135
lingkungan agar tetap bersih dari sampah dan limbah agar kesuburan dan kelestarian alam terjaga.
Pendidikan nilai bisa diwujudkan dengan memberdayakan kembali kearifan lokal yang ada. Kini banyak tradisi dan adat istiadat lokal yang sebenarnya kaya
nilai-nilai tentang hubungan harmonis antara manusia dan alam tidak lagi populer. Padahal, bencana alam bisa dicegah dan kerusakan alam bisa dihindari
apabila manusia hidup berdampingan secara baik dengan alam. Hegel dalam tulisannya, das Prinzip der Selbstgewissheit, menggambarkan hubungan
sederajat manusia dengan alam Alhumami, 2005. Dalam pandangannya, alam tidak ditempatkan sebagai sasaran penjajahan dan eksploitasi, tetapi menjadi
rekan seperjalanan hidup manusia. Manusia sebagai subyek dan pusat seluruh ciptaan tidak bisa sembarangan menggunakan dominasinya untuk merusak
ciptaan Tuhan yang diperuntukkan bagi kehidupan. Merusak hutan dan melakukan pencemaran lingkungan berarti ikut menebar ”budaya kematian”.
Dengan semakin berkurangnya keragaman hayati biodiversity, meluasnya erosi tanah subur, kritisnya endapan air, dan kian tipisnya tanah subur membuat
kelangsungan hidup kian terancam.
1.1.1.64 b. Revisi Konsep Sumber Daya Alam dan
Pemanfaatannya
Salah satu penyebab mencuatnya bencana akhir-akhir ini adalah akibat pengertian yang salah tentang pemanfaatan sumber daya alam. Sejak Orde Baru
hingga kini, pengelolaan sumber daya alam dilakukan atas dasar pengertian bahwa sumber daya alam tidak lebih dari sekedar komoditas. Sumber daya alam
hanya dilihat sebagai kayu, rotan, ikan, udang, emas, dan minyak; tidak lebih dari komoditas ekonomi yang bisa dikuras sampai habis atau dimanfaatkan
untuk memperoleh hasil ekonomi ataupun keuntungan yang maksimal. Selama ini terjadi reduksi pengertian sumber daya alam natural resource
karena tidak melihatnya sebagai unsur-unsur penting yang mempunyai fungsi lingkungan, aset masa depan, aset alam yang memiliki keterkaitan dengan
kehidupan manusia. Akibat tidak adanya pertimbangan tersebut, semua kebijakan dan pengaturan hanya sebatas pada cara pemanfaatan dan
pengusahaan komoditas tadi, yang konkretnya dalam bentuk pemberian izin pengusahaan jenis-jenis sumber daya alam yang bernilai ekonomi tinggi, seperti
minyak, gas bumi, dan kayu. Akibatnya sumber daya alam yang tidak terbarukan itu dikuras hingga tidak ada yang tersisa untuk generasi mendatang
136
over exploitation. Sementara itu, sumber daya alam yang terbarukan tidak mampu lagi diperbaharui karena lingkungan dan habitatnya sudah rusak. Inilah
permasalahan utama yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Cara pandang yang reduksionis dan eksploitatif ditunjukkan oleh kebijakan dan
pendekatan birokrasi pemerintah yang mengelola sumber daya alam secara sektoral, dimana untuk masing-masing sumber daya alam dibuatkan aturan
undang-undang yang sektoral juga. Sumber daya tambang diatur oleh undang- undang pertambangan, bahkan ada yang lebih rinci lagi, yaitu undang-undang
migas, undang-undang listrik, undang-undang panas bumi, dan undang-undang pertambangan umum. Cara pendekatan ini tidak mempedulikan keterkaitan
sumber daya alam satu dengan yang lain dalam satu wilayah atau kawasan. Jadi, tidak mengherankan bila dalam satu kawasan dimana sekaligus terdapat hutan,
tambang, dan air, maka juga terikat dengan tiga undang-undang, tiga departemen, tiga instansi utama atau bahkan lebih banyak instansi terkait yang
turut mengatur dan mengelola. Kenyataan menunjukkan, kebijakan dan pengelolaan sumber daya alam selama
ini belum menuntaskan masalah fundamental yang berkaitan dengan hak rakyat dalam penguasaan, pemilikan, pengelolaan, serta penggunaan sumber daya
alam, khususnya tanah dan agraria. Padahal, sebagian terbesar dari sumber daya alam yang bernilai ekonomi tinggi itu berada di tanah dan kawasan yang disebut
tanah negara, yang didiami masyarakat adat atau masyarakat lokal yang sudah ada dan mengelola tanah di situ sebelum negara ini ada. Akan tetapi hak mereka
masyarakat hukum adat seringkali tidak diakui negara, apalagi dilindungi. Hal serupa berlaku dalam menetapkan hutan lindung. Kawasan konservasi ini
ditetapkan oleh negara atau pemerintah tanpa memperhitungkan bahwa terdapat masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut dan mempunyai kepentingan dan
hak atas hutan lindung itu. Selama hak masyarakat atas berbagai sumber daya alam belum teratasi dan belum ada penyelesaian kesepakatan antara negara dan
masyarakat, maka selama itu juga kerusakan lingkungan sulit untuk dihindari. Masalah lainnya adalah pembagian hasil dari pemanfaatan sumber daya alam
yang tidak adil. Pemerintah memperoleh pendapatan dari pajak dan nonpajak dari bagi hasil pemanfaatan sumberdaya. Pengusaha memperoleh dari rantai
ekonomi yang terbesar, sedangkan masyarakat daerah selama ini hanya sebagai pekerja dan hampir tidak menerima manfaat langsung. Selain itu, hasil dari
pemanfaatan kekayaan alam tidak diwujudkan sebagai modal dasar untuk pengembangan daerah dan penguatan sosial ekonomi masyarakat setempat.