Nikah Mut'ah : Hukum dan relevansinya di zaman modern (Q.s. Al-Nisâ`/ 4 : 24)

5. Nikah Mut'ah : Hukum dan relevansinya di zaman modern (Q.s. Al-Nisâ`/ 4 : 24)

Dan (diharamkan juga kamu mengawini) perempuan yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki, (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian,

yaitu mencari istri-istri dengan hartamu untuk dinikahi bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban ; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menetukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Perbedaan Qirâ`ât:

Ulama Qurrâ` sepuluh yang mutawâtir tidak membedakan bacaan terhadap ayat di atas ini. Sementara itu, diriwayatkan dari Ibn 'Abbâs bahwa dia menyelipkan

kalimat ﻰﻤﺴﻣ ٍﻞﺟﹶﺍ ﱃﺍ setelah kalimat ﻦﻬﻨِﻣ ِﻪِﺑ ﻢﺘﻌﺘﻤﺘﺳﺍ ﺎﻤﹶﻓ maka ayat itu berbunyi: 248 ﺔﻳﻻﺍ .... ﹰﺔﻀﻳِﺮﹶﻓ ﻦﻫﺭﻮﺟﹸﺃ ﻦﻫﻮﺗﺂﹶﻓ ﻰﻤﺴﻣ ٍﻞﺟﹶﺍ ﱃﺍ ﻦﻬﻨِﻣ ِﻪِﺑ ﻢﺘﻌﺘﻤﺘﺳﺍ ﺎﻤﹶﻓ

Sanadnya secara lengkap sebagai berikut: Diriwayatkan dari Abdullah ibn Abû Daud (pengarang al-Mashâhif ) dari Muhammad ibn Zakaria dari Abû Roja dari Isra`il dari Abû Ishaq dari ’Umar ibn Yarûm dari Ibn ’Abbas bahwa dia membacanya demikian. Abdullah juga

248 Abû Bakar Abdullah ibn Abû Daud, Kitab al-Mash â hif , (Bairut: Dar al-Kutub al- 'Ilmiyyah, 1985), h. 63 dan 91 248 Abû Bakar Abdullah ibn Abû Daud, Kitab al-Mash â hif , (Bairut: Dar al-Kutub al- 'Ilmiyyah, 1985), h. 63 dan 91

Implikasi Makna:

Qirâ`ah jumhur yang mutawâtir mengartikan mut'ah yang dimaksud ialah Jimak yang dilakukan oleh suami-istri dalam pernikahan secara umum atau biasa. Namun jika diberi tambahan ﻰﻤﺴﻣ ٍﻞﺟﹶﺍ ﱃﺍ menunjukkan pernikahan mut'ah, yakni

pernikahan yang dilakukan dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan suami-istri dalam akad nikah.

Kata kunci dalam pembahasan ayat ini adalah mut'ah atau istimtâ'. Menurut

al-Asfahâni, kata ﺔﻌﺘﻣ , ﻉﺎﺘﻣ dan ﻉﺎﺘﻤﺘﺳ ﺍ , bermakna memanfaatkan, lengkapnya: ﺎﻣ ﻪﺟﻭ ﻰﻠﻋ ﻪﺑ ﻊﻔﻨﻳ ﺎﻣ ﻞﻛ

Segala sesuatu yang dapat diambil manfaatnya dengan berbagai cara 250 . Kata menurut istilah ada beberapa macam mut'ah, antara lain: mut'ah thalâk

(sebagaimana dijelaskan dalam pembahasan surat al-Baqarah/ 2: 236), mut'ah al- Jinsiyyah , dan nikâh mut'ah.

Al-mut'ah al-Jinsiyyah atau at-tamattu' al-jinsy ialah segalah macam kenikmatan seks, baik dengan persetubuhan, sentuhan rangsangan, atau pandangan (yang menjadikan berahi).

Nikah mut'ah ialah akad nikah antara laki-laki dan perempuan yang dihalalkan dalam jangka waktu tertentu. Ketika masanya sudah habis, maka jatuhlah perceraian dengan sendirinya tanpa ada ucapan talak. Dalam akad ini, tidak ada hak-

249 Ibn Abû Daud, Kitab…, h. 87-88 250 Al-Asfahâni, Mu'jam…, h. 481 249 Ibn Abû Daud, Kitab…, h. 87-88 250 Al-Asfahâni, Mu'jam…, h. 481

Implikasi terhadap Relasi Gender.

Ayat ini mengandung pengertian yang berbeda antara ulama Sunni dan Syi'ah berkaitan dengan hukum mut'ah. Ulama sunni memandang yang dimaksud mut'ah di sini adalah menikah biasa sebagaimana yang disyareatkan agama. Sementara ulama

Syi'ah menyatakan bahwa ayat inilah yang menegaskan diperbolehkannya nikah mut'ah atau kawin kontrak. Kedua pandangan akan kami ulas satu persatu dengan

argumen mereka mengenai hal ini.

a. Sikap Ulama Sunni terhadap terhadap Nikah Mut'ah

Ayat: 24 surat Al-Nisâ`/ 4 ini berkaitan erat dengan ayat sebelumnya yang membahas perempuan-perempuan yang haram dinikahi. Bahkan, di awal ayat Allah masih menerangkan salah satu di antara mereka, yakni perempuan yang sudah memiliki suami, baik perempuan merdeka maupun budak, kecuali tawanan perang. Ikatan pernikahan mereka dengan sendirinya telah terputus. Selain orang-orang yang disebutkan sebelumnya, Allah menghalalkan semua perempuan untuk dinikahi asalkan mereka diberi mahar.

Imam al-Râzî mensitir pendapat jumhur ulama bahwa ayat: ﻢﹸﻜِﻟﺍﻮﻣﹶﺄِﺑ ﺍﻮﻐﺘﺒﺗ ﹾﻥﹶﺃ yang dimaksud ialah mencari perempuan dengan hartamu untuk dinikahi secara sah.

Lalu ayat: ﻦﻬ ﻨـِﻣ ِﻪـِﺑ ﻢﺘﻌﺘﻤﺘـﺳﺍ ﺎﻤﹶﻓ menguatkan ayat di atas, yakni jika kamu sudah

memperoleh kenikmatan dengan menjimaknya, maka kamu harus memberikan maharnya dengan sempurna. Namun, jika hanya istimtâ' dengan akad nikah saja dan

251 DR. Muhammad Rawwas Qal'ahji, al-Mau sû 'ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, (Kuwait: Dar al-Nafâis, 2000), jilid 2, h. 1730 251 DR. Muhammad Rawwas Qal'ahji, al-Mau sû 'ah al-Fiqhiyyah al-Muyassarah, (Kuwait: Dar al-Nafâis, 2000), jilid 2, h. 1730

Ini menunjukkan bahwa ketika akad nikah tidak disyaratkan untuk menyebutkan atau memberikan mahar. Mahar dapat diberikan setelah dilaksanakannya akad nikah. Bagi mereka yang belum malakukan jimak kemudian terjadi perceraian, maka perempuan itu mendapatkan setengah dari maharnya yang

telah disebutkan ketika akad nikah atau mahar yang sepadan (pada umumnya). Ayat ini menetapkan kewajiban seseorang untuk memberikan mahar secara sempurna

ketika dia telah istimtâ' (jimak). 253 Imam al-Râzî maupun Ibn al-'Arabi meriwayatkan qirâ`ah dari Ubay ibn

Ka'ab dan Ibn 'Abbâs yang membaca ayat ini sebagaimana berikut:

254 Namun Ibn al-'Arabi menolak qirâ`ah ini karena menurutnya tidak shahih. Sementara al-Râzî, tidak menyatakan bahwa qirâ`ah ini lemah, tetapi beliau

menganggap bahwa tanpa ada kata-kata tambahan ( ﻰﻤﺴـﻣ ٍﻞـﺟﹶﺍ ﱃﺍ ), ayat ini juga

dapat ditafsirkan sebagai kebolehan nikah mut'ah. Hanya saja, hukum ini sudah dinasakh (dihapus keberlakuannya) dengan ayat-ayat yang menerangkan nikah

sunnah. 255 Ibn 'Abbâs sendiri ketika dikonfirmasi pendapatnya tentang kebolehan nikah

mut'ah , beliau menjawab:

252 Al-Râzî, Maf â tīh …, jilid 5, h. 51 253 Ibn al-'Arabi, Ahk â m…, jilid 1, h. 389 254 Ibn al-'Arabi, Ahk âm …, jilid 1, h. 389 255 Al-Râzî, Maf â tīh…, jilid 5, h. 54

Maha Suci Allah, Demi Allah aku tidak pernah berfatwa seperti ini. (Nikah mut'ah) itu tidak lain hanyalah seperti bangkai yang tidak halal kecuali bagi orang yang terdesak. 256

Dalam riwayat lain Ibn 'Abbâs menjawab: "Semoga Allah membunuh mereka, sungguh aku tidak memperbolehkannya secara mutlak tetapi saya membolehkan bagi orang yang terpaksa sebagaimana halalnya bangkai, darah, dan babi 257 ".

Jumhur ulama menganggap bahwa nikah mut'ah ini batil (tidak sah). Apabila terjadi, maka pelakunya harus di ta'zir (hukum dengan hukum dari hakim), tidak ada

had (hukuman pasti dari Allah) atas masalah ini. Jumhur ulama mengakui bahwa memang nikah mut'ah pernah diperbolehkan ketika dalam masa-masa peperangan karena mereka tidak mungkin menyalurkan tabiat manusianya kepada istri-istrinya, sementara tidak masuk akal juga jika mereka diperintahkan untuk berpuasa. Keadaan inilah yang menjadikan Rasulullah Saw. memperbolehkannya. Salah seorang shahabat Rasul, Sabrah, menceritakan bahwasannya Rasulullah Saw. pernah memerintahkan para sahabat untuk nikah mut'ah di Tahun Pembukaan (Kota Makkah) ketika kami baru datang di Makkah. Kemudian kami tidak keluar dari situ sehingga Rasulullah Saw. melarang kami untuk

nikah mut'ah. 258 Inilah penjelasan yang benar bahwa nikah mut'ah itu karena darurat peperangan. 259

256 Amir Abd al- 'Aziz, Fiqh al-Kitab wa al-Sunnah, (Kairo: Dâr al-Salâm, tth), jilid 3, h. 1099 257 Al-Râzî, Maf â tīh al-Ghoib, jilid 5, h. 52 258 Muslim ibn al-Hajjaj, Shohih Muslim bi Syarh al-Naw â wi, (Bairut: Dâr al-Kutub al-

Ilmiyyah, tth), jilid 9, h. 187 259 Abd ar-Rahman al-Jazairi, Kitab al-Fiqh 'ala Madz â h ib al-A rba'ah, (Kairo: al-Maktabah al-Taufīqiyyah, tth), jilid 4, h. 85

Ibn 'Abbâs yang dikatakan pernah membolehkan nikah mut'ah ini pernah dikritik oleh Shahabat 'Ali ibn Abî Thâlib ra. dengan ungkapannya:

Hati-hati wahai Ibn 'Abbâs (dalam berfatwa), sesungguhnya Rasulullah Saw. melarang hal itu pada hari (peperangan) Khaibar dan (mengharamkan pula) daging himar jinak. 260

Hadis ini menunjukkan haramnya nikah mut'ah selamanya. Ini diperkuat dengan hadis Nabi yang menyatakan secara tegas demikian. Inilah pendapat yang

dikemukakan oleh jumhur ulama.