b. Pengembangan Sistem Logistik
155
mendapat bantuan sering bertindak tanpa memperdulikan aturan dan korban lainnya yang lebih kritis. Diberitakan truk-truk bermuatan beras dan bahan
pangan dihentikan diperjalanan oleh orang-orang yang mengaku korban bencana. Situasi yang tercipta dari keinginan membantu dan dibantu
secepatnya ini, malah jadinya seperti chaos. Operasi pelayanan korban bencana ini telah terjadi kontroversi antara birokrat
dan para LSM dan pegiat lainnya. Birokrat bekerja pada koridor yang telah ditetapkan oleh Perpres No. 83 Tahun 2005, dengan harapan bahwa upaya
bantuan yang dilakukan bisa sampai ke para korban dengan tetap prinsip akuntabilitasnya dapat dipenuhi. Hal ini sangat wajar dan dapat dipahami,
karena setelah operasi bantuan bencana dinyatakan selesai dapat dipastikan banyak pihak yang akan mempertanyakan implementasi good governance
terutama aspek akuntabilitas dan tranparansinya. Namun benar pula pendapat para LSM dan pegiat lainnya, yang menyatakan
bahwa pada kondisi kritis harus mendobrak sekat-sekat birokrasi, karena dengan menggunakan protap yang diatur dalam Perpres, kemungkinan besar
akan terjadi kelambatan pengiriman sehingga operasi penyelamatan dan bantuan pada fase tanggap darurat akan tidak memiliki makna.
Kontroversi ini mestinya tidak dijadikan polemik yang berkepanjangan karena bantuan yang dilakukan oleh LSM dan pegiat lainnya pasti memiliki protap
masing-masing yang kadar pertanggungjawaban publiknya pasti beda dengan yang dilakukan oleh birokrat, sehingga LSM dan pegiat lainnya merupakan
pasukan perintis yang paling dahulu berhadapan dengan para korban, sedangkan bantuan dari pemerintah yang jumlahnya pasti jauh lebih besar dan
mungkin berasal dari APBNAPBD berperan sebagai penyempurna pelayanan untuk mendukung dan melengkapi operasi pasukan perintis yang melangkah
terlebih dahulu. Aksi ini akan tercipta suasana yang harmonis antar pihak yang sebetulnya mereka itu sama-sama mengemban tugas kemanusiaan yang mulia.
Lupakanlah kepentingan politik dan jangan pertontonkan kontroversi yang tidak terpuji ini di hadapan para korban yang sedang mengalami penderitaan.
Melengkapi keberadaan dolog dalam kesiapsiagaan beras untuk situasi darurat, pada daerah rawan bencana gempa, tsunami, kelaparan karena kekeringan atau
kebanjiran dan bencana-bencana lain yang eskalasinya besar dan meliputi teritori yang luas, ada baiknya dibentuk pos-pos koordinasi Posko bantuan
yang terintegrasi dengan depot logistik sembako reaksi cepat Depo.
PoskoDepo ini harus menjadi bagian kelengkapan fungsional Satlak PBP.
156
Depo berisi bahan dan peralatan kedaruratan seperti beras, mie isntan, tenda pengungsi, selimut, pembalut dan pakaian dalam wanita, susu bayi, tenda dapur
umum, peralatan masak, kompor minyak, kompor gas, perahu karet, dsb. Satlak PBP melakukan pengisian, pengawasan dan menjamin keberadaan dan
keamanan barang dan bahan tersebut. Isi Depo, semua atau khususnya untuk bahan makanan yang tidak awet seperti beras, biskuit, dan mie instan,
dikontrakan untuk jangka waktu tertentu, misalnya 1-2 tahun, kepada mitra perusahaan dagang atau toko sembako. Para pengusaha yang mendapatkan
tender pengadaan tersebut harus mengganti barang dan bahan di Depo untuk setiap dua bulan. Dengan demikian barang dan bahan yang ada di Depo
senantiasa terjaga masa kadaluwarsanya, dan barang tersebut tetap dapat diperdagangkan oleh para pengusaha. Salkak pun setiap dua bulan melakukan
pengawasan dan pemeriksaan kadaluwarsa bahan-bahan makanan untuk menghindari kecurangan yang dilakukan perusahaan.
Aliran informasi boleh dilakukan secara berjenjang karena merupakan akumulatif dari berbagai daerah dalam tataran Satlak dan Satkorlak hingga
Bakornas. Namun sebaliknya aliran barang sangat tidak direkomendasikan jika dilakukan secara berjenjang, tetapi harus langsung ke sasaran, tidak mengikuti
kebalikan dari aliran informasi, sistem ini menghindari menumpuknya barang- barang di pendopo Kabupaten, atau kantor kecamatan sehingga menciptakan
kelambatan arus barang ke para korban yang memerlukan bantuan.