Sekilas tentang Sejarah Istilah Gender

2. Sekilas tentang Sejarah Istilah Gender

Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara manusia jenis kelamin laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu, terbentuknya perbedaan-perbedaan gender disebabkan banyak hal, di antaranya dibentuk dan disosialisasikan melalui adat-istiadat budaya, ajaran keagamaan dan bahkan negara. Melalui proses yang panjang, sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap sebagai ketentuan Tuhan, seolah-olah biologis yang tidak dapat dirubah

91 Tim Penyusun Meneg. PP. R.I., Fakta, Data, dan Informasi Kesenjangan Gender di Indonesia, (Jakarta: Kantor Meneg. PP. R. I. , 2001), buku 4, h. 18.

92 Umar, Argumen…., h. 35.

lagi, sehingga perbedaan-perbedaan gender dianggap sebagai kodrat laki-laki dan perempuan.

Sebaliknya, melalui dialektika, konstruksi sosial gender yang tersosialisasikan secara evolusional dan perlahan-lahan mempengaruhi biologis masing-masing jenis kelamin, misalnya, karena konstruksi sosial gender, kaum laki-laki harus bersifat kuat dan agresif maka kaum laki-laki kemudian terlatih dan tersosialisasi kepada sifat-sifat

gender yang ditentukan oleh masyarakat, yakni secara fisik lebih kuat dan lebih besar. Sementara perempuan yang sejak bayi dididik agar bersikap lemah lembut, maka

proses sosialisasi tersebut tidak saja berpengaruh kepada perkembangan dan emosi kaum perempuan tetapi juga mempengaruhi perkembangan fisik dan biologis

selanjutnya. 93 Dewasa ini terjadi peneguhan pemahaman yang tidak pada tempatnya di

masyarakat mengenai apa yang disebut dengan kodrat perempuan, di mana sesungguhnya hal itu merupakan gender, karena pada dasarnya konstruksi sosial merupakan faktor terpenting yang membentuk secara langsung hal-hal yang dianggap kodrat itu. Misalnya, sering diungkapkan bahwa mendidik anak, mengelola dan merawat kebersihan rumah tangga atau urusan domestik sering dianggap sebagai "kodrat perempuan". Padahal kenyataannya, peran gender yang demikian itu merupakan konstruksi kultural dalam suatu masyarakat tertentu. Karena itu, boleh jadi urusan anak dan merawat kebersihan rumah tangga bisa dilakukan oleh laki-laki. Dengan demikian, apa yang sering disebut "kodrat perempuan" atau "takdir Tuhan terhadap perempuan" dalam kasus ini adalah masalah gender.

93 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Tranformasi Sosial, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 9-10.

Kilas balik sejarah gender, terutama di Barat, yang menjadi asal istilah ini tidak lepas dari peranan feminis, yakni orang-orang yang memfokuskan diri mereka

untuk memikirkan masalah-masalah yang berkaitan dengan perempuan. 94 Kaum pemikir feminis ini berusaha semaksimal mungkin untuk mendekonstruksikan

fenomena yang ada selama ini, di mana alasan utamanya antara lain: perempuan dianggap sebagai makhluk kedua, perempuan dipersalahkan karena jatuh tergoda iblis

dan memimpin manusia ke dalam dosa asal, perempuan tidak suci dan lebih rendah dari laki-laki, dan pandangan-pandangan lainnya. 95 Ini semua tercantum dalam Kitab

Suci Bible sehingga kaum feminis berusaha untuk menafsirkan kembali teks-teks suci tersebut sehingga menjadi "firman yang membebaskan" dari justifikasi upaya diskriminasi terhadap perempuan.

Pandangan negatif terhadap perempuan ini berdampak kepada ketidakadilan yang mereka alami sehari-hari. Bahkan hal itu masuk dalam perundang-undangan negara Eropa saat itu. Sebagai contoh, menurut hukum Inggris, yang berlaku juga di Amerika yang pada awal abad ke-17 itu masih merupakan koloni Inggris, kaum perempuan mempunyai banyak kewajiban tetapi sedikit haknya. Perempuan yang sudah menikah akan kehilangan hak memiliki harta benda dan hak-hak sipil

lainnya. 96 Di Perancis, disebabkan institusi Gereja yang melarang perceraian, terutama

gugatan yang diajukan dari pihak perempuan, maka pada tahun 1793, mereka menuntut hak perempuan untuk dapat bercerai dengan suaminya, tentu mereka

94 Gadis Arivia, Filsafat Berperskpektif Feminis, (Jakarta: Jurnal Perempuan, 2003), h. 83. 95 Letty M. Russel, ed. Perempuan dan Tafsir Kitab Suci, (Jakarta: Kanisius, 1998), h. 25. 96 Nana Nurliana Soeyono, MA, Gerakan Perempuan di Amerika; Suatu Tinjauan Historis,

(Jakarta: Jurnal Perempuan untuk Pencerahan dan Kesetaraan, 2000), Vol. XIV, h. 17.

menggugat demikian karena perlakuan dari suami-suami mereka yang sering menggunakan kekerasan dalam menghadapi masalah rumah tangga. Di Benua Amerika, ada seorang tokoh perempuan seperti Ellen Craft (1826-1891) yang menuntut diberlakukan hak-hak politik bagi perempuan. Dia juga berusaha

memperjuangkan nasib para budak. 97 Di Inggris, seorang perempuan bernama Marry Wollstonecraft (1759-1799)

banyak menulis tentang posisi ekonomi dan sosial perempuan di Eropa yang tidak menguntungkan. Perempuan menengah digambarkan seperti burung dalam sangkar.

Di satu sisi mereka harus mengorbankan kesehatan, kebebasan dan kemandiriannya, dan di sisi lain mereka diharuskan merasa bangga dengan kemajuan-kemajuan yang bukan dihasilkan dirinya sendiri tetapi kemajuan yang dihasilkan oleh suaminya.

Meskipun Wollstonecraft tidak pernah memakai istilah-istilah seperti "konstruksi sosial atau peranan gender", namun ia telah melihat bahwa kondisi perempuan pada saat itu bukan hal yang alamiah tetapi lebih merupakan hasil dari pembentukan lingkungan. Wollstonecraft berargumentasi bahwa apabila laki-laki dimasukkan ke dalam "sangkar" seperti yang dilakukan pada perempuan, maka mereka pun akan mempunyai karakter yang sama, yakni lemah, emosional, sensitif

dan mempunyai perasaan ingin menyenangkan diri. 98 Feminisme awal yang berkembang sejak tahun 1800-an ini merupakan

representasi gelombang feminisme pertama. Saat itu yang menonjol dari kegiatan mereka adalah membentuk aktivis pergerakan perempuan. Selanjutnya feminisme gelombang kedua, tepatnya pada awal tahun 1960-an, pada gelombang ini muncul

97 Arifia, Filsafat… , h. 86. 98 Arifia, Filsafat…, h. 90.

refleksi tentang persoalan-persoalan perempuan, dan sebagai turunannya lahir teori- teori yang menyusun mengenai kesetaraan perempuan dengan laki-laki. Sementara itu, pada gelombang ketiga, teori-teori yang muncul ini mengikuti atau bersinggungan dengan pemikiran-pemikiran kontemporer, dan dari sana lahir teori-teori feminisme yang lebih plural, misalnya feminisme postmodernisme, postkolonial, multikultural

dan global. 99 Dari sekian lama sejarah feminisme ini dapat disimpulkan, setidaknya ada dua

kelompok besar dalam diskursus feminisme mengenai konsep kesetaraan gender, dan keduanya saling bertolak belakang. Pertama adalah sekelompok feminis yang mengatakan bahwa konsep gender adalah kontruksi sosial an sich, sehingga perbedaan jenis kelamin tidak perlu mengakibatkan perbedaan peran dan perilaku gender dalam tatanan sosial. Karenanya, segala jenis perbedaan yang berbau gender, misalnya perempuan cocok untuk melakukan pekerjaan mengasuh anak, dan laki-laki sebagai pencari nafkah keluarga, harus dihilangkan dalam kehidupan sosial. Kalau tidak, akan sulit menghilangkan kondisi ketidaksetaraan. Kelompok feminis ini disebut feminis radikal.

Di lain pihak, ada sekelompok feminis yang menganggap perbedaan jenis kelamin akan selalu berdampak terhadap konstruksi konsep gender dalam kehidupan sosial, sehingga akan selalu ada dan menjadi keharusan jenis-jenis pekerjaan berstereotip gender. Kelompok ini disebut dengan feminis liberal.

99 Arifia, Filsafat…., h. 84.

Kedua kelompok ini didasari oleh landasan dan ideologi yang berbeda, yang tentunya berpengaruh dalam kiprahnya dalam tatanan sosial. 100

Di Indonesia sendiri isu feminisme dan ketidakadilan gender ini mulai diperkenalkan oleh sejumlah aktifis lembaga sosial masyarakat (LSM) dalam kaitannya dengan pembangunan pada tahun 1970-an. Selanjutnya, isu tersebut secara sederhana dibagi menjadi tiga dasawarsa tahapan.

Periode pertama, tahapan "pelecehan". Selama tahun 1975-1985 hampir semua aktivis LSM menganggap masalah gender bukan menjadi masalah penting,

bahkan banyak yang melakukan pelecehan terhadap perempuan. Pada umumnya mereka tidak menggunakan analisis gender, sehingga reaksi terhadap masalah ini sering menimbulkan konflik antar aktifis perempuan dan aktifis lainnya. Perlawanan terhadap masalah perempuan di kalangan aktivis mengambil bentuk bermacam- macam. Umumnya bentuk perlawanannya adalah dengan penjinakan demi kelancaran projek dari agenda utama program organisasi yang bersangkutan.

Periode kedua, yaitu tahapan pengenalan dan pemahaman, yakni berkisar tahun 1985-1995. Pada dasawarsa ini, dimulai pengenalan dan pemahaman dasar tentang apa yang dimaksud analisis gender dan mengapa menjadi masalah

pembangunan. 101 Puncaknya, ketika pada tahun 1995 UNDP (United Nations Development Program ) merupakan salah satu konsep dalam mengukur indikator

pembangunan manusia (Human Development Index/ HDI) dengan menetapkan

Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender, (Bandung: Mizan, 1999), h. 20.

101 Fakih, Analisis…, h. 160-161.

adanya faktor kesetaraan gender (gender equality). Faktor kesetaraan gender ini harus selalu diikutsertakan dalam mengevaluasi keberhasilan pembangunan nasional. 102

Periode terakhir adalah tahapan yang sekarang sedang berjalan, yakni mengintegrasikan gender ke dalam seluruh kebijakan dan program di berbagai organisasi dan lembaga pendidikan dan strategi advokasi terhadap segala persoalan yang menyangkut ketidakadilan gender baik di masyarakat maupun di lembaga

negara. 103 Dengan demikian, istilah gender banyak dibahas dalam diskusi-diskusi

kenegaraan maupun politik, bahkan menjadi wacana yang umum dikaji oleh para ilmuan, baik sosial keagamaan maupun sosial kemasyarakatan di Indonesia.