Zhihâr: Bentuk pelecahan terhadap istri adat Jahiliyah (Q.s. Al-Mujadilah/ 58: 2)
4. Zhihâr: Bentuk pelecahan terhadap istri adat Jahiliyah (Q.s. Al-Mujadilah/ 58: 2)
Orang-orang yang menzihar istrinya di antara kamu, (menganggap istrinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah istri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan yang mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.
Perbedaan Qirâ`ât:
Para imam Qurrâ`' mempunyai perbedaan dalam membaca lafaz ﹶﻥﻭﺮِﻫﺎﹶﻈﻳ . di antaranya Imam 'Âshim membacanya sama seperti yang tertulis di atas yaitu ﹶﻥﻭﺮِﻫﺎﹶﻈﻳ . Sedangkan Imam Nâfi', Ibn Katsîr, dan Abû 'Amr membacanya dengan cara mentasydidkan huruf zha dan ha serta memfathahkan huruf ya dan ha serta Para imam Qurrâ`' mempunyai perbedaan dalam membaca lafaz ﹶﻥﻭﺮِﻫﺎﹶﻈﻳ . di antaranya Imam 'Âshim membacanya sama seperti yang tertulis di atas yaitu ﹶﻥﻭﺮِﻫﺎﹶﻈﻳ . Sedangkan Imam Nâfi', Ibn Katsîr, dan Abû 'Amr membacanya dengan cara mentasydidkan huruf zha dan ha serta memfathahkan huruf ya dan ha serta
Abû Ja'far, Ibn 'Amir, Hamzah, Al-Kisâ`î, dan Khalaf membacanya dengan memfathahkan huruf ya dan mentasydidkan huruf zha serta memanjangkannya, yakni
Implikasi Makna:
Kata ﺭﺎﻬﻇ berasal dari kata ﺮﻬﻈﻟﺍ (punggung) bukan dari kata ﺮـﻬﹶﻇ (tampak,
jelas). Kata ini jika dibuat fiil seperti dalam qirâ`ât di atas, maka ia muta'addi (membutuhkan objek) dengan memberi kata ﻦِِﻣ sebagai tambahan. Kata ﺮﻫﺎﹶﻇ - ﺮِﻫﺎﹶﻈﻳ
diambil dari wazan ﹸﻞِِﻋﺎﹶﻔﻳ – ﻞﻋﺎﻓ yang berfaidah, antara lain:
a. al-Musyarokah baina itsnaini, yaitu persekutuan antara dua orang dan terjadi timbal balik antara keduanya dalam melakukan suatu pekerjaan yang sama.
b. al-Taktsīr, yaitu memperbanyak
c. al-Muwaalaah, yaitu terus-menerus dalam melakukan pekerjaan. Dari ketiga faidah ini yang cocok dengan konteks ayat di atas adalah faidah
pertama karena terjadi antara dua orang yang berselisih.
Adapun kata ﹶﻥﻭﺮﻫﺎﱠﻈﻳ berasal dari kata ﹶﻥﻭﺮﻫﺎﹶﻈﺘﻳ , fiil mudlori'-nya ﺮﻫﺎـﹶﻈﺘﻳ ,
Perubahannya terjadi karena huruf ta' dan zha berdekatan, maka huruf ta dimasukkan (idghom) ke huruf zha. Faidahnya dengan wazan ini antara lain:
a. al- Musyârokah, pengertiannya sebagaimana di atas
b. al-Muthâwa'ah, yaitu persetujuan atau sesuai dengan akibat yang terjadi setelah suatu pekerjaan dilakukan.
310 Ibn al-Jazari, Taqrîb …, h. 179 dan Habsy, Al-Syâmil …, h. 263 310 Ibn al-Jazari, Taqrîb …, h. 179 dan Habsy, Al-Syâmil …, h. 263
dibahas ini.
Sementara kata ﹶﻥﻭﺮـﻬﱠﻈﻳ berasal dari kata ﹶﻥﻭﺮـﻬﹶﻈﺘﻳ , fiil madli-nya ﺮـﻬﹶﻈﺗ , Perubahan katanya sama dengan kata ﹶﻥﻭﺮﻫﺎـﱠﻈﻳ di atas. Faidah dari wazan ini antara
lain:
a. al-Muthâwa'ah, pengertiannya sama dengan di atas
b. al-Takalluf, pengertiannya sama dengan di atas
c. al-Thalab, (tuntutan) seperti ﻦﻴﺒﺗ berarti menuntut penjelasan. Ketiga makna ini yang cocok dengan konteks ayat adalah yang pertama
saja. 311
Apabila mengikuti bacaan Imam 'Âshim ( ﹶﻥﻭﺮِﻫﺎــﹶﻈﻳ ) mengandung arti musyârokah , yaitu memiliki makna timbal balik atas perilaku zhihar ini. Dengan kata
lain, suami yang menzhihar istrinya, kemudian istri merespon negatif, misalnya, merasa tersinggung atau membalas dengan cara memojokkan suaminya, maka kaffârah zhihâr jatuh.
Bacaan ﹶﻥﻭﺮِﻫﺎﱠﻈﻳ dapat berfaidah seperti ﹶﻥﻭﺮِﻫﺎـﹶﻈﻳ di atas atau sama dengan faidah kata ﹶﻥﻭﺮِّﻬﱠﻈﻳ yang faidahnya li al-muthâwa'ah (menetapkan jatuhnya zhihar), meskipun tidak ada respon negatif dari pihak istri atas ucapan suaminya itu.
311 Baha'uddin ibn Mâlik ibn Abdullah ibn Aqîl, Syarh Ibn 'Aqîl, (Bairut: Dar al-Fikr, 1976), jilid 2, h. 263-264.
Implikasi terhadap Relasi Gender
Ayat zhihar ini turun berkenaan dengan suatu peristiwa yang dialami Khoulah binti Tsa'labah dan suaminya Aus ibn Al-Shâmit. Diriwayatkan dari 'Aisyah ra. bahwasannya dia berkata:
Maha Suci Allah Mendengar segala sesuatu. Sungguh aku pernah mendengar ucapan Khaulah binti Tsa'labah. Sebagian ucapannya tidak nampak (diriwayat lain: 'Aisyah ketika itu berada di belakang rumahnya) perempuan itu mengadu kepada Rasulullah Saw.: ya Rasulullah, hartaku habis, masa mudaku hilang, anakku banyak sehingga ketika aku sudah tua, dan anakku
sudah terputus, 313 dia malah menzhiharku. Ya Allah, aku mengadu kepada- Mu. 'Aisyah berkata: Dia terus menerus mengadu sehingga turunlah ayat:
ﺔﻳﻻﺍ ... ﺎﻬِﺟﻭﺯ ﻰِﻓ ﻚﹸﻟِﺩﺎﺠﺗ ﻰِﺘﱠﻟﺍ ﹶﻝﻮﹶﻗ ُﷲﺍ ﻊِﻤﺳ ﺪﹶﻗ Di riwayat lain, Imam Ahmad menceritakan dari Khaulah bahwasannya
setelah turun ayat tersebut, Rasulullah Saw. bersabda: "suruhlah dia untuk memerdekakan budak." Dia menjawab: "Ya Rasulullah dia tidak mempunyai sesuatu untuk memerdekakannya." Beliau bersabda lagi: "kalau begitu, berpuasa dua bulan berturut-turut." Dia menjawab: "Demi Allah, dia adalah orang yang sudah sangat tua, tidak mungkin mampu untuk berpuasa." Beliau bersabda: "kalau tidak mampu,
312 Hadis ini diriwayatkan oleh Ibn Abî Hatim dari 'Aisyah, dikutip dari Ibn Katsīr, Mukhtashar Ibn Katsir , jilid 3, h. 458 313 Yang dimaksud mungkin: karena anak-anaknya sudah dewasa, maka mereka meninggalkannya dan hidup dengan keluarganya masing-masing atau peranakanku sudah putus karena sudah tua (menepouse).
berilah 60 orang miskin, masing-masing satu wasak kurma." Dia menjawab: "Demi Allah, dia tidak mempunyai sesuatu (untuk bersedekah)." Rasulullah bersabda: "Kami akan bantu dia dengan setengah keranjang kurma." Dia juga mengatakan: "Ya Rasulullah, aku pun akan membantunya dengan setengah keranjang lainnya." Beliau bersabda: "Engkau memang orang baik, pergilah dan bersedekalah kemudian nasehatilah anak pamanmu (suaminya) dengan kebaikan." "lalu aku melakukan
(perintahnya)" kata Khaulah. 314 Zhihâr , dalam tradisi jahiliyyah, merupakan salah satu ungkapan yang biasa
digunakan untuk menceraikan istri. Bahkan menurut al-Râzî, zhihâr adalah salah satu bentuk talak di zaman jahiliyyah yang amat berat implikasi hukumnya. 315 Karena
zhihar itu mengharamkan apa yang sudah dihalalkan oleh tradisi mereka. Diriwayatkan dari Abî Qilabah: "Orang-orang Arab pada masa jahiliyyah menceraikan istrinya denga cara īlâ dan zhihâr. Ketika Islam datang, Allah menjadikan zhihâr sesuai dengan hukumnya sendiri dan ilâ sesuai dengan hukumnya
sendiri." 316 Ini menunjukkan bahwa zhihâr adalah tradisi Arab, di mana Islam kemudian memberi ketetapan hukum, jika tradisi semacam itu terus belanjut.
Persoalannya adalah apakah tradisi dan konsekuensi hukum zhihar ini juga diberlakukan kepada orang selain Arab? Al-Râzî menyatakan tidak. Hukum ini hanya diberlakukan kepada mereka yang memiliki tradisi ini. Islam sangat mengecam
314 Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal, dikutip dari Al-Shâbuni, Mukhtashar … , jilid 3, h. 459 315 Al-Râzî, Mafîtih…, jilid 15, h. 251 316 al-Jashshâsh, Ahkâm…, jilid 3, h. 624 314 Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal, dikutip dari Al-Shâbuni, Mukhtashar … , jilid 3, h. 459 315 Al-Râzî, Mafîtih…, jilid 15, h. 251 316 al-Jashshâsh, Ahkâm…, jilid 3, h. 624
Seandainya hukum ini diberlakukan untuk bangsa-bangsa lain yang non-Arab, yang tidak memiliki tradisi zhihar, tentu diungkapkan dengan tanpa kata ﻢﹸﻜﻨِﻣ .
Namun demikian, mayoritas ulama menyatakan bahwa hukum ini berlaku untuk kaum Muslimin semua, tentunya yang memiliki kasus yang serupa atau hampir
sama. Zhihâr ialah penyerupaan seseorang terhadap perempuan yang halal baginya
untuk dijimak (istri) dengan orang-orang yang diharamkan menjimaknya, yakni mereka yang termasuk dalam mahram muabbad, baik dari jalur keturunan,
perkawinan, maupun susuan. 318 Orang-orang Arab biasanya menyerupakannya
dengan zhahr (punggung). Seperti ucapan: ﻰـِّّﻣﹸﺍ ِﺮﻬﹶﻈﹶﻛ ﻲﹶﻠﻋ ِﺖﻧﹶﺍ (Bagiku engkau seperti punggung ibuku). Karena itu disebut ﺭﺎﻬِﻇ karena istilah itu diambil dari kata ﺮﻬﻇ .
Pengambilan kata zhahr (punggung) sebagai istilah, bukan bagian tubuh lain
seperti ﻦﹾﻄﺑ (perut), atau ﺝﺮـﹶﻓ (kelamin) atau anggota tubuh lainnya karena ﺮـﻬﹶﻇ
(punggung) itu tempat sesuatu untuk dinaiki atau ditunggangi. Orang-orang Arab menganggap bahwa perempuan itu seperti sesuatu yang dinaiki ketika bersetubuh. 319
Karena itu, menurut Al-Qurthûbi ungkapan ﻰـِِّﻣﹸﺍ ِﺮـﻬﹶﻈﹶﻛ ﻲﹶﻠﻋ ِﺖﻧﹶﺍ itu maksudnya:
317 Al-Râzî, Mafâtih …, jilid 15, h. 252 318 Abû al-walid Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd, Muqaddimât Ibn Rusyd, (Bairut: Dâr al-
Kutub al-Ilmiyyah, tth), jilid 5, h. 341 319 Ibn Rusyd, Muqaddimât…, jilid 5, h. 341
"Engkau diharamkan bagiku dan aku tidak halal menaikimu sebagaimana punggung ibuku yang aku diharamkan menaikinya. 320 "
Jika istri mengetahui maksud pernyataan suaminya seperti ini, tentu akan merasakan sakit hati. Suaminya yang selama ini dikenal penyayang tiba-tiba mengucapkan kata-kata keji yang mengharamkan dirinya untuk digauli. Ini merupakan ucapan yang sangat tidak pantas dikatakan oleh seorang suami. Allah
mengancam keras kepada orang yang melakukan tindakan ini dengan firman-Nya: "Sesungguhnya mereka mengucapkan perkataan yang mungkar dan dusta."
Ada dua hal yang patut dikritisi dalam hukum zhihâr ini. Zhihâr sebagai tradisi dan sebagai suatu larangan pelecehan terhadap istri. Pertama, apabila zhihar itu sebagai tradisi Arab jahiliyyah yang diharamkan oleh Islam, maka hukum ini hanya, terbatas di kalangan orang-orang Arab saja dan tidak berefek apa pun jika diterapkan pada masyarakat non- Arab. Kalau kita mengkaji ungkapan zhihar dalam
bahasa Arab ﻰـِِّﻣﹸﺍ ِﺮـﻬﹶﻈﹶﻛ ﻲـﹶﻠﻋ ِﺖﻧﹶﺍ yang makna teksnya "engkau bagiku seperti
punggung ibuku", mungkin kalau istri kita dikatakan semacam itu, dia tidak marah karena tidak ada kultur yang membentuk opini pelecehan terhadap perempuan dengan pernyataan semacam itu di masyarakat kita. Padahal, menurut al-Qurthûbi, makna yang paling tepat adalah sebagaimana ucapan "Aku haramkan kamu bagiku
sebagaimana keharamanku menggauli ibuku". 321 Dengan ucapan ini dan ditambah dengan mimik yang emosional, pasti siapaun istri yang mendengarkannya akan
merasa dilecehkan. Karena itu, tidak heran jika Imam al-Râzî mengatakan bahwa
320 Al-Qurthûbi, al-Jâmi'…., jilid 9, h. 177 321 Al-Qurthûbi, al-Jâmi' …, jilid 9, h. 177 320 Al-Qurthûbi, al-Jâmi'…., jilid 9, h. 177 321 Al-Qurthûbi, al-Jâmi' …, jilid 9, h. 177
Kedua , zhihar sebagai larangan pelecehan terhadap istri. Kronologi turunnya ayat ini menunjukkan adanya faktor pelecehan suami terhadap istri. Istri (dalam kasus khoulah) mengetahui secara pasti bahwa zhihâr dalam masyarakat jahiliyyah merupakan salah satu ucapan talak ala jahiliyyah yang efeknya dapat menimbulkan
perceraian. Karena itu, ketika Rasulullah Saw. menyatakan: "Kamu telah diharamkan baginya", maka dia tidak beranjak pergi meninggalkan majlis beliau. Tetapi justru
mendesak beliau agar menetapkan hukum yang lebih adil dengan mengadu kepada Allah. Hukum Islam tidak sama dengan hukum jahiliyyah yang melegalkan talak hanya dengan ucapan semacam itu. Bisa jadi, dorongan kultur menyebabkan suami mengucapkan zhihâr, tetapi tidak bermaksud untuk talak. Karena itu, Allah menurunkan ayat ini yang berisi hukuman bagi orang yang berbuat zhihar (baca: melecehkan istri), supaya dia jera dan sadar akan perbuatan tercelanya itu. Hukuman ini lebih adil bagi istri karena dampak psikologisnya lebih baik, yakni menjadikan suami menyadari akan kesalahannya dan berhati-hati dalam mengucapkan sesuatu yang dapat menimbulkan pelecehan terhadap istrinya, sementara istri tidak diceraikan karena tanggung jawab seorang janda tentu lebih berat dalam kehidupannya, terutama bagi anak-anaknya juga.
Dan masalah tadi, ternyata setelah diteliti dari segi perbedaan qirâ`ât menunjukkan adanya indikasi bahwa hal tersebut tercakup di dalamnya. Qirâ`ât
mutawâtir dalam ayat ini ada tiga versi: ﹶﻥﻭﺮّﻬﱠﻈﻳ – ﹶﻥﻭﺮﻫﺎﱠﻈﻳ – ﹶﻥﻭﺮِﻫﺎﹶﻈﻳ .
322 Al-Râzî, Mafâtih…, jilid 15, h. 255
Qirâ`ât pertama, ﹶﻥﻭﺮِﻫﺎـﹶﻈﻳ menunjukkan faidah musyârokah, yakni adanya
timbal balik antara suami dengan istrinya. Yang dimaksud di sini, bukan berarti istri balik menzhihârnya tetapi istri menganggap hal itu merupakan pelecehan baginya. Dia merasa sakit hati atas ucapan suaminya itu, serta menolak dengan keras ucapan suaminya pada dirinya. Hal ini karena tradisi jahiliyyah menganggap bahwa ucapan itu merupakan salah satu bentuk pelecehan dan kalimat talak suami pada istrinya.
Mafhum mukhâlafah nya (pemahaman sebaliknya), berarti jika perkataan zhihar tidak dianggap pelecehan bagi istri, bahkan misalnya dia menganggap bahwa ucapan itu
merupakan sanjungan baginya, maka kaffarah zhihâr tidak jatuh dalam kasus ini. Dalam adat kebiasaan orang Indonesia, kita seringkali menyebut istri dengan panggilan ibu, mama, atau umi. Tetapi panggilan ini bukan berarti kita menyamakan dia dengan ibu kita, yang merupakan mahram kita, melainkan penghormatan kita kepadanya karena dia menjadi ibu dari anak-anak kita atau mengajarkan anak-anak untuk memanggilnya ibu. Ibn Katsîr menyatakan jika ungkapan zhihar ini diucapkan karena tidak ada maksud untuk menyamakan istri dengan orang yang haram dinikahi, maka zhihar tidak jatuh. Sebagaimana diriwayatkan bahwasannya Rasulullah Saw. mendengar ada seorang laki-laki yang memanggil istrinya dengan ucapan: "Ya ukhtī
(wahai saudariku), lalu Rasulullah bersabda: "Apakah dia saudarimu?" 323 Ketika itu Rasulullah tidak menganggapnya zhihâr karena orang itu tidak bermaksud
menyamakannya dengan saudarinya. Seandainya dia memang bermaksud zhihar, tentu Rasulullah menyuruhnya untuk membayar kaffarah atau denda karena tidak ada
bedanya antara saudari dan ibunya yang sama-sama mahram muabbad baginya. 324
323 Hadis ini diriwayatkan oleh Abû Daud dalam Ibn Katsīr, Mukhtashar…, jilid 3., h. 460 324 Ibn Katsīr, Mukhtashar…, jilid 3, h. 460
Qirâ`ah kedua, ﹶﻥﻭﺮﻫﺎﱠﻈﻳ menunjukkan faidah musyarakah atau muthâwa'ah (persetujuan terjadinya suatu perkara). Artinya jika berfaidah musyarakah maka hukumnya seperti kata ﹶﻥﻭﺮِﻫﺎﹶﻈﻳ di atas. Sementara jika berfaidah muthâwa'ah, maka kata ini menunjukkan terjadinya zhihâr dan implikasi hukumnya terjadi ketika dia mengucapkannya pada istrinya. Hukum yang ditimbulkan dari lafaz ini dan lafaz
qirâ`ah yang ketiga ﹶﻥﻭﺮـّﻬﱠﻈﻳ yang juga berfaidah muthawa'ah lebih berat dari yang
pertama.
Dengan qirâ`ah ini, maka berarti zhihâr bukanlah hukum bagi bangsa tertentu. Zhihar sebagai suatu bentuk pelecehan terhadap perempuan, sangsinya harus dikenakan bagi suami yang secara semena-mena menyatakan dengan terang-terangan: "Engkau haram bagiku sebagaimana haramnya aku menggauli ibuku." Lalu dia menelantarkan istrinya, tidak memberikan nafkah batin kepadanya dan yang lebih tragis lagi bila dia selingkuh dengan perempuan yang lain, baik secara terang- terangan maupun secara sembunyi-sembunyi.
Dengan demikian, hukum zhihâr ini harus melihat konteks yang terjadi: bagaimana tradisi lingkungannya, pada saat apa dia mengucapkannya dan apa efek yang ditimbulkan dari pernyataan tersebut. Inilah bagian-bagian terpenting dari hukum zhihar.