Pertunjukan Barong dan Rangda dalam Sajian Wisata di Bali

Sahadewa untuk meruwat dirinya, yaitu membebaskan dari kutukan atau membebaskan dari wujud raksasi yang mengerikan itu, agar supaya kembali menjadi wujud semula yakni seorang dewi Uma yang cantik. Dewi Durga mendapat firasat dan petunjuk dari Bhatara Siwa, bahwa hanya satu-satunya si Bungsu dari Pancapandawa sajalah yang akan mampu meruwatnya hingga ia bisa kembali ke Kahyangan lagi mendampingi Bhatara Siwa sebagai saktinya. Apa yang menjadi permintaan Dewi Durga ini, oleh Kunti disampaikan kepada Sahadewa, dan tampaknya Sahadewa pun dengan rendah hati menerimanya. Namun sebelum ada tanda-tanda bahwa Sahadewa memang kesatria yang bakal mampu meruwat Dewi Durga, sang Dewi ingin menguji kesaktiannya terlebih dahulu. Dewi Durga memerintahkan salah seorang pengikutnya yaitu Celuluk untuk merasuk ke tubuh Kunti, agar supaya sang ibu benci kepada putranya, serta memerintahkan kepada Maha Patih Agung untuk menyiksanya dan membuangnya ke tengah hutan belantara. Maha Patih Agung pada awalnya sangat sayang dan menghormati Sahadewa, karena Sahadewa adalah seorang anak yang berjiwa kesatria dengan sikap sopan-santun selalu menurut dan menghormati sang ibu dan kakak-kakaknya dan anak yang tidak berdosa ini harus menerima siksaan dan harus dihukum dengan membuangnya di tengah hutan dan disajikan kepada Raksasi sebagai persembahan. Dalam waktu singkat Maha Patih Agung pun dirangsuki oleh I Celuluk, dengan seketika itu pula Maha Patih Agung menjadi tidak sadar dan menjadi marah besar, sehingga langsung saja Sahadewa di gelandang, dipukul, diseret, dicekik sampai kedua tangannya diikat, selanjutnya diikatkan pada sebuah pohon besar untuk dipersembahkan kepada Raksasi. Sahadewa menangis tersedu dengan lantunan lagu yang cukup menyedihkan dengan penuh ratapan dan pengharapan memohon kepada Hyang Parama Kawi lewat pengucapan beberapa mantram sakral serta berdoa memohon kepada yang Maha agung untuk mengampuni segala dosa-dosanya, karena merasa diri tidak bersalah tetapi menerima siksaan yang amat berat. Tampaknya tangisan dan doa puja mantra yang dilantunkan itu, didengar sampai di Kahyangan, untuk itu maka Bhatara Siwa segera turun ke marcapada, menemui Sahadewa yang sedang terkapar lunglai dengan kedua tangannya diikat. Oleh Bhatara Siwa, Sahadewa menerima waranugraha kesaktian mandraguna tak mempan senjata tajam. Setelah memberi waranugraha kepada Sahadewa, Bhatara Siwa segera sirna menuju kembali ke Khayangan. Dalam waktu singkat datanglah Dewi Durga bersama pengikut-pengikutnya seperti ; leyak Barak, leyak jaran Guyang, leyak Mata Besik, leyak Mahisa Wedana, Bojog, dan sebagainya, akan berpesta pora menikmati hidangan segarnya. Durga ingin menjajagi kesaktian Sahadewa, dengan menebaskan pedangnya beberapa kali ke tubuh Sahadewa, namun tebasan pedang itu tidak mempan melukai tubuh Sahadewa, lalu dicoba pula dengan menggigit beberapa bagian badannya, juga tidak mempan, akhirnya Durga baru menyadari, bahwa Sahadewalah satu-satunya yang akan dapat meruwat dirinya. Pendek kata Sahadewa dapat menandingi kekuatan Bhatari Durga. Dengan demikian Bhatari Durga segera memberi tahu kepada Sahadewa, bahwa ia sebenarnya adalah permaisuri Dewa Siwa, yang dahulu pernah melakukan kesalahan, lalu memperoleh kutukan sehingga ia harus berubah wujud menjadi Raksasi dengan nama Durga. Ia telah mendapat petunjuk dari Dewa Siwa, ia hanya bisa kembali ke Kahyangan apabila ia telah diruwat oleh Sahadewa keluarga Pandawa. Untuk itu Bhatari Durga meminta dengan sangat, agar Sahadewa bersedia meruwatnya. Sahadewa menyembah hormat kepada Sang Dewi, selanjutnya mengambil kembang diikuti dengan sikap angranasika yaitu menyatukan sabda, bayu, dan idep, mencurahkan segala ilmunya yang telah diperolehnya dari Bhatara Siwa, lantas bunga itu dilemparkan ke arah Dewi Durga, maka Sang Dewi pun lunglai dan arwahnya telah meninggalkan jasadnya menuju Kahyangan atau orang Bali menyebutnya moksatam jagatditam caiti dharma, mukti atau kebahagian yang abadi. Demikian Dewi Durga binasa, dan rohnya kembali ke Kahyangan untuk menjelma kembali menjadi Dewi Uma, sakti Bhatara Siwa. Setelah Sahadewa berhasil meruwat Dewi Durga, pengikutnya yang benama Kalika, datang menemui Sahadewa dengan wajah ekspresi marah besar, ia memohon seraya menyampaikan keinginannya untuk juga dapat ikut diruwat, tetapi Sahadewa terang-terangan menolaknya. Kalika geram, dan tambah marah mendengar Sahadewa menolak permintaan untuk meruwatnya, dalam waktu sekejap ia mengubah dirinya menjadi babi, lalu rame-rame dikejar dan ditangkap masyarakat. Babi hasil tangkapan masyarakat itu beramai-ramai pula akan dipotong atau disembelih, ternyata babi tersebut tidak mempan dengan senjata tajam, dengan tipu daya babi jadi-jadian itu, ketika mau diangkat dengan pikulan, ternyata babi itu sudah menghilang dan berubah wujud menjadi burung garuda yang sangat ganas dengan paruh yang sangat tajam menyambar kesana-kemari dengan sangat lincahnya. Akan tetapi seekor burung garuda itu dengan mudah dikalahkan oleh Sahadewa. Untuk mengimbangi ilmu leak yang secara supranatural dikuasai Kalika, maka Sahadewa segera mengubah dirinya menjelma menjadi Barong dan Kalika berubah menjadi Rangda, seorang raksasi dengan wajah berwarna merah, bertaring panjang yang sangat menakutkan, lidahnya menjulur panjang dihiasi dengan ornamen api-apian, berhiaskan hati pada telinga dan mengkalungkan usus besar, serta memiliki kuku yang sangat panjang yang sangat mengerikan. Pertarungan Barong dan Rangda terjadi sangat seru. Setelah Barong terdesak, maka Barong dibantu oleh beberapa penari keris, yang tampil bertelanjang dada. Dengan membawa keris terhunus di tangan kanan masing-masing, menunjukkan ekspresi wajah marah kepada Rangda. Para penari keris itu ingin menusukkan kerisnya ke dadanya Rangda. Akan tetapi rurub putih atau sapu tangan besar yang berisi rerajahan itu sangat dasyat mampu membuat para penari keris itu kelabakan dan tidak berdaya bahkan sampai tidak sadarkan diri. Setelah semua penari keris itu kena kibasan rurub putih itu, maka sang Rangda pun sambil berjalan mundur menuju belakang panggung dan terus menghilang. Kemudian muncullah Barong yang disakralkan untuk dapat dimohonkan tirta wasuhpada oleh Pemangku pinandita untuk menyadarkan para penari keris yang kesurupan tidak sadarkan diri itu. Pemangku lalu menyiratkan tirta suci itu kepada seluruh penari keris, para penari keris lalu bangun dengan geram seolah-olah roh Barong itu merasuk ke tubuh penari keris. Para penari keris yang kesurupan itu ingin membalas dendam kepada Rangda, ternyata Rangda sudah tidak ada di tempat, lalu mereka dengan seketika itu pula membalikkan kerisnya menusuk- nusukkan keris itu ke tubuhnya dengan ekspresi beringas, karena sekujur tubuhnya merasa gatal yang luar biasa. Setelah puas menusuk-nusukkan kerisnya itu, berikutnya datang lagi Barong Ket seolah-olah menarik roh-roh yang merasuki para penari keris dengan menghalau para penari keris ke luar panggung, setelah itu mereka sadar. Adegan pertarungan antara Rangda melawan penari keris ini merupakan klimaks dari pertunjukan drama tari Barong yang oleh para wisatawan dikenal dengan nama Barong and Kris Dance, yang sudah barang tentu merupakan adegan yang sangat ditunggu-tunggu oleh para wisatawan mancanegara. Untuk memberi kesan bahwa dalam pertunjukan Barong ini terdapat adu kekuatan magis, maka ditampilkanlah adegan tari keris ini, yang aslinya hanya bisa disaksikan di beberapa desa pada saat ada upacara piodalan atau penirtan di Pura Dalem atau Pura Kuburan. Gb.25 Tari barong sebagai pembukaan Gb.26 Barong dalam posisi gerak tari mencari kutu Gb.27 Adegan Celuluk sedang mengganggu rakyat Gb.28 Adegan Celuluk sedang mempengaruhi ibu Kunti Gb.29 Ni Rarung dan Ni Lendi Pengikut Rangda Gb.30 Dewi Durga sedang minta bantuan Sahdewa untuk diruwat. Gb.31 Batara Durga Gb.32 Dewi Kalika menuntut ikut juga diruwat Gb.33 Pertarungan Barong Ket dengan Kalika Gb.34 Onying atau tari keris yang sedang kesurupan 227 BAB VI PENUTUP SIMPULAN DAN SARAN Seperti telah dikemukan pada bab awal, pokok masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah fenomena pesan-pesan budaya yang terdapat di balik Barong dan Rangda sebagai karya seni rupa tradisional Bali. Secara lebih tegas lagi masalah tersebut pada hakekatnya adalah yang berkaitan dengan sejarah, proses pembuatan, sakralisasi, estetika, simbol dan mitos, serta kajian pertunjukan Barong dan Rangda.

6.1 Simpulan

Berkenaan dengan pokok masalah tersebut dalam penelitian ini, secara umum dari keseluruhan pembahasan sebagaimana telah dipaparkan, maka berikut ini disampaikan beberapa simpulannya yaitu : Pertama, sejalan dengan perjalanan sejarah, asal-usul Barong Ket dan Rangda di Bali dimulai pada sekitar abad ke16 masa kerajaan dinasti Kresna Kepakisan di Kraton Gelgel Bali, pada pemerintahan Dalem Waturenggong. Pada abad ini tercatat bahwa orang Jawa sudah mulai berbondong-bondong datang di Bali termasuk para budiman, kesatria, pendeta, dukun, dan para seniman. Pada jaman inilah diperkirakan sudah ada bentuk topeng Barong dan Rangda. Tetapi masih sebatas bentuk punggalan atau topeng yang sudah biasa dipahatkan pada setiap pintu gerbang paduraksa kerajaan maupun pintu gerbang tempat-tempat suci seperti Pura maupun pada kori agung, yang disebut karang Bhoma. Tampaknya kebiasaan orang Jawa Timur menghias candi-candi dengan Banaspati atau penguasa hutan, terbawa pula sampai di Bali, sehingga mempengaruhi masyarakat Bali untuk membuat hiasan di atas pintu kori agung yang hingga sekarang terkenal dengan nama karang Bhoma. Di Jawa Tengah hiasan ini bernama Kala. Bertolak dari bentuk wajah topeng karang Boma inilah, selanjutnya lahir beberapa bentuk topeng seperti; Karang Sae, Karang Barong, Karang Tapel, dan sebagainya. Seperti telah diketahui ketika, jayanya kerajaan Majapahit di Jawa, telah membina hubungan yang baik dengan negeri Cina, terutama bekerjasama di bidang perdagangan, politik, maupun di bidang agama, terutama agama Budha. Perkembangan selanjutnya muncul beberapa bentuk Barong, yaitu : Barong Keket yang kemudian disingkat menjadi Barong Ket, Barong Bangkal, Barong Macan, Barong Asu, Barong Gajah, dan lain sebagainya. Kedua, dalam proses pembuatan Barong Ket dan Rangda yang akan disakralkan dalam pembuatannya melalui beberapa tahapan sesuai dengan pedoman dan keyakinan yang telah diwariskan oleh generasi terdahulu. Sakralisasi karya seni Barong Ket dan Rangda tersebut sudah dilakukan sejak mencari dan menebang kayu sebagai bahan tapel dengan beberapa tahapan upacara ritual. Hal ini ditandai dengan dilakukannya upacara nuwedin, yaitu upacara pemberitahuan dan memohon ijin kepada Hyang Widhi sebagai pencipta dan penguasa alam lingkungan, kepada yang baurekso atau makhluk halus yang kebetulan bertempat tinggal di lingkungan sekitar pohon tersebut. Setelah selesai melakukan upacara nuwedin yang dipimpin oleh seorang pemangku, maka langkah selanjutnya adalah menebang kayu sesuai dengan kebutuhan. Masing-masing topeng membutuhkan ukuran kurang lebih 50 cm dan garis tengah kurang lebih 35 cm, kayu yang dibutuhkan sebanyak 4 potong kayu. Keempat potong kayu ini lalu dibungkus dengan kain sudamala atau kotak-kotak dan