Salah satu tujuan penimbangan balita adalah untuk mengetahui status gizi balita sehingga pertumbuhan balita dapat terpantau dengan baik. Dengan
pemantauan status gizi secara baik maka apabila balita mengalami penurunan status gizi dapat dilakukan perbaikan gizi dengan segera, sehingga dapat
meminimalisir terjadinya penyakit infeksi seperti ISPA. Hal ini menunjukkan bahwa penimbangan balita tidak memiliki pegaruh langsung untuk terjadinya
ISPA, namun melalui perantara variabel status gizi. Dengan kata lain pengaruh variabel penimbangan balita dapat tertutupi oleh variabel lain yang memiliki
pengaruh yang lebih besar, yaitu status gizi. Hasil observasi menunjukkan bahwa untuk sarana dan prasarana kesehatan
di wilayah kerja puskesmas Pekalongan Selatan sudah memadahi, salah satunya dengan pelaksanaan posyandu yang rutin dilaksanakan setiap bulannya. Kegiatan
ini dilaksananakan oleh 34 posyandu yang tersebar merata di 6 kelurahan yang menjadi wilayah kerja puskesmas. Kemudahan akses dan kepuasan pelayanan
menjadikan kebutuhan pelayanan kesehatan untuk ibu dan balita semakin mudah didapat.
5.1.5. Hubungan Status BBLR dengan Kejadian ISPA Berulang pada Balita
Status BBLR dinilai dengan melihat apakah balita memiliki riwayat berat badan rendah pada saat laihir atau tidak. Berat badan lahir balita masuk dalam
kategori rendah apabila 2500 gram. Hasil penelitian menunjukkan dari total 106 balita sejumlah 13 balita 12 masuk dalam kategori BBLR dan 10 balita 76
diantaranya terjadi ISPA berulang. Sedangkan sejumlah 93 balita 88 tidak memiliki riwayat BBLR dimana 43 balita 46 diantaranya terjadi ISPA
berulang pada balita. Hasil analisis penelitian dengan uji chi square yang dilakukan terhadap variabel status BBLR dengan kejadian ISPA berulang
didapatkan p value sebesar 0,038 dan lebih kecil dari nilai α sebesar 0,05
0,0380,05, sehingga Ha diterima yang menyatakan bahwa ada hubungan antara status BBLR dengan kejadain ISPA berulang pada balita.
Nilai Odss Ratio OR yang diperoleh adalah 3,87 yang berarti bahwa balita yang memiliki status BBLR mempunyai risiko untuk mengalami penyakit
ISPA berulang 3,87 kali lebih besar dibandingkan dengan balita yang tidak memiliki riwayat status BBLR.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Sadono W 2005 yang menunjukkan bahwa bayi berat lahir rendah mempunyai kecenderungan sering
menderita ISPA episode dengan p value=0,025 dan POR=3,8 pada 95 CI interval 1,096-13,063. Artinya berat badan bayi yang redah pada saat lahir
memiliki risiko 3,8 kali lebih besar daripada bayi yang lahir dengan berat badan normal.
Organ pada bayi BBLR belum sempurna, sehingga sering mengalami komplikasi, termasuk infeksi. Penyakit gangguan pernafasan yang sering diderita
oleh bayi berat lahir rendah adalah penyakit pada membran hielin, infeksi saluran pernafasan akut, aspirasi pnemonia, pernafasan periodik dan apnea yang
disebabkan karena pusat pernafasan di medulla belum matur Sadono, 2005. BBLR berisiko mengalami gangguan proses adaptasi pernapasan waktu lahir
hingga dapat terjadi asfiksia, selain itu BBLR juga berisiko mengalami gangguan napas yakni bayi baru lahir yang bernafas cepat 60 kalimenit, lambat 30
kalimenit dapat disertai sianosis pada mulut, bibir, mata dengantanpa retraksi dinding dada serta merintih, dengan demikian BBLR sangat berisiko untuk
terkena ISPA dibandingkan bayi bukan BBLR Depkes RI, 2010.
5.1.6. Hubungan Status Gizi dengan Kejadian ISPA Berulang pada Balita