Kesetaraan dalam Mengesakan Allah

B. Kesetaraan dalam Mengesakan Allah

Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah Swt. yang mulia memiliki keterikatan rohani yang sangat kuat dengan-Nya. Karena itu, ketika seorang manusia dilahirkan tanpa pengajaran dari orang tuanya sekalipun, dia tetap memiliki kepercayaan adanya Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah Swt. yang mulia memiliki keterikatan rohani yang sangat kuat dengan-Nya. Karena itu, ketika seorang manusia dilahirkan tanpa pengajaran dari orang tuanya sekalipun, dia tetap memiliki kepercayaan adanya

(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah". Maka apabila telah kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh (ciptaan)Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya".

Imam al-Râzî (w. 604) mengatakan dalam tafsirnya bahwa dengan disandarkannya kata ruh kepada Allah menunjukkkan bahwa ruh itu esensi yang

mulia, luhur, dan suci. 131 Dengan potensi ini, manusia diharapkan menjadi makhluk yang mau mengenal dan mengabdi kepada Penciptanya. Disamping itu, ini juga

menunjukkan penghormatan Allah terhadap manusia dibandingkan dengan makhluk- makhluk lainnya.

Ayat ini, menurut Muhammad Quthb, memberikan pengertian bahwa manusia memiliki dua kecenderungan dalam kehidupannya, yaitu:

1. Kecenderungan jasmani, yang timbul dari penciptaannya yang terbuat dari tanah, maka perilakunya yang banyak menyerupai hewan: makan, minum, dan menyalurkan kebutuhan biologisnya.

2. Kecenderungan rohani, dari penciptaan ruh yang berasal dari Allah, menyebabkan dia ingin megetahui Tuhannya dan mengabdi kepada-Nya.

Fakhr al-Dîn al-Râzî, Tafs ī r al-Kab ī r Mafât ī h al-Ghaib , (Beirut: Dâr al-Hayâ al-Turâts al- ''Arabī, 1990), Jilid XIII, h. 229.

Selanjutnya, Muhammad Quthb berkata: "Inilah keistimewaan manusia, jasmaninya berjalan di atas bumi, tetapi rohaninya dapat menembus langit." 132

Potensi rohani manusia hanya dapat terwujud hingga mencapai puncak kemuliaannya, jika ia mampu bertauhid kepada Allah dengan baik dan benar karena tauhid itu mengandung kemerdekaan manusia di dunianya dari segala macam ketundukan pada sesuatu yang tidak memberikan manfaat dan mudharat, apalagi

menjadikan manusia lainnya sebagai sandaran hidup, penguasa, atau Tuhan selain Allah. Dalam surat Âli Imrân/ 3: 64, Allah berfirman:

Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu apapun dan tidak pula sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)''

Inilah dakwah Al-Qur`ân yang mengajak kepada seluruh manusia, baik laki- laki maupun perempuan, yang sudah beragama (tetapi masih menyimpang) maupun yang belum beragama, untuk mengikrarkan kembali kalimat yang sama, yakni tauhid kepada Allah swt.

Dalam hal ini, Al-Sya'rawi mengomentari akhir ayat ini, yang artinya: "Jika mareka berpaling maka katakanlah (kepada mereka), "Saksikanlah bahwa kami

adalah muslim", dengan pernyataanya:

132 Muhammad Quthb, Manhaj al fann al-Islâm ī , (Kairo: Mathba'ah Dâr al-Qalam, tth), h. 54.

Orang yang tidak mau menerima keharusan beribadah kepada Allah ialah orang yang masih mempercayai adanya Tuhan selain-Nya. Ini artinya hati orang tersebut tidak siap menerima tujuan keimanan karena tujuan iman itu supaya manusia dapat membedakan antara penguasa yang mutlak dengan yang tidak dan antara zat sumber penggerak aktivitas di bumi ini dengan yang bukan. Padahal segala aktifitas di alam raya ini tunduk kepada aturan

(manhaj) Allah. 133 Karena itu, manusia yang arif dan bijaksana ialah mereka yang mampu

berserah diri dan tunduk kepada kekuasaan Allah semata. Tanggung jawab berakidah dan tauhid merupakan kewajiban untuk semua orang, bahkan untuk seluruh makhluk ciptaan-Nya. 134 Manusia baik laki-laki maupun

perempuan telah dianugerahi potensi akal dan jiwa untuk berfikir akan kekuasaan Allah Swt. mereka pun berhak untuk mendapatkan kemuliaan dan anugerah yang tidak dimiliki oleh makhluk selain manusia, sebagaimana firman Allah Swt. dalam Q.s. Al-Isrâ`/ 17: 70

Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan anak cucu Adam dan Kami angkat mereka di darat dan di laut dan Kami berikan kepada mereka rizki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.

Manusia dengan kemuliaan yang dianugerahkan Allah Swt. ini akan mencapai puncaknya, jika mereka beriman dan beramal shalih, dan jika sebaliknya, mereka akan menjadi makhluk yang amat nista dan hina, jika tidak beriman dan beramal shalih, sebagaimana firman Allah Swt. dalam Q.s. Al-Tîn/ 95: 5-6

Muhammad Mutawalli al-Sya'rawi, Tafsîr al-Sya'rawī, (Kairo: Akhbar al-Yaum, 1991), Jilid III, h. 1523.

Hal ini dapat ditunjukkan dengan ayat yang menyatakan bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta ini bertasbih dan tunduk kepada-Nya (Q.s. Al-Isrâ`/ 17: 44)

Kemudian Kami kembalikan manusia ke tempat yang paling rendah, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih; maka bagi mereka pahala yang tiada putusnya.

Keimanan yang yang amat kuat dalam diri mereka akan mewujudkan potensi amal shalih dan akhlak yang mulia namun sebaliknya, amal shalih yang tidak dilandasi dengan keimanan dia tetap akan menjadi hina, meskipun dia di dunia

dianggap sebagai pahlawan atau berjasa kepada perkembangan ilmu pengetahuan. Sifat manusia seperti ini tidak ada nilainya di hadapan Allah Swt. sebagaimana diungkapkan dalam firman-Nya (Q.s. Al-Kahfi/ 18: 103- 105)

Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?", Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur terhadap) perjumpaan dengan Dia. Maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat.

Mengapa keimanan menjadi faktor utama diterimanya suatu perbuatan di sisi Allah Swt.? Syaikh 'Abd al-Razak Afifi dalam bukunya Mudzâkirah al-Tauhīd menjelaskan bahwa tauhid itu ada tiga:

1. Tauhīd al-rubûbiyyah

2. Tauhīd al-asmâ wa al-shifât

3. Tauhīd al-'ibadah atau tauhîd ilahiyyah

Tauhîd al-Rubûbiyyah ialah mengesakan Allah dengan menyatakan bahwa Allah berkuasa penuh atas segala perbuatan-Nya, berikrar bahwa Dialah yang menciptakan dan memiliki segala sesuatu, dan Dialah yang menetapkan, mengatur, dan memelihara segala sesuatu. Dalam ulasannya, Afifi mengatakan bahwa tauhid ini merupakan upaya seseorang agar mempercayai bahwa Allah itu sumber segala kehidupan makhluk, Pemberi rizkinya, Pengutus para rasul, Penegak keadilan,

Pemeliharaan makhluk sampai kematiannya. 135 Allah memperingatkan dalam Al-Qur`ân secara logika, seandainya ada dua

Pencipta dan Pemelihara alam semesta ini, maka keduanya akan saling berlomba untuk menjadi yang paling unggul dan saling mengalahkan kepada yang lainnya. Allah berfirman dalam Q.s. al-Mu`minûn/ 23: 91-92

Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) beserta-Nya, kalau ada Tuhan beserta-Nya, maka masing-masing tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan- tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu. Yang mengetahui semua yang ghaib dan semua yang nampak, maka Maha Tinggilah Dia dari apa yang mereka persekutukan.

Tauhīd al-asmâ wa al-shifât adalah menyebutkan nama Allah dan sifatnya sesuai dengan nama dan sifat yang disebutkan Allah sendiri dalam Al-Qur`ân atau disebutkan melalui Rasulullah Saw. tanpa tahrîf (perubahan), ta`wîl (penafsiran yang jauh dari makna asalnya), dan tamtsîl (penyerupaan dengan makhluk-makhluk lain-

Syaikh 'Abd al-Razak Afifi, Mudzâkirah al-Tauh ī d, (Riyadh: Dâr al-Wathanu li al-Nasyr, 1413 H), h. 29.

dan sifat-sifat-Nya. 136

Tanda-tanda kebesaran Allah ini akan terlihat sangat jelas ketika seseorang mampu memikirkan ciptaan-Nya, terutama pada sesuatu ayng terdekat dengannya,

yaitu bumi dan dirinya sendiri, Allah berfirman dalam surat Al-Dzâriyat/ 51: 20-21

Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang yakin. Dan juga pada dirimu sendiri. Maka apakah tiada kamu memperhatikan?

Yang terakhir ialah tauhid ilâhiyyah yakni mengesakan Allah dalam beribadah, baik dalam ucapan, niat, maupun perbuatan yang tujuannya karena Allah semata. Dijelaskan, bahwa cara untuk memantapkan tauhid ilahīyyah ini lebih dahulu harus yakin dengan tauhid rububiyyah-Nya, karena hati manusia sangat berhubungan

dengan sumber penciptanya. 137 Jika hati sudah yakin bahwa segala sesuatu di dunia ini yang mengatur, memelihara, dan menguasai adalah Allah, maka ia akan mudah

digerakkan untuk melakukan sesuatu karena Allah. Allah Swt. menyindir orang-orang yang enggan beriman kepada-Nya dan melakukan sesuatu tidak karena-Nya dalam Q.s. Yunûs/ 10: 31

Afifi, Mudzâkirah…, h. 32.

Afifi, Mudzâkirah…, h. 40.

Katakanlah: "Siapakah yang memberi rizki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?" Maka mereka akan menjawab: "Allah". Maka katakanlah: "Mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?"

Dengan demikian, wajar jika faktor keimanan seseorang kepada Allah Swt. menjadi tolak ukur diterimanya suatu amal perbuatan. Al-Hairi al-Ihqâfi mengatakan dalam bukunya Risâlah al-Insâniyyah bahwa keimanan kepada Allah Swt. menjadikan seseorang akan merasa dilihat, diawasi dan dipantau oleh Allah Swt. "Seseorang yang ingin melakukan suatu dosa di suatu tempat yang jauh dari pandangan manusia, apabila dia merasa yakin bahwa di sana ada yang melihat, memikirkan, menyaksikan, dan mengawasi gerak-gerik perbuatannya, tentu dia akan mengurungkan niatnya untuk melakukan perbuatan dosa tadi." Karena itu, orang yang melakukan perbuatan yang menimbulkan dosa, baik dosa besar maupun kecil, hanyalah orang-orang yang tidak yakin terhadap adanya Zat yang senantiasa melihat dan mendengar, yakni Allah Swt. kalau dia menyakini

adanya Allah Swt. tentu mereka tidak akan melakukan perbuatan keji semacam itu. 138 Allah berfirman menanggapi orang-orang yang berlaku semacam ini dalam Q.s. Al-

Nisâ`/ 4: 108

138 Mirza Hasan al-Hairi al-Ihqâfi, Risâlah al-Insâniyyah: Manhaj li Shiyâghah al-Insan Wafqa Risâlah al-Sawâ, (Beirut: Muassasah al-Balagh, 1998), h. 332.

Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak dapat bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai, dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan.

Seseorang yang beriman tetapi suatu ketika melakukan kemaksiatan, pada

hakekatnya, Allah telah mencabut keimanannya ketika dia melakukakan perbuatan maksiat tersebut sehingga ketika itu dia tidak merasa terawasi oleh-Nya atau memang dia sengaja melepaskan keimanannya kepada Allah dan dia menganggap Allah tidak tahu perbuatan maksiatnya itu. Rasulullah Saw. memperingatkan hal ini dengan sabdanya:

Orang yang berzina tidak (mungkin) akan melakukan perzinaan jika ketika berzina dalam keadaan mukmin (beriman), orang yang mencuri tidak (mungkin akan) melakukan pencuriaan jika ketika mencuri dalam keadaan mukmin, orang yang minum khamr tidak (mungkin akan) minum, jika ketika minum dalam keadaan mukmin. Dalam suatu riwayat disebutkan, dan seorang di antara kamu tidak (mungkin akan) berkhianat, jika ketika akan berkhianat dalam keadaan mukmin, maka jagalah dirimu, jagalah dirimu (jagalah keimananmu).

Imam Nawawi mengomentari Hadis ini dengan pernyataannya:

139 Imam Muslim, Shahih Muslim Bi Syarh al-Nawawi, Kitab al-Imam, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tth), Jilid II, h. 41.

"Hadis ini termasuk yang diperselisihkan maknanya oleh para ulama. Pendapat ini yang benar yang diikuti oleh para muhaqqiq ialah bahwa seseorang tidak akan melakukan kemaksiatan-kemaksiatan ini jika dia dalam

keadaan sempurna keimanannya." 140 Manusia, apa pun jenisnya, dituntut untuk mencapai kesempurnaan imannya.

Keimanan dan keyakinan dalam diri manusia merupakan suatu sifat yang amat kuat untuk mendorong berlaku adil, berakhlak mulia dan membangun kesuksesan hidup. Inilah mengapa Allah Swt. menjanjikan orang yang beriman dan beramal shalih

dengan kehidupan yang indah dan menyenangkan, sebagaimana firman-Nya dalam Q.s. al-Nahl/ 16: 97

Barangsiapa yang melakukan amal kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.

Muhammad al-Ghazali, seorang ulama kontemporer mengatakan: Prinsip kesetaraan yang dianut oleh kaum muslimin, yang hilang dan pemahaman pemikiran kaum muslimin, adalah aturan tentang kualitas manusia yang bersumber dari tauhid yang benar serta ibadah-ibadah dan ajaran-ajaran yang terealisasi berdasarkan konsep

tauhid. 141 Dengan demikian, tidak ada kesenjangan antar laki-laki dan perempuan di

hadapan Allah. Keduanya memiliki kewajiban yang setara dalam mentauhidkan Allah Swt. hanya kualitas takwa saja yang menjadi tolak ukur utama yang sangat

Muslim, Shah ī h… , h. 42. 141 Muhammad al-Ghazali, Huqûq al-Insan bain Ta' ī im al-Islami wa I'lân al-Umam al-

Muttahidah, (Mesir: Maktabah at-Tijariyah, 1963), h. 28.

mempengaruhi kemuliaan di sisi Allah Swt, sebagaimana firman-Nya dalam Q.s. Al- Hujurât/ 49: 13

Wahai manusia sesungguhnya Kami ciptakan dari seorang laki-laki dan perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku- suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara

kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti.