Cara Belajar Ngeleak Leak dalam Pandangan Masyarakat Bali
informan di lapangan ilmu pengiwa merupakan jalan terobosan untuk mencapai kesempurnaan. Randha Nateng Dirah dahulu juga memiliki lontar “Lipyakara” yang
sesungguhnya adalah lontar kesempurnaan hidup. Sayang tokoh Calonarang ini membelokkan ajaran ke arah hal yang lain dan bukan semestinya, seperti untuk
melampiaskan dendam yang pada akhirnya adalah membunuh sesama manusia. Sungguh sangat berbahaya mempelajari ilmu hitam ini hanya didasari oleh dendam,
ingin kelihatan cantik di hadapan kaum laki-laki, ingin cepat memperoleh keuntungan dalam usaha, ingin berwibawa, ingin membuat orang segan dan tunduk,
dan lain sebagainya. Ada juga motivasi ingin belajar ilmu hitam ini agar sakti mandraguna, bisa terbang, berjalan di atas air, dan sebagainya. Jika ingin berhasil
dalam usaha dagang, orang tidak usah payah-payah belajar seluk-beluk penjualan, pembukuan, melakukan survai pasar, menjaga mutu, dan manajemen efektif efesien.
Ia malah datang ke Balian untuk mencari pengelantih maupun pengelaris. Jika ingin disegani, berwibawa, kenapa tidak berlaku bijak, malah datang ke Balian mencari
penangkeb. Dalam mempelajari ilmu pengeleakan, secara umum ada beberapa cara untuk
mempelajarinya. Di samping yang telah diuraikan di atas caranya adalah sebagai
berikut : Pertama, cara yang paling mudah belajar ngeleak, dianjurkan datang
kepada Balian yang beraliran kiri, sarana yang harus dibawa adalah, satu cepuk pundi mirah, berisi kerikan emas, perak, dan tembaga. Balian akan meracik bahan
sarana ini, kemudian dimasukkan ke dalam pisang mas, beserta abu gambar yang dibuat di atas kertas. Gambar yang dimaksud adalah gambar apa yang menjadi
keinginan bagi mereka yang belajar ngeleak. Artinya, tema gambar yang dibuat dipilih oleh pemesan berupa binatang, seperti : babi, kambing, kuda, kucing, kera,
dan bahkan ada berupa sepeda motor, mobil, pesawat terbang, dan sebagainya. Gambar itu lalu dibakar, dan abunya dimasukkan ke dalam pisang emas. Semua
sarana tadi dijadikan satu, lalu dimakan atau orang yang belajar ngeleak dengan cara menelan dan tidak boleh dilumatkan alias dikunyah. Setelah itu Balian sakti akan
merajah pangkal lidah dengan permata, yakni dengan menggoreskan aksara nungkalik terbalik yang disebut dengan “ongkara sungsang”. Langkah terakhir
Balian sakti tinggal melakukan pengerehan, menghidupkan secara magi, sarana yang sudah ditelan itu.
Kedua, datang ke kuburan pada waktu tengah malam, dianjurkan memilih
tengah malam bulan tilem mati, bertepatan pada hari Kajeng Kliwon. Sarana yang perlu dibawa dari rumah adalah satu sanggah cucuk yang dibuat dari batang bambu
untuk menempatkan sesaji, ditancapkan pada tempat pemuwun atau tempat membakar jenasah. Orang yang belajar ngeleak berdiri menghadap sanggah cucuk,
ngregepang angranasika menyatukan kekuatan sabda suara, bayu tenaga, dan idep pikiran, berdiri di atas satu kaki, rambut terurai kedepan menutupi wajah,
dengan sikap nengkleng masuku tunggal sambil berjalan mengelilingi sanggah cucuk, berputar berlawanan arah jarum jam, selama tiga kali putaran sambil
memanggil-manggil Bhatari Dhurga. Usai berputar, lalu membaca mantram dari lontar pengiwa yang dibawa dari rumah. Jika pelatihan ini diikuti dengan seksama
secara terus menerus niscaya akan segera dapat menjadi leak yang sakti mandra guna.
Ketiga, menurut praktisi leak Mangku Teja dari Bangli, ada beberapa syarat
yang harus dipenuhi bila seseorang belajar menekuni ilmu pengeleakan. Syarat ini cukup berat, pertama-tama harus paham pasuk wetuning masuk-keluar aksara di
dalam tubuh, kedua harus bisa manunggalkan “atma tiga” diantaranya harus dapat mengendalikan indria dengar, indria lihat, dan indria rasa. Nunggal idep kalawan
sang kaidep, padu antara pikiran dengan yang dipikirkan. Saking ika ngasti dasar tunggal artinya dari sana awal menuju tunggal. Maka jika metode ini dipelajari maka
orang yang bersangkutan akan memiliki ilmu pengeleakan yang cukup tinggi, seperti dapat ngelekas menjadi bade usungan jenasah yang bentuknya menjulang tinggi,
menjadi wujud Rangda dan sebagainya. Pada bad ke 19, dikenal dengan sebutan jaman kali yuga, yakni jaman
keblinger, dimana jaman ini dapat ditandai seperti anak perempuan memakai pakaian anak laki-laki, anak laki-laki memakai perhiasan wanita, korupsi merajalela
di mana-mana korupsi sendiri merupakan perbuatan tercela menentang hukum Tuhan dan hukum manusia, anehnya hal demikian banyak dilakukan orang, hal-hal yang
salah sekarang dianggap benar, dan sebaliknya hal-hal yang benar sekarang dianggap salah, termasuk juga tayangan media elektronik, hal-hal yang berbau magis, mistik,
lelembut, klenik dan lain sebagainya, justru menjadi tayangan favorit. Demikian pula di Bali di sekitar bulan Nopember 2003 lalu, dipanggung terbuka Ardhacandra
Taman Budaya Denpasar Bali, sekurang-kurangnya lima orang penekun ilmu kawisesan Bali unjuk kebolehan dalam satu pertunjukan drama tari dengan lakon” Ki
Balian Batur”. Dua di antara mereka adalah Jero Mangku Teja dari desa Bambang Bangli, dan Jero Mangku Puspa dari Nongan Karangasem Bali, mempertontonkan
pengerehan ilmu leak yang disebut pangiwa. Event ini sempat juga ditayangkan lewat media masa elektronik. Nampak dari mulut kedua tokoh sekilas mengeluarkan
api menghambar-ambar dengan warna kebiru-biruan, bahkan api yang keluar dari mulut Jero Mangku Puspa walaupun hanya beberapa detik kejadian itu ditangkap
mata para penonton hampir saja membakar rangki dan gulungan kain di sebelahnya. Pengerehan leak dalam drama tari Calonarang menampik logika umum, dan
mengedepankan klenik destruktif, berdaya perusak, pengacauan, takhyul, susah dicerna pikir. Dalam ekspresi seni pertunjukan Barong dan Rangda dalam lakon
Calonarang yang menampilkan watak-watak keangkeran, kekerasan, mulai dari celuluk, matah gede, hingga Rarung dan Rangda, di sana juga ada pertunjukan tari
onying, menusuk diri dengan keris tajam guna menunjukkan kekebalan, hingga mengadu kedigdayaan melalui pertunjukan memandikan jenasah diikuti mengundang
leak untuk datang memakan jenasah tersebut sampai pula setelah jenasah dipocong lalu diantarkan ke kuburan seperti layaknya orang meninggal sungguhan, pada hal
orang tersebut tidak mati. Kekerasan di masyarakat kemungkinan mengalir dari benang merah laku destruktif ilmu hitam yang disebut aji wegig. Semua itu tak beda
dengan pengeleakan yang cenderung merusak dan membunuh sesama makhluk. Lihat saja sekarang leak yang sembunyi-sembunyi dibicarakan, bisik-bisik, diam-
diam, malah sekarang condong diwacanakan terbuka, terang-terangan di media masa, baik melalui media masa cetak hingga media masa elektronik seperti stasiun televisi
berlomba-lomba menayangkan hal-hal yang berbahu klenik, mistik, roh, setan, dan sebagainya menjadi produksi tayangan unggulan, dan ini sangat diminati oleh selera
masyarakat dewasa ini.
Gb. 4 Sosok Leak sedang menggoda orang , merupakan imajinasi seniman terhadap ilmu pengeleakan aji wegig.
Gb. 5 Belajar ilmu Pengeleakan, sketsa imajinasi tentang pembelajaran ilmu pengeleakan
138