Larangan mewarisi perempuan dan menyakitinya (Q.s. Al-Nisâ` /4: 19)

1. Larangan mewarisi perempuan dan menyakitinya (Q.s. Al-Nisâ` /4: 19)

Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.

Perbedaan Qirâ`ât:

Imam Hamzah, al-Kisai dan Khalaf membaca lafaz ﺎـﻫﺮﹶﻛ َﺀﺎﺴـﻨﻟﺍ ﺍﻮﹸﺛِﺮﺗ ﹾﻥَ ﺃ

dengan cara mendlommahkan huruf kaf-nya yakni ﺎـﻫﺮﹸﻛ , sementara imam tujuh lainnya membacanya dengan cara memfathahkannya yakni, ﺎﻫﺮﹶﻛ . Kemudian dalam

kalimat ٍﺔـﻨﻴﺒﻣ ٍﺔﺸِﺣﺎﹶﻔِﺑ Ibn Katsîr dan 'Âshim melalui riwayat Syu'bah membacanya

dengan memfathahkan huruf ya'-nya yaitu ٍﺔـﻨﻴﺒﻣ . Sedangkan delapan imam lainnya

ditambah dengan 'Âshim melalui jalur riwayat Hafsh membacanya dengan mengkasrahkan huruf ya'-nya yaitu 325

325 Ibn al-Jazari, Taqrīb …, h. h. 105

Implikasi Makna

Ibn 'Abbâs, sebagaimana dikutip Al-Suyûthî, menyatakan bahwa ﺎﻫﺮﹸﻛ artinya masyaqqah , dengan membuat kesusahan, kesulitan atau kesukaran. Sementara ﺎﻫﺮﹶﻛ

ﺎـﻫﺮﹸﻛ ditujukan

artinya Ijbar, dengan pemaksaan. 326 Ibn 'Abbâs dalam menafsirkan

kepada perbuatannya yang ingin memperdayai perempuan itu karena kebenciannya.

Dalam ayat lain disebutkan bahwa ﻩﺮﹸﻜﻟﺍ artinya kebencian.

Q.s. Al-Baqarah/ 2: 216

Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah Mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.

Adapun kata ﺎﻫﺮﹶﻛ berasal dari kata ﻩﺍﺮـﻛﺍ yang diartikan sebagai sesuatu

yang dipaksakan kepada seseorang untuk melakukannya. Dengan kata ini menunjukkan bahwa perempuan itu dipaksa agar ia mau menjadi milik si pemaksa. Sebagaimana ayat 33 dalam surat Al-Nûr/ 24

Dan janganlah kamu paksa budak-budak perempuanmu untuk melakukan pelacuran. Sedang mereka sendiri menginginkan kesucian karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan barangsiapa memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyeyang (kepada mereka)sesudah mereka dipaksa.

326 Al-Suyûthî, al-Dûr …, jilid 2, h. 131

Lafaz ٍﺔﻨِِّﻴﺒﻣ merupakan isim fâil dari fiil madli ﻦﻴﺑ yang maknanya ﻦﻴـﺒﺗ yang

menunjukkan fi'il lazim, 327 artinya tampak, jelas atau terang. Menurut Abû as-Su'ûd sebagaimana dikutip al-Qasimi, dalam bentuk isim fail ini memiliki arti "tampaknya

perilaku keji itu" disebabkan, misalnya, karena istri nusyûz (membangkang), mencela suami dan keluarganya dengan ucapan yang tidak sopan, serta karakternya yang

ٍﺔﻨﻴﺒﻣ dalam bentuk isim maf'ûl yang juga diambil dari kata 329 ﻦﻴـﺑ

mudah marah. 328 Sedangkan lafaz

menunjukkan bahwa fiil ini dari bentuk kata muta'addi. Ibn 'Adil menyatakan jika ditampakkan, maka objek yang dimaksud ada dua kemungkinan:

1) Dijelaskan atau dibuktikan kondisi perbuatan keji itu dilakukan; atau

2) Dijelaskan atau dibuktikan dengan menghadirkan empat orang saksi yang melihat peristiwa tersebut. 330

Implikasi terhadap Relasi Gender

Dalam ayat ini ada dua hal yang akan dibahas, yakni tentang perbedaan antara

lafaz ﺎﻫﺮﹶﻛ dan lafaz ٍﺔﻨﻴﺒﻣ . Keduanya memiliki pembahasan yang berbeda. Karena itu,

kami membaginya dalam dua sub judul. Pertama, Penafsiran lafaz ﺎﻫﺮﻛ

Ayat ini mengandung larangan keras menjadikan perempuan sebagai barang warisan yang "dapat dipindahtangankan" dari ayah kepada anak atau dari anak

327 Fi'il lazīm ialah kata kerja yang cukup dapat dipahami dengan adanya subyek, tanpa membutuhkan obyek. Fuad Ni'mah, Mulakhkhash Qaw â 'id al-Lughah , Bairut: Dar al-Tsaqâfah, tth),

h. 78 328 Muhammad Jamluddin al-Qasimi, Mah â sin al-Ta'wīl, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), jilid 3, h. 52 329 Fi'il muta'adi ialah kata kerja yang tidak cukup dengan pelakunya saja, tetapi ia membutuhkan obyek, baik satu atau lebih. Ni'mah, Mulakhkhash…, h. 78 330 Abû Hafsh Ibn 'Adil al-Dimsyaqi, al-Lub â b fi Ul û m al-Kitab, (Bairut: Dar al-Kutub al- Ilmiyyah, 1998), jilid 6, h. 256 h. 78 328 Muhammad Jamluddin al-Qasimi, Mah â sin al-Ta'wīl, (Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), jilid 3, h. 52 329 Fi'il muta'adi ialah kata kerja yang tidak cukup dengan pelakunya saja, tetapi ia membutuhkan obyek, baik satu atau lebih. Ni'mah, Mulakhkhash…, h. 78 330 Abû Hafsh Ibn 'Adil al-Dimsyaqi, al-Lub â b fi Ul û m al-Kitab, (Bairut: Dar al-Kutub al- Ilmiyyah, 1998), jilid 6, h. 256

walinya hingga dia meninggal dunia. 331 Ketika Islam hadir perlakuan seperti ini dilarang dan diharamkan karena jelas melanggar hak asasi manusia.

Qirâ`ah yang menggunakan fathah yakni ﺎﻫﺮﹶﻛ mengandung arti pemaksaan.

Dalam hal ini memaksa perempuan yang mantan ibu tirinya atau menantunya untuk dijadikan istri. Ibn jarîr meriwayatkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Kabisyah binti Ma'in ibn 'Âshim yang menjadi istri Abû Qais, yang mana anaknya dari istri lainnya ingin menikahinya, sementara dia dengan tegas menolaknya, dengan mengatakan: "Saya tidak diwariskan oleh suami saya dan saya tidak ditinggalkan

kemudian dinikahi anaknya." 332

Sementara qirâ`ah yang menggunakan ﺎﻫﺮﹸﻛ mengandung arti kebencian pada perempuan tersebut. Menurut Ibn 'Abbâs, kalau perempuan yang ditinggalkan itu tidak cantik, maka dia ditahan sampai meninggal dunia lalu hartanya diwarisi oleh

walinya. 333 Dalam penafsiran lain, Ibn `Adil berkata: ayat ini berkenaan dengan seorang laki-laki yang memiliki istri yang sudah tua, sementara seleranya tertuju pada

istri mudanya, lalu dia menahan dan menelantarkan istri tuanya. Dia tidak pernah menggaulinya sampai istri tuanya itu minta untuk dicerai dengan memberikan

331 Al-Suyûthî, al-D û r… , jilid 2, h. 234 332 Al-Suyûthî, al-D û r… , jilid 2, h. 235 333 Al-Thabari, Jâmi' …, jilid 3, h. 649 331 Al-Suyûthî, al-D û r… , jilid 2, h. 234 332 Al-Suyûthî, al-D û r… , jilid 2, h. 235 333 Al-Thabari, Jâmi' …, jilid 3, h. 649

larangan baginya untuk mewarisi hartanya karena kebenciannya kepadanya. 334 Masalah ini menjadi polemik yang serius ketika Rasulullah Saw. baru

menetap di Madinah. Kebiasaan orang-orang Madinah ketika itu, apabila ada seorang laki-laki yang meninggal dunia, maka keluarganya dan teman dekatnya berkumpul di

rumahnya lalu mereka bergegas mencari istri-istri yang ditinggalkan oleh suaminya tersebut. Siapa yang lebih dahulu melemparkan baju ke tubuh istri orang yang baru meninggal itu, maka dialah yang berhak menguasainya, bisa jadi untuk dinikahi atau

ditahan lalu harta bendanya dirampas. 335 Praktek semacam ini sangat merugikan perempuan. Perempuan tak ubahnya seperti harta yang dibeli, dihibahkan, atau

dimanfaatkan tubuhnya. Kata yang berarti pemaksaan maupun kebencian ini bukan merupakan sebab haramnya perempuan dijadikan sebagaimana harta warisan, melainkan ditegaskan untuk menerangkan peristiwa yang terjadi pada masa itu (li bayân al-waqi'). Pada

masa itu, mereka mewarisi perempuan tersebut tanpa ridlo dan sepengetahuannya. 336 Jadi, tanpa ada sebab pemaksaan atau kebencian praktek ini tetap diharamkan oleh

agama Islam. Melihat sebab turunnya ayat ini, paling tidak, dapat diambil dua kesimpulan yang penting:

334 Ibn 'Adil al-Dimsyaqi, al-Lub â b…, jilid 6, h. 256 335 Al-Thabari, Jâmi' …, jilid 3, h. 648 336 Râsyid Ridla, al-Man â r… , jilid 4, h. 370

1) Larangan menjadikan perempuan sebagaimana harta warisan yang dapat dikuasai oleh ahli waris laki-laki dengan cara paksa. Ini merupakan penafsiran

dari qirâ`ah ﺎﻫﺮﹶﻛ .

2) Larangan menelantarkan istri karena kebencian kepadanya lalu dia menunggu supaya istri menggugat cerai dengan membayar tebusan atau membiarkannya sampai mati sehingga ia dapat memperoleh harta warisan darinya. Ini

merupakan penafsiran dari qirâ`ah ﺎﻫﺮﹸﻛ.

Keduanya merupakan tindakan yang diharamkan oleh Islam dan siapapun yang melakukannya dapat dikenai hukuman yang berat. Dalam kasus kedua ini, pengadilan berhak memutuskan jatuhnya talak satu, jika istri melaporkan masalah ini karena statusnya dalam kondisi teraniaya oleh suaminya. Talak ini dapat dijatuhkan tanpa adanya tebusan untuk suaminya, meskipun sebelumnya tanpa ada ta'lik talak di

saat melaksanakan akad nikah. 337 Namun sebagai langkah hati-hati, hukum perkawinan di Indonesia sangat bijaksana ketika menerapkan adanya ta'lik talak yang

tujuannya menghindari kemudharatan yang disebabkan oleh suami yang tidak bertanggung jawab. Kedua, Penafsiran Lafaz ﺔﻨﻴﺒﻣ

Bunyi arti teksnys, "Janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali

sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan kekejian yang nyata …"

337 Ta'lik Talak adalah suatu perjanjian yang diucapkan oleh pihak suami ketika dilaksanakannya akad nikah. Pelanggaran terhadap isi perjanjian ini menyebabkan pihak istri boleh memohon gugatan cerai kepada Pengadilan tanpa adanya syarat tebusan dari pihak suami, jika pengadilan mengAbûlkan gugatan istri. Salah satu isi ta'lik talak, antara lain: "jika saya (suami) tidak memperdulikan istri saya enam bulan lamanya, kemudian istri saya tidak ridlo dan mengadukan halnya ke Pengadilan Agama …, maka jatuhlah talak satu saya kepadanya. (Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pres, 2003), h. 153-154

Menurut Ibn Katsîr ayat ini turun berkenaan dengan seorang laki-laki yang memiliki istri, tetapi dia tidak mau menggaulinya dengan baik, bahkan sering menyakitinya, sementara istri itu mempunyai (harta) mahar yang dulu telah diberikannya. Pelecehan itu dilakukan supaya mahar tersebut menjadi tebusan atas

perlakuannya yang buruk itu. 338 Ibn al-Mubârak meriwayatkan dari al-Salmani yang mengatakan bahwa dua

ayat di atas, meski dalam satu rangkaian ayat, tetapi satu ayat diturunkan berkenaan dengan perkara di zaman jahiliyah, sementara ayat ini berkenaan dengan perkara di

zaman Islam, 339 di mana seorang suami sering menyakiti istri untuk meminta kembali sesuatu yang telah diberikan kepadanya, baik berupa mahar, uang belanja,

maupun harta lainnya.

Kata ﻦﻫﻮﹸﻠﻀــﻌﺗ berasal dari fi'il madli ﹶﻞﻀــﻋ yang artinya menekan,

mempersempit, mencegah, menghalangi, memukul, menahan, dan mempersulit. 340 Ini menunjukan berbagai tindakan buruk yang tercakup dalam makna ayat yang

diharamkan oleh Allah atas suami kepada istrinya. Korelasi antara ayat ini dengan ayat sebelumnya terletak pada haramnya menyakiti perempuan dengan jalan apapun, baik itu pemaksaan, penaHannahn, pemukulan dan lain-lain. Ayat sebelumnya ditujukan kepada keluarganya yang tidak boleh menguasai dan memperalatnya sebagaimana harta warisan sepeninggal suaminya, sedangkan ayat ini ditujukan kepada suaminya yang tidak diperkenankan menganiaya istrinya karena ingin menguasai hartanya.

338 Ibn Katsīr, Mukhtashar…, jilid 1, h. 368 339 Ibn Katsīr, Mukhtashar …, jilid 1, h. 368

340 Munawir, Kamus al-Munawir, h. 941-942

Namun demikian, ayat ini juga menerangkan hak suami untuk menahan istrinya, jika ia memang telah berbuat keji yang nyata dan benar-benar terjadi. Meskipun begitu, suami tetap tidak boleh semena-mena berbuat kekerasan kepadanya. Menurut al-Hasan, Ibn 'Abbâs, dan Qatadah yang dibolehkan dalam hal ini ialah suami boleh meminta fidyah (uang tebusan) atas perbuatan istrinya yang

melampaui batas. 341 Perbuatan yang melampaui batas ini, sebagaimana dijelaskan dalam qirâ`ah

ﺔـــﻨِّﻴﺒﻣ ٍ , yakni perilaku yang jelas terlihat keburukannya, seperti: nusyûz

(pembangkangan atau penolakan atas keinginan suami), berselingkuh dengan laki- laki lain sampai berbuat zina, atau melecehkan suami atau keluarganya. 342

Dengan qirâ`ah ﺔﻨﻴﺒﻣ ٍ berarti perbuatan tersebut dilakukan secara sembunyi-

sembunyi sehingga perlu dibuktikan dengan menghadirkan para saksi yang pernah melihatnya secara langsung. Dalam hal ini, al-Qur`ân telah memberikan jalan lain untuk pembuktian atau penjelasan tentang aturan dan hukuman bagi orang yang berbuat zina, antara lain:

1) Tidak boleh menuduh zina kecuali dapat menghadirkan empat orang saksi, sebagaimana firman Allah dalam Q.s. Al-Nûr/ 24: 4

Dan orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya, dan mereka itulah orang-orang yang fasik.

341 Al-Jashshâsh, Ahk â m al-Qur`ân, jilid 2, h. 157 342 Al-Qasimi, Mah â sin … , jilid 3, h. 52

2) Mengucapkan sumpah li'an, ketika dia (suami) tidak mampu mengahadirkan

empat orang saksi, sebagaimana disebutkan dalam Q.s. Al-Nûr/ 24: 6

Dan Orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar.

Demikianlah, Aturan ini diberlakukan agar supaya suami istri dapat bergaul dengan ma'rûf (baik dan layak). 343 Sebaliknya, jika tidak mampu menggaulinya

dengan ma'rûf, maka agama memperkenankan untuk bercerai dengan baik-baik dan menutupi aib masing-masing-masing.