Bahasa-bahasa Al-Qur`ân tentang relasi gender

3. Bahasa-bahasa Al-Qur`ân tentang relasi gender

Dalam buku Argumen Kesetaraan Gender dalam Al-Qur`ân, Nasaruddin Umar membagi identitas gender menjadi empat kelompok:

a. Istilah-istilah yang menunjuk kepada laki-laki dan perempuan.

1) Kata ﹸﻞ ﺟ ﺮﻟﺍ dan ﹸﺓ ﺮﹶﺃ ﻤ ﹾﻟﺍ

Kata ﹸﻞ ﺟ ﺮﻟﺍ yang jamaknya ﹸﻝﺎ ﺟ ِّﺮﻟﺍ dan ﹲﺓ ﺮﹶﺃ ِﺍﻣ atau ﹸﺓ ﺮﹶﺃ ﻤ ﹾﻟﺍ yang jamaknya ُﺀﺎ ﺴ ِّﻨﻟﺍ . Kata ﹲﻞ ـﺟ ﺭ dalam berbagai bentuknya terulang 55 kali dalam Al-Qur`ân.

Dalam penelitiannya, kata tersebut dapat memberikan arti: gender laki-laki (seperti dalam Q.s. al-Baqarah/ 2: 228), orang secara umum, baik laki-laki maupun

102 Megawangi, Membiarkan…., h. 23-24.

Fakih, Analisis…., h. 163.

perempuan (seperti dalam Q.s. al-Ahzâb/33: 23), tokoh masyarakat (seperti dalam Q.s. Yasin/ 36 : 20), budak (seperti dalam surat al-Zumar/ 39: 29). 104

Sementara kata ُﺀﺎ ﺴ ِِّﻨﻟﺍ dalam berbagai bentuknya terulang 59 kali dalam Al-

Qur`ân. Kecenderungan pengertiannya meliputi arti: gender perempuan (seperti dalam Q.s. al-Nisâ`/ 4: 7), istri-istri (seperti dalam Q.s. al-Ahzâb/ 33: 30). 105

Kedua kata ini lebih berkonotasi pada gender dengan menekankan aspek maskulinitas atau feminitas seseorang.

2) Kata ﺮ ﹶﻛ ﱠﺬﻟﺍ dan kata ﻰ ﻧﹶﺜ ﹾﺍﹸﻻ

Kata ﺮ ﹶﻛ ﱠﺬــﻟﺍ disebutkan sebanyak 18 kali dalam Al-Qur`ân. Kata ini, menurutnya, digunakan untuk menyatakan laki-laki dilihat dari faktor biologis

(sex), 106 seperti dalam Q.s. al-Nisâ`/ 4: 124,

Barangsiapa beramal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan, sedangkan dia orang yang bariman, maka mereka akan masuk surga dan tidak akan dianiaya sedikit pun.

Demikian pula kata ﻰ ﹶﺜ ﹸﻻﻧ ﹾﺍ yang terulang sebanyak 30 kali dalam Al-Qur`ân,

kebanyakan berkonotasi pada jenis kelamin perempuan. Namun demikian, ada juga

kata ﺮ ﹶﻛ ﱠﺬﻟﺍ dan ﻰ ﻧﹶﺜ ﹸﻻﺍ ini yang berhubungan dengan relasi gender seperti ayat waris

dalam Q.s. al-Nisâ` / 4: 11,

104 Umar, Argumen….., h.147-159 105 Umar, Argumen….., h.160-164 106 Umar, Argumen….., h.165

Allah telah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak- anakmu, yaitu: bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan. Dan bila anak itu semua perempuan lebih dari dua orang, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memeperoleh separoh harta.

Ayat ini juga menegaskan bahwa jenis kelamin apa pun berhak untuk mendapatkan hak asasinya, termasuk harta warisan dan harta benda lainnya. Apalagi ayat ini turun berkenaan dengan penghapusan tradisi jahhiliyah yang tidak memberikan warisan

107 kepada ahli waris perempuan. Namun demikian, penulis beranggapan bahwa selain ayat waris ini ada ayat

lain yang mengandung konotasi gender, separti dalam Q.s. Âli 'Imrân/ 3: 36. Ini dapat dilihat dari segi kronologis munculnya ungkapan itu. Q.s. Âli 'Imrân/ 3: 36 yang berbunyi:

Maka tatkala isteri `Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang

terkutuk."

Ibnu katsîr mengutip perkataan Ibnu Ishâq, bahwa istri Imrân yang bernama Hannah binti Faqûdz ini sangat ingin memiliki anak. Lalu dia berdoa kepada Allah agar dikaruniai seorang anak. Ketika dia mengetahui bahwa Allah mengabulkan doanya, maka dia sangat berharap agar anaknya kelak menjadi anak yang shalih, ahli

107 Umar, Argumen…., h. 168 107 Umar, Argumen…., h. 168

anaknya dapat berkhidmat di tempat tersebut. Sementara kebiasaan orang dahulu, bahkan hingga saat ini, orang yang mengabdi di tempat ibadah itu biasanya laki-laki, seperti marbot masjid, misalnya. Bukankah ini kontruksi budaya, gender. Dalam hal

ini, Ibn Katsîr menafsirkan kata ﻰ ﹸﺎﻧﹶﺜ ـﹾﻟﺎ ﹶﻛ ﺮ ﹶﻛ ﱠﺬﻟﺍ ﺲ ﹶﻟﻴ ﻭ : "laki-laki berbeda dengan

perempuan dalam hal kekuatan, ketekunan dalam beribadah, dan dalam pengabdiannya di Bait al-Maqdis." 109

Namun dengan tegas ayat ini menepis anggapan bahwa orang yang mengabdi di tempat ibadah tidak harus laki-laki, perempuan pun bisa. Buktinya, meskipun Maryam itu perempuan, dia tetap mengabdi di Bait al-Maqdis.

Dengan demikian, tidak semua kata ﺮ ﹶﻛ ﱠﺬﻟﺍ dan ﻰ ـﹶﺜ ﻧ ﹸﻻﺍ hanya semata-mata

mempunyai kaitan biologis (seks) saja, ia juga dapat berkonotasi gender.

3) Kata ﺮُﺀ ﻤ ﹾﻟﺍ atau ﺅ ﺮ ِﺍﻣ dan ﹸﺓ ﺮﹶﺃ ﻤ ﹾﻟﺍ atau ﹲﺓ ﺮﹶﺃ ِﺍﻣ

Kata ﺮُﺀ ﻤ ﹾﻟﺍ yang terulang sebanyak 11 kali dalam Al-Qur`ân, penggunaannya

menunjukkan arti manusia secara umum, baik laki-laki maupun perempuan. Kata ini

mirip dengan kata ﹸﻞ ـﺟ ﻟﺍﺮ , ia digunakan untuk orang sudah mencapai kedewasaan dan kecakapan dalam bertindak. Ini dapat dilihat misalnya dalam Q.s. al-Thûr/ 52: 21,

108 Ibn Katsîr, Mukhtashar …., Jilid I, h. 278. 109 Ibn Katsîr, Mukhtashar…., jilid I, h. 278.

Dan orang-orang yang beriman serta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.

Demikian pula kata ﹸﺓ ﺮﹶﺃ ﻤ ﹾﻟﺍ atau ﹲﺓ ﺮﹶﺃ ـﻣ ِﺍ yang disebut sebanyak 13 kali dalam

Al-Qur`ân juga menunjukkan arti wanita yang sudah dewasa, sebagaimana lawan kata 110

Berdasarkan keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa seorang laki-laki

disebut ar-rajul ( ﹸﻞ ـﺟ ﺮﻟﺍ ) atau ar-rijâl ( ﹸﻝﺎ ـﺟ ِّﺮﻟﺍ ) atau perempuan disebut imro'ah ( ﺓ) ﺮﹶﺃ ِﺍﻣ atau mar'ah ( ﹶﺃﺓ ) ﻣﺮ dan jamaknya an-nisa ( ُﺀﺎ ﺴ ـِّﻨﻟﺍ ), ketika mereka sudah

memenuhi sosial dan budaya tertentu, seperti menginjak umur dewasa, telah berumah tangga atau telah mempunyai peran tertentu di dalam masyarakat.

Berbeda dengan kata ﺮ ﹶﻛ ﱠﺬﻟﺍ dan ﻰ ﻧﹶﺜ ﹸﻻﺍ yang cenderung lebih menunjukkan

pada faktor biologis laki-laki maupun perempuan, meskipun ada sebagian kecil menunjuk kepada arti gender. Keduanya mengandung arti umum laki-laki atau perempuan, baik untuk identitas manusia maupun hewan dan tidak terbatas pada ukurannya yang besar atau yang kecil.

Sementara ٌﺀ ﻣﺮ atau ﺅ ﺮ ِﺍﻣ , meskipun dilihat dari lafaznya menunjukkan laki- laki karena tidak disertai ta marbutha ( ﺓ) , tetapi penggunaannya dalam Al-Qur`ân bersifat umum, mencakup laki-laki maupun perempuan.

b. Gelar yang berhubungan dengan Jenis Kelamin

1) Suami ( ﺝ ﻭ ﺰﻟﺍ ) dan Istri ( ﹸﺔ ﺟ ﻭ ﺰﻟﺍ )

110 Umar, Argumen….., h.171

Kata ﺝ ﻭ ﺰﻟﺍ dalam Al-Qur`ân mengandung arti pasangan bagi setiap sesuatu,

baik laki-laki maupun perempuan, hewan jantan atau betina, atau bahkan makhluk-

makhluk lainnya. Dalam Al-Qur`ân, kata ﺝ ﻭ ﺰـﻟﺍ yang terulang sebanyak 81 kali

dengan berbagai bentuknya, mempunyai makna pengertian sebagai berikut: pasangan genetik jenis manusia (seperti dalam Q.s. Al-Nisâ`/ 4: 1), pasangan genetis dalam dunia fauna (seperti dalam Q.s. al-Syûrâ/ 42: 11), arti istri (seperti dalam surat Al-

Ahzâb/ 33:37), pasangan dari segala sesuatu (seperti dalam Q.s. al-Dzâriyât/ 51: 49). 111

Dalam Al-Qur`ân kata ini semuanya dalam bentuk mudzakkar, tanpa perbedaan antara makna yang berarti suami dan mana yang berarti istri. Kalangan ahli nahwu, khususnya dari Hijaz, menganggap bahwa kata ini memang dapat mengandung arti mudzakkar maupun muannats. Hal ini bisa dilihat dalam Q.s. al-

Baqarah/ 2: 35, yang menunjukkan bahwa 112 ﺝ ﻭ ﺰﻟﺍ

di sini diartikan sebagai istri.

Dan Kami berfirman: Wahai Adam tinggallah kamu dan istrimu di dalam syurga, dan makanlah dengan nikmat (berbagai macam makanan) yang ada di sana dengan sesukamu. (tetapi) janganlah kamu dekati pohon ini, nanti kamu termasuk orang-orang yang zalim.

Para ahli fikih atau hukum Islam nampaknya mengikuti aliran Banî Tamîm yang membedakan antara 113

ﺝ ﻭ ﺰﻟﺍ yang berarti suami dan ﹸﺔ ﺟ ﻭ ﺰﻟﺍ yang berari istri. Di

samping itu tujuannya adalah agar perbedaan antara keduanya terlihat jelas.

Umar, Argumen…, hh. 174-176

Ibnu al-Manzhûr, Lisân al-'Arab, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1997), Jilid III, h. 212.

Al-Manzhûr, Lisân…, h. 212.

2) Ayah ( ﺪ ﻭِﻟﺍ / ﺏ ﹾﺍَﻷ ) dan Ibu ( ﺪﹲﺓ ﻭِﻟﺍ / ﻡ ﹾﺍﹸﻻ )

Kata ﺏ ﹶﺍ berasal dari kata ﹶﺍﺑﺎ atau ﻮ ﹶﺃﺑ jamaknya ُﺀﺎ ﹶﺃﺑ atau ﺓﻮﺑُ ﺃ berarti bapak atau ayah. Berbeda dengan istilah ﺪ ﻭِﻟﺍ yang mengandung arti ayah biologis, kata ﺏ ﹶﺍ ini

dapat digunakan untuk sebutan wali, pembimbing, dan pelopor terjadinya sesuatu, sebagaimana definisi yang diungkapkan oleh al-Asfahâni ialah:

Seseorang yang menjadi sebab terjadinya sesuatu, memperbaiki, atau menampakkannya sebagai ayah.

Kata ﺏ ﹶﺍ terulang sebanyak 87 kali dengan berbagai bentuknya dalam Al-

Qur`ân dan mencakup beberapa pengertian, antara lain: ayah kandung (seperti dalam surat Yusûf/ 12: 63), orang tua atau senior (seperti dalam surat Al-Taubah/ 9: 23), nenek moyang (seperti dalam surat Al-Baqarah/ 2: 170). Dalam arti nenek moyang atau leluhur ini tidak harus diartikan ayah dari jalur laki-laki saja, tetapi juga dari jalur perempuan sehingga istilah nenek moyang cenderung menekankan dari segi

kualitas gender dari pada identitas kelamin mereka. 114

Sinonim kata ﺏ ﹶﺍ adalah ﺪ ﻭِﻟﺍ . Dalam bentuk mufrad, kata ini hanya diungkapkan sebanyak tiga kali dalam Al-Qur`ân, demikian juga pasangannya ﺪﹲﺓ ﻭِﻟﺍ disebutkan sebanyak tiga kali. Sementara dalam bentuk mutsannâ, kata ini diungkapkan sebanyak 20 kali. Dan

dalam bentuk jamak muannats ( ﺕﺍ ﺪ ـِﻟﺍ ﻭ ) hanya satu kali dalam konteks wanita yang

menyusui seperti dalam surat Al-Baqarah/ 2: 233, 115

114 Umar, Argumen…., h. 182

M. Fuad Abd al-Bâqi, al-Mu'jam al-Mufahrâs li Alfâzh Al-Qur`ân al-Kar ī m , (Kairo: Dâr al-Hadis, 1996/1417), h. 853.

Dan ibu-ibu hendaknya menyusui anak-anak mereka selama genap dua tahun bagi orang yang ingin menyempurnakan penyusuan….

Jika diteliti secara dalam, kata ﺪ ـِﻟﺍ ﻭ dan ﺪﹲﺓ ـِﻟﺍ ﻭ yang sejajar bilangannya,

menunjukkan bahwa masing-masing mempunyai andil yang sangat besar dalam melahirkan dan mendidik anak, sebagaimana diungkapkan dalam ayat di atas dan Q.s. al-Balad/ 90: 3

Dan demi bapak dan anaknya Hal ini diperkuat dalam bentuk mustannâ, kata ini harus diartikan ibu-bapak. Dalam bentuk ini, konteks ayat yang dibahas meliputi waris, berbuat baik seorang anak kepada mereka katika mereka masih hidup, dan mendoakan mereka ketika

sudah meninggal dunia. Sedangkan dalam bentuk jamak hanya terdapat kata ﺕﺍ ﺪ ﻭِﻟﺍ dan bukan kata ﹶﻥ ﻭ ﺪ ــِﻟﺍ ﻭ . Ini mengandung hikmah bahwa seorang ayah dapat

memberikan andil dalam membuahi satu istri atau lebih. Dan kata wâlidât ini dalam Al-Qur`ân disebutkan dalam konteks menyusui saja. Artinya, meskipun anak tersebut

dihasilkan dari dua orang (ayah dan Ibu / ﺪ ـِﻟﺍ ﻭ dan ﺪﺓ ـِﻟﺍ ﻭ ), tetapi yang menyusui

mungkin bisa lebih dari satu, seperti yang terjadi pada diri Nabi Muhammad Saw.

Pasangan kata ﺏ ﹶﺍ adalah ﹸﺍﻡ. Kata ﹸﺍﻡ ini berasal dari kata ﺎﻣﺍ , ﻡﺆﻳ , ﻡﺍ yang

artinya bergerak, menuju, bermaksud 116 . Sementara menurut al-Asfahâni:

Segala sesuatu yang menjadi sumber terwujudnya sesuatu, membina, memperbaiki, dan memulai disebut ibu.

116 Al-Manzhûr, Lisân…, Jilid I, h. 108.

Kata ﹸﺍﻡ ini juga menunjukkan arti ibu terdekat, yang melahirkan seseorang atau yang ibu yang terjauh baik nenek atau diatasnya. Karena itu, Hawa juga dapat

dikatakan sebagai ibu. 117

Kata ﹸﺍﻡ ini terulang sebanyak 35 kali dalam Al-Qur`ân dengan berbagai macam bentuknya. 118 24 kali dalam bentuk mufrad dan selebihnya dalam bentuk jamak ( ﺕﺎ ﻬ ﹸﺍﻣ ) . Kata ini dalam bentuk mufrad mempunyai arti yang banyak tidak

terbatas pada ibu, misalnya: ibu kandung (seperti dalam Q.s. al- Qashash/ 28: 7), sesuatu yang pokok atau utama (seperti dalam Q.s. Ali Imrân/ 3: 7), arti pusat kota

atau ibu kota (seperti dalam Q.s. Al-Qashash/ 28: 59), arti tempat kembali (seperti dalam Q.s. Al-Qâri'ah/ 101: 9). 119

Dalam bentuk jamaknya, kata ini dalam Al-Qur`ân mengarah pada arti ibu, baik ibu yang terdekat maupun ibu yang terjauh, sebagaimana dalam Q.s. Al-Nisa/ 4:

Diharamkan (menikahi) oleh kalian yaitu ibu-ibu kamu, anak-anakmu, saudari-saudarimu, bibi-bibi dari ayahmu, bibi-bibi dari ibumu, anak-anak perempuan saudaramu, anak-anak perempuan saudarimu, ibu-ibu yang menyusuimu, saudari-saudari sesusuan dan ibu-ibu istri-istrimu…

Kata ini juga mengandung arti penghormatan bagi istri seorang tokoh, seperti istri-istri nabi, yang disebut sebagai ibu kaum mu'minin atau ummahât al-mu'minîn.

Kata ﺏ ﹶﺍ dan ﹶﺍﻡ tidak selamanya menjadi simbol identitas gender (ayah dan ibu)

sebagaimana terlihat dalam beberapa arti yang sudah dikemukakan. Kedua kata ini seringkali

117 Al-Asfahâni, Mu'jam Mufrodât Alfâzh Al-Qur`ân, (Beirut: Dâr al-Fikri, tth), h. 18. 118 Al-Bâqi, al-Mu'jam al- Mufahrâs…., h. 98. 119 Umar, Argumen…., h. 185-188 117 Al-Asfahâni, Mu'jam Mufrodât Alfâzh Al-Qur`ân, (Beirut: Dâr al-Fikri, tth), h. 18. 118 Al-Bâqi, al-Mu'jam al- Mufahrâs…., h. 98. 119 Umar, Argumen…., h. 185-188

reproduksi dan pembinaan internal rumah tangga, 120 seperti mengandung dan menyusui seperti dalam Q.s. Luqman/ 31: 14

Dan Kami perintahkan kepada manusia untuk (berbuat baik) kepada orang tua; ibunya telah mengandungnya dalam keadalaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu, hanya kepada-Kulah kembalimu.

Dengan demikian, dalam arti ibu dan bapak, kata ﺏ ﹶﺍ dan ﹸﺍﻡ jelas tidak semata-

mata orang tua secara biologis, melainkan mereka merupakan simbol gender yang

mengandung arti bermacam-macam.

3) Anak laki-laki ( ﺑﻦ ﹾﺍِﻻ ) dan anak perempuan ( ﺖ ﻨﺒ ﹾﺍِﻟ ) Kata ﺑﻦ ﹾﺍِﻻ berasal dari Bahasa 'Arab yang akar katanya ٌﺀﺎ ـﻨ ِﺑ - ﻰ ـِﻨ ﻳ ﺒ - ﻰ ﺑ ﻨ

yang berarti; membangun, membina, membuat pondasi, membuat sesuatu yang baru.

Kata ﻦ ـﺑﺍ ini menurut al-Asfahâni berasal dari kata ﻮ ـﻨ ﺑ . Kemudian waw ini diganti dengan hamzah washal yang diletakkan di awal kata ini sehingga menjadi ﻦ ـﺑ ِﺍ jamaknya ٌﺀﺎ ﹶﺍﺑﻨ , ﹶﻥ ﻮ ﺑﻨ atau ﻦ ﺑِﻨﻴ . Dari akar kata yang sama lahir pula kata ﹲﺔ ـﻨ ِﺍﺑ atau ﺖ ِﺑﻨ yang jamaknya ﺕﺎ �� .

120 Umar, Argumen…, h. 190

Di dalam Al-Qur`ân, kata yang disebutkan sebanyak 162 kali dalam berbagai bentuknya dan memiliki beberapa pengertian ini pada umumnya disandarkan kepada kata lain. Pengertiannya tergantung kepada sandaran katanya, antara lain; jika

disandarkan pada nama orang maka menunjukkan arti anak, misalnya ﻦﺑ ﻰﺴﻴﻋ

ﱘﺮﻣ (Isa putra Maryam), sebagaimana diungkapkan dalam Q.s. al-Baqarah/ 2: 87.

Jika kata ini disandarkan kepada suatu benda, maka artinya menunjukkan

bagian darinya atau dalam cakupannya, misalnya ﻞ ِﺒﻴ ﺴـﻟﺍ ﻦ ـﺑ ِﺍ

(orang yang dalam

perjalanan) seperti dalam Q.s. al-Anfal/ 8: 41.

Menurut al-Ashfahâni, asal kata ﻦﺑ ِﺍ itu artinya: ﻮ ﻫ ِﻩ ﻣِﺮ ِﺑ ﹶﺎ ِﻪ ِﻣﺎ ِﻗ ﻴ ﻭ ﻪﹶﺍ ﹶﻟ ِﻪ ﻣِﺘ ﺪ ِﺧ ِﺓ ﹾﺜﺮ ﹶﻛ ﻭ ﹶﺍ ِﺪِﻩ ﹶﻔﱡﻘ ِﺑ ﺘ ﻭ ﹶﺍ ﻴِﺘِﻪ ﺮِﺑ ﺗ ﻦ ِﻣ ﻭ ﹶﺍ ﻴٍﺊ ﺷ ﻬِﺔ ِﺟ ﻦ ِﻣ ﹸﻞ ﺼ ﺤ ﻳ ﺎ ﻣ ّﹸﻞ ﹸﻛ

Setiap sesuatu yang diperoleh dari suatu arah atau dari bimbingannya atau dengan menemukannya atau banyak pengabdian padanya atau akan

melaksanakan perintahnya ialah Ibn. 121

Bentuk jamak dari kata ini adalah ﻴﻦ ـِﻨ ﺑ atau ُﺀﺎ ـﻨ ﹶﺍﺑ dan ﻥ ﻮ ـﻨ ﺑ yang tidak

mengandung pengertian berbeda antara laki-laki dan perempuan dan menunjukkan bahwa kata ini mencakup semuanya, seperti dalam Q.s. Al-Kahfi/ 18: 46

Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan- amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan. Berbeda dengan kata ﺖ ِﺑﻨ yang jamaknya ﺕﺎ �� , kata ini hanya mengandung

arti anak perempuan, seperti dalam Q.s. al-Nisâ`/ 4: 23

121 al-Ashfahâni, Mu'jam Mufradât…, h. 60.

Diharamkan (menikahi) oleh kalian yaitu ibu-ibu kamu, anak-anakmu, saudari-saudarimu, bibi-bibi dari ayahmu, bibi-bibi dari ibumu, anak-anak perempuan saudaramu, anak-anak perempuan saudarimu, ibu-ibu yang menyusuimu, saudari-saudari sesusuan dan ibu-ibu istri-istrimu… Kata lain yang menunjukkan anak adalah ﺪ ﻭﹶﻟ yang jamaknya ﺩ ﹶﻻ ﹶﺍﻭ . Kata ini

122 disebutkan sebanyak 57 kali dalam Al-Qur`ân dengan berbagai macam bentuknya . Dari sekian banyaknya kata di atas, tidak ada yang menunjukkan secara pasti bahwa

kata ini menunjuk kepada laki-laki saja. Menurut Wahbah al-Zuhaili, kata ini memang dapat berartikan laki-laki atau perempuan, namun keduanya tercakup dalam

ﺪ ـﹶﻟ ﻭ yang berulang kali disebutkan dalam masalah waris,

kata ini. 123 . Bahkan kata

pasti menunjukkan anak dalam arti umum, baik laki-laki maupun perempuan. Jika dalam ayat tentang waris ini ada perbedaaan dalam pembagian, maka secara konsisten Al-Qur`ân menyebutkannya dengan ﺮ ﹶﻛ ﱠﺬﻟﺍ untuk laki-laki dan ﻰ ﻧﹶﺜ ﹸﻻﺍ untuk perempuan. Contoh paling jelas disebutkan dalam Q.s. al-Nisâ`/ 4: 176

Mereka meminta fatwa kepadmu tentang kalalah. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah, yaitu: jika seorang meninggal dunia, dan ia

122 Al-Bâqi, al-Mu'jam al- Mufahrâs …., h. 852-853. 123 Wahbah al-Zuhaili, Tafsîr al-Mun ī r Fi al-Aq ī dah wa Al-Syarî'ah wa al-Manhâj,

(Damaskus: Dâr al-Fikri, 1991), Jilid V, h. 54.

tidak mempunyai anak, tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudara perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan sudarannya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara itu ada dua orang, maka bagi keduanya duapertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka saudara (terdiri dari) laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang laki-laki sebanyak bagian dua orang perempuan. Allah menerangkan hukum ini kepadamu, supaya kamu tidak tersesat. Dan aAllah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Al-Ashfahâni mengungkapkan bahwa kata ini bersifat umum, untuk menunjukkan besar maupun kecil anak tersebut, tunggal atau jamak, meskipun ia

dalam bentuk mufrad (tunggal). Menurut beliau, selain digunakan untuk menyatakan anak kandung juga dapat berarti anak hasil adopsi 124 , sebagaimana firman Allah

dalam Q.s. Yusuf/ 12: 21

Dan orang Mesir yang membelinya berkata kepada istrinya: "Hormatilah kedudukannya, barangkali dia dapat memberi manfaat buat kita atau kita jadikan dia sebagai anak…"

Adapun dalam bentuk jamak ﺩ ﹶﻻ ﹶﺍﻭ , kata ini tidak berbeda jauh dari

mufradnya, yakni mencakup anak laki-laki dan perempuan seperti dalam Q.s. Al- Nisâ`/ 4: 11

Allah mensyareatkan (pembagian harta pusaka) untuk anak-anak kalian, yakni bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan….

4) Saudara Laki-laki ( ﺥ ) ﹶﺍ dan Saudara Perempuan ( ﺖ ) ﺧ ﹸﺍ Kata ﺥ / ﹸﺍ ﹶﺍ ﺖ ﺧ berasal dari kata ﻮـﺧﹶﺍ ٌ . Makna asalnya ialah yang bersamaan

dengan yang lain dalam hal kelahiran, baik dari kedua orang tua yang sama, salah

124 Al-Ashfahâni, Mu'jam Mufradât…, h. 569.

satu dari keduanya, atau karena satu susuan. Kata ini kadang-kadang juga digunakan untuk setiap orang yang sama dengan yang lain, baik dalam hal kesukuan, keagamaan, pekerjaan, kasih sayang maupun hal-hal yang lainnya yang saling

berhubungan. 125 Dalam Al-Qur`ân kata ini terulang sebanyak 97 kali dalam berbagai

ﺥ ﹶﺍ dan jamaknya mengandung arti yang bermacam-macam antara

bentuknya. 126 Kata

lain: saudara dari orang tua yang sama atau salah satunya (seperti dalam Q.s. Al- Nisâ`/ 4: 12), arti suku atau marga (seperti dalam Q.s. al-Ahqâf/ 46: 21), arti saudara

seagama (seperti dalam Q.s. al-Hujurât/ 49: 10), arti golongan atau pengikut (seperti dalam Q.s. al-Isrâ`/ 17: 27), arti kaum (seperti dalam Q.s. Qâf/ 50:13). 127

Di antara makna-makna yang tersebut dalam Al-Qur`ân ini yang menunjukkan gender adalah yang mempunyai makna saudara, baik yang sekandung, seibu, atau seayah. Sementara makna-makna lainnya akan menjadi identitas gender jika dilekatkan kapasitas mereka sebagai pribadi bukan kelompok.

Jamak kata ﺥ ﹶﺍ adalah ﹶﻥﻮﺧ , ﹶﺍ ﹶﺍ ُﺀﺎﺧ , ﻮﺧﺇ ﹲﻥﺍ , ﺧﹸﺍ ﹲﻥﺍﻮ , ﹲﺓﻮﺧﺇ , ﹲﺓﻮـﺧﹸﺍ atau ﹲﺓﻮﺧﹸﺍ . Namun yang sering digunakan adalah ﹲﺓﻮـﺧﺇ atau ﹲﻥﺍ ﻮـﺧﺇ saja. Kata ﹲﺓﻮـﺧﺇ

digunakan untuk jamak saudara yang terlahir bersamanya, baik sekandung atau salah satu dari kedua orang tuanya. Adapun kata ﹲﻥﺍ ﻮﺧﺇ biasanya digunakan untuk saudara yang berarti teman atau pengikut setia orang lain yang dianggap saudaranya, tetapi

ﹲﻥﺍ ﻮﺧﺇ juga digunakan untuk saudara sekandung.

kadangkala kata 128

125 Al-Ashfahâni, Mu'jam Mufradât..., h. 8. 126 Al-Bâqi, al-Mu'jam al-Mufahrâs…, h. 29-30. 127 Thahir Muhammad al-Fairuz Abadi, Tanw ī r al-Miqbâs min Tafs ī r Ibnu Abbâs, (Jeddah: al-

Haramain, tth), h. 325. 128 Al-Mandzûr, Lisân…, Jilid I, h. 49.

Adapun kata ﺖ ﺧ ﹸﺃ juga memiliki makna lain selain saudari dari orang tua yang sama atau salah satunya. Maknanya antara lain: saudara kandung (seperti dalam Q.s. al- Qashash/ 28: 11), dipersaudarakan karena kebaikannya (seperti dalam Q.s. Maryam/

19: 28), sama dalam kenyataan dan kebenarannya (seperti dalam Q.s. Zukhrûf/ 43: 48), penolong atau pemimpin (seperti dalam Q.s. Al-A'râf/ 7: 38). 129

Sementara dalam bentuk jamaknya ( ﺕﺍﻮـﺧﹶﺃ ) kata ini tidak diartikan kecuali

saudara karena hubungan nasab, seperti dalam (Q.s. Al-Nisâ`/ 4: 23)

Diharamkan (menikahi) oleh kalian yaitu ibu-ibu kamu, anak-anakmu, saudari-saudarimu, bibi-bibi dari ayahmu, bibi-bibi dari ibumu, anak-anak perempuan saudaramu, anak-anak perempuan saudarimu, ibu-ibu yang

menyusuimu, saudari-saudari sesusuan …

c. Kata ganti yang berhubungan dengan jenis kelamin

Relasi gender dalam Al-Qur`ân seringkali menggunakan kata ganti (dlamir) yang ditujukan untuk laki-laki maupun perempuan. Sebagaimana yang digunakan dalam identitas gender, kata ganti laki-laki lebih mendominasi di dalam Al-Qur`ân dari pada kata ganti perempuan karena kaidah umum dalam bahasa 'Arab menyatakan:

"Apabila khitab suatu nash digunakan dalam bentuk mudzakkar, maka muannats termasuk di dalamnya selama tidak ada dalil yang mengecualikannya."

129 Al-Bâqi, al-Mu'jam al-Mufahrâs…, h. 8. 130 Ibnu Hazm, Al-Ahkâm fi Ushûl al-Ahkâm, (Mesir: Mathba'ah al-'Ashīmah, tth), h. 324.

Penggunaan kata ganti (dlamîr) dalam Al-Qur`ân dibagi menjadi tiga bagian:

1) Mutakallim (kata ganti orang pertama. Kata ganti ini memiliki dua kategori:

yang menunjukkan diri sendiri ( ﺎ) ـﻧ ﹶﺍ dan yang menunjukkan diri dan orang lain ( ﻦ ــﺤ ﻧ ). Kedua kata ganti ini menunjukkan arti umum, tidak ada

perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Termasuk juga dalam kategori ini

adalah segala bentuk perubahannya, seperti ﻰِﻧ , ﻱ , ﺕ untuk ﺎ ـﻧ ﹶﺍ dan ﺎ ـﻧ

untuk ﻦ ﺤ ﻧ , sebagaimana dalam Q.s. Thâhâ/ 20: 13-14.

2) Mukhâthab (kata ganti orang kedua) Kata ganti ini terdiri atas tiga bagian,

yakni untuk kategori; mufrad ( ﺖـﻧﺃ/ ِﺖـﻧﺃ), mutsanna ( ﺎـﻤﺘﻧﺃ) , jamak ( ﻢﺘﻧﺃ/ﱳﻧﺃ) dan semua bentuk perubahannya. Masing–masing memiliki bentuk

khusus untuk laki-laki dan perempuan kecuali untuk kategori mutsanna. Kategori mutsanna, baik laki-laki maupun perempuan memiliki bentuk yang sama.

3) Ghaib (kata ganti orang ketiga). Kata ganti orang ketiga ini pun terdiri dari tiga bagian, yakni untuk kategori mufrad ( ﻮﻫ/ﻲﻫ ), mutsanna ( ﺎﳘ ), jamak ( ﻦﻫ/ﻢﻫ ) dan semua bentuk perubahannya.

d. Kata sifat, baik dalam bentuk mudzakkar atau muannats

Kata sifat ialah suatu kata yang menyifati seseorang atau suatu benda. Dalam bahasa 'Arab, kata sifat ini senantiasa mengikuti dan menyamakan diri dengan apa yang disifati. Jika yang disifati itu berbentuk mudzakkar, maka ia akan berbentuk itu

juga, demikian pula kalau kata itu berbentuk muannats. Contoh: ﺢ ِﻟﺎ ﺻ ﹲﻞ ﺟ ﺭ dan ﹲﺔ ﺤ ِﻟﺎ ﺻ ﹲﺓ ﺮﹶﺃ ِﺍﻣ . Kadangkala kata yang disifati dibuang karena sudah maklum, tetapi kata

sifat itu didahului dengan ﻝﺍ (alif dan lam), seperti: ﹶﻥ ﻨﻮ ﺆِﻣ ﻤ ﹾﻟﺍ dan ﺕﺎ ﻨ ﺆِﻣ ﻤ ﹾﻟﺍ .

Umumnya kata ini dibuat secara terpisah antara laki-laki dan perempuan. Maksudnya, khithab yang menggunakan kata sifat laki-laki untuk laki-laki sedangkan yang perempuan untuk perempuan. Namun kadang-kadang juga terjadi khithab yang

ditujukan untuk laki-laki mencakup juga yang perempuan, seperti: ﹶﻥ ﻨﻮ ﺆِﻣ ﻤ ﹾﻟﺍﺎ ـﻤ ِﺍﻧ .

Namun hal ini tidak berlaku untuk sebaliknya, yakni jika khithab itu ditujukan untuk perempuan maka ia dikhususkan untuk perempuan saja. Secara lengkap dapat dilihat

dalam contoh ayat berikut ini: Q.s. Al-Ahzâb/ 33:35

Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, yang mukmin, yang tetap dalam ketaatannya, yang benar, yang sabar, yang khusyu', yang bersedekah, yang berpuasa, yang memlihara kehormatannya, yang banyak menyebut nama Allah, maka Allah atelah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.

Demikianlah pembahasan mengenai pengertian dan hakekat gender dalam Al- Qur`ân. Berikut ini, pembahasan mengenai dimensi relasi gender dalam Al-Qur`ân yang mencakup: kesetaraan dalam mengesakan Allah, kesetaraan dalam etika dan tanggung jawab, dan kesetaraan dalam melaksanakan hukum agama.