0,05 0,00010,05, sehingga Ha diterima yang menyatakan bahwa ada hubungan antara status BBLR dengan kejadain ISPA berulang pada balita.
Nilai Odss Ratio OR yang diperoleh adalah 6,55 yang berarti bahwa keluarga yang memiliki perilaku cuci tangan buruk mempunyai risiko untuk
mengalami penyakit ISPA berulang 6,55 kali lebih besar dibandingkan dengan keluarga yang memiliki perilaku cuci tangan baik.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Ratih Wahyu Susilo 2010 yang menunjukkan bahwa adanya hubungan antara adanya anggota keluarga yang
tidak mempunyai kebiasaan mencuci tangan dengan kejadian ISPA pada balita p= 0,022.
Mencuci tangan menjadi metode pencegahan dan pengendalian yang paling penting. Tujuan mencuci tangan adalah menurunkan jumlah
mikroorganisme pada tangan dan untuk mencegah penyebarannya ke area yang tidak terkontaminasi Schaffer, 2000 dalam Susilo RW, 2010. Mencuci tangan
memakai sabun bertujuan untuk mencegah penyebaran penyakit-penyakit menular seperti diare, ISPA, dan Flu Burung. Mencuci tangan menggunakan sabun
terbukti merupakan cara yang efektif untuk upaya kesehatan preventif Depkes, 2007.
5.1.8. Hubungan Perilaku Merokok dengan Kejadian ISPA Berulang pada Balita
Perilaku merokok dinilai dengan melihat ada atau tidaknya anggota keluarga yang memiliki perilaku merokok di dalam rumah. Hasil penelitian
menunjukkan sejumlah 58 keluarga 45 memiliki perilaku merokok di dalam
rumah dan 38 keluarga 55 diantaranya terjadi ISPA berulang pada balita. Sedangkan 47 keluarga 55 tidak terdapat anggota keluarga yang merokok,
dimana 15 keluarga 32 diantaranya terjadi ISPA berulang pada balita. Hasil analisis penelitian dengan uji chi square yang dilakukan terhadap variabel
perilaku dengan kejadian ISPA berulang didapatkan p value sebesar 0,0001 dan lebih keci
l dari nilai α sebesar 0,05 0,0010,05, sehingga Ha diterima yang menyatakan bahwa ada hubungan antara perilaku merokok dengan kejadain ISPA
berulang pada balita. Nilai Odss Ratio OR yang diperoleh adalah 4,18 yang berarti bahwa
keluarga yang memiliki perilaku merokok di dalam rumah mempunyai risiko untuk mengalami penyakit ISPA berulang pada balita 4,18 kali lebih besar
dibandingkan dengan keluarga yang tidak memiliki perilaku merokok di dalam rumah.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Marhamah 2013 yang menunjukkan bahwa adanya hubungan antara keberadaan anggota keluarga yang
merokok di dalam rumah dengan kejadian ISPA p=0,026. Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Ratih Wahyu Susilo 2010 yang menunjukkan ada hubungan
antara adanya anggota keluarga yang merokok dengan kejadian ISPA pada balita p=0,024 dan PR=0,249, artinya balita yang tinggal bersama anggota keluarga
yang merokok mempunyai risiko 0,249 kali untuk mengalami ISPA. Kemudian diperkuat lagi dengan penelitian yang dilakukan oleh Yuli Trisnawati 2012 yang
menyatakan bahwa ada hubungan antara perilaku merokok orang tua terhadap kejadian ISPA pada balita p=0,000 dan OR=13,325. Artinya balita dengan orang
tua sebagai perokok berpeluang sebesar 13,325 kali terkena penyakit ISPA daripada orang tua yang bukan perokok.
Beberapa bahan kimia dalam asap rokok yang berhubungan dengan kejadian ISPA yaitu: nikotin, gas karbon monoksida, nitrogen oksida, hidrogen
sianida, ammonia, acrolein, acetilen, benzoldehide, urethane, methanol, conmarin, 4-ethyl cathecol, orteresorperyline, dan lain-lain. Berbagai bahan kimia
tersebut dapat merangsang silia yaitu bulu-bulu halus yang terdapat pada permukaan saluran napas, sehingga sekret mukus meningkat menjadi 30-50. Hal
ini mengakibatkan silia tersebut akan mengalami kerusakan dan mengakibatkan menurunnya fungsi ventilasi paru Pradono dalam Khatimah, 2006. Asap rokok
yang keluar langsung dari pembakaran rokok sidestream akan lebih berbahaya daripada yang keluar dari mulut perokok mainstream, karena sidestream belum
mengalami penyaringan, sedangkan mainstream sudah mengalami penyaringan melalui pernapasan perokok dan rokok itu sendiri. Balita yang tinggal di rumah
yang di dalamnya terdapat anggota keluarga yang suka merokok di dalam rumah, maka balita tersebut termasuk perokok pasif yang akan menerima semua akibat
buruk dari asap rokok. Fungsi paru adalah untuk bernafas dengan memasukan udara bersih dan
mengeluarkan udara kotor dari dalam tubuh. Bahan kimia yang berasal dari asap rokok merangsang permukaan sel saluran pernafasan sehingga mengakibatkan
keluarnya lendir atau dahak. Mirip dengan rangsangan debu, virus atau bakteri pada saat flu. Bedanya adalah bahwa dahak yang ditimbulkan karena virus flu
akan didorong keluar oleh bulu getar disepanjang saluran napas dengan
menstimulasi reflek batuk. Lendir yang lama tertahan di saluran nafas, dapat menjadi tempat berkembangnya bakteri yang akan menyebabkan pneumonia .
Asap rokok dapat mengganggu saluran pernafasan bahkan meningkatkan penyakit infeksi pernafasan termasuk ISPA, terutama pada kelompok umur balita yang
memiliki daya tahan tubuh masih lemah, sehingga bila ada paparan asap, maka balita lebih cepat terganggu sistem pernafasannya seperti ISPA Syahrani, 2008
dalam Trisnawati, Yuli, 2012.
5.1.9. Hubungan Jenis Lantai Rumah dengan Kejadian ISPA Berulang pada Balita