Latar Belakang Keragaan pembangunan perikanan tangkap suatu analisis program pemberdayaan nelayan kecil

1 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan perikanan Indonesia dengan potensi sumberdaya yang begitu besar diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pembangunan nasional Indonesia, terutama terhadap tiga komponen penting pembangunan, yaitu pertumbuhan ekonomi, perluasan lapangan kerja, dan penurunan tingkat kemiskinan. Seperti disebutkan Jatmiko 2007, bahwa dalam struktur perekonomian nasional, sektor perikanan memiliki peran strategis sebagai penyedia lapangan kerja dan sumber devisa bagi negara. Namun ternyata harapan tersebut masih jauh dari kenyataan. Sebagai gambaran Departemen Kelautan dan Perikanan 2004 a melaporkan, bahwa berdasarkan data BPS tahun 2004, dari 8.090 desa pesisir di Indonesia sebanyak 3,91 juta KK 16,42 juta jiwa penduduknya termasuk ke dalam peduduk miskin dengan Poverty Headcount Index PHI sebesar 0,32. Hal serupa juga dikemukanan Fauzi 2005, bahwa sebagian besar nelayan Indonesia yaitu pelaku perikanan tangkap berskala kecil perikanan pantai masih tergolong masyarakat miskin dengan pendapatan kurang dari US 10 per kapita per bulan, yang jika dilihat dari konteks Millenium Development Goals MDGs pendapatan sebesar itu sudah termasuk ke dalam extreme poverty, karena lebih kecil dari US 1 per hari. Gambaran lainnya, hasil perhitungan program COREMAP Coral Reef Management Programe di 10 propinsi menunjukkan bahwa pendapatan nelayan pada tahun 19961997 masih berkisar antara Rp 82.000 sampai Rp 200.00 per bulan. Kondisi seperti demikian menggambarkan bahwa potensi sumberdaya kelautan dan perikanan belum dapat dikelola dan dimanfaatkan secara optimal, sehingga belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan nelayan. Masalah kemiskinan masyarakat pesisir terutama nelayan, sangat berkaitan dengan kondisi potensi sumberdaya perikanan, kualitas sumberdaya manusia, dan sarana-prasarana yang tersedia. Penurunan sumberdaya perikanan tersebut 2 semakin meningkat akibat kurang bertanggungjawabnya nelayan terhadap keberlanjutan sumberdaya. Sebagai contoh bebasnya nelayan melakukan penangkapan ikan secara berlebihan, tidak adanya kuota penangkapan ikan, tidak adanya penetapan jenis ikan yang boleh ditangkap; tidak adanya peraturan yang mengatur musim penangkapan ikan kecuali untuk beberapa lokasi di Indonesia Timur, dan belum ditaatinya peraturan yang menetapkan macam dan ukuran alat penangkapan ikan, ukuran dan jumlah kapal ikan yang dibolehkan. Sebagai akibatnya seperti disebutkan Nikijuluw 2005, bahwa kondisi perikanan tangkap di Indonesia sudah berada pada titik jenuh. Dikatakannya, bahwa meskipun secara nasional potensi lestari Maximum Sustainable Yield atau MSY sumberdaya perikanan diperkirakan mencapai 6,4 juta ton per tahun, saat ini telah dimanfaatkan hampir 72, dan apabila yang menjadi acuan adalah Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan JTB atau Total Allowable Catch TAC yaitu 80 dari potensi lestari 5,12 juta ton, maka sebetulnya pemanfaatan sumberdaya ikan telah mencapai 90. Kondisi ini tidak jauh berbeda dari laporan FAO 1997 yang menyebutkan bahwa sumberdaya ikan dunia cenderung telah dimanfaatkan secara penuh. Permasalahan kemiskinan, penurunan hasil tangkapan, dan kerusakan ekosistem perairan pada hakikatnya merupakan proses sebab-akibat yang tidak terpisahkan. Kemiskinan diyakini menjadi salah satu pendorong menurunnya sumberdaya ikan, sedangkan ketiadaan mata pencaharian alternatif dan minimnya pengetahuan, serta permodalan, menjadikan pantai zona yang produktivitas dan keberagaman sumberdayanya paling tinggi mengalami tekanan penangkapan yang luar biasa, sehingga hasil tangkapannya menurun dari waktu ke waktu. Akibat lanjutannya, kompetisi antar alat tangkap semakin meningkat dan kegiatan menangkap ikan semakin susah. Kecenderungan tersebut, telah mendorong nelayan untuk melakukan kegiatan penangkapan yang merusak ekosistem, seperti penggunaan bahan peledak, potasium dan pengoperasian alat- alat tangkap yang merusak lainnya. Kemiskinan, ternyata juga telah menyebabkan rendahnya kapasitas masyarakat pesisir khususnya nelayan. Rendahnya kapasitas masyarakat nelayan, dapat dilihat dari kegiatan ekonomi yang mereka lakukan. Usaha nelayan 3 biasanya bersifat individual, tradisional, dan biasanya hanya terpaku pada kegiatan penangkapan ikan saja, yaitu berupa ikan segar hasil tangkapan. Sedangkan kegiatan pasca-panen yang dapat menghasilkan nilai tambah justru dilakukan oleh pedagang dan pengolah ikan yang mengambil alih tugas-tugas peningkatan nilai tambah melalui perubahan bentuk produk proses pengolahan, perubahan waktu penjualan proses penyimpanan, dan perubahan tempat penjualan proses transportasi. Akibatnya porsi nilai tambah yang didapatkan oleh nelayan relatif kecil. Untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tadi, sebenarnya Pemerintah telah banyak mengeluarkan berbagai kebijakan pembangunan perikanan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan dan mengentaskan kemiskinan. Sebagai contoh untuk mengatasi kebutuhan permodalan masyarakat pesisir terutama nelayan kecil, Pemerintah melalui Departemen Kelautan dan Perikanan DKP dan lembaga-lembaga keuangan sudah menghasilkan kebijakan- kebijakan yang terkait dengan kendala financial capital di sektor perikanan. Namun demikian pembangunan perikanan sampai saat ini belum secara signifikan memberikan kontribusi ekonomi yang berarti bagi perolehan devisa negara, penyediaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan nelayan. Seperti dikemukakan Dahuri 2004, bahwa sumbangan sektor kelautan dan perikanan secara keseluruhan sekitar 20,06 dari Pendapatan Domestik Bruto PDB tahun 1998. Sedangkan khusus subsektor perikanan pada tahun 2004 menyumbang 15,0 terhadap PDB sektor pertanian berdasarkan harga konstan tahun 2000 BPS, 2004. Pada saat bersamaan China dan Korea yang potensi sumberdaya kelautan dan perikanannya lebih kecil, menyumbang PDB masing- masing sebesar 48,4 dan 54,0. Dengan kata lain, sumberdaya kelautan dan perikanan kita belum dapat dimanfaatkan secara optimal bagi pembangunan ekonomi bangsa dan negara. Berdasarkan fakta-fakta tersebut, maka dipandang perlu untuk dilakukan kajian secara lebih mendalam terhadap program-program pemberdayaan nelayan terutama nelayan kecil yang masih berjalan, dengan tujuan untuk mengetahui faktor-faktor penentu atau variabel-variabel yang mempengaruhi keragaan pembangunan perikanan tangkap skala kecil. 4 Salah satu program pemberdayaan nelayan kecil yang saat ini masih berjalan adalah program Pemberdayaan Ekonomin Masyarakat Pesisir PEMP yang diinisiasi oleh Departemen Kelautan dan Perikanan DKP sejak tahun 2000. Program yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pengembangan kultur kewirausahaan, Lembaga Keuangan Mikro LKM, partisipasi masyarakat, dan usaha ekonomi produktif ini dalam pelaksanaannya dibagi ke dalam tiga tahapan proses, yaitu 1 periode inisiasi, yakni introduksi kebijakan dan penggalangan partisipasi, serta perintisan kelembagaan sesuai dengan potensi dan kebutuhan masyarakat sasaran, 2 periode institusionalisasi, yakni proses lanjutan dari periode inisiasi berupa penguatan kelembagaan ekonomi masyarakat, baik secara organisasi maupun tatalaksana, dan 3 periode diversifikasi, yaitu tahap pengembangan dan diversifikasi usaha ekonomi produktif.

1.2 Perumusan Masalah