Kedudukan Qirâ`ât Syadzât dibanding Hadis Ahâd

1. Kedudukan Qirâ`ât Syadzât dibanding Hadis Ahâd

Qirâ`ât syâdz, sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, merupakan qirâ`ât yang keluar dari jalur qirâ`ât yang shahih dan mutawâtir. Adakalanya shahih

sanad nya, tetapi berbeda dengan rasm 'Utsmâni, contoh: ﻰـﹶﺜﻧﹸﻻﹾﺍﻭ ﺮﹶﻛﱠﺬﻟﺍ ﻖﹶﻠﺧ ﺎﻣﻭ

69 Lihat pernyataanya pada halaman 3 di tesis ini.

(Q.s. al-Lail/ 92: 3). Ibn Mas'ûd membacanya tanpa ﻖﹶﻠﺧ ﺎﻣ sehingga berbunyi ﺮﹶﻛﱠﺬﻟﺍﻭ ﻰﹶﺜﻧﹸﻻﹾﺍﻭ .

Adakalanya sesuai dengan rasm 'Utsmâni, tetapi sanadnya dhâ'if, seperti: qirâ`ât Ibn al-Sumaifi' dan Abû al-Sumail:

Maka pada hari ini Kami selamatkan bdanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu …

Kata ﻚـﻴﺠﻨﻧ (Kami menyelamatkan) Dibaca dengan ﻚـﻴﺤﻨﻧ (Kami Menghidupkan) tanpa titik dan ﻚﹶﻔﹾﻠﺧ (di belakangmu/ sesudahmu) dibaca ﻚـﹶﻔﹶﻠﺧ (sesudahmu). Atau qirâ`ât yang secara keliru dinisbahkan kepada Abû Hanifah dan

diriwayatkan oleh Abû al-Qasim al-Hudzaili, yakni: ﺍﺆﻤﹶﻠﻌﹾﻟﺍ ِﻩِﺩﺎﺒِﻋ ﻦِﻣَ ﷲﺍ ﻰﺸﺨﻳ ﺎﻤﻧِﺍ

ﷲﺍ dibaca dhammah dan ﺍﺆﻤﹶﻠﻌﻟﺍ dibaca fathah.

. Mereka membaca lafaz 70

Adakalanya karena qirâ`ât itu tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab, seperti

Hasan al-Bashri yang membaca lafaz ﻦﻴِﻤﹶﻟﺎﻌﹾﻟﺍ ِّﺏﺭ ِﻪﹼﻠِﻟ ﺪﻤﺤﹾﻟﹶﺍ dengan cara membaca

kasroh 71 huruf dalnya, menjadi

Qirâ`ât syâdz yang dapat berpotensi sebagai penafsiran ialah qirâ`ât shahih yang sanadnya sambung sampai Rasulullah Saw. Ciri-ciri qirâ`ât ini biasanya disandarkan kepada nama salah seorang sahabat yang meriwayatkannya. Qirâ`ât seperti ini mengandung dua kemungkinan: memang dibacakan langsung oleh Rasulullah Saw demikian, dan merupakan salah satu dari tujuh huruf yang tidak terakomodir dalam mushaf rasm 'Utsmânî karena diriwayatkan secara ahâd atau qirâ`ât itu merupakan penafsiran dari Rasulullah atau sahabat itu sendiri, lalu para

70 Al-Zarqani, Manâhil..., Jilid I, h. 434-435. 71 Al-Banna, Ittihâf…, h. 363.

periwayat setelahnya menganggap bahwa hal itu merupakan bagian dari al-Qur`ân. Jika memang demikian kemungkinannya, maka tidak ada salahnya bila keduanya dijadikan landasan penafsiran al-Qur`ân.

Khâlid Ibn 'Usmân al-Sabt mengemukakan dua kaidah yang berkenaan dengan qirâ`ât syâdz ini: Kaidah pertama:

Qirâ`ât syâdzah itu dapat diamalkan, bila sanadnya shahih, kedudukanya seperti kedudukan hadis ahâd. 72 Contoh dalam Q.s. al-Maidah/ 5: 38

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang merekakerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Dalam ayat ini qirâ`ât ahâd dari Ibn Mas'ûd membacanya:

(maka potonglah tangan kanan mereka) ﺎﻤﻬﻧﺎﻤﻳﹶﺍ ﺍﻮﻌﹶﻄﹾﻗﺎﹶﻓ

Contoh lain dalam surat al-Maidah/ 5: 89 yang menjelaskan tentang kafarah (denda) sumpah:

Maka barangsiapa yang tidak melakukan demikian (memerdekakan budak), maka kafaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu melanggar)…

Dalam qirâ`ât Ibn Mas'ûd, setelah kata ٍﻡﺎـﻳﹶﺃ ِﺔـﹶﺛﹶﻼﹶﺛ ﻡﺎﻴِﺼﹶﻓ ditambah dengan ﺕﺎﻌِﺑﺎﺘﺘﻣ . Atas dasar inilah, sebagian ulama berpendapat bahwa dendanya seseorang

yang menyalahi sumpahnya itu puasa tiga hari berturut-turut. 73

72 Khâlid ibn Utsmân al-Sabt, Qawâ'id at-Tafs ī r Jam'an wa Dirasah, (Kairo: Dar Ibn Affân, 1421 H), Jilid I, h. 15. 73 Al-Sabt, Qawâ'id…, Jilid I, h. 93.

Qirâ`ât syâdz ini kapasitasnya seperti Hadis ahâd. Adapun Hadis ahâd yaitu:

Hadis yang diriwayatkan oleh seorang atau dua orang sehingga sampai kepada Nabi Muhammad Saw. atau hadis yang jumlah perawinya dibawah mutawâtir (ada yang mengatakan dibawah sepuluh orang) .

Khabar ahâd ini, menurut jumhur ulama, merupakan hujjah dan seseorang wajib mengamalkannya sekalipun berfaidah zhan (persangkaan yang mendekati

pasti). Bahkan menurut Imam Mâlik, khabar ahâd itu qathi (pasti) wajib diketahui dan diamalkan. 74

Kaidah kedua:

Qirâ`ât syâdz jika bertentangan dengan qirâ`ât mutawâtir yang disepakati oleh ulama Qurrâ` dan tidak mungkin dikompromikan maka qirâ`ât itu batil

(tertolak). 75 Qirâ`ât syâdz sekalipun dapat diterima sebagai hujjah, tetapi kedudukannya

tetap di bawah qirâ`ât mutawâtir, yang berjumlah sepuluh qirâ`ât. Jika antara qirâ`ât syâdz dan mutawâtir bertentangan, tentu yang diunggulkan qirâ`ât yang mutawâtir. Pada kondsi ini, qirâ`ât syâdz adakalanya di-nasakh (terhapus bacaannya maupun

hukumnya) oleh qirâ`ât mutawâtir atau sudah tidak berlaku lagi. Dan sudah menjadi kesepakatan ulama qurrâ` bahwa kesahihan al-Qur`ân tidak terbatas pada kesinambungan sanad dan adilnya perawi saja, melainkan harus dibarengi dengan

74 Mushthafa al-Siba'i, al-Sunnah wa Makânatuhâ fi Tasyri' al-Islamy, (Beirut: al-Maktab al- Islamy, 1398 H/1978 M), h. 167. 75 Al-Sabt, Qawâ'id…., h. 93.

ketiadaan syâdz dan illat, baik dalam sanad maupun matannya. Dengan demikian, jika terjadi pertentangan antara qirâ`ât mutawâtir dan syâdz, berarti telah tampak illat (cacat) qirâ`ât syâdz tersebut. Contoh semacam ini dapat ditemukan pada Q.s. al- Baqarah/ 2: 158.

Sesungguhnya Shafâ dan Marwah adalah sebagian dari Syi`ar Allah). Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber'umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya…

Diriwayatkan bahwa Ibn 'Abbâs membaca:

maka tidak ada dosa bagi yang tidak mengerjakan sa'i antara keduanya…

Implikasinya dapat dipastikan bahwa kalimat positif dan negatif tidak dapat dikompromikan karena keduanya bertentangan sama sekali.

Demikianlah dua kaidah yang berkenaan dengan qirâ`ât syâdz yang menjadi dasar acuan dalam menafsirkan ayat-ayat yang akan dikaji.