d. Peningkatan Modal Sosial dan Perilaku

140 menyatakan inti dari modal sosial adalah civic engagement yang terdiri dari tujuh nilai derivasi, yakni: empathy, reciprocity, generosity, moral obligation, social solidarity, public trust, dan public spirit. Seperti dikatakan oleh James Coleman dan Robert Putnam, dalam beragam musibah dan malapetaka, modal sosial sudah memancar sebagai nilai yang melampaui batas yang kemudian muncul dalam kesadaran kolektif, seperti membanjirnya bantuan dan relawan menolong para korban Fanani, 2005. Modal sosial dapat terkikis akibat guncangan besar yang terjadi di masyarakat, sebagaimana Francis Fukuyama menyatakan bahwa manusia mampu bertahan mengakibatkan erosi pada modal sosial. Ketika kepercayaan manusia pada manusia lainnya menipis, kecurigaan dan ketidakjujuran merebak, serta pelanggaran hukum meningkat, proses kerja sama dalam masyarakat berubah menjadi proses saling memakan dan saling merugikan. Namun, proses semacam ini akan diikuti oleh proses penataan kembali, dari disordering menjadi reordering of the society . Menurut Fukuyama guncangan akan disusul dengan penataan kembali tatanan sosial. Sementara itu Friedrich Hayek filsuf-ekonom Austria membuat sebuah konsep, yakni spontaneous order untuk menggambarkan bagaimana manusia, tanpa diatur siapa pun, menciptakan dalam masyarakat sistem kerja sama yang menguntungkan semua pihak. Pada dasarnya, pemikiran semacam itu menaruh harapan besar pada umat manusia. Manusia dianggap sebagai makhluk yang secara alamiah selalu ingin bekerja sama, tanpa diminta dan diatur oleh penguasa, pemilik modal, atau pemuka agama sekalipun. Manusia akan menciptakan aturan, baik formal maupun informal, di antara mereka sendiri untuk membangun kembali tatanan yang ada Fanani, 2005. Respons spontan dan genuine dari masyarakat Indonesia pada saat bencana, menunjukkan bahwa bangsa Indonesia memiliki modal sosial social capital yang sangat besar dan kuat. Tragedi kemanusiaan akibat bencana di beberapa wilayah negara ini telah membangkitkan kesadaran kolektif warga bangsa, untuk kemudian bersama-sama menganyam ulang potensi modal sosial yang tersimpan. Modal sosial itu bisa ditemukan dalam unit-unit sosial di masyarakat mulai dari yang paling kecil dan sederhana seperti keluarga, rukun warga, atau jamaah pengajian, sampai yang paling besar dan kompleks seperti organisasi kemasyarakatan, LSM, asosiasi profesi, bahkan institusi negara. Berbagai bencana ini pula yang telah menggerakkan kekuatan modal sosial bangsa, yang menjelma dalam beraneka macam bentuk: bantuan barang, sumbangan uang, serta penyediaan tenaga dan jasa. Kita lihat pula, para pujangga melahirkan puisi dan prosa, kiai dan juru dakwah berkhotbah tentang pesan-pesan profetik 141 yang menenteramkan jiwa, musisi menulis syair dan lirik lagu, penyanyi melantunkan tembang duka, artis dan aktivis menggalang aksi kepedulian, stasiun TV menayangkan gambar dan berita, koran dan majalah terus memproduksi dan meng-update informasi, sementara civil society bersinergi dengan pemerintah melakukan emergency relief. Nurani kemanusiaan warga bangsa telah melahirkan empati, dengan berupaya memahami posisi masyarakat yang terkena bencana. Dengan cara masing- masing, setiap warga bangsa berusaha menampilkan hubungan sosial berciri reciprocity yakni suatu relasi sosial antarwarga yang bercorak mutual-support, sehingga masing-masing saling memberi dan memperoleh manfaat Sobirin, 2005. Tanpa suatu pretensi, segenap warga bangsa juga menunjukkan karakter asli yakni generosity: suatu perangai, sikap, dan kepribadian yang penuh kebaikan dan kebajikan, yang termanifestasi dalam bentuk kesediaan menolong dengan tulus tanpa pamrih. Kesediaan menolong itu merupakan bentuk moral obligation , yang dipahami sebagai panggilan tugas kemanusiaan tanpa mempedulikan berbagai risiko yang mungkin muncul dan ditemui di wilayah bencana. Hal tersebut memunculkan momentum untuk menggalang social solidarity yang sempat hilang, tenggelam oleh sikap egosentrisme kelompok, pertikaian politik, dan konflik sosial. Hal yang menjadi titik balik adalah menguatnya public trust yakni tingkat kepercayaan warga masyarakat terhadap institusi publik dalam menangani bencana nasional . Meski menghadapi medan yang sangat berat, pemerintah dan berbagai kekuatan masyarakat madani bekerja keras menanggulangi setumpuk masalah krusial akibat bencana. Dengan penuh rasa kagum, kita pun menyaksikan betapa public spirit menjelma menjadi energi dahsyat, yang mampu menggerakkan kekuatan masyarakat dalam memobilisasi public resources guna mengatasi problem kemanusian akibat bencana. Tatanan Sosial. Menurut Francis Fukuyama kekacauan besar yang banyak melanda negara-negara besar pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 ini disebabkan oleh ditinggalkannya nilai moral dan modal sosial yang dimiliki oleh bangsa-bangsa itu di masa lalu Fukuyama, 1999. Modal sosial itu digantikan oleh perilaku individualisme yang cenderung menurut kepada hukum pasar dan seringkali mengalahkan sebuah komunitas sosial. Nilai-nilai keluarga yang menjunjung tinggi pendidikan moral, kepercayaan, saling tolong menolong, menyantuni, dan keteladanan kerapkali juga ditinggalkan karena dianggap tidak efisien dan kuno. Norma-norma adat dan keluarga digantikan oleh hukum dan konstitusi yang diperlakukan dengan mekanisme pengawasan 142 dan kontrol. Sedangkan kesadaran kolektif untuk mematuhi secara sukarela seringkali dianggap tidak penting lagi The Great Disruption: Human Nature and the Recontitution of Social Order, 1999. Akibatnya masyarakat cenderung bersifat seenaknya sendiri dan meninggalkan tradisi lama yang sebetulnya sangat berguna untuk menjaga moralitas dan memperkuat modal sosial. Dengan sendirinya kriminalitas berkecamuk, kepercayaan menipis, keluarga berantakan, negara dan pemerintahan tidak dikelola dengan profesional. Bahkan DPR berkelahi sendiri, hukum diperjualbelikan, korupsi merajalela, dan demokrasi menjadi proyek negara adikuasa untuk menjajah dunia ketiga. Untuk membangun kembali tatanan sosial menuju demokrasi yang berkeadilan itulah modal sosial yang pernah ada mesti diangkat dan dijalankan kembali. Senada dengan itu, Nick Stevenson dalam Cultural Citizenship, Cosmopolitan Questions 2003 juga mengatakan dalam zaman globalisasi yang serba individualistik dan tidak memihak pada hak-hak perempuan, kaum minoritas, orang-orang miskin, dan anak-anak kecil ini maka kesadaran sosial dan kolektif mesti dijaga . Hal itu sangat penting untuk membangun kewargaan kultural yang tidak hanya melulu bersifat politik tapi lebih pada mekanisme menuju kebersamaan dan keadilan. Maka perlu diciptakan kesepakatan bersama dalam wadah kewargaan kultural guna memperjuangkan hak untuk berpartisipasi, menentukan identitas, menunjukkan perbedaan, dan menghargai hak individu. Itu semua bisa tercapai bila terdapat kesadaran bersama untuk berjuang membela hak orang lain yang terpinggirkan oleh kontrol dan pengawasan yang tidak memihak. Akhirnya dalam rangka membangun tatanan sosial masyarakat di daerah bencana alam, mengangkat kembali nilai moral dan modal sosial yang luhur dan berkemanusiaan adalah agenda yang tidak bisa ditunda lagi pelaksanaannya oleh elite politik. Begitu juga dengan penguburan karakter lama yang jelek dan menindas harus cepat menjadi kesadaran bersama semua warga negara dan komponen bangsa ini. Prinsip keadilan, kejujuran, keteladanan dalam sikap dan perilaku, serta solidaritas sosial adalah nilai-nilai bangsa yang patut menjadi pilar Indonesia hari ini dan masa depan. Karakter bangsa masa depan yang teguh dan berkemanusiaan harus mulai dibangun dari sekarang dan jangan sampai ditunda-tunda lagi. 143

1.1.1.67 e. Peningkatan Sosialisasi dan Dokumentasi

Sejarah Bencana Dalam pelajaran dasar tentang kebencanaan karena gempa baik tektonik maupun vulkanik, pemetaan risiko dan analisis sejarah serta dinamikanya harusnya dilakukan. Disiplin ilmu sejarah bencana sudah saatnya dibuka di berbagai universitas karena negeri ini bukan hanya negeri sejuta budaya dan sumber daya, tetapi juga potensi bencana. Tanpa menjadi seorang seismolog, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa ada risiko gempa vulkanik, tektonik, serta kombinasi keduanya. Gempa yang berelasi dengan aktivitas vulkanik, salah satunya bisa dikarenakan perubahan ketegangan pada batuan solid rock berkaitan dengan masuk dan keluarnya magma. Fenomena ini yang disebut gempa vulkanik-tektonik. Gempa macam ini dapat menyebabkan retak besar karena batuan bumi bergerak untuk mengisi ruang yang ditinggalkan magma. Gempa jenis ini tidak mengindikasikan bahwa gunung api akan meletus tetapi indikasi bahwa kapan saja dapat meletus. Dalam fenomena Merapi, para ahli geologi Indonesia yakin benar, meski argumentasi mereka bervariasi, bahwa gempa Yogyakarta murni tektonik. Selalu ada tingkat ketidakpastian, dan celah bila analisis saling pengaruh dengan Merapi diabaikan, apalagi sisi sejarah periode ulang kegempaan dan vulkanik yang dipakai tidak ditarik pada rentang waktu yang lebih panjang. Analisis 300 tahunan tentu lebih akurat dan pasti ketimbang 50-an tahun saja. Adanya dokumentasi sejarah bencana ini penting, yang dapat digunakan sebagai sumber pembelajaran untuk menangani bencana di masa kini dan yang akandatang.

1.1.1.68 f. Peningkatan Peran Penelitian dalam

Mengungkap Pola Bencana Bill McGuire, profesor bencana geologis yang juga Direktur Benfield Hazard Research Centre, University College London, yang telah memiliki banyak pengalaman dalam pengamatan gunung api, memberi perspektif yang lain dalam memprediksikan keaktifan gunung api Lasa, 2006. Prediksi tersebut dibuat berdasarkan pengalaman penelitiannya, dan penelitian dari Ben Mason dan David Pyle di Cambridge University, di mana diuji lebih dari 3.000 letusan gunung api di dunia sejak tahun 1700 and 1999. Hal yang mengejutkan dari penelitian mereka adalah waktu terjadinya aktivitas gunung api tidaklah acak, 144 tetapi terkonsentrasi, di mana lebih banyak letusan terjadi pada periode tertentu terkait perubahan iklim dunia. Sejumlah penjelasan masuk akal, tetapi jarang muncul dalam pembahasan gunung api di Indonesia, yakni relasi letusan gunung api pantai dan pulau dengan peristiwa klimatologis. Argumentasi dasar yang diangkat adalah bahwa kombinasi pengaruh perubahan iklim dunia diperkirakan akan memengaruhi dinamika geologis gunung api dan tektonik. Jebakan untuk melihat analisis gunung api dari satu sisi membuat kita lupa memperhitungkan berbagai risiko bawaan dan risiko lainnya. Terdapat empat hal mendasar yang harus dilakukan ketika terjadi bencana alam.: pertama, upaya membangun strategi emergensi dengan mempraktikkan teori; kedua, pemahaman terhadap ketidakpastian dan tanggung jawab ilmuwan dalam peringatan dini gunung api; ketiga, memahami bagaimana respons terhadap letusanbencana tanpa peringatan dini, dan keempat, modeling krisis pascabencanaletusangempa, tentunya dengan memperhitungkan sejarah kegempaan entah vulkanik maupun tektonik. Urgensi dari mengetahui kompleksitas gunung api dan pemetaan risiko yang komprehensif secara strategis maupun taktis berguna bagi perencanaan bencana disaster planning yang lebih memadai dan lebih siap. Prasyarat perencanaan penanganan bencana disaster planning yang baik adalah pemetaan risiko bencana harus komprehensif. Uraian di atas menunjukkan pentingnya penelitian dalam upaya memahami bencana, yang kemudian diperlukan dalam upaya penanggulangan bencana tersebut.

1.1.1.69 g. Pendidikan Kesiapsiagaan Bencana

Pendidikan kesiapsiagaan bencana disaster preparedness education merupakan hal penting untuk dilakukan. Pendidikan kesiapsiagaan dapat dilakukan mulai dari yang sederhana hingga yang terintegrasi dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari manajemen bencana disaster management, karena manajemen bencana disaster management merupakan siklus yang terbentuk atas empat aktivitas masing-masing adalah mitigation, preparedness, response , dan recovery. Mitigation diartikan sebagai setiap aktivitas yang dilakukan untuk mengeliminasi atau mengurangi tingkat resiko bencana dalam jangka panjang terhadap manusia maupun harta benda. Preparedness adalah setiap aktivitas sebelum terjadinya bencana yang bertujuan untuk mengembangkan kapabilitas operasional dan memfasilitasi respon yang efektif ketika suatu bencana terjadi. Response adalah setiap aktivitas yang dilakukan