a. Kesiapsiagaan Evaluasi penanggulangan bencana di Indonesia (Lesson learned 2006-2007)

57

1.1.1.8 b. Organisasi dan Kelembagaan

Kesiapan kelembagaan Satlak PBP di tingkat kabupatenkota di Sumatera Barat memiliki kontribusi dominan dalam menangani pengungsi. Perlengkapan yang terbatas tidak menghalangi SDM untuk melakukan tugas pertolongan dengan mendirikan tenda, memobilisasi barang dan bahan, memasak, berkomunikasi dengan radi Rapi dan Orari. Selain Satkorlak dan Satlak PBP, Protap juga menyusun kelembagaan fungsional. Lembaga-lembaga fungsional tersebut antara lain bidang pengamatan dan perencanaan diketuai Dinas Pengelolaan SDA, Bidang Operasional diketuai oleh Korem 032 Wirabraja, bidang Potensi dan Logistik, Kerjasama dan Peranserta Masyarakat diketuai oleh Polda, bidang Data, Dokumentasi, Informasi dan Publikasi diketuai oleh Biro Humas Pemprop, dan bidang Penanganan Pengungsi diketuai oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi. c. Media center Perangkat Radio Komunikasi. Keunggulannya informasi yang disampaikan terkontrol, sementara saat ini kondisinya tidak terawat-rusak. Sebagian orang mempergunakan Ponsel SMS namun informasinya sulit terkontrol karena sifatnya individu. Terkait dengan tidak berfungsinya perangkat radio komunikasi, hal ini menyulitkan hubungan komunikasi dengan wilayah Kabupaten Kepulauan Mentawai tahun 2006 masih tergabung dalam wilayah Kabupaten Padang Pariaman. Pengadaan Sistem Radio Satelit, Sistem Pendeteksi Dini Early Warning system dan kendaraan untuk SAR dan untuk keperluan dapur umum di Kabupaten Padang Pariaman, masih mengalami diskusi yang ketat dengan anggota DPRD Padang Pariaman. Karena nilainya cukup tinggi, sebagai contoh, untuk pemacar-sirine setiap unit senilai Rp 68 juta.

1.1.1.9 1.1.1.10

c. Mobilisasi logistik

Beberapa hal yang mempengaruhi kelancaran dalam mobolisasi logistik di Provinsi Sumatera Barat adalah: 1. Topografi lahan di Kota Bukit Tinggi, menyulitkan dalam hal pertolongan bagi korban bencana, seperti di Lembah Ngarai. 2. Peralatan fisik yang terbatas dan perlu diperbaharui, seperti yang terjadi di Kabupaten Padang Pariaman, sebagai contoh perahu karet sebanyak dua buah yang dibeli tahun 2006, dengan ukuran besar kapasitas 12 58 orangunit, sulit mengoperasikan karena perlu tenaga khusus dan tidak dapat dipakai secara fleksibel. 3. Mobil Pemadam Kebakaran: jumlahnya terbatas 2 unit, dan tidak siap pakai dalam kondisi darurat baik sopirmekanik maupun ketersediaan bahan bakar-isi tangki. Belum ada mobil khsusus untuk mobilisasi bantuan darurat berasmakanan siap saji.

1.1.1.11 d. Modal Sosial Social

Capital 1. Posisitifnya kekerabatan: keluarga-keluarga di ranah Minang ini akan berupaya semaksimal mungkin mendahulukan tindakan menolong keluarga yang mengalami musibah. Mereka akan malu bila terdapat keluarga dekatnya mengalami kesulitankesengsaraan. Sehingga pada saat bencana gempa bumi menimpa wilayah Sumatera Barat, tenda-tenda pengungsi hanya besifat sementara bahkan kerabatnya mendahulukan menolong dengan cara menampung para korban bencana dalam rumah marga “rumah pusako”. Nilai “malu tinggal dirumah orang lain dan” dan “Malu atau tidak dibenarkan secara adat kepala keluarga menantu tingal bersama mertua orang tua isteri”, menyebabkan para korban gempa tidak bersedia tinggal di tenda-tenda darurat, karena tidak mungkin tinggal bersama dengan mertua tersebut. 2. Sistem nilai “rumah pusako” atau rumah keluarga besar, yang memungkinkan seluruh anggota keluarga berkontribusi membangun rumah tersebut, menyebabkan rumah dibangun dalam jangka panjang secara bertahap dan tidak akan ditentukan secara ketat jadwal penyelesaian pembangunannya. Sehingga bila keluarga korban bencana menerima bantuan pemerintah RI sebesar Rp 15 jutakepala keluarga, dalam realisasinya dapat berupa bentuk pondasi dengan ukuran yang cukup luas saja, sementara untuk membangun bagian-bagian lainnya akan dilakukan secara bertahap tergantung besarnya dana kontribusi keluarga-keluarga bersaudara dalam ikatan perkawinan. Selama bangunan belum selesai keluarga korban akan ditampung oleh keluarga besar. Dengan demikian, penerapan penanganan bencana dengan “Pola Jawa” oleh pemerintahan pusat RI tidak sepenuhnya cocok diterapkan di ranah Minang Sumatera Barat, karena masyarakat di Sumatera Barat memiliki sistem nilai yang tidak sama dengan nilai-nilai budaya Jawa. Terdapat nilai-nilai lokal yang berlaku khas di daerah ini. Misalnya dalam hal pembangunan rumah korban bencana, jika di tanah Jawa Jawa Tengah dan DI Yogyakarta, bantuan Rp 15