157
bencana, maka truk-truk dan kendaraan-kendaraan bencana lainnya harus dilengkapi flashlight dan sirine.
Jalur-jalur evakuasi perlu memisahkan jalur untuk kendaraan dan jalur untuk pejalan kaki. Dengan demikian pergerakan masing-masing pengguna jalan
diharapkan tidak saling terhambat. Posko adhoc di kota perlu dipertimbangkan keberadaannya apakah di kantor Satlak, pendopo kabupatenbalaikota yang
mudah mobilisasinya untuk mencapai poskodepo dan kantong-kantong pengungsian. Jalur ini harus diamankan agar truk-truk bantuan tidak terhambat
lajunya. Demikian juga jalur antar poskodepo dan kantong-kantong pengungsian harus dijaga agar laju distribusi barang dan bahan dapat terjamin.
Pelayanan kepada para korban bisa dilakukan dengan baik jika sarana dan prasarana yang diperlukan selalu tersedia dalam jumlah yang cukup dan saat
yang tepat. Hal ini dapat terwujud jika sistem logistik yang dimiliki dapat diandalkan, antara lain adalah 1 tersiaganya task force yang andal di bawah
koordinasi Satkorlak dan Satlak, 2 sistem informasi logistik terpadu. Sistem ini dilaksanakan petugas Satkorlak dan harus menghasilkan mapping yang cepat
dan akurat tentang jumlah, tempat dan sebaran korban, sehingga diperoleh informasi tentang jumlah dan jenis komoditas yang diperlukan, 3 sistem
distribusi, Bakornas dan Satkorlak menyediakan komoditas yang diperlukan, dan Satkorlak melakukan distribusi dan penugasannya hingga sampai ke titik-
titik bencana.
Kebijakan Pembangunan Berwawasan Resiko Bencana; Upaya Menuju Kebijakan PB yang Integratif
1.1.1.73 Good Governance on Disaster Management
Tata kelola penanggulangan bencana hendaknya menerapkan prinsip Good Govenance on Disaster Management
dengan mengembangkan tiga pilar yaitu: transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi
. Oleh karena itu, perlu adanya penataan kelembagaan pemerintahan, perekrutan yang lebih bersih dan ketat,
serta percepatan penegakan hukum lingkungan satu atap. Terkait dengan hal tersebut, maka manajemen menghadapi bencana untuk tiap negara merupakan
siklus, yang meliputi A disaster manager’s handbook. Asian Development Bank, 1991
: Prevention pencegahan; Mitigation mitigasi atau memperkecil efek bencana; Preparedness kesiap-siagaan; Response respon atau reaksi
cepat; Recovery perbaikan; Development pengembangan. Disamping itu
158
juga akan berkaitan dengan aspek pendanaan. Karena dana tersebut dalam kerangka tata kelola penanganan bencana dialokasikan untuk; penelitian dan
pengembangan, kesiapsiagaan menghadapi bencana, pelestarian tanah nasional dan pemulihan serta pembangunan kembali pascabencana.
Implikasi dari penerapan tata kelola penanganan bencana tersebut maka para pemangku kepentingan akan berada pada satu sistem mulai dari penanganan
saat pra bencana, bencana hingga saat pasca bencana. Penerapan Good Disaster Governance
tersebut juga sangat terkait dengan mitigasi bencana. Bila ini diterapkan maka sistem penanganan bencana akan dapat mereduksi tingkat
kerusakan maupun korban yang selanjutnya juga berdampak pada upaya pemulihan dan rekonstruksi.
Bencana dapat menjadi pelajaran sekaligus guru yang berharga bagi masyarakat, selain berserah diri pada-Nya juga ada suatu upaya kongkrit yang
dilaksanakan secara faktual dalam memahami dan mengantisipasi kondisi alam secara teoretis logis, salah satu wujudnya melalui konservasi alam perbukitan
yang akan menjadi kawasan penyangga daerah resapan dan cadangan air kehidupan manusia dan ekosistem lainnya. Bentuk upaya kongkrit publik
tersebut adalah berbagi peran dalan pelaksanaan pemeliharaan kawasan hijau, posisi birokrat sebagai pelaksana dan pembuat policy diharapkan dapat
mengakomodir persoalan serta melegitimasi hak masyarakat. Gerakan yang sinergitas antara masing-masing elemen komponen tersebut dalam
menyelamatkan alam lingkungan,yang diharapkan dapat meminimalisir dampak negatif pasca bencana. Pemulihan recovery kondisi masyarakat pasca bencana
akan lebih solid ketika kita mencoba membangun manajemen bencana disaster management agar siklus normalisasi kehidupan termasuk rehabilitasi tercapai
dengan rentang waktu yang sesingkat-singkatnya. Pengendalian itu dimulai dengan membangun kesadaran kritis masyarakat dan pemerintah atas masalah
bencana alam, menciptakan proses perbaikan total atas pengelolaan bencana, penegasan untuk lahirnya kebijakan lokal yang bertumpu pada kearifan lokal
yang berbentuk peraturan nagari dan peraturan daerah atas menejemen bencana. Yang tidak kalah pentingnya dalam manajemen bencana ini adalah sosialisasi
kehatian-hatian terutama pada daerah rawan bencana. Sebagai negara yang sarat bencana dengan bentangan alam yang luas serta
jumlah penduduk yang jauh lebih banyak,
semestinya Indonesia dapat mengambil pelajaran dari pengalaman Jepang yang begitu reaktif dan responsif
dalam menghadapi bencana alam. Program-program dan kegiatan-kegiatan kesiapsiagaan terhadap bencana harus segera dirintis dan dikembangkan.