Kesimpulan Keragaan pembangunan perikanan tangkap suatu analisis program pemberdayaan nelayan kecil

164

6.5 Kesimpulan

1 Arah strategi pengembangan kebijakan publik untuk menigkatkan keragaan pembangunan perikanan tangkap adalah strategi W-T, yaitu kebijakan dengan meminimalisasi kelemahan dan ancaman melalui: 1 Pengalihan mata pencaharian utama sebagai nelayan menjadi mata pencaharian alternatif, pada wilayah yang overfishing. 2 Pengembangan teknologi tepat guna penangkapan. 3 Pengembangan pemasaran produk hasil perikanan. 4 Penyediaan sarana dan prasarana perikana 2 Arah strategi pengembangan “rekayasa kelembagaan” untuk peningkatan keragaan pembangunan perikanan tangkap adalah kebijakan diversive, yaitu kebijakan dengan memaksimalkan kekuatan dan meminimalkan ancaman melalui: 1 Pelembagaan program pemberdayaan untuk masyarakat pesisir secara nasional 2 Pengembangan kemitraan antar kelembagaan lokal dalam pengembangan usaha produktif masyarakat. 3 Arah strategi pengembangan “kemampuan berbisnis individu” untuk meningkatkan keragaan pembangunan perikanan tangkap adalah strategi W-T, yaitu kebijakan dengan meminimalisasi kelemahan dan ancaman melalui: 1 Peningkatan kapasitas SDM dalam pengembangan wirausaha alternatif sesuai dengan potensi lokal. 2 Pengembangan teknologi tepat guna usaha perikanan. 3 Peningkatan kemempuan akses modal, informasi dan pasar bidang perikanan. 4 Regulasi perijinan UKM dan UMKM perikanan. 5 Peningkatan perbaikan lingkungan usaha perikanan. 165 7 PEMBAHASAN UMUM Kendala umum yang dianggap sebagai penyebab kurang berhasilnya beberapa kebijakan pembangunan perikanan tangkap di Indonesia diantaranya adalah: 1 Sebagian besar nelayan masih merupakan nelayan tradisional dengan karakteristik sosial budaya yang belum kondusif untuk suatu kemajuan; 2 Struktur armada penangkapan yang masih didominasi oleh skala kecil dengan kemampuan IPTEK yang rendah; 3 Tingkat pemanfaatan stok ikan antara satu kawasan dengan kawasan lainnya masih timpang; 4 Masih banyaknya illegal fishing, unreported fishing, unregulated fishing yang terjadi karena lemahnya sistem monitoring dan pengawasan, serta kurangnya law enforcement di perairan laut Indonesia; 5 Infrastruktur perikanan untuk usaha penangkapan ikan belum memadai; 6 Masalah kerusakan ekosistem dan lingkungan laut akibat penambangan dan aktivitas manusia lainnya; 7 Rendahnya kemampuan pascapanen maupun pengolahan hasil perikanan; 8 Lemahnya market inteligence, yang meliputi penguasaan informasi pesaing, segmen pasar, selera konsumen, dan akses pasar; 9 Lemahnya management information system yang berbasis teknologi informasi dalam penyediaan data yang akurat dan tepat waktu; 10 Belum berkembangnya bioteknologi kaelautan dan perikanan; 11 Kualitas infrastruktur dan kapasitas kelembagaan di bidang kelautan dan perikanan belum optimal; 12 Lemahnya akses permodalan; 13 Lemahnya Public Policy kebijakan publik dan peraturan-peraturan di bidang perikanan yang terintegrasi dangan pemangku kepentingan stakeholder perikanan yang lain. Kendala umum tersebut diperkirakan menjadi penyebab ketertinggalan nelayan kecil dari berbagai aspek kehidupan, dan kontribusi sektor perikanan terhadap pendapatan domestik bruto PDB Indonesia baru sebesar 20,06. Angka ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan perolehan negara-negara lain dengan garis pantai yang lebih pendek, seperti Korea Selatan 37 dan Jepang 54. Dilihat dari penyerapan tenaga kerja, dengan potensi sumberdaya yang sangat besar, jumlah penduduk yang bekerja di sektor kelautan dan perikanan 166 juga masih terbilang amat kecil yaitu 613.217 rumah tangga, atau sekitar 2,5 juta orang pada tahun 2004 BPS, 2006. Dengan demikian penduduk yang bekerja di sektor perikanan laut tidak sampai 3 dari total penduduk yang bekerja. Kecilnya proporsi jumlah penduduk yang bekerja sektor ini disinyalir terkait dengan kurangnya modal usaha dan prasarana yang dimiliki. Faktor modal ini mencakup biaya operasi, pengadaan alat tangkap, kapal motor, dan jaminan hidup selama beroperasi. Di sisi lain, kapasitas pemerintah terhadap permasalahan ini sangat minim, sehingga para tengkulak dan rentenir secara tradisional berperan dalam penyediaan modal namun kesejahteraan tidak pernah membaik. Padahal jika nelayan memiliki akses terhadap modal dengan biaya rendah kesejahteraan nelayan akan membaik. Selanjutnya, jika potensi kelautan dan perikanan dapat dimanfaatkan secara optimal, bukan saja dapat mengurangi pengangguran tetapi juga dapat mensejahterakan nelayan, meningkatkan devisa dan ketersediaan protein hewani di dalam negeri. Lemahnya kebijakan publik public policy dan peraturan-peraturan di bidang perikanan merupakan gambaran kurang terintegrasinya para pemangku kepentingan stakeholder perikanan. Kebijakan yang pernah atau masih ada umumnya bersifat sentralistik dan umum, sehingga kebijakan tersebut kurang efektif untuk mengatasi permasalahan lokal, kepentingan masyarakat yang mendasar, dan kurang mempertimbangkan potensi serta kondisi daya dukung sumberdaya setempat. Turunan dari kebijakan publik tersebut yaiyu program dan kegiatan yang diluncurkan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan sampai saat ini belum juga menunjukkan hasil yang signifikan bagi kesejahteraan nelayan. Dari kendala-kendala pembangunan perikanan tangkap tersebut, yang dibahas dalam penelitian ini adalah pengaruh kebijakan publik program PEMP sebagai kebijakan publik, perekayasaan kelembagaan program PEMP sebagai perekayasaan program pemberdayaan nelayan, dan kemampuan berbisnis individu program PEMP sebagai program pemberdayaan yang mengembangkan kewirausahaan nelayan kecil, terhadap keragaan pembangunan perikanan tangkap skala kecil. 167 7. 1 Kebijakan publik pembangunan nelayan kecil Menurut Suharto 2005, kebijakan publik adalah sebuah reaksi terhadap kebutuhan dan masalah dunia nyata, sebagai upaya merespon masalah atau kebutuhan kongkrit yang berkembang di masyarakat. Kebijakan publik di negara- negara maju sebagian besar menjadi tanggungjawab pemerintah. Hal ini disebabkan sebagian besar dana untuk kebijakan tersebut dihimpun dari masyarakat publik melalui pajak. Saat ini telah terjadi pergeseran paradigma dalam ketatanegaraan dan kebijakan publik dari government pemerintah ke governance tatakelola sehingga kebijakan publik dipandang tidak lagi sebagai dominasi pemerintah. Makna publik juga bergeser dari “penguasa orang banyak” yang diidentikkan dengan pemerintah, ke “bagi kepentingan orang banyak” yang identik dengan istilah stakeholder atau pemangku kepentingan. Kebijakan publik dalam penelitian ini difokuskan pada kebijakan pemerintah yang bertujuan memberdayakan masyarakat pesisir khususnya nelayan, yang diimplementasikan dalam bentuk program PEMP yang diinisiasi oleh DKP. Secara khusus analisis ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh adanya program pemberdayaan sebagai kebijakan publik yang bertujuan mengatasi kebutuhan permodalan berupa dana ekonomi produktifDEP, yang penyalurannya menggunakan sistem dan mekanisme tertentu skim kredit, dan dalam pelaksanaannya melibatkan lembaga perbankan sebagai bank mitra, terhadap keragaan pembangunan perikanan tangkap skala kecil. Kebijakan pemerintah dalam hal ini DKP meluncurkan Program PEMP, yang dirancang sejak tahun 2001 sampai dengan 2009 dapat dipandang sebagai upaya kongkret untuk mengatasi hal-hal seperti disebutkan sebelumnya. Program pemberdayaan ini merupakan penjabaran dari kebijakan publikPemerintah untuk mengatasi kemiskinan nelayan sesuai dengan amanat UU No. 31 tahun 2004 tentang pemberdayaan nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil, yaitu: 1 membangun penguasaan akan keterampilan dasar teknologi yang berkaitan dengan perikanan; 2 membangun keterampilan usaha dan manajerial; 3 meningkatkan praktek dan pengalaman usaha; dan 4 mengembangkan kewirausahaan secara terus menerus ke depan. 168 Program PEMP sejatinya ditujukan untuk mengatasi kebutuhan permodalan nelayan kecil, yang pada umumnya sementara ini sebagian besar dipenuhi oleh para tengkulakjuragan dan pelepas uang. Sebagaimana telah banyak diungkap, bahwa salah satu penyebab keterpurukan nelayan adalah lemahnya akses terhadap sumber modal. Karena modal dipandang sebagai energi utama bagi kelangsungan usaha dan kesejahteraan nelayan apabila diperoleh dari sumber dana yang benar, dan digunakan secara tepat dengan perhitungan usaha yang matang. Tetapi modal juga bisa menjadikan nelayan terus terpuruk dan terlilit utang secara berkepanjangan apabila diperoleh dari sumber dana yang tidak jelas, dengan bunga di luar batas aturan normal, dan hanya menguntungkan satu pihak. Oleh karena itu, agar mereka dapat mengakses modal dari lembaga keuangan resmi dengan aturan yang jelas dan terlindungi secara hukum, maka sejak awal mereka harus diperkenalkan dengan lembaga-lembaga keuangan resmi seperti perbankan dan sejenisnya, dengan segala produk, mekanisme, dan persyaratannya. Demikian pula agar modal yang diperoleh nelayan betul-betul berguna untuk keperluan usahanya secara tepat, berkembang dan berkelanjutan, maka perlu adanya pendampingan teknis dan manajerial usaha sesuai dengan potensi yang ada. Kendala yang dihadapi oleh program-program pemberdayaan selama ini di antaranya adalah melekatnya pemahaman bahwa setiap program bantuan pemerintah yang ditujukan untuk penguatan modal atau sejenisnya, sering dipahami sebagai bantuan yang tidak perlu dikembalikan, demikian pula dalam penggunaannya yang bebas digunakan untuk apa saja. Pada sisi yang lain tidak adanya aturan dan sangsi yang jelas sebagai pembelajaran bagi peserta program yang menggunakan bantuan tidak sesuai aturan, sehingga sebesar apapun bantuan pemerintah menjadi tidak berbekas dan berdampak pada kesejahteraan. Demikian pula dengan pengelolaan dana program, selama ini umumnya hanya dikelola oleh lembaga pemerintah atau lembaga masyarakat yang kurang profesional, sarat dengan kolusi, dan lemah secara hukum. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa persepsi masyarakatresponden terhadap kebijakanprogram pemerintah dalam peningkatan kesejahteraan nelayan baik di Cirebon maupun Indramayu menunjukan bahwa kebijakan adanya 169 program PEMP tersebut dapat diterima dengan baik oleh masyarakat nelayan setempat sekitar 30-35 responden baik di Cirebon maupun Indramayu memberikan penilaian baik terhadap kebijakan publik. Responden yang belum puas umumnya adalah mereka yang mengalami kesulitan untuk mengikuti dan memenuhi persyaratan program. Dari hasil penelitian, dekomposisi faktor-faktor penentu keragaan pembangunan perikanan tangkap menunjukkan, bahwa secara keseluruhan kebijakan publik pembangunan perikanan sebagai program pemberdayaan menunjukkan pengaruh paling nyata terhadap keragaan pembangunan perikanan tangkap Tabel 17. Baik di Cirebon maupun Indramayu sekitar 53-58 responden, baik di Cirebon maupun Indramayu memberikan penilaian 4 dan 5 skala Likert terhadap keragaan pembangunan perikanan tangkap. Hal ini disebakan karena pendekatan pengelolaan program-program pemberdayaan masyarakat terutama untuk nelayan yang selama ini bersifat sentralistik sudah mulai terdistribusi ke daerah sejalan dengan berjalanya otonomi daerah. Seperti disebutkan pada Bab 2 tentang “Organisasi pengelola program PEMP” bahwa dalam pelaksanaannya program PEMP melibatkan beberapa pemangku kepentingan sesuai dengan tugas dan fungsinya, yaitu 1 Pemerintah pusat, dalam hal ini DKP, yang bertindak sebagai penanggung jawab dan pembina program pada tingkat nasional. Berfungsi dalam penyusunan pedoman umum, sosialisasi dan pelatihan tingkat nasional, monitoring dan evaluasi, serta pelaporan, 2 Pemerintah Daerah, dalam hal ini DKP provinsi yang bertugas menyeleksi dan mengusulkan kabupatenkota calon penerima program, terlibat dalam sosialisasi, monitoring dan evaluasi. 3 DKP kabupatenkota sebagai penanggung jawab operasional program bertugas menetapkan Konsultan Manajemen KM, koperasi pelaksana, melaksanakan sosialisasi dan publikasi tingkat kabupatenkota, memfasilitasi pembentukan LKM, perekrutan Tenaga Pendamping Desa TPD, pelatihan, monitoring, evaluasi, dan pelapora, 4 Konsultan Manajemen KM, yaitu konsultan yang ditunjuk untuk membantu DKP kabupatenkota dalam pelaksanaan program dalam aspek teknis dan manajemen, 5 Tenaga Pendamping Desa TPD, yaitu tenaga profesional yang bersedia tinggal di tengah masyarakat sasaran, bertugas mendampingi masyarakat selama kegiatan program, 6 170 Koperasi, yang merupakan holding company masyarakat pesisir dengan berbagai unit usaha, yang berfungsi sebagai ujung tombak pelaksanaan program PEMP di daerah, 7 Bank Pelaksana, yaitu lembaga perbankan yang ditetapkan oleh DKP dengan tugas dan fungsi menyediakan kredit bagi koperasi sebagai konsekuensi dari adanya DEP yang dijaminkan untuk kegiatan penguatan modal. Dari fakta tersebut terlihat bahwa Pemerintah Daerah dan LSM sudah dilibatkan dalam program sejak tahap perencanaan, sosialisasi, dan pelaksanaan, serta pembinaan dan pengawasan. Dengan demikian Pemerintah daerah memiliki kewajiban dan tanggung jawab terhadap terlaksananya program dengan baik untuk meningkatkan taraf hidup masyarakatnya, dan menghindari “tragedi milik bersama”. Tanggung jawab ini harus dilaksanakan secara seimbang antara tanggung jawab memberdayakan masyarakat dan melestarikan sumberdaya. Sudah saatnya pemerintah daerah mempertimbangkan untuk menerapkan prinsip ko-manajemen dimana otoritas pengelolaan perikanan sementara ini adalah pemerintah daerah, baik propinsi maupun kabupatenkota secara bersama dengan stakeholder merancang dan menentukan pengelolaan perikanan. Di beberapa daerah, ko-manajemen bisa dikembangkan dengan mudah karena adanya kelembagaan dan pranata lokal yang mendukung. Dimanapun daerahnya, tugas pemerintah daerah dengan dibantu oleh Pusat, melakukan identifikasi dan karakterisasi kelembagaan sosial yang mungkin dijadikan basis pengembangan ko-manajemen. Alternatif lain, pemerintah harus dapat membagi wewenang dan tanggung jawabnya kepada masyarakat secara langsung atau melalui organisasi masyarakat atau lembagsa sosial masyarakat LSM yang ada di setiap daerah. Pemberdayaan model PEMP yang melibatkan berbagai pihak terkait dalam setiap tahapan sesuai fungsinya, dan bersifat accountable, merupakan salah satu solusi untuk mengatasi kebuntuan yang ada. Berdasarkan hasil analisis pengembangan, bagi kawasan perairan yang sudah overfishing, dan profesi nelayan sudah tidak layak lagi dipertahankan, kebijakan publik di masa yang akan datang sebaiknya mencakup relokasi nelayan dan pengembangan mata pencaharian alternatif. Walaupun sangat disadari bahwa rekomendasi tersebut bukan persoalan yang mudah untuk diimplementasikan 171 karena untuk perpindahan lokasi dan perubahan profesi memerlukan pengetahuan, keterampilan, sarana, dan lingkungan usaha yang baru. Rekomendasi lain yang mungkin dapat diterima masyarakat nelayan adalah peningkatan kualitas SDM untuk menyiapkan mereka agar dapat menyerap teknologi yang dapat meningkatkan hasil tangkapan. Teknologi yang diterapkan hendaknya bersifat teknologi tepat guna yang mudah diserap oleh kemampuan SDM dan sesuai dengan potensi lokal. Dengan adanya peningkatan teknologi penangkapan, diharapkan daerah tangkapan menjadi lebih jauh ke tengah dan masa tangkapan menjadi lebih lama, yang akan berakhir dengan pendapatan yang lebih besar. Permasalahan yang akan muncul selanjutnya adalah setelah produktivitas meningkat diperlukan ketersediaan pasar dan modal kerja. Apabila rekomendasi ini dikaitkan dengan program PEMP, maka permasalahan pasar dan kebutuhan modal dapat diatasi dengan adanya lembaga keuangan mikro LKM yang dapat diakses oleh masyarakat nelayan. Format LKM ini dapat berupa unit usaha utama koperasi dan lembaga perbankan, sedangkan kebutuhan pasar dapat diwadahi oleh koperasi sebagai penyangga produksi, atau unit khusus pemasaran hasil sebagai salah satu unit usaha koperasi. Untuk menunjang kelangsungan usaha berkaitan dengan sarana produksi, di dalam program PEMP telah diinisiasi unit usaha khusus yang akan mewadahi kepentingan sarana penangkapan yaitu unit usaha Kedai Pesisir. Kedai pesisir didesain untuk memenuhi kebutuhan nelayan terhadap alat penangkapan dan sarana produksi lainnya dengan harga terjangkau, dan berada di sekitar lokasi usaha pesisir. Sebagai bentuk perlibatan masyarakat partisipatif, adanya kemitraan, kemandirian, dan adanya unsur bisnis profesional dalam kebijakanprogram ini adalah: 1 PEMP dikelola oleh lembaga masyarakat atau perwakilan dari masyarakat dalam satu lembaga berbadan hukum Koperasi, sedangkan dinas terkait bertindak hanya sebagai pembina dan fasilitator; 2 bermitra dengan sektor ekonomi terkait, seperti koperasi, perbankan, swasta, dan stakeholders lainnya; 172 3 berorientasi bisnis, sehingga dituntut perencanaan dan perhitungan yang matang, mandiri, dan dikelola secara profesional, serta penuh tanggung jawab; 4 dikelola secara transparan dan accountable. Dari uraian tersebut, maka sangat beralasan apabila program PEMP sebagai salah satu kebijakan publik di bidang perikanan sudah mulai mendapat tempat di sebagian besar nelayan dan Pemerintah Daerah. Hal ini juga tidak lepas dari upaya sosialisasi program yang terus menerus dan melibatkan seluruh stakeholder , baik Pusat maupun Daerah, baik unsur pelaksana maupun pengawasan, yang kesemuanya itu sudah dilibatkan sejak penyusunan Pedoman Umum pelaksanaan program DKP, 2004. Hal yang masih perlu mendapat perhatian berkaitan dengan masih adanya responden yang masih memberikan tanggapan negatifburuk atau belum bisa menerima yang disebabkan oleh kesulitan mengikuti persyaratan ádalah: Perlu adanya keberpihakan kebijakan kepada nelayan kecil dalam bentuk segmentasipengkelasan tingkat kemampuan ekonomi nelayan sasaran program, sehingga setiap level sasaran diperlakukan sesuai kemampuannya, Adanya pengkelasan status kemampuan nelayan kecil tersebut ke dalam potential passive, potential active , feasible, eligible, dan bankable, dapat dijadikan patokan penentuan skim pembiayaan.

7.2 Perekayasaan kelembagaan