Hak cerai Istri (Q.s. Al-Baqarah/ 2: 229)

1. Hak cerai Istri (Q.s. Al-Baqarah/ 2: 229)

Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma`ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau Keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa Keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas Keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.

273 Banyak orang laki-laki lebih menyukai nikah mut'ah karena tanpa beban nafkah dan pemelihraan anak. Sementara perempuan tidak bisa terus-menerus dalam status istri mut'ah, jika sudah tua dan tidak menarik lagi, tentu laki-laki tidak mau menikahinya sehingga banyak di antara mereka yang menjadi janda.

Perbedaan Qirâ`ât:

Imam Hamzah, Abû Ja'far, dan Ya'qûb membaca lafaz ﺎـﹶﻓﺎﺨﻳ ﹾﻥﹶﺃ ﺎﱠﻟِﺇ dengan cara memberi dlommah pada huruf ya-nya yakni, ﺎـﹶﻓﺎﺨﻳ ﹾﻥ ﹶﺃ ﺎـﱠﻟِﺇ . sementara ulama

lainnya membacanya dengan cara memfathahkannya yaitu, 274 ﺎﹶﻓﺎﺨﻳ ﹾﻥﹶﺃ ﺎﱠﻟِﺇ

Qurrâ`

. Implikasi Makna:

Bacaan ﺎﹶﻓﺎﺨﻳ diambil dari fiil mudlori mabni ma'lum, yang berarti suami istri itu merasa khawatir dan yakin mereka tidak menjalankan hak-haknya dalam

berkeluarga secara baik, maka mereka sepakat untuk bercerai.

Sementara jika dibaca ﺎـﹶﻓﺎﺨﻳ yang diambil dari fiil mudlori' mabni majhul,

yang artinya kedua suami istri itu dikhawatirkan tidak dapat menjalankan hak- hakanya secara baik. Dalam hal ini, hakim berperan untuk memutuskan perceraian mereka atas gugatan yang diajukan istri.

Implikasi terhadap Relasi Gender

Dalam ayat ini terkandung dua permasalahan penting: pembatasan perceraian dan hak perceraian bagi istri. Masalah pertama hanya sedikit disinggung karena masalahnya sudah jelas dan tidak ada perbedaan qirâ`ât di dalamnya. Fokus pembahasan ini terletak dalam masalah kedua, di mana terdapat perbedaan qirâ`ât yang perlu dikritisi segi-segi hukumnya.

Masalah pertama berkenaan dengan tradisi jahiliyah yang suka memperalat perempuan. Ketika itu talak tidak ada batasnya. Seorang yang menceraikan istrinya, dia tidak menggaulinya lagi sehingga saat 'iddah hampir selesai, suaminya datang rujuk kembali. Perilaku semacam ini seringkali dilakukan oleh mereka. Bahkan

274 Ibn al-Jazari, Taqrîb …, h. 96 dan al-Habsy, Al-Syâmil …, h. 178 274 Ibn al-Jazari, Taqrîb …, h. 96 dan al-Habsy, Al-Syâmil …, h. 178

sebagai istri terkatung-katung. Bahkan boleh jadi, nafkah lahirnya tidak terpenuhi, apalagi nafkah bathinnya. Allah tidak rela penganiayaan semacam ini terus-menerus berlangsung. Karena itu, tatkala di zaman Nabi Saw. ada seorang perempuan yang merasa dianiaya dengan perbuatan jahiliyah ini, Allah menurunkan ayat yang

membatasi talak hanya sampai tiga kali. Diriwayatkan oleh Ibn Jarîr dari Hisyam ibn 'Urwah dari ayahnya

bahwasannya ada seorang laki-laki dari golongan Anshor yang marah terhadap istrinya, lalu dia berkata pada istrinya: "saya tidak akan mendekatimu dan kamu tidak halal bagi saya". Istrinya berkata: "apa yang ingin kamu lakukan:, suaminya menjawab: "saya cerai kamu, tapi nanti kalau 'iddah kamu sudah dekat, saya rujuk. kemudian saya ceraikan kamu lagi, lalu saya rujuk kalau 'iddah kamu hampir selesai." Perempuan itu kemudian mengadu kepada Rasulullah Saw. lalu turunlah

awal ayat ini: 276

Adapun masalah kedua berkenaan dengan hak cerai bagi perempuan atau dengan kata lain khulu'. 277 Ibn 'Abbâs pernah ditanya tentang asal mula adanya khulu'

ini. Beliau berkata: Khulu' pertama kali terjadi dalam Islam berkenaan dengan gugatan cerai yang diajukan oleh saudari 'Abdullah ibn Ubay (yang bernama Jamilah

275 Al-Thabari, Jâmi'…, jilid 2, h. 470 276 Al-Thabari, Jami …, jilid 2, h. 469 277 Khulu' menurut bahasa ialah melepaskan atau menghilangkan. Khulu' menurut istilah

adalah menghilangkan ikatan pernikahan yang tergantung pada persetujuan perempuan (untuk memberikan tebusan kepada suaminya) dengan memakai lafaz khulu' atau lafaz-lafaz yang semakna dengannya. Al-Zuhali, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Bairut: Dar al-Fikr,1989), jilid 7, h. 480 adalah menghilangkan ikatan pernikahan yang tergantung pada persetujuan perempuan (untuk memberikan tebusan kepada suaminya) dengan memakai lafaz khulu' atau lafaz-lafaz yang semakna dengannya. Al-Zuhali, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Bairut: Dar al-Fikr,1989), jilid 7, h. 480

yakni sebidang kebun, jika dia mau mengembalikan kebun saya (maka saya penuhi gugatan cerainya)," Rasulullah bersabda: Bagaimana pendapatmu. Istrinya

menjawab: "Ya, kalau perlu saya tambahkan". Lalu Rasulullah menceraikan keduanya. 278

Dengan bahasa yang lebih halus Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibn 'Abbâs, bahwa istri Tsabit itu berkata: "Saya tidak mencela akhlak maupun agamanya. Tetapi saya khawatir kufr (mendurhakai) Islam." Rasulullah bersabda: "Maukah kamu mengembalikan kebunnya?" "Ya," jawabnya. Lalu Rasulullah berkata pada

suaminya: "Terimalah kebun itu lalu talaklah sekali!" 279 Jumhur fuqaha membolehkan khulu' (gugatan cerai), meskipun tanpa alasan

terjadinya penganiayaan (dlarar) karena Allah Swt. tidak menyebutkan syarat tertentu dalam ayat ini. Allah hanya menyebutkan kebiasaan terjadinya khulu' ini,

yakni istri merasa tidak mampu menjalankan kewajibannya dengan baik, 280 karena berbagai macam sebab yang melatar belakanginya.

278 Al-Thabari, Jâmi' …, h. 475 279 Ismâil al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, (Kairo: Maktabah al-Syuruq, 2003), jilid 9, h. 62 280 Al-Qurthûbi, al-Jami…, jilid 2, h. 93

Ayat Khulu' ini diawali dengan pernyataan Allah, bahwa seseorang diharamkan mengambil hak milik istrinya baik dari hasil kerjanya maupun apa yang telah diberikan suami padanya. Ayat ini mengecualikan harta yang diambil karena memang ada kerelaan dari istrinya, dicontohkan di sini dengan harta yang dijadikan tebusan atas gugatan cerai yang diajukan kepada suaminya.

Khulu' yang dilakukan oleh pihak istri bisa jadi karena dua sebab. Pertama, karena perbuatan istri yang nusyûz (menolak semua keinginan suami), seperti kasus

yang terjadi pada shahabat Nabi di atas atau istri ingin menikah dengan orang lain karena suaminya tidak memenuhi apa yang diinginkannya dan lain sebagainya. Kedua , karena perbuatan nusyuz yang dilakukan suami, seperti penganiayaan terhadap istri, meninggalkan tanggung jawab pemberian nafkah dan lain-lain. Gugatan cerai yang dibolehkan untuk meminta tebusan pada istri ini pada kasus pertama. Sedangkan pada kasus kedua, jumhur ulama berpendapat tidak boleh, sebagaimana dijelaskan dalam surat Al-Nisâ`/ 4 ayat 19:

…janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.

Perbedaan qirâ`ât yang terdapat pada ayat ِﻪـﱠﻠﻟﺍ ﺩﻭﺪـﺣ ﺎﻤﻴِﻘﻳ ﺎﱠﻟﹶﺃ ﺎﹶﻓﺎﺨﻳ ﹾﻥﹶﺃ ﺎﱠﻟِﺇ merupakan proses terjadinya khulu' hingga keputusan jatuhnya khulu'. Qirâ`ât ﺎﹶﻓﺎﺨﻳ

dengan fathah ya-nya (mabni ma'lum) menunjukkan bahwa kekhawatiran dengan fathah ya-nya (mabni ma'lum) menunjukkan bahwa kekhawatiran

menjaga hak-hak pasangannya yang telah diperintahkan Allah kepada mereka." 281 Dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak ini, para fuqaha' yang mengikuti

pendapat 'Umar dan 'Usmân ra. berkata bahwa khulu' dapat jatuh menjadi perceraian yang sah tanpa memerlukan hakim. 282

Di sini ada keterlibatan kedua belah pihak yang merasa tidak memenuhi tuntutan pasangannya. Namun, yang ditekankan adalah adanya gugatan istri meminta perceraian. Hal ini karena, menurut ulama salaf, pemegang otoritas talak ada di tangan suami. Jadi, ketika suami ingin menceraikan istrinya, tanpa ada kesepakatan keduanya, talak itu tetap jatuh. Ini berbeda dengan gugatan cerai istri.

Karena itu, jika suami menyepakati gugatan cerai istri dengan mensyaratkan untuk mengembalikan apa yang telah diberikan kepadanya, misalnya berupa mahar, maka agama memperbolehkannya. Namun, sebaliknya, jika suami tetap tidak mau menyetujui permintaan istri agar menceraikannya? Atau suami mensyaratkan beban tebusan yang tidak mungkin bisa ditanggung istri? Atau suami menelantarkan istri sampai sekian tahun lamanya, tanpa ada kabar apapun, dapatkah istri menggugat cerai?

Semua pertanyaan ini dapat terjawab dengan qirâ`ah kedua ( ﺎـﹶﻓﺎﺨﻳ ) yang

mabni majhûl (kata kerja pasif), yakni menjadikan keputusan jatuhnya khulu' kepada hakim pernyataan ini dikuatkan dengan lanjutan ayat ini yang menyandarkan

281 Al-Shâbuni, Shofwah…, jilid 1, h. 131 282 Al-Zuhaili, al-Fiqh …., jilid 7, h. 485 281 Al-Shâbuni, Shofwah…, jilid 1, h. 131 282 Al-Zuhaili, al-Fiqh …., jilid 7, h. 485

ﻢﺘــﹾﻔِﺧ ﹾﻥِﺎــﹶﻓ ), yang berarti ditujukan kepada hakim. Hakim akan

jamak ( 283

mempertimbangkan gugatan cerai yang diajukan pihak istri berdasarkan pengaduannya. "Jika keduanya (suami-istri) itu dikhawatirkan melanggar hukum- hukum Allah, karena nusyûz atau penganiayaan, yang tidak dapat disepakati oleh kedua belah pihak dan tidak dapat didamaikan untuk rujuk, maka hakim berhak

memutuskan cerai atas keduanya." 284 Langkah pertama bagi hakim dalam memutuskan khulu' yang tidak disepakati

pihak suami ialah dengan mendengarkan kesaksian istri. Banyak kasus terjadi, istri mengadukan gugatan cerai ke Pengadilan adalah dikarenakan perangai suami yang nusyûz , sebagaimana disitir dalam surat Al-Nisâ`/ 4: 128, yang berbunyi:

Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyûz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir, dan jika kamu bergaul dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyûz dan sikap tak acuh), maka sesuangguhnya Allah adalah Maha Mengtahui apa yang kamu kerjakan.

Apabila dalam kesaksian itu menunjukkan bahwa suaminya yang bersalah dan dalam pertimbangannya kedua belah pihak tidak dapat melanjutkan rumah tangganya dengan keharmonisan dan menjaga hukum-hukum Allah yang ditetapkan atas mereka, maka hakim berhak menceraikannya.

283 Al-Qurthûbi, al-Jâmi' …, jilid 3, h. 138 284 Habsy, al-Qirâ`ât…h. 283

Adapun menghadapi tuntutan pihak suami yang mensyaratkan tebusan yang tidak dapat ditanggung oleh pihak istri, maka tuntutan semacam ini tidak dapat dibenarkan. Apalagi tuntutan tersebut dilakukan atas kesalahan suami. Ulama berbeda pendapat ketika mempermasalahkan persyaratan suami dengan tuntutan tebusan yang melebihi mahar yang pernah diberikan kepada istrinya dan gugatan cerai tersebut atas kesalahan istri.

Dalam hal ini Imam Mâlik, Syâfi'î dan beberapa ulama lain berpendapat bahwa suami boleh meminta tebusan lebih dari nilai mahar yang telah diberikannya.

Sementara ulama-ulama lainnya seperti Abû Hanîfah, tidak membolehkan tuntutan tebusan yang lebih dari nilai mahar. Pendapat terakhir ini mengambil dalil pemahaman tekstual dari hadis yang berkenaan dengan permasalahan Tsabit ibn Qois

dan istrinya. 285 Pendapat yang paling baik adalah persyaratan yang diberlakukan berdasarkan asas ridla,. Artinya, tidak ada pemaksaan dan tuntutan yang membebani

pihak istri. 286 Masalah terakhir, ketika suami menghilang dan tidak diketahui kabarnya

sehingga keluarganya terlantar, sedangkan istrinya menggugat cerai, maka hakim dengan tegas harus mempertimbangkan kemaslahatan keluarga tersebut. Dengan ketiadaan suami dan meninggalkan kewajibannya sebagi penanggung nafkah keluarga, berarti dia telah melalaikan kewajibannya. Hakim dalam kasus ini diperbolehkan untuk menceraikan keduanya dengan mempertimbangkan

285 Al-Zuhaili, al-Fiqh …, jilid 7, h. 498 286 Ibn Rusyd, Bidâyah…, jilid 2, h. 55

"kekhawatiran keduanya tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah" dan kemaslahatan istri serta anak-anaknya. 287