Sumpah Îlâ : Bentuk pelecehan terhadap Istri (Q.s. Al-Baqarah/ 2: 226)
3. Sumpah Îlâ : Bentuk pelecehan terhadap Istri (Q.s. Al-Baqarah/ 2: 226)
Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). Kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Perbedaan Qirâ`ât:
Imam Qurrâ` sepuluh tidak ada perbedaan dalam membaca ayat ini. Namun riwayat yang berasal dari Ibn Mas'ûd menyebutkan bahwa beliau membaca kalimat
ﻢﻴِﺣﺭ ﺭﻮﹸﻔﹶﻏ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﱠﻥِﺈﹶﻓ ﺍﻭُﺀﺎﹶﻓ ﹾﻥِﺈﹶﻓ menyelipkan kata ﻦِﻬﻴـِﻓ di sela-sela ayat tersebut, maka menjadi: 300 ﻢﻴِﺣﺭ ﺭﻮﹸﻔﹶﻏ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﱠﻥِﺈﹶﻓ ﻦِﻬﻴِﻓ ﺍﻭُﺀﺎﹶﻓ ﹾﻥِﺈﹶﻓ
Implikasi Makna
Ada istilah penting berkenaan dengan ayat yang akan kita bahas berikut ini, yakni ﺀﻼﻳﺍ dan ﺊﻴﻓ . ﺀﻼـﻳﺍ Berasal dari fiil madli ﻰِﻟﻮـﻳ – ﹶﱃﺍ yang artinya sumpah. Menurut
istilah īla' ialah sumpahnya seseorang untuk tidak menyetubuhi istrinya dalam
299 Ibn Katsīr, Mukhtashar Ibn Katsîr, jilid 1, h. 217 300 Abû Hayyan al-Andalusi, Tafsīr al-Bahr al-Muhīth, (Bairut: Dar al-Fikr, 1978), juz 2, h.
ﺊﻴﻓ berasal dari fiil madli ﺊﻴﻔﻳ – ﺀﺎﻓ yang artinya kembali kepada keadaan
yang lebih baik. Sedangkan menurut istilah dalam ayat ini, berarti ungkapan sindiran untuk melakukan jimak, demikian pendapat Ibn 'Abbâs, 'Ali ibn Abî Thâlib, dan Ibn
Mas'ûd. 302 Atau dalam arti lain, dia mencabut sumpahnya untuk kembali menjalin hubungan suami-istri.
Penafsiran dengan qirâ`ât mutawâtir memberikan makna bahwa seorang laki- laki yang bersumpah untuk tidak menggauli istrinya (Îlâ') masih diberi kesempatan untuk mencabut sumpahnya setelah melewati masa empat bulan. Sementara, jika
ditambah dengan kata ﻦِﻬﻴـِﻓ mengandung arti bahwa dia hanya diberi masa empat
bulan. Jika selama masa itu, dia belum mencabut sumpahnya, maka jatuhlah talak.
Implikasi terhadap Relasi Gender
Îla' (sumpah tidak menggauli istri) merupakan adat jahiliyah untuk menceraikan istri. Sebelum istri benar-benar dicerai, suami menghukumnya dengan cara menelantarkannya sampai beberapa bulan, sebagaimana ungkapan Sa'ad ibn Jubair:
Ila' dan zhihar merupakan talak di zaman jahiliyah, lalu Allah membatasi pemberlakuannya sampai empat bulan dan menjadikan zhihar (dikenakan
sangsi) denda, 303 (yang perinciannya disebutkan dalam pembahasan ayat zhihar)
301 Ibn Rusyd, Bid â yah… , jilid 2, h. 80 302 Ibn Katsīr, Mukhtashar…, jilid 1, h. 200. lihat juga dalam Al-Suyûthî, al-D û r… , h. 484 303 Ibn Katsīr, Mukhtashar …, jilid 3, h. 200, Atsar ini diriwayatkan oleh Ibn Abi Hatim.
Adakalanya īla' ini sebagai salah satu bentuk pelajaran dari suami bagi istrinya yang nusyûz. Namun tidak jarang hal ini merupakan salah satu bentuk pelecehan suami terhadap istri.
Apabila niatnya untuk memberikan pelajaran bagi istri yang nusyûz, maka disunnahkan tidak lebih dari satu bulan, sebagaimana apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw.
Dalam Shahihain disebutkan dari ''Aisyah bahwasannya Rasulullah Saw. pernah bersumpah untuk tidak menggauli istri-istrinya (īla') selama satu bulan, lalu
beliau meninggalkan mereka selama 29 hari, dan beliau bersabda: ﻊﺴـﺗ ﺮﻬﺸـﻟﺍ 304 ﻥﻭﺮﺸﻋﻭ
(satu bulan itu 29 hari). Dalam hal ini, Rasulullah Saw. bukannya menelantarkan sama sekali dalam pergaulan, tetapi yang dilakukannya hanyalah tidak menjimak mereka selama masa sumpah itu, inilah yang disyariatkan Islam. Sementara adat jahiliyah, di mana mereka yang rata-rata memiliki istri lebih dari seorang, ketika sudah bosan dengan salah seorang istri, maka mereka menelantarkannya dengan sumpah untuk tidak menggaulinya dalam tempo tertentu atau tanpa ada batasan waktu. Ayat ini menegaskan bagi kaum Muslimin agar mereka tidak melakukan adat jahiliyah itu.
304 Ibn Katsīr, Mukhtashar …, jilid 1, h. 200. Ulama berbeda pendapat tentang riwayat sebab terjadinya ila' Rasulullah Saw. terhadap istrinya antara lain: 1). Karena Hafshah ra. menyebarkan hadīts (berita) rahasia yang sepatutnya dia simpan baik-baik, yakni beliau mengharmkan Mariah baginya. Hafshah diperintahkan untuk menutupi berita ini, tetapi justru menceritakannya kepada ''Aisyah. 2) Beliau membagikan hadiah kepada semua istrinya, teapi Zainab bint Jahsy tidak rela dengan bagiannya, lalu ditambahkan tetapi tidak rela juga. Kemudian Nabi bersabda: "Sungguh kalian semua meremehkan (pemberian) Allah dengan menyusahkanku, maka saya tidak (mau) menggauli kalian selama satu bulan." 3). Karena Para istrinya menuntut nafkah yang melebihi kemampuan Nabi Saw. Menurut ash-Shon'ani berkumpulnya tiga sebab inilah yang mungkin menjadikan Nabi tidak mau mendekatinya, demikian menurut Al-Shan'âni. Hadis senada dengan lafaz berbeda juga diriwayatkan oleh al-Tirmidzi, semua rawinya, menurut Ibn Hajar, dapat dipercaya. Muhammad ibn Ismail al- Shan'ani, Subul al-Sal â m Syarh Bulugh al-Mar â m , (Bandung: Dahlan, tth), jilid 3, h. 183
Kalaupun mereka terpaksa melakukannya, Allah memberi tenggang waktu maksimal selama empat bulan.
Para fuqaha (ulama fikih) memberikan alasan mengapa Allah Swt. menetapkan empat bulan sebagai batas maksimal seseorang tidak menggauli istrinya. Alasannya, karena perempuan itu tidak akan tahan memendam rasa rindunya kepada suaminya jika lebih dari empat bulan. Mereka menjadikan ketetapan 'Umar ibn
Khathâb sebagai sandaran hujjahnya. 'Umar pernah bertanya kepada anaknya Hafshah, istri Rasulullah Saw.: "Berapa lama maksimal seorang perempuan sabar
menanti suaminya?" Hafshah menjawab: enam bulan atau empat bulan. Lalu 'Umar berkata: Kalau demikian, saya tidak akan menahan seorang prajurit pun (untuk
pulang ke istrinya) lebih dari masa (empat bulan) itu. 305 Seseorang diperbolehkan mengucapkan sumpah īla' kepada istrinya asalkan
tidak lebih dari empat bulan. Apabila dia melanggar sumpahnya dengan menggauli istrinya sebelum masa yang ditentukan sumpahnya habis, maka dia dikenakan
kaffârah 306 (denda) pelanggaran sumpah. Ulama berbeda pendapat tentang jatuhnya talak setelah masa empat bulan,
apakah dengan sendirinya istri tertalak jika suami tidak mencabut sumpahnya atau tidak. Imam Mâlik, Al-Syâfi'î dan Ahmad berpendapat bahwa ketika habis masa empat bulan itu, orang yang bersumpah īla' masih diberi kesempatan untuk fa'i
305 Ibn Katsīr, Mukhtashar…, jilid 1, h. 201 306 Misalnya seseorang berkata kepada istrinya, "Demi Allah, aku tidak akan menggauli kamu
selama dua bulan." Jika dia melanggar sumpah dengan cara menggaulinya sebelum habis masa dua bulan maka sangsinya sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Mâidah/ 5: 89. yakni memberi makan sepuluh orang miskin, atau memberi pakaian mereka, atau memerdekakan budak, atau puasa selama tiga hari.
(mencabut sumpahnya) atau mentalak istrinya. Ini juga merupakan pendapat Ali ibn Abû Thalib dan Ibn 'Umar.
Mâlikiyyah mewakili pendapat ini berargumen sebagai berikut:
1. Waktu tunggu itu hak bagi suami. Dialah yang menentukan masanya bukan istrinya. Maka hal ini diserupakan dengan hutang yang harus dibayar pada masa yang ditentukan.
2. Allah menyandarkan talak pada perbuatannya. Karena itu, talak tidak dapat dengan sendirinya jatuh, kecuali ada ucapan dari suami.
3. Firman Allah ﻢﻴـِﻠﻋ ﻊﻴِﻤﺳ َﷲﺍ ﱠﻥِﺎﹶﻓ ﻕﹶﻼﱠﻄﻟﺍ ﺍﻮﻣﺰﻋ ﹾﻥِﺍﻭ menunjukkan bahwa
jatuhnya talak itu ketika adanya ucapan yang dapat didengarkan dengan jelas.
4. Firman Allah ﻢﻴـِﺣﺭ ﺭﻮـﹸﻔﹶﻏ َﷲﺍ ﱠﻥِﺎﹶﻓ ﺍﺅﺎﹶﻓ ﹾﻥِﺎﹶﻓ . Fa'i (pencabutan sumpah)
dilakukan setelah masa empat bulan. Menurut mereka, ini serupa dengan 'iddah talak raj'i karena diberlakukannya 'iddah supaya suami tidak menyesal atas keputusannya.
Argumen di atas ini menunjukkan bahwa mereka menganalogikan ila' dengan talak raj'i dan masa tunggu (empat bulan) dengan 'iddah talak. 307
Berbeda dengan jumhur ulama, Abû Hanîfah dan Abû Tsaur berpendapat bahwa masa tunggu empat bulan itu merupakan toleransi bagi orang yang bersumpah īla'. Jadi ketika masa toleransi itu sudah habis, sementara orang tersebut belum mencabut sumpahnya, maka istrinya jatuh talak. Bahkan, mengikuti pendapat Ibn
Mas'ûd, Abû Hanîfah menetapkan bahwa talaknya itu talak ba'in. 308
307 Ibn Rusyd, Bid â yah …, jilid 2, h. 81 308 . Ibn Katsīr, Mukhtashar…, jilid 1, h. 201
Beliau berargumen dengan qirâ`ah syâdz yang diriwayatkan dari Ibn Mas'ûd yang membacanya sebagai berikut:
Maka jika mereka kembali (kepada istri-istrinya) pada masa itu, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang.
Beliau menganggap talak akibat īla' ini talak ba'in karena melihat maslahat yang terjadi pada perempuan. Selama masa empat bulan itu statusnya menggantung,
tidak pernah digauli dan sangat memungkinkan terjadinya terputusnya komunikasi antara suami-istri serta menandakan ketidakharmonisan keluarga mereka. Apabila perempuan dikenakan talak raj'i lagi, yang berarti harus menunggu beberapa bulan
sebagai 'iddah-nya, maka berarti menimpakan kesusahan lagi kepadanya. 309 Pendapat Abû Hanîfah lebih menguntungkan bagi pihak perempuan karena
status dia yang selama empat bulan ini terkatung-katung karena kebejatan moral menjadi jelas dan tegas. Istri yang ditelantarkan sekian lama karena sumpah īla'-nya, tentu akan merasa muak apabila menerimanya lagi sebagai suaminya. Dia tentu akan berpikir panjang ketika suaminya mengajak untuk rujuk karena peristiwa pahit yang baru saja dialaminya bisa jadi akan terulang kembali.
Pendapat jumhur ulama, meskipun argumentasinya cukup menyakinkan, dengan memberi kesempatan bagi suami untuk rujuk setelah empat bulan. Namun dilihat dari beberapa aspek, pendapat itu sangat bias gender. Paling tidak, ada tiga faktor yang merugikan pihak perempuan, jika diberikan kesempatan kedua kalinya setelah masa emapat bulan ini, yaitu:
309 Ibn Rusyd, Bid â yah … , jilid 2, h. 82
Pertama, Segi psikologis yang diderita istri akibat sumpah ini, misalnya: batinnya tertekan, sangat benci pada suaminya, tidak tersalurkannya nafsu seksualnya dan lain-lain.
Kedua, Menambah lama dan ketidak jelasan statusnya dengan adanya 'iddah. Ketiga, Dengan adanya 'iddah talak raj'i, di mana statusnya masih sebagai
istri suami itu yang berarti masih dalam penguasaan dan pengawasannya, maka secara tidak langsung melanggengkan tindakan pelecehan yang mungkin terjadi
akibat ulahnya.
Demikianlah ulasan tentang implikasi relasi gender akibat sumpah īla'.