136
over exploitation. Sementara itu, sumber daya alam yang terbarukan tidak mampu lagi diperbaharui karena lingkungan dan habitatnya sudah rusak. Inilah
permasalahan utama yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Cara pandang yang reduksionis dan eksploitatif ditunjukkan oleh kebijakan dan
pendekatan birokrasi pemerintah yang mengelola sumber daya alam secara sektoral, dimana untuk masing-masing sumber daya alam dibuatkan aturan
undang-undang yang sektoral juga. Sumber daya tambang diatur oleh undang- undang pertambangan, bahkan ada yang lebih rinci lagi, yaitu undang-undang
migas, undang-undang listrik, undang-undang panas bumi, dan undang-undang pertambangan umum. Cara pendekatan ini tidak mempedulikan keterkaitan
sumber daya alam satu dengan yang lain dalam satu wilayah atau kawasan. Jadi, tidak mengherankan bila dalam satu kawasan dimana sekaligus terdapat hutan,
tambang, dan air, maka juga terikat dengan tiga undang-undang, tiga departemen, tiga instansi utama atau bahkan lebih banyak instansi terkait yang
turut mengatur dan mengelola. Kenyataan menunjukkan, kebijakan dan pengelolaan sumber daya alam selama
ini belum menuntaskan masalah fundamental yang berkaitan dengan hak rakyat dalam penguasaan, pemilikan, pengelolaan, serta penggunaan sumber daya
alam, khususnya tanah dan agraria. Padahal, sebagian terbesar dari sumber daya alam yang bernilai ekonomi tinggi itu berada di tanah dan kawasan yang disebut
tanah negara, yang didiami masyarakat adat atau masyarakat lokal yang sudah ada dan mengelola tanah di situ sebelum negara ini ada. Akan tetapi hak mereka
masyarakat hukum adat seringkali tidak diakui negara, apalagi dilindungi. Hal serupa berlaku dalam menetapkan hutan lindung. Kawasan konservasi ini
ditetapkan oleh negara atau pemerintah tanpa memperhitungkan bahwa terdapat masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut dan mempunyai kepentingan dan
hak atas hutan lindung itu. Selama hak masyarakat atas berbagai sumber daya alam belum teratasi dan belum ada penyelesaian kesepakatan antara negara dan
masyarakat, maka selama itu juga kerusakan lingkungan sulit untuk dihindari. Masalah lainnya adalah pembagian hasil dari pemanfaatan sumber daya alam
yang tidak adil. Pemerintah memperoleh pendapatan dari pajak dan nonpajak dari bagi hasil pemanfaatan sumberdaya. Pengusaha memperoleh dari rantai
ekonomi yang terbesar, sedangkan masyarakat daerah selama ini hanya sebagai pekerja dan hampir tidak menerima manfaat langsung. Selain itu, hasil dari
pemanfaatan kekayaan alam tidak diwujudkan sebagai modal dasar untuk pengembangan daerah dan penguatan sosial ekonomi masyarakat setempat.
137
Sebagai akibatnya masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar di tempat- tempat eksploitasi sumber daya alam itu, di kawasan hutan, dan pulau kecil
tidak mempunyai kemampuan untuk mencari pendapatan alternatif. Dengan demikian, mereka terdorong untuk merambah dan memanfaatkan sumber daya
alam yang ada untuk dapat bertahan hidup survival strategy.
1.1.1.65 c. Perluasan Pemangku Kepentingan:
Partisipasi PT, LSM, dan TNI dalam Penanggulangan Bencana
Perluasan pemangku kepentingan yaitu pelibatan LSM, PT, dan TNI dalam penanggulangan bencana di Indonesia menjadi penting mengingat terjadi
peningkatan frekuensi bencana di Indonesia. Lembaga swadaya masyarakat LSM merupakan salah satu pemangku kepentingan stakeholders lingkungan
yang paling terbuka terhadap paradigma pembangunan berkelanjutan, memikul beban berat untuk mengadvokasi pihak eksekutif, legislatif, dan sekaligus
yudikatif ini. LSM tersebut juga yang berkewajiban melakukan pengawalan ketat atas semua janji-janji yang sudah disepakati.
Perguruan Tinggi PT di berbagai kawasan Indonesia bisa dilibatkan, terutama dalam mendampingi pemerintah daerah untuk membentuk satuan-satuan
lingkungan hidup dan menyusun program-program pembangunan yang berbasis pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan. Secara lebih menyeluruh,
memang diperlukan pelibatan PT dan LSM dalam penguatan civil society sebagai kekuatan pokok pembangunan berkelanjutan. Caranya mulai dari
menggalang orang-orang terkemuka yang paham lingkungan untuk melakukan lobi-lobi di tingkat atas, terus mengadvokasi masyarakat di tingkat bawah,
hingga memperbesar konstituen lingkungan dari yang ada sekarang ini. TNI merupakan bagian mayarakat yang juga menjadi korban berbagai bencana.
Salah satu contohnya adalah dari korban meninggal lebih dari 5.000 orang dalam bencana gempa di DIY, 25 diantaranya anggotakeluarga TNI. Hampir
300 bangunan milik TNI, seperti perkantoran, rumah dinas, gudang, barak, rumah sakit dan rumah ibadah, rata dengan tanah. Selain itu, sejumlah
kendaraan dan peralatan TNI hancur atau mengalami kerusakan. Dari rentetan bencana alam yang melanda negeri ini, mulai dari gempa bumi dan tsunami
yang menyapu NADSumut hingga gempa tektonik yang mengguncang DIYJateng akhir Mei lalu, peran TNI selalu menjadi sorotan.
138
Sesungguhnya, di mana posisi TNI dalam penanggulangan bencana alam? Apakah TNI sebagai penanggung jawab atau hanya membantu? Bila menjadi
leading sector,
apa dasarnya dan dari mana dukungan anggaran untuk menggerakkan pasukan dan membeli bahan-bahan yang diperlukan TNI?
Mencermati perundang-undangan yang berlaku, baik UU Pertahanan Negara maupun UU TNI jelas menyebutkan bahwa TNI hanya sebatas membantu. Pasal
10 UU RI Nomor 3 Tahun 2002 serta Pasal 6 dan 7 UU RI Nomor 34 Tahun 2004 beserta penjelasannya menempatkan TNI pada posisi membantu instansi
lain sesuai permintaan. Hanya saja, Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara dapat
mengerahkan TNI dalam keadaan memaksa untuk kemudian dimintakan persetujuan dari DPR RI. Termasuk pengerahan TNI untuk menanggulangi
akibat bencana alam yang membutuhkan penanganan cepat. TNI disiapkan untuk melaksanakan operasi militer dalam peperangan. Untuk
operasi militer selain perang, seperti penanggulangan bencana alam, TNI hanya dimungkinkan memanfaatkan idle capacity yang dimiliki. Membina dan
mengerahkan TNI untuk tugas seperti ini belum didukung anggaran. Tugas dilaksanakan dahulu baru kemudian anggarannya diajukan secara berjenjang
melalui Dephan RI, untuk selanjutnya menunggu proses persetujuan DPR RI. Padahal, penanganan bencana alam memerlukan kecepatan dalam
menggerakkan manusia, sarana prasarana dan peralatan yang kesemuanya berkaitan dengan anggaran. Apalagi, bagi Indonesia sebagai archipelagic state
dan rawan terhadap bencana alam dan kecelakaan lain, maka faktor kecepatan menjadi sangat penting.
Belajar dari pengalaman selama ini, sudah saatnya dipikirkan langkah yang lebih terpadu dan terkoordinasi. Menetapkan institusi yang tepat berada di garis
depan dan pihak-pihak yang harus mendukung dari belakang, baik pada masa awal terjadinya bencana maupun lanjutan penanggulangan dalam bentuk
rehabilitasi dan rekonstruksi. Oleh karena itu, perlu dilakukan penataan ulang peran dan tanggung jawab setiap badan atau instansi dalam penanggulangan
bencana alam perlu dilakukan dengan saksama. Tujuannya, agar keseluruhan upaya menjadi optimal demi terbebasnya rakyat dari penderitaan yang
berkepanjangan. Keterlibatan TNI dalam penanggulangan bencana masa tanggap darurat
hendaknya dipandang sebagai tanggung jawab dan tugas kemanusiaan yang tidak memberatkan TNI, melainkan sebagai tugas yang dilandasi jati diri
sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, tentara nasional dan tentara profesional.