Menyentuh perempuan dan berjabatan tangan dengan lain jenis (Q.s. Al-Nisâ` /4: 43)

1. Menyentuh perempuan dan berjabatan tangan dengan lain jenis (Q.s. Al-Nisâ` /4: 43)

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula kamu hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub), terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula kamu hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub), terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau kembali dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka

Perbedaan Qirâ`ât

Imam Hamzah, al-Kisai dan Khalaf membacanya dengan tanpa alif pada kalimat

َﺀﺎﺴﻨﻟﺍ ﻢﺘﺴﻣﺎﹶﻟ ﻭﹶﺃ menjadi َﺀﺎﺴـﻨﻟﺍ ﻢﺘﺴﻤﹶﻟ ﻭﹶﺃ sementara para imam lainnya membacanya dengan memanjangkan huruf lam yaitu َﺀﺎﺴﻨﻟﺍ ﻢﺘﺴﻣﺎﹶﻟ ﻭﹶﺃ .

Demikian juga yang terdapat dalam surat al-Maidah pada ayat yang menjelaskan tentang wudlu, Q.s. Al-Mâidah/ 5: 6

Hai orang- orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.

Imam Hamzah, al-Kisai dan Khalaf membacanya sama, yakni dengan tanpa alif

َﺀﺎﺴﻨﻟﺍ ﻢﺘﺴﻣﺎﹶﻟ ﻭﹶﺃ menjadi َﺀﺎﺴﻨﻟﺍ ﻢﺘﺴﻤﹶﻟ ﻭﹶﺃ .

pada kalimat 192

192 Ibn al-Jazari, Taqrīb al-Nasyr fi al-Qirâ `â t al-'Asyr, (kairo: Dâr al-Hadis, 1992), h. 105

Implikasi Makna:

Al-lams berasal dari kata ﺲﻤﹾﻠﻳ – ﺲﻤﹶﻟ yang artinya bersentuhan kulit. Dari devinisi kata ini, muncullah kata ﺲ ــِﻣﹶﻻ yang berarti saling menyentuh atau menggauli, ﺲﻤﺘﹾﻟِﺍ yang berarti berusaha mencari, dan ﺲـﻤﹾﻟﹶﺍ yang berarti membantu

mencari sesuatu. 193

Atas dasar itulah, bagi ulama yang memperkuat bacaan ﻢﺘﺴـﻤﹶﻟ (tanpa alif),

ﺲﻤﹶﻟ diartikan selain bersetubuh atau jimak, seperti: mencium,

mereka menganggap

meraba atau menyentuh dengan tangan. Perbuatan seperti ini menurut mazhab ini dapat membatalkan wudlu. Namun karena khitabnya ditujukan untuk kaum laki-laki,

maka bagi perempuan meskipun disentuh, tetap tidak batal wudlunya. 194

Sementara para ulama yang condong dengan qirâ`ah ﻢﺘﺴـﻣﺎﹶﻟ ﻭﹶﺃ , mereka

mengartikannya dengan jimak atau bersetubuh. Karena mengikuti wazan

yang mengandung faidah al-musyârokah baina itsnain (melibatkan dua orang yang sama berkeinginan untuk maksud yang sama). Mereka juga berdalih dengan suatu riwayat yang berasal dari Ali Ibn Abi Thalib ketika beliau menafsirkan ayat ﻢﺘﺴﻣﺎﹶﻟ ﻭﹶﺃ َﺀﺎﺴـــﻨﻟﺍ , beliau berkata: maksudnya kamu menyetubuhinya, tetapi Allah

mengungkapkan dengan kata sindiran. 195 Dan riwayat yang disandarkan kepada Ibn

'Abbâs bahwasannya beliau berkata: ﻉﺎـﻤﳉﺍﻭ ﻥﺎﻴﺸﻐﻟﺍ ﻮﻫ yang artinya al-lams itu

mendatangi dan berjimak, 196 dan riwayat lain dari Sa'id ibn Jubair ra. berkata: Kami berada di rumah Ibn 'Abbâs bersama 'Atha Ibn Rabbah, serta segolongan orang

193 Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir, (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997), h. 1286 194 Pendapat ini dikemukakan oleh Ibn 'Umar, Ibn Mas'ûd, Said ibn Jubair, Ibrahîm al- Nakha'i, dan Ibn Syihab al-Zuhri 195 Al-Suyûthî, al-Dûr …, jilid 2, h. 166 196 Al-Suyûthî, al-Dûr...., jilid 2, h. 166

Mawali dan Arab. Lalu mereka berdiskusi mengenai kata ﺲﻤﻠﻟﺍ . Orang-orang Mawali menganggap kata itu bermakna menyentuh dengan tangan, sementara orang-orang Arab menganggap artinya jimak atau bersetubuh. Kemudian masalah ini dilemparkan kepada Ibn 'Abbâs, lalu beliau berkata: Mawali salah dan orang-orang Arab benar,

kata ﺲﻤﻠﻟﺍ dan ﺲﳌﺍ artinya menyentuh untuk bersetubuh, yakni jimak. Hanya saja,

Allah menyindir kata ini secara halus sesuai dengan yang dikehendaki-Nya. 197 Dari kedua makna tersebut, para ulama berbeda pendapat tentang pengertian

ayat ini disebebakan alif yang menjadi tambahan pada kata ﻢﺘﺴﻤﹶﻟ di antaranya:

Pertama, Mengandung arti jimak sehingga dia harus mandi untuk mensucikan dirinya. Jika dia mempunyai wudlu, maka wudlunya tidak batal ketika menyentuh wanita.

Kedua, Bersentuhan secara mutlak membatalkan wudlu. Ketiga, Bersentuhan membatalkan wudlu, jika yang menyentuh dan yang

disentuh merasa ada syahwat. Keempat, Bersentuhan membatalkan wudlu, jika yang menyentuh

bersyahwat. 198 Perbedaan di atas ini tidak semata-mata timbul berdasarkan keragaman qirâ`ât

saja, melainkan adanya perbedaan penafsiran makna, apakah mengambil makna hakikat atau majaz, serta pola-pola pendukung masing-masing pendapat tersebut.

Implikasi terhadap Relasi Gender

Alur pembicaraan kedua ayat di atas membahas masalah wudlu dan hal-hal yang membatalkannya, termasuk diantaranya lams al-mar'ah. Dari kedua versi

197 Al-Suyûthî, al-Dûr..., jilid 2, h. 167 198 Sayyid Quthub, Fī Zhil â l al-Qur`ân, (Kairo:Dâr al-Syuruh, 1998), jilid 5, h. 668 197 Al-Suyûthî, al-Dûr..., jilid 2, h. 167 198 Sayyid Quthub, Fī Zhil â l al-Qur`ân, (Kairo:Dâr al-Syuruh, 1998), jilid 5, h. 668

Untuk memperjelas pandangan ulama tentang hal ini, berikut ini kami ungkapkan satu persatu: Pertama, 'Ali ibn Abû Thâlib, Ibn 'Abbâs, Abû Mûsâ, al-Hasan 'Ubaidah, al- Sya'bî menyatakan bahwa kata ini berarti jimak atau bersetubuh. Jadi wudlunya tidak

batal jika hanya bersentuhan saja dengan perempuan. Kedua, ` Umar dan 'Abdullah ibn Mas'ûd mengartikannya dengan bersentuhan

dengan tangan. Karena itu, wudlunya batal jika menyentuh wanita. Pendapat pertama ini didukung oleh Fuqaha' berikutnya seperti: Abû Hanîfah, Abû Yûsuf, al-Khuza'i, dan al-Tsauri. Mereka mengungkapkan wudlu tidak batal, meskipun menyentuh perempuan dengan syahwat.

Pendapat kedua didukung oleh Imam Mâlik, tetapi beliau menambahkan: jika menyentuhnya dalam keadaan syahwat, maka batal wudlunya, tapi jika tidak, maka wudlunya tidak batal. Bahkan meskipun yang disentuh adalah rambutnya, kalau dia bersyahwat maka batal wudlunya. Sementara Al-Syâfi'î secara mutlak menyatakan bahwa menyentuh perempuan dapat membatalkan wudlu, meskipun dilakukan tanpa

syahwat. 199 Pendapat yang diutarakan di atas ini, umumnya mengacu kepada perempuan

yang menjadi istrinya karena perempuan ghoiru mahram (yang bukan mahram) yang terdekat dan halal bagi seorang laki-laki adalah istri. Sementara perempuan yang mahram (haram dinikahi), para ulama sepakat bahwa mereka tidak membatalkan

199 Al-Jashshâsh, Ahk â m al-Qur`ân , jilid 2, h. 519 199 Al-Jashshâsh, Ahk â m al-Qur`ân , jilid 2, h. 519

laki dan perempuan menjadi polemik bagi kaum muslimin. Apalagi, saat ini banyak perempuan yang bekerja di sektor publik, di mana terjalinnya hubungan bisnis pasti diawali dan diakhiri dengan berjabatan tangan.

Dalam menanggapi kasus ini, Dr. Ahmad al-Syarbashi, seorang guru besar di Universitas al-Azhar Kairo, mengungkapkan bahwa jabat tangan antara laki-laki dan

perempuan yang bukan istrinya maupun mahram hukumnya diperselisihkan oleh para ulama. Hal ini terkait dengan pandangan mereka atas hukum lams al-mar'ah yang disebutkan di atas.

Al-Syâfi'î yang menyatakan bersentuhan kulit dengan wanita lain dapat membatalkan wudlu, beliau sangat memakruhkannya bahkan haram jika dilakukan dengan syahwat dan mendekati zina. Imam Mâlik memakruhkan, apabila jabat tangan itu disertai syahwat, dan tidak makruh apabila tanpa adanya syahwat. Sementara Abû

Hanîfah membolehkan berjabatan tangan secara mutlak. 201 Dalil lain yang digunakan untuk memperkuat pandangan larangan berjabatan

tangan antara laki-laki dan perempuan ini, terkait dengan bai'at yang dilakukan para shahabat dari kalangan perempuan kepada Rasulullah Saw.

200 Ibn Rusyd, Bid â yah … , jilid 1, h. 34 201 Ahmad Al-Syarbashi, Yas'al û naka fi al-Dīn wa al-Hay â h , (Bairut: Dâr al-Jail, 1980), jilid 4, h. 86

Dari Umaimah binti Raqiqah berkata: saya datang dengan para perempuan kepada Rasulullah Saw. untuk berbaiat. Lalu turun kepada kami ayat al- Qur`ân: "supaya mereka (para perempuan yang berabaiat) tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun ….” Rasulullah bersabda: "itu sesuai dengan kemampuan dan keteguhanmu", kami berkata: Allah dan Rasul-Nya lebih menyayangi kita dari pada diri kita sendiri", selanjutnya kami bertanya: "Wahai Rasulullah, tidakkah engkau berjabatan tangan dengan kami?" Beliau menjawab: Sungguh aku tidak berjabatan tangan

dengan kaum perempuan, ucapanku kepada seorang perempuan seperti ucapanku kepada seratus perempuan.

Hadis ini menyatakan dengan jelas bahwa Rasulullah Saw. tidak berjabatan tangan dengan kaum perempuan shahabiyah ketika mereka berbaiat kepada beliau. Al-Syarbashi menyatakan, bahwa Rasulullah mengatakan demikian dengan maksud

untuk berhati-hati dan menjauhi dari kecurigaan. 203 Namun, hadis ini tidak secara jelas menyatakan keharamannya berjabatan

tangan antara laki-laki dan perempuan. Bisa jadi, ini merupakan kekhususan bagi Nabi Saw. Bagi ulama yang membolehkannya, mereka juga memperkuat argumennya dengan suatu hadis yang diriwayatkan oleh Ummu 'Athiyyah, yang masih berkisah tentang bai'at.

202 Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad, jilid 6, h. 357, Mâlik dalam al- Muwaththa , jilid 2, h. 982. Nashiruddin al-Albani, Silsilah al-Ah â dits al-Shahīhah (Riyadh: Maktabah al-Ma'arif, 1995), jilid 2, h. 63-65. Abû al-Fidâ' Isma'îl ibn Katsîr, Mukhtashar Ibnu Katsîr, Tahqīq. Muhammad Ali Al-Shâbûni, (Bairut: Dâr al-Fikr, tth), jilid 3, h. 487.

203 Al-Syarbashi, Yas'al û naka … , h. 87

Dari Ummu 'Athiyyah berkata: Rasulullah Saw. membaiat dan membacakan kepada kita "Janganlah kalian menyekutukan Allah dengan apapun" dan beliau melarang kami meratap. Lalu ada seorang perempuan yang menggenggam tangannya, seraya berkata: Si Fulanah yang telah membuatku bahagia, maka aku ingin membalasnya. Rasulullah (ketika itu) tidak berbicara sama sekali kepadanya (perempuan itu). Lalu perempuan itu pergi dan kembali lagi, kemudian Rasulullah membaiatnya. Dalam suatu riwayat disebutkan: maka tidak ada perempuan yang dapat memenuhi (baiatnya) di

antara mereka selain dia dan Ummu Sulaim binti Mulhan. Dan hadis berikut ini:

Dari Ummi 'Athiyyah ra. berkata: ketika Rasulullah Saw. datang beliau mengumpulkan kaum perempuan dari kaum Anshar di suatu rumah. Kemudian beliau mengutus 'Umar ibn Al-Khathâb kepada kita. Lalu dia berdiri di pintu dan memberi salam kepada kita, kami pun menjawab salamnya. Kemudian dia berkata: saya utusan Rasulullah Saw. kepada kalian. Ummu 'Athiyyah berkata, kami menjawab: selamat datang Rasulullah dan utusan Rasulullah. Lalu 'Umar berkata lagi: Kalian dibaiat supaya supaya tidak menyekutukan Allah, tidak mencuri dan tidak berzina. Kami menjawab: ya. Ummu 'Athiyyah berkata: lalu 'Umar mengulurkan tangannya dari luar pintu atau rumah dan kamipun mengulurkan tangan dari dalam pintu rumah. Kemudian beliau berkata: Ya Allah saksikanlah (baiat ini)…

204 Abû al-'Abbâs Syihabûddin al-Qashthallânî, Irsyâd al-Sârî li Syarh Shahih al-Bukhârî, (Bairut: Dâr al-Fikr, 1304 H), jilid 7, h. 380 205 Al-Qashthâllanî, Irsyâd…., jilid 7, h. 381

Pada hadis pertama, ketika disebutkan ﺎﻫﺪﻳ ﹲﺓﹶﺃﺮﻣﹾﺍ ﺖﻀﺒﹶﻘﹶﻓ (seorang perempuan menggenggam tangannya) dan hadis kedua ﺎﻧﺩﺪﻣﻭ ِﺖﻴﺒﻟﹾﺍ ِﻭﹶﺍ ِﺏﺎﺒﻟﹾﺍ ِﺝِﺭﺎﺧ ﻦِﻣ ﻩﺪﻳ ّﺪﻤﹶﻓ ِﺖﻴﺒﻟﹾﺍ ِﻞِﺧﺍﺩ ﻦِﻣ ﺎﻨﻳِﺪﻳﹶﺍ (lalu dia mengulurkan tangannya dari luar pintu atau rumah dan

kami mengulurkan tangannya dari dalam rumah), menurut pendapat yang membolehkan, menunjukkan bahwa Nabi dan ''Umar berjabatan tangan dengan seorang perempuan.

Kedua hadis ini, kalau diperhatikan, juga tidak secara tegas menyatakan bahwa Rasulullah dan 'Umar berjabatan tangan dengan perempuan. Keduanya

mungkin hanya sekedar isyarat baiat. Dengan demikian, menurut Al-Syarbashi, pendapat tengah-tengah dalam masalah ini ialah apabila seseorang menyentuh (berjabatan tangan) dengan perempuan lain dengan syahwat maka wudlunya batal. Dia dinyatakan hadats ketika mempunyai niat yang buruk, yakni ingin memperoleh kenikmatan dari perempuan tersebut. Sementara jika sentuhan itu tidak disengaja atau tidak menimbulkan rangsangan, maka tidak membatalkan wudlunya, sebagaimana kebiasaan laki-laki yang profesinya seringkali menyentuh tangan perempuan, seperti menjadi guru anak-anak perempuan, dan penjual pakaian serta pernak-pernik perempuan. Demikian pula, berjabatan tangan dengan orang tua, laki-laki maupun

perempuan, yang sudah lemah syahwatnya. 206 Namun, selama kita dapat menghindari dan tidak khawatir menyinggung perasaanya, sebaiknya kita tidak berjabatan tangan dengan lain jenis sebagai langkah hati-hati dan menghindari penyakit hati sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah Saw.