Kemiskinan nelayan di Indonesia

18 Nikijuluw, 2001. Seperti yang dinyatakan Shari 1990 dan Mashuri 1993 bahwa penyebab utama kemiskinan nelayan yang dapat dikategorikan kultural adalah masa kerja yang terbatas dan tidak pasti, nilai produksi dibagi bersama terutama nelayan buruh. Selain itu, keluarga nelayan juga memiliki mutu modal manusia yang relatif rendah Saedan, 1999.

2.1.3 Kemiskinan nelayan di Indonesia

Masyarakat pesisir nelayan di Indonesia identik dengan kemiskinan meskipun dari banyak literatur menyebutkan bahwa kemiskinan nelayan adalah suatu atribut global, terkecuali untuk negara-negara maju seperti Jepang. Kemiskinan nelayan dapat disebabkan karena suatu kesalahan pengelolaan sumberdaya ikan, dimana sumberdaya tidak dimiliki oleh siapapun atau dimiliki oleh semua orang, sehingga terlalu banyak free riders yang membuat tidak ada seorangpun yang bertanggung jawab dalam memikirkan keberlanjutan sumberdaya Subade and Abdullah, 1993; Panayotou, 1992; Johnston, 1992. Sementara itu, Johnston 1992 mengatakan bahwa ketertinggalan nelayan sebagai masyarakat pesisir adalah karena eksternalitas disekonomi yang dipikul oleh sektor ini. Bila dibandingkan antara nelayan skala industri dan skala rumah tangga kecil, maka nelayan kecil yang menanggung eksternalitas disekonomi akibat kelebihan pemanfaatan, kesalahan pengelolaan serta deplesi sumberdaya ikan. Secara terstuktur, Dahuri 2000 mengajukan alasan kemiskinan nelayan, yang intinya kemiskinan itu disebabkan oleh dua hal, yaitu biaya tinggi yang harus dibayar dan penerimaan yang rendah dari penjualan ikan hasil tangkapan. Seterusnya bila, diteliti lebih jauh, biaya tinggi disebabkan karena struktur pasar yang cenderung merugikan nelayan, sedangkan penerimaan yang rendah adalah karena volume hasil tangkapan danatau harga ikan yang rendah. Dahuri 2000 mengklasifikasikan alasan kemiskinan nelayan kedalam empat hal yaitu 1 kemiskinan karena aspek teknis biologis sumberdaya ikan, 2 kemiskinan karena kekurangan prasarana, 3 kemiskinan karena kualitas sumberdaya manusia yang rendah, dan 4 kemiskinan karena struktur ekonomi yang tidak mendukung dan memberikan insentif usaha. Para pakar ekonomi sumberdaya melihat kemiskinan nelayan lebih banyak disebabkan karena faktor-faktor sosial ekonomi yang terkait 19 karakteristik sumberdaya serta teknologi yang digunakan. Faktor-faktor yang dimaksud membuat nelayan tetap dalam kemiskinannya. Dari sisi skala usaha perikanan, kelompok masyarakat pesisir miskin diantaranya terdiri dari rumah tangga perikanan yang menangkap ikan tanpa menggunakan perahu, menggunakan perahu tanpa motor dan perahu bermotor tempel. Dengan skala usaha ini, rumah tangga ini hanya mampu menangkap ikan di daerah dekat pantai. Dalam kasus tertentu, memang mereka dapat pergi jauh dari pantai dengan cara bekerjasama sebagai mitra perusahaan besar. Namun usaha dengan hubungan kemitraan seperti demikian tidak begitu banyak dan berarti dibandingkan dengan jumlah rumah tangga yang begitu banyak. Panayotou 1992 mengatakan bahwa nelayan tetap bertahan dalam kemiskinan, karena tidak ada pilihan untuk menjalani kehidupan itu preference for a particular way of life . Pendapat Panayotou 1992 ini dikuatkan oleh Subade dan Abdullah 1993, yang menekankan bahwa nelayan lebih senang dan memiliki kepuasaan hidup dari menangkap ikan dan bukan semata-mata beorientasi pada peningkatan pendapatan. Sehingga dengan way of life yang demikian, maka apapun yang terjadi dengan keadaannya, bukanlah masalah baginya, sementara prinsip hidup sangat sukar untuk diuah. Karena itu maka meskipun menurut pandangan orang lain nelayan hidup dalam kemiskinan, bagi nelayan itu bukan kemiskinan dan bisa saja mereka merasa bahagia dengan kehidupan itu. Smith 1979 yang mengadakan kajian pembangunan perikanan di berbagai negara Asia menyimpulkan, bahwa kekakuan aset perikanan fixity and rigidity of fishing assets adalah alasan utama mengapa nelayan tetap tinggal atau bergelut dengan kemiskinan dan sepertinya tidak ada upaya mereka untuk keluar dari kemiskinan tersebut. Kekakuan aset tersebut adalah karena sifat aset perikanan yang begitu rupa sehingga sulit untuk dilikuidasi atau diubah bentuk dan fungsinya untuk digunakan bagi kepentingan lain. Akibatnya pada saat produktivitas aset tersebut rendah, nelayan tidak mampu untuk mengalih fungsikan atau melikuidasi aset tersebut. Oleh karena itu, meskipun rendah 20 produktivitas, nelayan tetap melakukan operasi penangkapan ikan yang sesungguhnya secara ekonomis tidak lagi efisien. Subade and Abdullah 1993 mengajukan argumen lain yaitu, bahwa nelayan tetap tinggal pada industri perikanan karena rendahnya opportunity cost mereka. Opportunity cost nelayan, menurut definisi adalah kemungkinan atau alternatif kegiatan atau usaha ekonomi lain yang terbaik yang dapat diperoleh selain menangkap ikan. Dengan kata lain, opportunity cost adalah kemungkinan lain yang bisa dikerjakan nelayan bila saja mereka tidak menangkap ikan. Bila opportunity cost rendah maka nelayan cenderung tetap melaksanakan usahanya meskipun usaha tersebut tidak lagi menguntungkan dan efisien. Ada juga argumen yang mengatakan bahwa opportunity cost nelayan, khususnya di negara berkembang, sangat kecil dan cenderung mendekati nihil. Dengan demikian maka nelayan tidak punya pilihan lain tetap bekerja sebagai nelayan karena hanya itu yang bisa dikerjakan. Kemiskinan merupakan masalah yang sangat kompleks, karena tidak saja berkenaan dengan rendahnya pendapatan dan tingkat konsumsi masyarakat, tetapi juga berkaitan dengan rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan, ketidakberdayaan untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan publik powerlessness, ketidakmampuan menyampaikan aspirasi voicelessness, serta berbagai masalah yang berkenaan dengan pembangunan manusia human development. Kemiskinan berkaitan dengan aspek ekonomi, sosial-budaya, dan politik. Rumusan pengertian kemiskinan mencakup unsur-unsur: i ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar pangan, pendidikan, kesehatan perumahan air bersih, transportasi dan sanitasi; ii kerentanan; ii ketidakberdayaan; dan iv ketidakmampuan untuk menyalurkan aspirasinya. Berdasarkan definisinya, Adiwibowo 2000 menyebutkan bahwa kemiskinan adalah suatu kondisi kekurangan barang dan pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai standar hidup yang layak. Sedangkan ahli ekonomi lebih sering mendefinisikannya sebagai fenomena ekonomi, dalam arti rendahnya penghasilan atau tidak dimilikinya mata pencaharian yang cukup mapan sebagai 21 tempat untuk menggantungkan hidup. Namun sesungguhnya tidak semata-mata diakibatkan oleh kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, melainkan lebih dari itu. Esensi Kemiskinan adalah menyangkut kemungkinan orang atau keluarga miskin untuk melangsungkan dan mengembangkan perekonomiaanya. Secara lebih mendalam, Adiwibowo 2000 membedakan paling sedikit ada 6 enam macam kemiskinan, yaitu: 1 kemiskinan subsisten penghasilan rendah, jam kerja panjang, perumahan buruk, fasilitas air bersih mahal., 2. Kemiskinan perlindungan lingkungan buruk: sanitasi, sarana pembuangan sampah, polusi, kondisi kerja buruk, tidak ada jaminan atas hak pemilikan, 3 kemiskinan pemahaman kualitas pendidikan formal buruk, terbatasnya akses atas informasi yang menyebabkan terbatasnya kesadaran akan hak, kemampuan dan potensi untuk mengupayakan perubahan, 4 kemiskinan partisipasi tidak ada akses dan control atas proses pengambilan keputusan yang menyangkut nasib diri dan komunitas, 5 kemiskinan identitas terbatasnya pembauran, terfragmentasi antara kelompok sosial, dan 6 kemiskinan kebebasan stres, rasa tidak berdaya, tidak aman baik tingkat pribadi maupun komunitas. Secara teoritis kemiskinan dapat dipahami melalui akar permasalahannya yang dibedakan menjadi dua kategori, yaitu; 1 kemiskinan alamiah, yakni kemiskinan yang timbul sebagai akibat terbatasnya sumberdaya dan atau karena tingkat perkembangan teknologi yang sangat rendah, 2 kemiskinan buatan, yakni kemiskinan yang terjadi karena strutur sosial yang ada membuat anggota atau kelompok masyarakat tidak menguasai sarana ekonomi dan fasilitas-fasilitas secara merata.Definisi lain mengenai kemiskinan adalah seperti yang disebutkan oleh KPK Komisi Penanggulangan Kemiskinan, yang mendefiniskan penduduk miskin ke dalam beberapa golongan, masing-masing: 4 Usia di atas 55 tahun aging poor, yaitu kelompok masyarakat yang tidak produktif usia lanjut dan miskin. Program untuk kelompok ini bersifat pelayanan sosial. 22 5 Usia antara 15-55 tahun productive poor, yaitu usia sedang tidak produktif usia kerja tetapi menganggur. Program yang dilakukan adalah investasi ekonomi dan merupakan fokus penanggulangan kemiskinan. 6 Usia di bawah 15 tahun young poor, yaitu kelompok yang belum produktif. Program yang dilakukan yaitu penyiapan sosial. Kemiskinan merupakan masalah utama pembangunan di berbagai bidang yang ditandai dengan kerentanan, ketidakberdayaan, keterisolasian, dan ketidakmampuan untuk menyampaikan aspirasi. Selain itu, kondisi miskin dapat berakibat antara lain: i secara sosial ekonomi dapat menjadi beban masyarakat, ii rendahnya kualitas dan produktifitas masyarakat, iii rendahnya partisipasi aktíf masyarakat, iv menurunnya ketertiban umum dan ketenteramaman masyarakat; v menurunnya kepercayaan masayarakat terhadap birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat; dan vi kemungkinan pada merosotnya mutu generasi lost generations. Pengalaman pada masa lalu memperlihatkan beberapa kelemahan pembangunan antara lain i masih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi makro dari pada pemerataan; ii sentralisasi kebijakan daripada desentralisasi kebijakan; iii lebih bersifat karitatif daripada transformatif; iv memposisikan masyarakat sebagai objek dari pada subyek; v cara pandang tentang penanggulangan kemiskinan yang masih berorientasi pada karitatif daripada produktivitas; vi asumsi permasalahan dan solusi kemiskinan sering dipandang sama uniformitas} daripada pluralistik. Tantangan yang dihadapi dalam upaya penanggulangan kemiskinaan saat ini adalah tuntutan untuk menerapkan paradigma: i pengelolaan pemerintahan yang baik good governance; ii otonomi daerah dan desentralisasi, dan iii upaya pembangunan yang lebih berpihak kepada masyarakat miskin. Dalam rangka mempertajam kebijakan penanggulangan kemiskinan maka orientasi penanggulangan kemiskinan diarahkan pada : 1 upaya mengkatkan produktvitas masyarakat miskin untuk meningkatkan pendapatan dengan basis pengembangan ekonomi lokal melalui dukungan pendanaan perbankan dan lembaga pembiayaan lainnya, dan ii upaya meringankan beban pengeluaran 23 miasyarakat miskin dengan peningkatan akses terhadap kebutuhan pendidikan, kesehatan, jaminan sosial, dan penyediaan infrastruktur sosial ekonomi lokal melalui intervensi pemerintah, baik pusat maupun daerah. Kemiskinan merupakan suatu proses panjang yang melibatkan tarik- menarik serta interaksi berbagai faktor. Kemiskinan muncul bukan sebagai sebab tetapi lebih sebagai akibat dari adanya situasi ketidakadilan, ketimpangan dan ketergantungan dalam struktur masyarakat. Adiwibowo 2000 mengatakan bahwa inti dari masalah kmiskinan sebenarnya terletak pada apa yang disebut perangkap kemiskinan deprivation trap seperti yang terlihat pada Gambar 2. Gambar 2 Perangkap kemiskinan Chambers, 1983 Kelima unsur tersebut saling terkait satu dengan yang lain dalam suatu jalinan yang timbal balik, sehingga benar-benar merupakan perangkap kemiskinan yang berbahaya dan mematikan peluang hidup masyarakat. Kemiskinan Keterasingan Ketidak- berdayaan Kerentanan Kelemahan Fisik Kemiskinan Keterasingan Ketidak- berdayaan Kerentanan Kelemahan Fisik 24

2.1.4 Tingkat kemiskinan