g. Pendidikan Kesiapsiagaan Bencana
145
sebelum, selama, ataupun seketika setelah terjadi suatu bencana yang bertujuan untuk menyelamatkan nyawa, meminimalisir kerusakan terhadap harta benda,
dan meningkatkan efektifitas program-program perbaikan. Sementara itu, recovery
adalah aktivitas jangka pendek untuk memulihkan fasilitas kehidupan masyarakat life support system agar dapat kembali beroperasi secara normal
Morrisey, dalam Susetyo, 2006. Selanjutnya Susetyo menyatakan bahwa mitigation
dan preparedness adalah aktivitas yang beririsan. Walsh
menyebutkan bahwa mitigation dan juga planning perencanaan adalah elemen utama dalam preparedness.
Pendidikan kesiapsiagaan bencana dilakukan sebagai bagian dari mitigation yang otomatis juga merupakan bagian dari preparedness. Ragam pendidikan
yang dilakukan dapat berupa integrasi konsep-konsep pencegahan bencana ke dalam kurikulum pendidikan di sekolah, baik di tingkat dasar, menengah,
maupun perguruan tinggi. Kegiatannya bisa berupa training untuk siswa, guru, ataupun karyawan sekolah, sedangkan
materinya dapat berupa peningkatan ketrampilan menghadapi bencana emergency response skill
ataupun perencanaan menghadapi bencana disaster preparedness planning. Bagi masyarakat umum, ragam pendidikan dapat berupa penyuluhan interaktif
yang dilakukan secara reguler ataupun latihan pencegahan bencana disaster drill
secara rutin yang melibatkan unsur masyarakat umum, LSM, pemerintah, lembaga kesehatan-pemadam kebakaran, palang merah, angkatan bersenjata
hingga pekerja kantor dan para profesional. Selain mengajarkan perlindungan diri, pendidikan kesiapsiagaan juga
menanamkan hal penting yaitu kepedulian. Hasil pelatihan kesiapsiagaan bencana yang dilakukan di Jepang adalah meningkatnya kepedulian warganya
untuk menolong korban bencana. Contohnya dalah saat Tsunami di NAD dan gempa di DI Yogyakarta, banyak sekali mahasiswa-mahasiswa Jepang datang
dari Kyoto ke NAD dan DIY dengan biaya dan tabungan sendiri, juga dengan fasilitas, dan perlengkapan yang mereka buat sendiri. Mereka juga tidak
memiliki klasifikasi pendidikan khusus di bidang ini. Kebanyakan malah mahasiswa jurusan teknik sipil. Mereka juga memaksakan belajar bahasa
Indonesia dalam waktu singkat
hanya supaya penyuluhan-nya tentang pendidikan kesiapan menghadapi gempa dapat dipahami oleh anak-anak
Indonesia. Kata kuncinya memang hanya satu yaitu kepedulian. Selain Jepang atau Amerika Serikat yang telah lama memiliki program-program pendidikan
kesiapsiagaan bencana, negara-negara kecil di Karibia telah lama memiliki kurikulum integratif kesiapsiagaan bencana dalam pendidikan formalnya. Sama
halnya dengan negara Colombia dan India.
146
Memanfaatkan berbagai momentum berharga, seperti Hari Pengurangan Resiko Bencana Int
ernasional Natural Disaster Reduction Day pada 11 Oktober 2006, hendaknya menjadi salah satu cara untuk menggagas dan melaksanakan
pendidikan kesiapsiagaan bencana melalui semua saluran dan fasilitas yang memungkinkan. Bencana alam memang sering tidak bisa dicegah, namun
manusia tetap bertanggungjawab untuk melakukan tindakan-tindakan mengurangi resiko bencana, terutama sebagai wujud kepedulian terhadap
generasi yang akan datang.
Manajemen Bencana
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas, daratannya seluas 1.904.569 km2, lautannya seluas 3.288.683 km2,
dengan jumlah pulaunya sebanyak 17.508 buah, dan jumlah penduduknya pada tahun 2000 sekitar 203.456.000 orang. Berdasar sejarah kebencanaan yang
tercatat selama ini, mulai dari gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, longsor, badai, dan kekeringan, maka Indonesia dapat dikatakan
merupakan negara yang memiliki potensi kebencanaan yang sangat tinggi. Perlunya pengembangan manajemen berbasis masyarakat community-based
disaster management
: Pada umumnya permasalahan bencana di Indonesia menjadi rumit karena terjadi di daerah yang kondisi masyarakatnya tidak
mampu atau rentan dan lokasinya-pun jauh dari pusat pemerintahan dan sulit dicapai. Oleh karena itu paradigma baru manajemen bencana yaitu manajemen
bencana berbasis masyarakat perlu segera diterapkan. Di dalam manajemen ini masyarakat dituntut mandiri, mampu mengenali ancaman bahaya di
lingkungannya, dan mampu menolong diri sendiri. Cita-cita manajemen bencana berbasis masyarakat ini sudah menjadi visi dari negara-negara maju.
Peristiwa bencana gempa dan tsunami di NAD juga disikapi oleh sejumlah negara asing, sebagai indikasi semangat perikemanusiaan dan gotong royong
membantu para korban. Berdasar fakta tersebut, upaya merealisasikan manajemen bencana berbasis
masyarakat bukan hal yang mustahil, walaupun banyak kendala dan hambatan yang harus dihadapi. Kelompok masyarakat sebagai pelaku utama manajemen
bencana ini harus dapat diupayakan dari tingkat yang paling kecil yaitu kelompok Rukun Tetangga RT, Rukun Warga RW, dusun, kampung, sampai
147
kelompok yang lebih besar yaitu desa atau kelurahan, kecamatan, bahkan kota atau kabupaten.
Walaupun undang-undang kebencanaan ini telah terbit, namun masih perlu adanya prasyarat agar manajemen bencana berbasis masyarakat ini dapat
direalisasikan. Prasyarat penerapan manajemen berbasis masyarakat antara lain pertama
adanya tokoh penggerak dari aktivis atau tokoh setempat, kedua konsep yang jelas, ketiga objek aktivitas yang jelas, keempat kohesivitas
masyarakat setempat, kelima bahasa komunikasi kerakyatan yang tepat berbasis kearifan budaya setempat, dan keenam jaringan informasi yang mudah diakses
setiap saat. Bahan untuk sosialisasi dan pelatihan manajemen kebencanaan berbasis
masyarakat ini telah banyak disusun oleh pihak-pihak yang peduli, bentuknya bermacam-macam, sangat bervariasi. Namun pada dasarnya harus
dikembangkan bahan sosialisasi dengan bahasa rakyat, yang mudah dimengerti dan mudah diaplikasikan oleh masyarakat dalam melakukan tahap-tahap
kesiapsiagaan, tanggap darurat, pasca bencana, mitigasi dan pencegahan. Bentuk bahan sosialisasi bisa berupa daftar pertanyaan atau matrik isian,
misalnya matrik analisis risiko bencana, matrik mengenal ancaman bahaya di sekitar kita, matrik mengenal kerentanan dan kapasitas, dan matrik rencana
operasional sesuai dengan kerangka pikir setempat. Pengisian daftar pertanyaan atau matrik isian dapat dilakukan pada saat pelatihan atau lokakarya di setiap
RT atau RW atau desa. Unsur
yang tidak kalah penting adalah pelaksanaan gladi berdasar skenario seolah-olah terjadi bencana disaster drill. Gladi ini harus merupakan kegiatan
rutin yang diselenggarakan oleh masing-masing kelompok masyarakat. Lokakarya dan gladi ini adalah bentuk lain dari fungsi kontrol dalam
manajemen bencana berbasis masyarakat. Sering gladi ini tidak serius diikuti oleh berbagai pihak, padahal gladi adalah bagian penting yang harus diikuti
oleh segenap anggota masyarakat agar bila terjadi bencana maka situasi dapat diatasi tanpa kepanikan. Bagaimanapun juga, gladi tetap harus dilakukan
dengan serius demi keselamatan diri dan semua pihak di kala bencana sebenarnya datang secara tiba-tiba.
Beragam bencana yang terjadi akhir-akhir ini telah menyadarkan berbagai pihak bahwa manajemen bencana di negara ini masih jauh dari yang diharapkan.
Penanggulangan bencana tsunami NAD sebagai contoh, dirasakan belum efektif. Perangkat kelembagaan bencana di tingkat nasional dan daerah telah
148
terbentuk. Bakornas PBP dibentuk berdasar Keputusan Presiden Kepres nomor 3 Tahun 2001. Di tingkat Provinsi dibentuk Satuan Koordinasi Pelaksana
Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi yang disingkat Satkorlak PBP. Di tingkat kabupatenkota dibentuk Satuan Pelaksana Penanggulangan
Bencana dan Penanganan Pengungsi yang disingkat Satlak PBP. Tugas dan fungsi dari Bakornas, Satkorlak dan Satlak PBP ini telah jelas diuraikan dalam
Kepres tersebut, namun faktanya ketika terjadi bencana terlihat institusi ini belum berfungsi optimal.
Di dalam kelembagaan manajemen bencana selayaknya juga mempertimbangkan keberlangsungan pemerintahan dan pelayanan publik.
Dalam susunan organisasional, pejabat ketua Satkorlak adalah Gubernur dan ketua Satlak adalah BupatiWalikota. Gubernur dan BupatiWalikota pada saat
terjadi bencana tentunya tetap harus menjamin terlaksananya penyelenggaraan pemerintahan di wilayahnya dan tetap memberikan pelayanan publik bagi
warga masyarakat lainnya yang tidak mengalami bencana. Berbeda dengan pada masa para bencana dan masa pasca bencana, jabatan rangkap sebagai
kepala daerah dan sekaligus ketua SatkorlakSatlak pada masa tanggap darurat bencana dipastikan akan berakibat tidak optimalnya fungsi salah satu atau
keduanya dari jabatan tersebut. Masa tanggap darurat bencana merupakan masa yang tidak memiliki kepastian
apakah waktunya akan relatif pendek atau relatif panjang. Tidak jelas akan sampai kapan sejak dinyatakan situasi waspada pada suatu gunung api yang
tengah mengalami gejala meletus sampai situasi aman kembali, baik dengan ataupun tanpa terjadinya letusan. Sebagai contoh, gejala letusan Gunung Kelud
di Jawa Timur dan Gunung Merapi di Jawa Tengah memaksa pemerintah menetapkan masa tanggap darurat tanpa bisa dipastikan sampai kapan waktunya
karena gejala meletusnya kedua gunung tersebut tampak tidak henti-henti dan berkepanjangan. Dalam situasi seperti itu penyelenggaraan pemerintahan dan
pelayanan publik harus tetap berlangsung. Penyelenggaraan pilkada, pilkades, pengurusan ijin investasi dan sejenisnya semestinya tidak berlarut-larut ditunda
tanpa jelas sampai kapan waktunya akibat masa tanggap darurat bencana berkepanjangan. Penundaan akan menguras biaya sosial-politik maupun
finansial yang sangat besar. Seorang bakal calon kepala desa mungkin harus mengeluarkan ekstra jutaan rupiah untuk biaya konsumsi dan akomodasi para
pendukungnya apabila pilkades tertunda berkepanjangan karena tersitanya perhatian kepala daerah akibat mengurus bencana.
149
Dengan demikian ada baiknya dipertimbangkan kembali untuk menentukan siapa ketua Satkorlak dan Satlak PBP. Ketua Satkorlak dan Satlak PBP dapat
berbeda-beda pada setiap tahapan penanggulangan bencana. Pada masa para bencana kepala daerah malah harus menjadi ketua karena pada tahapan ini
menyangkut upaya-upaya mitigasi yang terintegrasi dengan kebijakan pembangunan. Pada masa tanggap darurat bencana yang umumnya cukup
menyita energi, ketua sebaiknya dijabat oleh pimpinan militer setempat Dandim. Pada masa tanggap darurat dibutuhkan personel-personel yang
sudah terlatih secara fisik dan terbiasa melakukan reaksi cepat. Model instruksi komando sangat diperlukan untuk efektivitas fungsi kerja cepat guna
menyelamatkan korban. Pada masa pemulihan, ketua dapat diserahkan kembali kepada kepala daerah dengan mendayagunakan secara optimal instansi-instansi
sektoral terkait.