144
tetapi terkonsentrasi, di mana lebih banyak letusan terjadi pada periode tertentu terkait perubahan iklim dunia. Sejumlah penjelasan masuk akal, tetapi jarang
muncul dalam pembahasan gunung api di Indonesia, yakni relasi letusan gunung api pantai dan pulau dengan peristiwa klimatologis. Argumentasi
dasar yang diangkat adalah bahwa kombinasi pengaruh perubahan iklim dunia diperkirakan akan memengaruhi dinamika geologis gunung api dan tektonik.
Jebakan untuk melihat analisis gunung api dari satu sisi membuat kita lupa memperhitungkan berbagai risiko bawaan dan risiko lainnya.
Terdapat empat hal mendasar yang harus dilakukan ketika terjadi bencana alam.: pertama, upaya membangun strategi emergensi dengan mempraktikkan
teori; kedua, pemahaman terhadap ketidakpastian dan tanggung jawab ilmuwan dalam peringatan dini gunung api; ketiga, memahami bagaimana respons
terhadap letusanbencana tanpa peringatan dini, dan keempat, modeling krisis pascabencanaletusangempa, tentunya dengan memperhitungkan sejarah
kegempaan entah vulkanik maupun tektonik. Urgensi dari mengetahui kompleksitas gunung api dan pemetaan risiko yang komprehensif secara
strategis maupun taktis berguna bagi perencanaan bencana disaster planning yang lebih memadai dan lebih siap. Prasyarat perencanaan penanganan bencana
disaster planning yang baik adalah pemetaan risiko bencana harus komprehensif.
Uraian di atas menunjukkan pentingnya penelitian dalam upaya memahami bencana, yang kemudian diperlukan dalam upaya penanggulangan bencana
tersebut.
1.1.1.69 g. Pendidikan Kesiapsiagaan Bencana
Pendidikan kesiapsiagaan bencana disaster preparedness education merupakan hal penting untuk dilakukan. Pendidikan kesiapsiagaan dapat
dilakukan mulai dari yang sederhana hingga yang terintegrasi dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari manajemen bencana disaster management,
karena manajemen bencana disaster management merupakan siklus yang terbentuk atas empat aktivitas masing-masing adalah mitigation, preparedness,
response
, dan recovery. Mitigation diartikan sebagai setiap aktivitas yang dilakukan untuk mengeliminasi atau mengurangi tingkat resiko bencana dalam
jangka panjang terhadap manusia maupun harta benda. Preparedness adalah setiap aktivitas sebelum terjadinya bencana yang bertujuan untuk
mengembangkan kapabilitas operasional dan memfasilitasi respon yang efektif ketika suatu bencana terjadi. Response adalah setiap aktivitas yang dilakukan
145
sebelum, selama, ataupun seketika setelah terjadi suatu bencana yang bertujuan untuk menyelamatkan nyawa, meminimalisir kerusakan terhadap harta benda,
dan meningkatkan efektifitas program-program perbaikan. Sementara itu, recovery
adalah aktivitas jangka pendek untuk memulihkan fasilitas kehidupan masyarakat life support system agar dapat kembali beroperasi secara normal
Morrisey, dalam Susetyo, 2006. Selanjutnya Susetyo menyatakan bahwa mitigation
dan preparedness adalah aktivitas yang beririsan. Walsh
menyebutkan bahwa mitigation dan juga planning perencanaan adalah elemen utama dalam preparedness.
Pendidikan kesiapsiagaan bencana dilakukan sebagai bagian dari mitigation yang otomatis juga merupakan bagian dari preparedness. Ragam pendidikan
yang dilakukan dapat berupa integrasi konsep-konsep pencegahan bencana ke dalam kurikulum pendidikan di sekolah, baik di tingkat dasar, menengah,
maupun perguruan tinggi. Kegiatannya bisa berupa training untuk siswa, guru, ataupun karyawan sekolah, sedangkan
materinya dapat berupa peningkatan ketrampilan menghadapi bencana emergency response skill
ataupun perencanaan menghadapi bencana disaster preparedness planning. Bagi masyarakat umum, ragam pendidikan dapat berupa penyuluhan interaktif
yang dilakukan secara reguler ataupun latihan pencegahan bencana disaster drill
secara rutin yang melibatkan unsur masyarakat umum, LSM, pemerintah, lembaga kesehatan-pemadam kebakaran, palang merah, angkatan bersenjata
hingga pekerja kantor dan para profesional. Selain mengajarkan perlindungan diri, pendidikan kesiapsiagaan juga
menanamkan hal penting yaitu kepedulian. Hasil pelatihan kesiapsiagaan bencana yang dilakukan di Jepang adalah meningkatnya kepedulian warganya
untuk menolong korban bencana. Contohnya dalah saat Tsunami di NAD dan gempa di DI Yogyakarta, banyak sekali mahasiswa-mahasiswa Jepang datang
dari Kyoto ke NAD dan DIY dengan biaya dan tabungan sendiri, juga dengan fasilitas, dan perlengkapan yang mereka buat sendiri. Mereka juga tidak
memiliki klasifikasi pendidikan khusus di bidang ini. Kebanyakan malah mahasiswa jurusan teknik sipil. Mereka juga memaksakan belajar bahasa
Indonesia dalam waktu singkat
hanya supaya penyuluhan-nya tentang pendidikan kesiapan menghadapi gempa dapat dipahami oleh anak-anak
Indonesia. Kata kuncinya memang hanya satu yaitu kepedulian. Selain Jepang atau Amerika Serikat yang telah lama memiliki program-program pendidikan
kesiapsiagaan bencana, negara-negara kecil di Karibia telah lama memiliki kurikulum integratif kesiapsiagaan bencana dalam pendidikan formalnya. Sama
halnya dengan negara Colombia dan India.