Kriteria istri yang shalehah (Q.s. Al-Nisâ` /4 : 34)
3. Kriteria istri yang shalehah (Q.s. Al-Nisâ` /4 : 34)
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta`at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyûznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta`atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Perbedaan Qirâ`ât:
Sembilan ulama qirâ`ât tidak berbeda dalam bacaan yang terdapat dalam ayat
ini. Hanya Abû Ja'far saja, yang membaca lafaz ﻪـﱠﻠﻟﺍ ﹶﻆـِﻔﺣ (menurut jumhur) dan
ﻪﱠﻠﻟﺍ ﹶﻆِﻔﺣ (oleh Abû Ja'far).
dibaca 222
Implikasi Makna
Lafaz ﷲﺍ (lafaz jalâlah) jika dibaca ُﷲﺍ (dlommah), maka lafaz jalâlah ini
menjadi fâ’il atau pelaku. Jika demikian, maka maksudnya adalah Allah akan menjaga, memelihara dan menolong perempuan-perempuan yang shalehah dari hal-
hal yang tidak disenangi dan tidak diridloi Allah atau memberi hidayah kepada mereka supaya mampu melaksanakan amanah suaminya sesuai dengan ketentuan Allah Swt. Sementara jika dibaca fathah lafaz Jalâlahnya, berarti ia menjadi maf'ul. Maknanya ialah perempuan-perempuan yang shalihah dan terhormat adalah orang-
orang yang senantiasa menjaga perintah-perintah Allah Swt. 223
Implikasi terhadap Relasi Gender
Ayat ini turun berkenaan dengan kasus rumah tangga yang terjadi di zaman Rasulullah Saw. Sebagai agama yang mendidik manusia di jalan kebenaran, Islam mengatur kehidupan keluarga yang merupakan organisasi terkecil dalam kehidupan. Seorang suami diberi potensi oleh Allah untuk mengatur roda kehidupan rumah tangganya dengan kelebihan-kelebihan yang dimilikinya dibandingkan dengan perempuan.
222 Ibn al-Jazari, Taqrī…, h. 105 dan Muhammad Habsy, Al-Sy â mil fi al-Qirâ`ât al- Mutaw â tirah, (Bairut: Dâr al-Kalim al-Thoyyib, 2001), h. 185
223 Shadiq Hasan Khan, Fath al-Bayân fî Maqâshid al-Qur`ân, (Bairut: Dâr al-Fikr al-‘Arabi, tth), jilid 2, h. 268
Allah Swt. tidak menentukan keutamaan masing-masing (suami-istri) karena keduanya memiliki keistimewaan yang tidak ada pada lainnya. Hanya saja Allah mengkhususkan laki-laki sebagi penopang kehidupan keluarganya karena dia mampu, secara fisik, untuk mencari nafkah.
Dalam ayat ini kata nafkah digunakan dalam bentuk past tense atau masa lampau ( ﺍﻮﹸﻘﹶﻔﻧﹶﺃ ﺎﻤِﺑﻭ ) disebabkan apa yang telah mereka nafkahkan. Ini menunjukkan
bahwa memberi nafkah kepada perempuan telah menjadi kelaziman bagi laki-laki, serta kenyataan umum dalam masyarakat manusia sejak dulu hingga kini. Sedemikian
lumrahnya hal itu, sehingga secara langsung digambarkan dengan bentuk kata kerja masa lalu yang menunjukkan terjadinya dari sejak dahulu. Penyebutan konsidern oleh
ayat ini menunjukkan kebiasaan lama itu masih berlaku hingga kini. 224 Karena pencarian nafkah ini terkadang harus meninggalkan keluarga sehingga
pendidikan anak-anak lebih banyak tertumpu pada istri, maka istri yang terbaik ialah perempuan shalehah, yang baik budi pekertinya sehingga perangainya ini dapat dijadikan contoh bagi anak-anaknya, sifat utama perempuan shalihah antara lain: Qânitât yaitu yang taat kepada Allah Swt. dan kepada suaminya (selama suaminya tidak menyuruh untuk berbuat maksiat). Qânitât bukanlah konsep ketaatan secara total kepada suami, meskipun hal itu telah menjadi kebaikan utama bagi seorang muslimah. Beberapa ayat dalam al-Qur`ân yang terambil dari kata qanata seperti dalam Q.s. al-Ahzâb/33: 31 dan 35, serta al-Tahrîm/66: 5 menunjukkan bahwa ketaatan secara total hanya ditujukan kepada Allah semata, bukan kepada suami
224 Quraish Shihab, al-Misb â h , jilid 2, h. 428 224 Quraish Shihab, al-Misb â h , jilid 2, h. 428
dalam mengatur keluarganya (anak-anaknya), dan dapat menjaga kehormatannya. 226 Perempuan yang memiliki akhlak yang mulia ini akan dimuliakan Allah
dengan penjagaan-Nya dari segala tindakan maksiat, baik yang ditimbulkan dari nafsunya sendiri maupun dari gangguan orang-orang yang ingin mencelakainya. Di
samping itu, Allah akan menumpahkan kasih sayang dan pertolongan-Nya. Inilah maksud dari qirâ`ah 227
ﻪﱠﻠﻟﺍ ﹶﻆِﻔﺣ ﺎﻤِﺑ . Quraish Shihab menafsirkan kalimat ini dengan
ungkapan: Pemeliharaan Allah terhadap para istri antara lain dalam bentuk memelihara
cinta suaminya. Ketika suami tidak ada di rumah, maka cinta yang lahir dari kepercayaan suami terhadap istrinya akan tetap bersemi. 228
Perempuan shalihah merupakan predikat yang diberikan oleh Allah kepada seorang istri yang sifat-sifatnya digambarkan oleh Rasulullah Saw. sebagaimana dalam hadisnya:
Maukah kamu akau beritahu harta yang berharga bagi seseorang? Itu ialah perempuan yang shalehah yakni (perempuan yang) apabila seorang (suami) itu memandangnya, maka dia membahagiakannya, apabila dia diperintah, dia mentaatinya dan apabila suaminya tidak ada (bersamanya) dia dapat memelihara diri dan harta bendanya.
Engineer, Kebebasan…, h. 266. Yang disebut ulama konservatif ialah mereka yang berpendapat bahwa qanitât semata-mata taat kepada suaminya, sebagaimana pernyataan Sufyan ats- Tsauri dalam al-Thabari, Jami ’ al-Bayân , jilid 4, h. 59
226 al-Jashshâsh, Ahk â m…, jilid 2, h. 227 Al-Jashshâsh, Ahk â m… , jilid 2, h. 268 228 Quraish Shihab, al-Mishb â h…. , jilid 2, h. 423 229 Abû Daud Sulaiman al-Sijistânî, Sunan Abî Daud, (Bairut: Mu'assasah al-Kutub al-
Tsâqâfiyyah, 1988), jilid 1, h. 522.
Adapun qirâ`ah kedua ﻪﱠﻠﻟﺍ ﹶﻆِﻔﺣ ﺎﻤِﺑ melibatkan peran perempuan secara aktif
untuk memelihara dan mengamalkan perintah-perintah Allah, tidak lain adalah menjalankan perintah-perintah agama dan menjauhi segala larangannya, sesuai dengan sifat-sifatnya di atas.
Rasa kepercayaan suami kepada istri yang shalehah ini tidak disalahgunakan untuk hal-hal yang dapat menurunkan cinta suaminya dan citranya sebagai
perempuan terhormat. Apabila suaminya mengizinkannya untuk keluar rumah atau bekerja, dia tetap konsisten melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi
larangan-Nya. Demikian pula, tetap berusaha tidak melupakan peran utamanya sebagai istri sekaligus ibu rumah tangga yang baik.
Hak dan kewajiban yang harus dipikul suami-istri akan terasa ringan, jika dilakukan dengan penuh rasa cinta kasih. Namun, rumah tangga tidak selamanya mampu mempertahankan bahteranya dengan mulus tanpa adanya penghalang. Karena itu, di akhir ayat ini, Allah menerangkan secara terperinci tentang cara bagi suami yang istrinya nusyûz. Arti nusyûz, menurut Ibn 'Abbâs, ialah keinginan untuk
mendurhakai suaminya pada perbuatan yang seharusnya ditaatinya. 230 Metode penanganan bagi perempuan yang nusyûz ini, secara berurutan
dijelaskan Allah, di antaranya: Pertama, Menasehatinya, atau musyawarah untuk memperbaiki hubungan keluarga. Kalau tidak ada perbaikan, maka dengan cara
Kedua, Pisah ranjang, pisah tempat tidur tetapi masih dalam satu rumah.
230 Al-Jashshâsh, Ahk â m… jilid 2, h. 268
Ketiga, Kalau tidak ada perbaikan juga, maka cara terakhir adalah dengan pemukulan yang tidak menyakitkan dan tidak membekas serta menghindari
pemukulan di wajah. 231 Pemukulan ini bukan tindakan kekerasan yang dibenarkan agama, melainkan peringatan saja agar istri kembali melakukan kewajibannya agar
pernikahan utuh kembali. Ayat ini diakhiri dengan peringatan kepada para suami agar mereka tidak
mencari-cari kesalahan istri sehingga dia dapat membenarkan dirinya bertindak kekerasan padanya, jika memang istrinya sudah taat kembali dan bertaubat dari
kesalahan-kesalahannya.