Larangan menelantarkan anak (Q.s. Al-Baqarah/ 2: 233)
2. Larangan menelantarkan anak (Q.s. Al-Baqarah/ 2: 233)
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma`ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila Keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan Keduanya
343 Perbuatan yang termasuk ma'ruf adalah memenuhi haknya dalam hal-hal mahar, nafkah, penggiliran yang adil (bagi yang beristri lebih dari satu), tidak mencela, memukul wajahnya, berselingkuh dan lain-lain. Al-Jashshâsh, Ahk â m al-Qur`ân , jilid 2, h. 157 343 Perbuatan yang termasuk ma'ruf adalah memenuhi haknya dalam hal-hal mahar, nafkah, penggiliran yang adil (bagi yang beristri lebih dari satu), tidak mencela, memukul wajahnya, berselingkuh dan lain-lain. Al-Jashshâsh, Ahk â m al-Qur`ân , jilid 2, h. 157
Perbedaan Qirâ`ât:
Ibn Katsîr, Abû Amr, dan Ya'qûb membaca lafaz ﹲﺓﺪـِﻟﺍﻭ ﺭﺎﻀﺗ ﺎﹶﻟ dengan cara mendlommahkan huruf ra-nya ( ﺭﺎﻀـﺗ ) yang menunjukkan bahwa ini merupakan fiil mudlori' . Sementara Abû Ja'far membacanya dengan mensukunkannya yakni ( ﺭﺎﻀﺗ ), sedangkan imam-imam Qurrâ`' lainnya seperti Imam Nâfi', 'Âshim, Hamzah, dan al- Kisâ`î, membacanya dengan memfathahkan huruf Ra-nya ( ﺭﺎﻀﺗ ) yang menunjukkan
bahwa qirâ`ah ini berbentuk fiil nahi. 344 Dalam qirâ`ât Ahâd yang diriwayatkan oleh Ibn Mas'ûd bahwasannya beliau
membaca kalimat ﻚِﻟﹶﺫ ﹸﻞﹾﺜِﻣ ِﺙِﺭﺍﻮﹾﻟﺍ ﻰﹶﻠﻋﻭ ditambah dengan kata sisipan ﻢﺣﺮـﻟﺍ ﻯﺫ ﻡﺮﶈﺍ . maka menjadi:
Dan bagi ahli waris dzawi al-arham (kerabat jauh) memiliki tanggung jawab seperti itu
Implikasi Makna:
Kata ﺭﺎﻀﺗ ﺎﹶﻟ (dengan fathah pada huruf ra) merupakan fiil nahi yang berasal dari kata ﺭِِﺭﺎﻀـﺗ ﺎﹶﻟ yang mengikuti wazan ﹾﻞـِِﻋﺎﹶﻔﺗﻻ . ketika ada dua huruf ra jatuh
dalam satu kata, maka ra yang pertama dimasukkan ke dalam ra' yang kedua. Lalu ra' kedua diberi harakat fathah karena bertemunya dua sukun dalam satu kata
344 Al-Qurthûbi, al-J â mi' … , jilid 3, h. 167. lihat juga Ibn al-Jazari, Al-Nasyr Fi al-Qirâ` â t al- 'Asyir , jilid 2, h. 227-228
345 Al-Syaukani, Fath al-Qadīr, (Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1964), juz 3, h. 350 345 Al-Syaukani, Fath al-Qadīr, (Kairo: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1964), juz 3, h. 350
Kata ﺭﺎﻀﺗ ﺎﹶﻟ (dengan dlommah pada huruf ra') merupakan fiil mudlori mabni ma'lum , yang asalnya berbunyi: ُ ﺭِﺭﺎﻀـﺗ ﺎﹶﻟ yang artinya hendaklah seseorang tidak
boleh membahayakan atau meyengsarakan. Atau dapat juga dikatakan bahwa ia
berasal dari bentuk mabni majhul, yaitu ﺭﺭﺎﻀـﺗ ﺎـﹶﻟ , yang berarti perempuan itu
disengsarakan atau disakiti. Perubahan kata keduanya sama, yakni huruf ra pertama dimasukkan ke huruf ra yang kedua karena ia berkumpul dalam satu kata sehingga
menjadi ﺭﺎﻀﺗ ﺎﹶﻟ . Sementara kata ﺭﺎﻀــﺗ ﺎــﹶﻟ merupakan fiil mudlâri mabni majhul yang kemasukan lâ nahi. Ia berasal dari kata ﺮﻴِﻀـﻳ – ﺭﺎﺿ . artinya sama dengan kata
ﺭﺎـﺿ , yakni membahayakan, menyulitkan atau menyusahkan. Perbedaan kata ini dengan kata sebelumnya terletak pada penambahan huruf. Kalau kata ﺭﺎﻀـﺗ (tanpa
tasydid ) berasal dari tsulatsi mujarrad yang tidak berfaidah apa pun selain makna
asalnya, sedangkan kata ﺭﺎﻀـﺗ (bertasydid) merupakan bentuk tsulatsi mazid ruba’i
dengan tambahan huruf alif pada fa' fiil, yang dapat berfaidah musyarokah, yakni ada timbal balik atau saling melakukan.
Qirâ`ât yang mutawâtir mengandung makna bahwa kewajiban memberi nafkah itu ditujukan kepada orang tua untuk menghidupi anaknya, atau sebaliknya, jika mereka sudah dewasa, anaklah yang berkewajiban memberi nafkah kepada orang tuanya.
Sementara dalam qirâ`ah syâdz yang mudraj (sisipan) ini, mengandung arti bahwa kewajiban nafkah bagi anak-anak yang ditinggal cerai orang tuanya itu tidak Sementara dalam qirâ`ah syâdz yang mudraj (sisipan) ini, mengandung arti bahwa kewajiban nafkah bagi anak-anak yang ditinggal cerai orang tuanya itu tidak
Implikasi terhadap Relasi Gender
Ayat ini berkaitan erat dengan ayat sebelumnya yang berbicara mengenai talak. Dalam ayat ini, Allah memberi peringatan kepada keluarga yang dilanda prahara rumah tangga, yakni perceraian, agar tidak mengakibatkan penelantaran
terhadap anak, terutama anak yang sedang menyusu kepada ibunya, ia masih sangat membutuhkan kasih dan belaian seorang ibu. Sakit hati seorang istri setelah
diceraikan oleh suaminya tidak boleh dilampiaskan terhadap anaknya sehingga anaknya menjadi korban dari kebencian dan kekesalanya terhadap suaminya. 346
Di awal ayat ini, Allah menganjurkan agar seorang ibu, bagaimana pun pedihnya ditinggalkan suami, sepatutnya menyusui anaknya selama dua tahun. Masa ini merupakan masa pertumbuhan anak untuk mencapai perkembangan kesehatan dan
psikologis yang maksimal, yakni dengan belaian kasih sayang ibu dan air susunya. 347 Peran suami, meskipun sudah cerai dengan istrinya, juga tidak luput dalam
perkembangan anak. Dia berkewajiban untuk memberikan nafkahnya, yakni memberi kebutuhan hidup anaknya yang meliputi: sandang, pangan dan pendidikan sampai
346 Contoh kasus; pada tanggal 9 Februari 2006, RCTI mengungkapkan berita bahwa di daerah Bandung ada anak bayi yang menderita busung lapar dikarenakan sejak dia lahir sampai sekarang tidak pernah minum susu ASI dari ibunya dan sangat jarang minum susu botol. Kedua orang tuanya bercerai. Ayahnya menikah lagi dengan orang lain, sementara ibunya pergi keluar negeri untuk menjadi TKW. Dia diasuh oleh seorang bibinya yang miskin sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup sang bayi, terutama susu dan perawatan kesehatannya. Kasus ini merupakan contoh perceraian yang mengakibatkan anaknya telantar akibat ulah kedua orang tuanya.
347 Anak-anak yang memperoleh ASI secara baik menunjukkan tingkat kecerdasan di atas rata-rata dan penglihatan yang baik dibadingkan dengan yang tidak memperoleh ASI. Penelitian di Universitas Kentucky menunjukkan bahwa bayi yang mendapatkan ASI memiliki IQ lebih tinggi dari pada bayi yang mengkonsumsi susu formula. (Taufiq Pasiak, MPd., Membangun Raksasa Tidur, (Jakarta: Gramedia, 2004), h. 130.) 347 Anak-anak yang memperoleh ASI secara baik menunjukkan tingkat kecerdasan di atas rata-rata dan penglihatan yang baik dibadingkan dengan yang tidak memperoleh ASI. Penelitian di Universitas Kentucky menunjukkan bahwa bayi yang mendapatkan ASI memiliki IQ lebih tinggi dari pada bayi yang mengkonsumsi susu formula. (Taufiq Pasiak, MPd., Membangun Raksasa Tidur, (Jakarta: Gramedia, 2004), h. 130.)
kewajiban melebihi dari apa yang dimilikinya. Anak yang masih menyusu itu pembiayaannya ditanggung oleh ayahnya. Artinya, dia harus memberi nafkah kepada mantan istrinya, jika dia menyusui
anaknya, meskipun 'iddah-nya sudah habis. 349 Selanjutnya, ayat ini memberi peringatan terhadap kedua orang tua berkenaan
dengan anaknya, dengan firman-Nya:
ﻚِﻟﹶﺫ ﹸﻞﹾﺜِﻣ ِﺙِﺭﺍﻮﹾﻟﺍ ﻰﹶﻠﻋﻭ ِﻩِﺪﹶﻟﻮِﺑ ﻪﹶﻟ ﺩﻮﹸﻟﻮﻣ ﺎﹶﻟﻭ ﺎﻫِﺪ ﹶﻟﻮِﺑ ﹲﺓﺪِﻟﺍﻭ ﺭﺎﻀﺗ ﺎﹶﻟ Dalam kalimat ﺎﻫِﺪﹶﻟﻮِﺑ ﹲﺓﺪِﻟﺍﻭ ﺭﺎﻀﺗ ﺎﹶﻟ , secara umum perbedaannya terletak pada
fiil itu mudlori' atau amar. Kalau fiil-nya itu bentuknya mudlori' berarti mengandung faidah al-Tajaddud (selalu dan senantiasa memperbaharui). Jadi penafsirannya seorang perempuan itu tidak boleh senantiasa memberikan bahaya kepada orang lain, baik anak maupun suaminya. Karena hal itu bukan sifat dasar perempuan shalihah yang mempunyai kasih sayang terhadap anak. Sementara kalau dibaca dengan bentuk fiil amar menunjukkan arti larangannya secara tegas. Yang berarti penafsirannya, janganlah sekali-kali kedua orang tua itu menyia-nyiakan anaknya.
Kalimat ِﻩِﺪـﹶﻟﻮِﺑ ﻪـﹶﻟ ﺩﻮـﹸﻟﻮﻣ ﺎﹶﻟﻭ ﺎﻫِﺪﹶﻟﻮِﺑ ﹲﺓﺪِﻟﺍﻭ ﺭﺎﻀﺗ ﺎﹶﻟ mempunyai beberapa
penafsiran, antara lain:
348 Dalam Kompilasi Hukum Islam, Pasal 98 disebutkan: Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah usia 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental atau belum menikah. (Kompilasi Hukum Islam, Yogyakarta, 2004, h. 48)
349 Suami masih dikenai beban pemberian nafkah lahir ketika istri yang dicerai sedang dalam menjalani masa 'iddah.
Pertama, Ibu dan ayah dilarang membahayakan anaknya dengan cara menelantarkannya, misalnya dengan tidak memberikan air susunya kepada anaknya
atau tidak memberikan nafkah kepadanya. Huruf ba' dalam kata ﺎﻫِﺪـﹶﻟﻮِﺑ , dengan penafsiran ini menunjukkan bahwasannya ia adalah huruf tambahan. Dua qirâ`ah ( ﺎﹶﻟ
ﺭﺎﻀﺗ - ﺭﺎﻀﺗ ﺎﹶﻟ ) ini sesuai dengan penafsiran ayat di atas.
Kedua, Nafkah yang diberikan ayah kepada ibunya tidak boleh merugikan ibunya, sehingga menyusahkan anaknya juga, misalnya dengan mengurangi jatah
ﺭﺎﻀﺗ ﺎﹶﻟ - ﺎﹶﻟ ﺭﺎﻀﺗ ) masuk dalam penafsiran di atas.
semestinya. 351 Dua qirâ`ah yang terbentuk dari fiil mudlori' mabni majhul (
Ketiga, Seorang istri tidak boleh menyusahkan suami yang telah menceraikannya dengan cara meminta upah yang mahal untuk menyusui anaknya sehingga hal itu juga dapat membahayakan anaknya, juga menyusahkan dirinya
sendiri, karena dia tidak jadi mendapatkan nafkah penyusuannya. 352 Di samping itu, dia tidak dapat menumpahkan kasih sayangnya (kalau anak itu berada dalam
ﺭﺎﻀﺗ ﺎﹶﻟ - ﺭﺎﻀﺗ ﺎﹶﻟ ).
pengawasan ayahnya). 353 Penafsiran ini merujuk pada qirâ`ah (
Keempat, Seorang ibu tidak boleh menderita kesengsaraan dalam merawat anaknya karena ayahnya tidak mau bertanggung jawab memberikan nafkah kepadanya. Penafsiran ini dapat merujuk pada tiga qirâ`ât ( ﺭﺎﻀﺗ ﺎﹶﻟ - ﺭﺎﻀﺗ ﺎﹶﻟ - ﺎـﹶﻟ ﺭﺎﻀﺗ )
350 Al-Shâbuni, Shofwah…, jilid 1, h. 135 351 Kementerian Wakaf Mesir, Al-Muntakhab, (Kairo: al-Syirkah al-Jumhûriyyah, tth), h. 85 352 Al-Habsy, al-Qirâ `â t …,
h. 286
353 Alasan terakhir jarang terjadi karena biasanya Pengadilan memutuskan bahwa anak yang menyusu itu dalam pengasuhan ibunya sampai ia mencapai usia mumayyiz (12 th) yang sudah dapat menentukan pilihan hak asuh, (Kompilasi Hukum Islam, Pasal 105 ayat: a)
Kelima, Ayah dan ibu dilarang saling menyusahkan atau bersengketa masalah anak sehingga anaknya terlantar. Misalnya, ibu tidak mau menyusui anaknya karena ingin menyusahkan ayahnya dalam mendidik anaknya, atau ayah merebut anaknya
dari asuhan mantan istrinya, padahal istrinya ingin menyusuinya. 354 Penafsiran ini merujuk pada dua qirâ`ah ( ﺭﺎﻀﺗ ﺎﹶﻟ - ﺭﺎﻀﺗ ﺎﹶﻟ ).
Kalimat ﻚـِﻟﹶﺫ ﹸﻞـﹾﺜِﻣ ِﺙِﺭﺍﻮـﹾﻟﺍ ﻰﹶﻠﻋﻭ menunjukkan bahwa kewajiban untuk
memberi nafkah anak yang kedua orang tuanya bercerai dan larangan menyakitinya juga dibebankan kepada ahli waris pihak ayahnya, terutama ketika ayahnya sudah
meninggal dunia. Ada yang mengatakan dibebankan kepada "pewaris anaknya", yakni keluarga anak itu, yang meliputi saudara-saudara dan kakek-nenek dari pihak
ayah maupun ibunya. 355 Abû Hanîfah berdasarkan qirâ`ah mudraj, sebagaimana di atas, yang
diriwayatkan dari Ibn Mas'ûd, menyatakan bahwa kewajiban itu juga dibebankan kepada seluruh dzawil arhâm yakni semua famili dan saudara-saudara dari pihak ibu maupun ayahnya.
Ayat ini ditutup dengan hukum dibolehkannya untuk menyapih sebelum masa dua tahun asalkan ada kesepakatan dari kedua orang tuanya dan kebolehan menyusukannya kepada orang lain dengan upah standar umum yang dibebankan kepada ayahnya.