c. Perluasan Pemangku Kepentingan:

138 Sesungguhnya, di mana posisi TNI dalam penanggulangan bencana alam? Apakah TNI sebagai penanggung jawab atau hanya membantu? Bila menjadi leading sector, apa dasarnya dan dari mana dukungan anggaran untuk menggerakkan pasukan dan membeli bahan-bahan yang diperlukan TNI? Mencermati perundang-undangan yang berlaku, baik UU Pertahanan Negara maupun UU TNI jelas menyebutkan bahwa TNI hanya sebatas membantu. Pasal 10 UU RI Nomor 3 Tahun 2002 serta Pasal 6 dan 7 UU RI Nomor 34 Tahun 2004 beserta penjelasannya menempatkan TNI pada posisi membantu instansi lain sesuai permintaan. Hanya saja, Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara dapat mengerahkan TNI dalam keadaan memaksa untuk kemudian dimintakan persetujuan dari DPR RI. Termasuk pengerahan TNI untuk menanggulangi akibat bencana alam yang membutuhkan penanganan cepat. TNI disiapkan untuk melaksanakan operasi militer dalam peperangan. Untuk operasi militer selain perang, seperti penanggulangan bencana alam, TNI hanya dimungkinkan memanfaatkan idle capacity yang dimiliki. Membina dan mengerahkan TNI untuk tugas seperti ini belum didukung anggaran. Tugas dilaksanakan dahulu baru kemudian anggarannya diajukan secara berjenjang melalui Dephan RI, untuk selanjutnya menunggu proses persetujuan DPR RI. Padahal, penanganan bencana alam memerlukan kecepatan dalam menggerakkan manusia, sarana prasarana dan peralatan yang kesemuanya berkaitan dengan anggaran. Apalagi, bagi Indonesia sebagai archipelagic state dan rawan terhadap bencana alam dan kecelakaan lain, maka faktor kecepatan menjadi sangat penting. Belajar dari pengalaman selama ini, sudah saatnya dipikirkan langkah yang lebih terpadu dan terkoordinasi. Menetapkan institusi yang tepat berada di garis depan dan pihak-pihak yang harus mendukung dari belakang, baik pada masa awal terjadinya bencana maupun lanjutan penanggulangan dalam bentuk rehabilitasi dan rekonstruksi. Oleh karena itu, perlu dilakukan penataan ulang peran dan tanggung jawab setiap badan atau instansi dalam penanggulangan bencana alam perlu dilakukan dengan saksama. Tujuannya, agar keseluruhan upaya menjadi optimal demi terbebasnya rakyat dari penderitaan yang berkepanjangan. Keterlibatan TNI dalam penanggulangan bencana masa tanggap darurat hendaknya dipandang sebagai tanggung jawab dan tugas kemanusiaan yang tidak memberatkan TNI, melainkan sebagai tugas yang dilandasi jati diri sebagai tentara rakyat, tentara pejuang, tentara nasional dan tentara profesional. 139 Organisasi TNI sudah tertata dengan baik, diawaki para prajurit yang berdedikasi tinggi, dan dilengkapi peralatan yang tergolong memadai., sehingga bila didukung oleh komponen lain bangsa ini, tragedi kemanusiaan akibat bencana diharapkan dapat ditangani secara cepat, baik, dan lancar.

1.1.1.66 d. Peningkatan Modal Sosial dan Perilaku

Pro-social. Dalam konteks bencana alam, tidak terkecuali pada peristiwa-peristiwa lainnya yang membutuhkan solidaritas kemanusiaan, upaya memberikan pertolongan kepada orang lain menjadi sangat penting. Fenomena ini tergolong ke dalam perilaku prososial atau prosocial behavior. Tindakan setiap orang termasuk saling menolong antar sesama manusia mengandung motivasi dan kekuatan yang berbeda-beda. Dari sekedar partisipasi biasa supaya terlihat menolong, hingga uluran tangan yang dilandasi semangat altruism. Dorongan altruism merupakan ketulusan hati untuk selalu memberikan bantuan kepada setiap orang tanpa menuntut balas Alhumami, 2005. Memberikan pertolongan sebagai perilaku prososial merupakan serangkaian keputusan yang dibuat. Byrne dan Kelley mengemukakan lima langkah pembuatan keputusan saat seseorang dihadapkan pada sebuah situasi yang menyulut perilaku prososial. Kelima langkah tersebut adalah manakala seseorang mempunyai informasi bahwa sesuatu bencana tengah terjadi, mengetahui bahwa bancana sungguh-sungguh nyata, keyakinan untuk mengambil bagian dalam bencana, memutuskan apa yang harus atau dapat dilakukan dalam peristiwa bencana, dan benar-benar ikut serta merasakan bencana dan keputusan harus bertindak memberikan pertolongan Fanani, 2005. Pengembangan modal sosial masyarakat hendaknya memperhatikan dua komponen penting modal sosial yaitu jaringan sosial dan beragam jenis sumberdaya yang ada di masyarakat. Jaringan sosial yang beroperasi di masyarakat akan memberi manfaat mutualistik bagi warganya, sementara itu berbagai jenis sumber daya di masyarakat dapat didayagunakan bagi kepentingan publik. Menurut Byrne dan Kelly, dalam menumbuhkan modal sosial dikenal istilah civic engagement yang bisa diartikan sebagai perjumpaan antara warga yang dilandasi pertautan emosional mendalam, hubungan yang hangat, perasaan dekat secara psikologis, dan ikatan solidaritas yang terbangun atas dasar empati dan persaudaraan universal. Oleh karena itu, di kalangan ahli 140 menyatakan inti dari modal sosial adalah civic engagement yang terdiri dari tujuh nilai derivasi, yakni: empathy, reciprocity, generosity, moral obligation, social solidarity, public trust, dan public spirit. Seperti dikatakan oleh James Coleman dan Robert Putnam, dalam beragam musibah dan malapetaka, modal sosial sudah memancar sebagai nilai yang melampaui batas yang kemudian muncul dalam kesadaran kolektif, seperti membanjirnya bantuan dan relawan menolong para korban Fanani, 2005. Modal sosial dapat terkikis akibat guncangan besar yang terjadi di masyarakat, sebagaimana Francis Fukuyama menyatakan bahwa manusia mampu bertahan mengakibatkan erosi pada modal sosial. Ketika kepercayaan manusia pada manusia lainnya menipis, kecurigaan dan ketidakjujuran merebak, serta pelanggaran hukum meningkat, proses kerja sama dalam masyarakat berubah menjadi proses saling memakan dan saling merugikan. Namun, proses semacam ini akan diikuti oleh proses penataan kembali, dari disordering menjadi reordering of the society . Menurut Fukuyama guncangan akan disusul dengan penataan kembali tatanan sosial. Sementara itu Friedrich Hayek filsuf-ekonom Austria membuat sebuah konsep, yakni spontaneous order untuk menggambarkan bagaimana manusia, tanpa diatur siapa pun, menciptakan dalam masyarakat sistem kerja sama yang menguntungkan semua pihak. Pada dasarnya, pemikiran semacam itu menaruh harapan besar pada umat manusia. Manusia dianggap sebagai makhluk yang secara alamiah selalu ingin bekerja sama, tanpa diminta dan diatur oleh penguasa, pemilik modal, atau pemuka agama sekalipun. Manusia akan menciptakan aturan, baik formal maupun informal, di antara mereka sendiri untuk membangun kembali tatanan yang ada Fanani, 2005. Respons spontan dan genuine dari masyarakat Indonesia pada saat bencana, menunjukkan bahwa bangsa Indonesia memiliki modal sosial social capital yang sangat besar dan kuat. Tragedi kemanusiaan akibat bencana di beberapa wilayah negara ini telah membangkitkan kesadaran kolektif warga bangsa, untuk kemudian bersama-sama menganyam ulang potensi modal sosial yang tersimpan. Modal sosial itu bisa ditemukan dalam unit-unit sosial di masyarakat mulai dari yang paling kecil dan sederhana seperti keluarga, rukun warga, atau jamaah pengajian, sampai yang paling besar dan kompleks seperti organisasi kemasyarakatan, LSM, asosiasi profesi, bahkan institusi negara. Berbagai bencana ini pula yang telah menggerakkan kekuatan modal sosial bangsa, yang menjelma dalam beraneka macam bentuk: bantuan barang, sumbangan uang, serta penyediaan tenaga dan jasa. Kita lihat pula, para pujangga melahirkan puisi dan prosa, kiai dan juru dakwah berkhotbah tentang pesan-pesan profetik