c. ManajemenTransportasi Evaluasi penanggulangan bencana di Indonesia (Lesson learned 2006-2007)

157 bencana, maka truk-truk dan kendaraan-kendaraan bencana lainnya harus dilengkapi flashlight dan sirine. Jalur-jalur evakuasi perlu memisahkan jalur untuk kendaraan dan jalur untuk pejalan kaki. Dengan demikian pergerakan masing-masing pengguna jalan diharapkan tidak saling terhambat. Posko adhoc di kota perlu dipertimbangkan keberadaannya apakah di kantor Satlak, pendopo kabupatenbalaikota yang mudah mobilisasinya untuk mencapai poskodepo dan kantong-kantong pengungsian. Jalur ini harus diamankan agar truk-truk bantuan tidak terhambat lajunya. Demikian juga jalur antar poskodepo dan kantong-kantong pengungsian harus dijaga agar laju distribusi barang dan bahan dapat terjamin. Pelayanan kepada para korban bisa dilakukan dengan baik jika sarana dan prasarana yang diperlukan selalu tersedia dalam jumlah yang cukup dan saat yang tepat. Hal ini dapat terwujud jika sistem logistik yang dimiliki dapat diandalkan, antara lain adalah 1 tersiaganya task force yang andal di bawah koordinasi Satkorlak dan Satlak, 2 sistem informasi logistik terpadu. Sistem ini dilaksanakan petugas Satkorlak dan harus menghasilkan mapping yang cepat dan akurat tentang jumlah, tempat dan sebaran korban, sehingga diperoleh informasi tentang jumlah dan jenis komoditas yang diperlukan, 3 sistem distribusi, Bakornas dan Satkorlak menyediakan komoditas yang diperlukan, dan Satkorlak melakukan distribusi dan penugasannya hingga sampai ke titik- titik bencana. Kebijakan Pembangunan Berwawasan Resiko Bencana; Upaya Menuju Kebijakan PB yang Integratif

1.1.1.73 Good Governance on Disaster Management

Tata kelola penanggulangan bencana hendaknya menerapkan prinsip Good Govenance on Disaster Management dengan mengembangkan tiga pilar yaitu: transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi . Oleh karena itu, perlu adanya penataan kelembagaan pemerintahan, perekrutan yang lebih bersih dan ketat, serta percepatan penegakan hukum lingkungan satu atap. Terkait dengan hal tersebut, maka manajemen menghadapi bencana untuk tiap negara merupakan siklus, yang meliputi A disaster manager’s handbook. Asian Development Bank, 1991 : Prevention pencegahan; Mitigation mitigasi atau memperkecil efek bencana; Preparedness kesiap-siagaan; Response respon atau reaksi cepat; Recovery perbaikan; Development pengembangan. Disamping itu 158 juga akan berkaitan dengan aspek pendanaan. Karena dana tersebut dalam kerangka tata kelola penanganan bencana dialokasikan untuk; penelitian dan pengembangan, kesiapsiagaan menghadapi bencana, pelestarian tanah nasional dan pemulihan serta pembangunan kembali pascabencana. Implikasi dari penerapan tata kelola penanganan bencana tersebut maka para pemangku kepentingan akan berada pada satu sistem mulai dari penanganan saat pra bencana, bencana hingga saat pasca bencana. Penerapan Good Disaster Governance tersebut juga sangat terkait dengan mitigasi bencana. Bila ini diterapkan maka sistem penanganan bencana akan dapat mereduksi tingkat kerusakan maupun korban yang selanjutnya juga berdampak pada upaya pemulihan dan rekonstruksi. Bencana dapat menjadi pelajaran sekaligus guru yang berharga bagi masyarakat, selain berserah diri pada-Nya juga ada suatu upaya kongkrit yang dilaksanakan secara faktual dalam memahami dan mengantisipasi kondisi alam secara teoretis logis, salah satu wujudnya melalui konservasi alam perbukitan yang akan menjadi kawasan penyangga daerah resapan dan cadangan air kehidupan manusia dan ekosistem lainnya. Bentuk upaya kongkrit publik tersebut adalah berbagi peran dalan pelaksanaan pemeliharaan kawasan hijau, posisi birokrat sebagai pelaksana dan pembuat policy diharapkan dapat mengakomodir persoalan serta melegitimasi hak masyarakat. Gerakan yang sinergitas antara masing-masing elemen komponen tersebut dalam menyelamatkan alam lingkungan,yang diharapkan dapat meminimalisir dampak negatif pasca bencana. Pemulihan recovery kondisi masyarakat pasca bencana akan lebih solid ketika kita mencoba membangun manajemen bencana disaster management agar siklus normalisasi kehidupan termasuk rehabilitasi tercapai dengan rentang waktu yang sesingkat-singkatnya. Pengendalian itu dimulai dengan membangun kesadaran kritis masyarakat dan pemerintah atas masalah bencana alam, menciptakan proses perbaikan total atas pengelolaan bencana, penegasan untuk lahirnya kebijakan lokal yang bertumpu pada kearifan lokal yang berbentuk peraturan nagari dan peraturan daerah atas menejemen bencana. Yang tidak kalah pentingnya dalam manajemen bencana ini adalah sosialisasi kehatian-hatian terutama pada daerah rawan bencana. Sebagai negara yang sarat bencana dengan bentangan alam yang luas serta jumlah penduduk yang jauh lebih banyak, semestinya Indonesia dapat mengambil pelajaran dari pengalaman Jepang yang begitu reaktif dan responsif dalam menghadapi bencana alam. Program-program dan kegiatan-kegiatan kesiapsiagaan terhadap bencana harus segera dirintis dan dikembangkan.