﺟﺮﻟﺍ sebagaimana dipaparkan sebelumnya. Perbedaan ini disebabkan adanya dua

qirâ`ât ﺮﻴﹶﻏ . Jika kata ِﺮﻴﹶﻏ ini dibaca jar (kasroh) yang berarti sifat dari ﲔِﻌِﺑﺎﺘﻟﺍ , maka

menunjukkan bahwa perempuan itu boleh menunjukkan perhiasannya, di antaranya kepada para pengikutnya yang tidak mempunyai berahi atau syahwat pada perempuan. Imam Al-Syaukani, mendukung penafsiran ini, beliau berkata: tidak

perlu menetapkan siapa orang yang disebutkan dalam ayat ini, yang penting sebagaimana yang tertera dalam zahir ayat ini, yakni orang-orang yang mengikuti

tuan rumah dan tidak ada keinginan (berahi) terhadap perempuan. 246

Dalam menafsirkan kata ﲔِﻌِﺑﺎــﺘﻟﺍ ini, para ulama klasik cenderung memahaminya dengan orang-orang yang mendapatkan tanggung jawab material dari

suatu keluarga, 247 adakalanya dia memang tinggal dengan mereka atau karena seringnya dia ke rumah itu, misalnya menjadi pembatu atau sopir pribadinya sehingga

dikatakan sebagi para pengikut. Mereka ini jika masih normal, selera berahinya terhadap perempuan, maka hukumnya tidak berubah seperti mahram-mahram lainnya. Dengan kata lain, dia tetap dianggap sama seperti orang lain. Langkah ini wajar dilakukan karena bagaimana pun mereka masih mempunyai berahi. Tidak jarang, kasus-kasus saat ini menunjukkan karena kurang waspadanya seseorang terhadap pekerja rumah tangganya, maka sering terjadi kasus pemerkosaan majikan kepada pembantunya atau sopir kepada majikan wanitanya.

246 Al-Syaukani, Fath…., jilid 4, h. 24 247 Syihabuddin Muhammad al-Alûsi, R û

h al-Ma' â ni , (bairut: dar Ihya al-Turats al-'Arabi, 1985), jilid 17, h. 144

Sementara penafsiran Shahrur memahami kata ini dengan orang-orang yang hukumnya mengikuti mahram-mahram sebelumnya , yang tidak memiliki dorongan seks kepada perempuan yang dimaksud dikarenakan adanya hubungan kerja yang menuntut dia untuk berbuat secara profesional dan menghindari perbuatan-perbuatan yang negatif. Seperti dokter kandungan yang harus melihat aurat perempuan sesuai keperluan pemeriksaan. Menurut kami, penafsiran ini kurang cocok karena

pernyataan orang-orang yang mengikuti mengindikasikan adanya orang yang diikuti, tidak lain dalam konteks ini adalah seorang perempuan yang menjadi majikannya.

Kalau alasannya profesionalisme, laki-laki manapun yang masih normal pasti akan syahwat dengan tubuh wanita sekalipun itu tuntutan pekerjaannya. Langkah hati-hati adalah hal yang terbaik supaya tidak terjerumus dalam jeratan setan dan hawa nafsu. Tetapi kalau alasannya darurat untuk pengobatan, hal ini bisa dimaklumi karena seorang dokter pasti akan memeriksa bagian-bagian tubuh yang sepatutnya diperiksa.

Penafsiran ayat yang menggunakan nashab pada kata ﺮـﻴﹶﻏ menunjukkan

bahwa kata ini kedudukannya sebagai hal atau itstitsna'. Apabila kedudukannya sebagai hal (menunjukkan pada kondisi), maka artinya (di antara yang dibolehkan melihat perhiasan perempuan adalah) para pengikut atau pelayan yang mana kondisinya "saat itu" tidak mempunyai hasrat terhadap perempuan (majikannya). Dengan qirâ`ah ini, kesan yang diperoleh lebih moderat, yakni di saat pengikut atau pelayan itu tidak ada hasrat terhadap perempuan majikannya, karena adanya tuntutan pekerjaan yang mengharuskan ia bergaul lebih sopan dan ramah dengan perempuan yang bukan mahramnya, maka dia diperkenankan melihat perhiasannya. Karena itu, bahwa kata ini kedudukannya sebagai hal atau itstitsna'. Apabila kedudukannya sebagai hal (menunjukkan pada kondisi), maka artinya (di antara yang dibolehkan melihat perhiasan perempuan adalah) para pengikut atau pelayan yang mana kondisinya "saat itu" tidak mempunyai hasrat terhadap perempuan (majikannya). Dengan qirâ`ah ini, kesan yang diperoleh lebih moderat, yakni di saat pengikut atau pelayan itu tidak ada hasrat terhadap perempuan majikannya, karena adanya tuntutan pekerjaan yang mengharuskan ia bergaul lebih sopan dan ramah dengan perempuan yang bukan mahramnya, maka dia diperkenankan melihat perhiasannya. Karena itu,

Selanjutnya, jika kata ﺮﻴﹶﻏ ini kedudukannya sebagai itstistsna'. Dalam hal ini ada dua kemungkinan: Pertama, istitsna` muttashil (Pengecualian yang bersambung dengan kata sebelumnya). Dengan kedudukannya ini memberi penafsiran bahwa perempuan tidak

boleh memperlihatkan perhiasannya kecuali (di antaranya) kepada para pengikut atau pelayannya selain yang mempunyai hasrat berahi terhadap perempuan. Dengan

demikian, perempuan itu hanya diperbolehkan memperlihatkan perhiasannya kepada yang tidak memiliki hasrat berahi saja.

Kedua, istitsna` munqathi' (pengecualian yang terpisah). Pengecualian ini terjadi ketika pembaca memahami kata ini berdiri sendiri (bukan bagian dari orang yang di atas), namun bisa juga mengecualikan orang-orang yang dinyatakan dalam pembahasan sebelumnya. Penafsiran yang dapat diperoleh dari itstitsna' munqathi ini menunjukkan bahwa perempuan itu boleh memperlihatkan perhiasannya kepada semua laki-laki yang memang tidak memiliki hasrat berahi terhadap perempuan yang sifatnya telah disebutkan di atas.

Dengan penafsiran ini, maka penggunaaan nashab dalam kata ِﺔﺑﺭِﺈﹾﻟﺍ ﻲِﻟﻭﹸﺃ ﺮﻴﹶﻏ lebih memberikan alternatif terbaik dalam konteks masa kini.