Dua ayat ini juga tidak ada perbedaan qirâ`ât, semuanya menggunakan kata ﻢﹶﻟ ﻲِﻨﺴﺴﻤﻳ 297
47. Dua ayat ini juga tidak ada perbedaan qirâ`ât, semuanya menggunakan kata ﻢﹶﻟ ﻲِﻨﺴﺴﻤﻳ 297
. Ayat-ayat ini menarik untuk dikaji. Pasalnya, tiga ayat pertama berkenaan dengan perempuan yang sudah menikah yang sangat memungkinkan terjadinya persetubuhan. Tetapi dalam konteks ayat ini, justru dalam pernikahan tidak terjadi persetubuhan, baik atas inisiatif salah satunya, dalam hal ini yang paling dominan laki-laki, atau pun atas inisiatif keduanya. Karena itu, ayat ini cara bacanya boleh dalam mengguganakan dua bentuk qirâ`ât ﻦﻫﻮﺴﻤﺗ dan ﻦﻫﻮﺳﺎﻤﺗ .
297 Fuad Abd al-Baqi, al-Mu'jam al-Mufahras li alf â zh al-Qur ' ân al-Kar ī m, (Kairo: Dar al- Hadis,1996), h. 863- 864
Lain halnya, dengan ayat kedua yang terdapat dalam surat al-Mujâdilah/ 58. Dua ayat ini berkenaan dengan hukum zhihar, yakni seorang suami yang secara arogan menganggap istrinya sebagaimana ibunya yang haram digauli. Penggunaan
kata ﺎـﺳﺎﻤﺘﻳ di sini menunjukkan keduanya pernah melakukan hubungan seksual
karena pada asalnya mereka adalah suami istri yang sah dan mungkin pernikahan itu sudah mereka jalani sangat lama, sebagaimana dikemukakan dalam kronologi sebab
turunnya ayat ini (dalam sub bab berikutnya). Ayat ini menyatakan dengan tegas bahwa sebelum dibayarkan denda zhihar, keduanya tidak boleh berhubungan seksual.
Karena hubungan itu sudah biasa mereka lakukan sebelumnya, maka bisa jadi datang atas kesepakatan bersama atau dari salah satunya yang kemudian disetujui oleh pasangannya. Karena itu qirâ`ât di sini menunjukkan dengan bentuk ﺎﺳﺎﻤﺘﻳ .
Pada ayat terakhir berkenaan dengan kisah Maryam yang belum pernah menikah dan berhubungan seksual dengan orang lain. karena itu menggunakan kata
ﻲِﻨﺴﺴﻤﻳ ﻢﹶﻟ , tidak menggunakan bentuk tsulatsi mazid yang berfaidah musyârokah baina itsnaini (ada dua orang yang berperan).
Dengan demikian, lafaz ﺲـﻤﻳ – ﺲـﻣ yang berbentuk tsulâtsī mujarrad
dalam al-Qur`ân tidak menunjukkan hubungan seksual, meskipun ada fasilitas yang dibenarkan oleh agama dalam menjalankannya, seperti dalam kasus pernikahan qobla ad-dukhul (belum bersenggama). Sementara kata atau yang merupakan bentuk fiil mazid rubaī' atau khumasi yang memiliki faidah musyarakah baina itsnaini, pasti menunjukan arti persetubuhan, meskipun hal ini ada yang belum sempat terlaksana sebagaimana yang terdapat dalam tiga ayat pertama.
Ada tiga ayat yang menggunakan term ﻦﻫﻮﺴــﻤﺗ dalam al-Qur`ân, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya yang kesemuanya itu berkenaan dengan istri yang dicerai sebelum disetubuhi oleh suaminya. Dalam hal ini, Allah Swt. menetapkan hukum bagi mereka, yakni:
Pertama, Perempuan yang dicerai oleh suaminya sebelum ia disetubuhi dan belum diberi mahar, maka bagi suami harus memberi pesangon (mut'ah).
Penjelasannya sebagaimana telah disebutkan dalam surat Al-Baqarah/ 2: 236 ini. Kedua, perempuan yang dicerai sebelum ia disetubuhi, tetapi sudah ditentukan
maharnya, maka bagi suami harus memberinya setengah dari maharnya saja. Hal ini sesuai dengan penjelasan ayat berikutnya, yaitu al-Baqarah: 237
Ketiga , perempuan yang dicerai dan belum disetubuhi, maka tidak diberlakukan 'iddah (masa tunggu untuk menikah dengan orang lain) . Hal ini sesuai dengan penjelasan surat Al-Ahzâb/ 33 49.
Inilah hukum Islam yang membolehkan perceraian, meskipun dalam pernikahan yang amat singkat. Penghormatan terhadap perempuan ditandai dengan pemberian mut'ah (pesangon) kepadanya, walaupun suami belum pernah menikmati madu istrinya. Lalu seberapa kadar mut'ah yang harus diberikan kepadanya? Ayat berikutnya menjelaskan:
Dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mapu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya pula
Lafaz ﻩﺭﺪـﹶﻗ yang menggunakan bacaan fathah ( ﻩﺭﺪـﹶﻗ ) menunjukkan ﺔـﻗﺎﻃ
kemampuan yang dinilai layak dengan keadaanya. Jika dia adalah orang kaya
( ِﻊـِﺳﻮﻤﹾﻟﺍ ), maka disesuaikan dengan kekayaanya. Jika dia miskin ( ِﺮـِﺘﹾﻘﻤﹾﻟﺍ ), maka
disesuaikan dengan kemampuannya. Namun dengan "kemampuan" ini, kadang-kadang seseorang menyepelekan pemberiannya. Bisa jadi, mut'ahnya sangat sedikit dibanding dengan kadar kekayaanya. Karena itu, Allah Swt. menguatkan pesan ini dengan bacaan lain, ( ﻩﺭﺪﹶﻗ ) yang di sukun huruf dal-nya, yang berarti sesuai dengan posisinya sebagai orang yang
dalam kedudukan itu (kaya atau miskin). Dalam kamus Munjid dijelaskan bahwa kata ini mengandung arti:
Keberadaan sesuatu setara dengan lainnya (sederajat), tidak lebih dan tidak kurang.
Dengan demikian, seseorang harus menghargai setinggi-tingginya derajat kaum perempuan. Tidak boleh menganggapnya seperti barang yang dapat dibeli dan dicampakkan begitu saja. Dan juga tidak seperti barang dagangan yang apabila terdapat cacatnya dapat dikembalikan kepada penjualnya dengan ganti rugi atau tidak. Mut'ah adalah bentuk penghargaan lahiriah dalam bentuk barang berharga yang diberikan kepadanya sesuai dengan kemampuan dan kedudukan ekonominya. Penghargaan ini harus diberikan dengan cara yang ma'ruf (baik, terpuji dan sesuai dengan kebiasaan atau tradisi setempat).
Di samping itu, yang lebih penting lagi ialah penghargaan batiniah, yakni keputusan perceraian itu diakhiri dengan kata-kata yang tidak menyakitkan, saling meminta maaf, tidak mengekspos aib mantan suami atau istrinya, sehingga tidak menyisakan sakit hati yang mendalam bagi pasangannya.
298 Q â m û s al-Munjid fi al-Lughoh wa al-A'lam , (Beirut: Dar al-Masyriq, 1998), h. 612
Ayat ini diakhiri dengan pernyataan Allah "Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan". Kepada mereka merupakan kewajiban yang dituntut bagi kaum muslimin. Demikian pendapat yang dikemukakan
oleh Ibn 'Umar dan Mujâhid. 299