Sikap ulama Syiah dalam menafsirkan ayat ini
2. Sikap ulama Syiah dalam menafsirkan ayat ini
Thabathaba'i dalam tafsirnya menyatakan bahwa ayat ini jelas merupakan ayat tentang kebolehan nikah mut'ah, kalaupun ada sementara ulama yang menyatakan nikah mut'ah dinasakh itu masalah lain. beliau menganggap keliru orang yang menafsirkan istimta' dengan nikah sunnah karena antara nikah dengan tamattu' (kenikmatan) ada hubungannya. Tidak dapat dipungkiri, siapa pun orangnya yang mendengar kata mut'ah pasti cenderung nengatakan bahwa itu adalah nikah mut'ah.
Ayat ini, jika dimaksud adalah nikah sunnah, maka tidak cocok dengan lanjutan ayat karena mahar wajib dikeluarkan ketika adanya akad. Demikian juga tentang penjelasan wajibnya pemberian mahar, tidak ada alasan untuk mengulangi kewajiban suatu perintah. Allah dalam surat Al-Nisâ`/ 4 ini saja sudah dua kali mengungkapkan masalah ini, yakni ayat: 4
260 Muslim, Shahih …, jilid 9, h. 190
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan, kemudian jika mereka menyerahkan kepadamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
dan ayat: 20
Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak,
maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta
dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?. Belum lagi dalam surat al-Baqarah/ 2: 236-237. 261
Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.
Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka padahal kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika istri-istrimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan itu lebih dekat kepada takwa. Dan jangnlah kamu melupakan keutamaan di anatara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa
yang kamu kerjakan.
261 Sayyid Muhammad Husain al-Thabâthabâ`î, al-Miz â n fi Tafsīr al-Qur` â n, (Teheran: Dâr al-Kutub al-Islamiyyah, tth), h. 291
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa ayat ini merupakan penguat dari ayat: 20 di atas, Pendapat ini juga lemah karena tidak ada qarīnah yang menunjukkan
bahwa ayat ini sebagai penguat ayat tersebut. 262 Ada pula ulama yang mengatakan bahwa ayat ini dinasakh oleh ayat tentang
kewajiban menjaga kemaluan (al-Mu`minûn/ 23: 7), ada yang mengatakan dinasakh dengan ayat 'iddah (al-Thalâq/ 65: 1), dan ayat talak (al-Baqarah/ 2: 228) karena
dalam nikah sunnah terdapat talak dan ''iddahnya, sementara nikah mut'ah tidak ada dan banyak lagi pendapat lainnya.
Imam Thabâthabâ`î dengan jelas mematahkan argumen-argumen mereka, antara lain:
1) Surat al-Mu`minûn/ 23: 7 diturunkan di Makkah sementara ayat mut'ah ini turun di Madinah. Jadi tidak mungkin ayat makkiyah menasakh ayat
madaniah 263 .
2) Surat al-Baqarah/ 2: 228 dan al-Thalâq/ 65: 1. tentang talak dan 'iddah, hubungannya dengan ayat mut'ah ini bukan an-Nasikh dan al-Mansukh,
melainkan al-'âm dan al-khâsh 265 atau al-Muthlaq dan al-Muqayyad.
262 Al-Thabâthabâ`î, al-Miz â n …,
h. 291
263 Perbedaan antara ayat-ayat makkiyyah dan ayat-ayat madaniyyah adalah sebagai berikut: 1) ayat makkiyyah ialah yang diturunkan sebelum hijrah, sekalipun tidak di Makkah, sedangkan ayat madaniyyah diturunkan setelah hijrah walaupun turun di Makkah, 2) ayat makkiyyah duturunkan di Makkah dan sekitarnya, sedangkan ayat madaniyyah turun di Madinah dan sekitarnya, 3) ayat makkiyyah ditujukan untuk penduduk Makkah, sedangkan ayat madaniyyah dutujukan untuk penduduk Madinah. Jika makiyyah, biasanya diawali Y â ayyuhann â s dan jika madaniyyah, diawali denganYa ayyuhalladzīna â man û . Mannâ' al-Qaththân, Mab â hits fi 'Ulûm al-Qur`ân, (Riyadh: Mansyûrât al- 'Ashr al-Hadis, tth), h.61-62
264 Al-' â m ialah lafaz yang mencakup apa yang sesuai dengannya tanpa ada batasnya, sementara al-kh â sh ialah lafaz yang tidak mencakup sesuatu yang sesuai dengannya tanpa ada batasnya. Cara kerjanya disebut takhshīsh yaitu mengeluarkan sebagaian apa yang tercakup lafaz yang umum. Al-Qaththân, Mab â hits …, h. 226
Memang sebagian ahli ushul ada yang berpendapat, apabila ada ayat khâsh lalu disusul dengan ayat 'âm yang bertentangan, maka yang ayat 'âm dapat menasakh yang khâsh. Tetapi, ini tidak cocok jika diterapkan antara ayat talak yang terdapat dalam surat al-Baqarah: 228 dengan ayat mut'ah ini karena ayat talak ini lebih dahulu turun dari pada ayat mut'ah. Demikian pula, ayat 'iddah lebih dahulu turunnya daripada ayat mut'ah yang lebih akhir turunnya dari
pada ayat 'âm lainnya. 266 Beliau memperkuat argumennya dengan beberapa riwayat lain, baik dari
Ahlul Bait maupun dari shahabat-shahabat terkenal lainnya, antara lain: Dari Zurarah berkata: Abdullah ibn 'Umair al-Laitsi datang kepada Abû Ja'far, lalu ia berkata: Apa pendapatmu tentang mut'ah al-nisâ` (nikah mut'ah)? Dia menjawab: Allah telah menghalakannya dalam Kitab-Nya dan menurut Sabda Nabi Saw. ia halal sampai hari kiamat. Lalu Abdullah berkata: wahai Abû Ja'far orang yang sepertimu (golongan Syiah) berkata semacam ini padahal ''Umar telah mengharamkannya dan melarangnya. Dia menjawab: Meskipun dia pernah melakukan?. Lalu dia berkata: Sungguh aku minta perlindungan kepada Allah untukmu dari perbuatan itu, engkau telah menghalalkan sesuatu yang telah diharamkan 'Umar. Abû Ja'far berkata: Engkau mengikuti pendapat temanmu ('Umar), sedangkan saya mengikuti pendapat Rasulullah Saw. marilah aku beritahu bahwa pendapat yang benar adalah pendapat Rasulullah Saw., sedangkan yang salah adalah apa yang diucapakan temanmu, lalu Abdullah berkata: Apakah kamu senang
265 Al-muthlaq ialah sesuatu yang menunjukan kapada hakekat tanpa ada batasnya, sedangkan al-muqayyad ialah sesuatu yang menunjukkan kepada hakekat dengan ada batasnya. Al-Qaththân, Mab â hits …,h. 245-246
266 Al-Thabâthabâ`î, al-Miz â n …, jilid 4, h. 293 266 Al-Thabâthabâ`î, al-Miz â n …, jilid 4, h. 293
perempuan-perempuan (keluarganya) dan anak-anak perempuan pamannya. 267 Dalam Tafsīr al-'Isyâsyi dari Muhammad ibn Muslim dari Abû Ja'far berkata:
Jabir ibn Abdullah berkata tentang Rasulullah Saw. yang berperang bersamanya lalu beliau menghalalkan bagi mereka mut'ah dan tidak mengharamkannya. 'Ali ra. pernah
berkata: Seandainya Ibn al-Khathâb, yakni ''Umar, tidak mendahului saya (dalam menetapkan haramnya mut'ah), maka tidak ada seorang pun yang zina kecuali orang yang celaka.
Ibn 'Abbâs dalam ayat ini menyatakan secara jelas bahwa dia membacanya:
Mereka (para shahabat lain), menurut Ibn 'Abbâs, menolak ayat ini, padahal Rasulullah menghalalkannya dan tidak mengharamkanya. 268
Dari sekian riwayat yang dipertentangkan antara kaum Sunni dengan Syiah tentang nikah mut'ah, ada satu riwayat di mana kedua golongan ini sama-sama menjadikan tolak ukur nikah mut'ah, yakni riwayat Jabîr ibn Abdullah yang pernah mengatakan:
267 Di akhir hadis ini ada dua kemungkinan Abû Ja'far tidak menjawab pertanyaan Abdullah: pertama, mungkin dia merasa tersinggung ketika keluarga perempuannya disebut sebagai contoh, kedua , mungkin juga karena ketidaksetujuannya jika keluarga perempuannya melakukan nikah mut'ah sementara jika dia mengungkapkan ketidaksetujuannya ini khawatir dianggap membatalkan fatwanya.
268 Hadis-hadis ini dikutip dari Thabâthabâ`î, al-Miz â n …, jilid 4, h. 308-309 269 Thabâthabâ`î, al-Miz â n …, jilid 4, h. 317. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim
dalam kitabnya Muslim ibn al-Hajjaj, Shahih …, jilid 9, h. 185.
Kami pernah melakuka (nikah mut'ah dan mut'ah dalam haji) bersama Rasulullah Saw. kemudian 'Umar melarang kami, lalu kami tidak mengerjakannya lagi.
Ini menunjukkan bahwa keharamannya secara mutlak, di mana tidak ada perselisihan di dalamnya adalah di zaman 'Umar karena banyak riwayat di Muslim menyebutkan bahwa menurut Jabîr ibn 'Abdullah, masih banyak shahabat yang
melakukannya di zaman Rasulullah, Abû Bakar, dan separoh awal periode 'Umar. 270 Dengan demikian, bisa jadi ini ijtihad 'Umar ibn Khathâb dalam melarang
nikah mut'ah. Lepas dari dalil-dalil ini, bagaimana pun kita perlu mengkaji ulang hukum nikah mut'ah ini. Apakah ia layak dilestarikan pada masyarakat modern seperti sekarang ini atau tidak.
Ada beberapa perbedaan antara nikah mut'ah dan nikah sunnah menurut Syiah Imamiyah antara lain:
1. Dalam pelaksanaan akad, nikah mut'ah tidak diwajibkan adanya saksi dan diumumkan pada orang lain, kecuali khawatir dituduh zina. 271 Sedangkan
dalam nikah sunnah saksi menjadi rukun nikan.
2. Dalam nikah mut'ah, harus disebutkan batas waktu yang jelas dan disepakati untuk hidup bersama. Sedangkan dalam nikah sunnah tidak boleh disebutkan batas waktu, karena seharusnya dia langgeng.
3. Mahar merupakan rukun nikah. Sedang dalam nikah sunnah, mahar tidak menjadi rukun.
270 Dalam Shahih Muslim dijelaskan bahwa ada lima hadis yang diriwayatkan dari Jabir ibn Abdullah yang secara jelas menyatakan bahwa yang mengharamkan nikah mut'ah selamanya adalah ''Umar ibn Khathâb dan tidak ada riwayat satu pun dari Jabîr yang mengatakan bahwa Rasulullah mengharamkannya. Lihat: Muslim, Shahih …, jilid 9, h. 182-184.
271 Abd al-'Azîz, Fiqh …, jilid 2, h. 1101
4. 'iddah (masa tunggu) bagi nikah mut'ah, setelah habis masa perjanjian nikah adalah dua kali haid, sedang dalam nikah sunnah tiga kali haid. Jikalau yang hamil dalam nikah mut'ah, 'iddahnya sampai melahirka.
5. Suami Istri dalam nikah sunnah saling mewarisi sedang dalam nikah mut'ah diperselisihkan.
6. Tidak ada kewajiban nafkah atas suami bagi perempuan yang dinikahi secara mut'ah kecuali jika disyaratkan dalam akad. Sedangkan nikah sunnah
memberi nafkah adalah kewajiban suami.
7. Ulama Syi'ah berpendapat dalam nikah mut'ah laki-laki diperbolehkan menikah lebih dari empat perempuan dalam saat yang sama. Sementara dalam nikah sunnah tidak diperbolehkan menikahi lebih dari empat
perempuan. 272 Dengan adanya perbedaan tersebut patut untuk dipertimbangkan dan
dipikirkan dampak positif dan negatifnya seandainya terjadi legalisasi nikah mut'ah pada saat ini. Dampak positifnya antara lain:
Pertama, Terpenuhinya hasrat seksual muda-mudi yang belum mapan secara ekonomi karena dengan nikah mut'ah dia tidak ada kewajiban memberi nafkah lahir,
kecuali disyaratkan dalam akad. Kedua, Problem anak tidak terlalu dipikirkan karena kesepakatan dari awal pernikahan tidak bertujuan untuk memberikan keturunan.
272 Quraish Shihab, Perempuan …, h. 208-209 , lihat juga dalam Muhammad Jawwad Maghniyyah, Fiqh al-Imam Ja'far al-Shiddiq, (Iran: Muassasah Anshariyan Li al-Thabâ'âh wa al- Nasyr, tth), jilid 5, h. 5
Ketiga, Perceraian mudah dilakukan karena sudah ada kesepakatan dari awal, sesuai dengan akad. Keempat, Bagi yang kebetulan mendapat suami orang kaya, misalnya pengusaha asing yang bermukim dalam jangka waktu tertentu, mungkin si perempuan akan mendapat keuntungan yang banyak dari mereka.
Kelima, Mengurangi beban banyaknya perempuan yang belum menikah, di saat populasi perempuan melebihi kadar jumlah laki-laki.
Dampak negatif yang dapat ditimbulkan: Pertama, membuka peluang yang besar bagi laki-laki hidung belang dan
perempuan jalang untuk melakukan praktek perzinahan atas nama agama. Kedua, Jika terjadi kehamilan, perempuan sangat dirugikan, yakni dalam hal
pendidikan dan pemeliharaan anak, meskipun nasab dihubungkan kepada suami (mut'ah), tetapi jika terjadi perceraian kebanyakan suami enggan bertanggung jawab untuk memiliharanya. Apabila perempuan tersebut sering bergonta-ganti pasangan, tentunya akan lebih sulit lagi menentukan nasab anaknya.
Ketiga, Dengan pemberian mahar yang tidak seberapa dibanding efek negatifnya yang ditimbulkannya, ini menunjukkan rendahnya martabat perempuan
yang mudah "dibeli". Keempat, Tidak terciptanya hikmah pernikahan yang sebenarnya, yakni:
sakinah (ketenteraman batin), mawaddah (cinta kasih yang senantiasa ingin memberi perhatian), dan rahmah (rasa sayang yang berusaha tidak menyakiti hati pasangannya). Yang ada dalam nikah mut'ah ini hanyalah penyaluran hawa nafsu belaka.
Kelima, Berkurangnya generasi manusia atau banyaknya anak-anak yang terlantar dan semakin meningginya angka perempuan yang menjadi janda. 273
Atas pertimbangan di atas, meskipun ada ayat maupun hadis yang menjelaskan nikah mut'ah ini. Penulis pribadi tidak setuju apabila undang-undang nikah mut'ah dilegalkan, sebagaimana keinginan sejumlah kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat.