Sistem Ritual Masyarakat Bali
mendapatkan bhutahita alam sejahtera haruslah manusia beryajna kepada alam atau bhuwana agung. Tanpa beryajna kepada alam, alam pun tidak akan beryajna
kepada manusia. Bila kita beryajna kepada tumbuh-tumbuhan, maka tumbuh- tumbuhan pun akan beryajna kepada kita, menjadi bahan makanan pokok
manusia. Untuk menyejahterakan alam ini, persembahan diwujudkan dengan Bhuta Yajna yang memiliki wujud ritual, bersifat faktual kontekstual.
Persembahan ini di luar diri manusia secara individu yaitu lingkungan alam dan lingkungan manusia. Ini harus diwujudkan dalam bentuk Bhutahita dan Jagathita.
Bhutahita yang menyejahterakan Panca Maha Bhuta, tumbuh-tumbuhan, dan binatang sarwa prani. Sedangkan untuk mewujudkan Jagathita kehidupan
bersama yang harmonis diwujudkan dengan Jagat Kerti, jagat yang benar-benar tertib dan sejahtera. Hal ini merupakan upaya untuk menyiapkan Bhuwana Agung
sebagai wadah kehidupan makhluk hidup, terutama manusia yang mempunyai tujuan hidup mewujudkan catur purusaartha.
Sebagai individu, setiap orang harus menyiapkan dirinya lahir batin, Pengendalian jasmani dengan makanan dan yoga asana yang teratur dan berkesinambungan.
Melakukan pengendalian alam pikiran dilakukan dengan pujanam berdoa, dhyanam bermeditasi dan, sewanam melakukan pelayanan dengan sesama
secara tulus dan ikhlas. Dalam upacara keagamaan Hindu, penyiapan lahir batin ini dilakukan dengan upacara byakala dan prayascita. Upacara byakala bermakna
menyiapkan fisik yang sehat dan bersih secara sekala dan upacara prayascita bertujuan untuk menyiapkan rohani atau citta secara niskala. Kalau persiapan itu
sudah dapat dilakukan dengan baik barulah badan yang berupa Tri Sarira ini dapat digunakan untuk mencari atau mencapai dharma, artha, kama, dan moksha
serta hanya boleh digunakan untuk mencari tujuan hidup secara bertahap dan seimbang.
Masyarakat Bali pemeluk agama Hindu, sangat menaati dan menjunjung tinggi
agama tatwa filsafat, adat istiadat susilaetika dan upacara ritual. Bagi umat
Hindu di Bali menjalankan susila etika dituangkan di dalam sesana-sesana dan awig-awig peraturan-peraturan Desa Adat. Para Sulinggih atau Pedanda, dan
Pemangku, serta warga masyarakat desa akan berusaha untuk menaati sesana maupun awig-awig Desa Adat tersebut, yang telah ditentukan sebagai hak dan
kewajiban baginya. Hal-hal yang berkaitan dengan upacara, tiap-tiap rumah tangga berusaha menyelenggarakan upacara-upacara baik yang sehari-hari
maupun pada waktu-waktu yang telah ditentukan. Demikian pula dalam hal pemahaman tentang filsafat agama yang dituangkan dalam konsep-konsep agama
dalam implementasinya dapat kita lihat pada prilaku , sopan-santun maupun dalam bertutur kata.
Bagi masyarakat Bali tentang upacara dan upakara mempunyai pengertian yang berlainan. Upacara yang berkaitan dengan agama sering disebut yadnya. Yadnya
pada hakekatnya adalah persembahan atau puja spiritual yang diatur menurut ketentuan-ketentuan ritual dan seremoni yang dipelajari dari kitab suci Weda.
Fungsi dan posisi yadnya adalah sebagai ungkapan terima kasih kepada Hyang Widhi yang telah memberikan limpahan waranugraha kepada makhluk hidup
termasuk pula umat manusia baik berupa kesehatan maupun kehidupan yang tentrem, sejahtera dan damai. Yadnya berasal dari kata “yaj” yang artinya korban,
sehingga yadnya adalah suatu upacara korban suci, artinya korban yang dimaksud
adalah korban yang berdasarkan pengabdian dan cinta kasih. Bagi umat Hindu kegiatan yadnya ini dilakukan adalah mencontoh Hyang Widhi ketika
menciptakan alam semesta ini dengan melakukan yadnya, seperti yang termaktub dalam sloka berikut ini :
sahayajnah prajah srihtva paro vacha prajapatih
anema prasavishya dhvam esha yo stvishta kamadhuk Bhagawad Gita.III.10.
Artinya : pada jaman dahulu kala ketika Ptrajapati menciptakan manusia dengan yadnya dan bersabda : dengan ini engkau akan mengembang dan akan
menjadi kamadhuk dari keinginanmu. Prajapati berarti pencipta atau Brahman, sedangkan kamadhuk adalah sapi wahana Indera yang dapat memenuhi
segala keinginan manusia.
Sesungguhnya pengorbanan yang dilaksanakan berdasarkan pengabdian dan rasa cinta kasih, tidak memerlukan balasan. Walaupun menjalankan yadnya
berdasarkan tidak terikat pada hasilnya, tetapi tetap mempunyai tujuan spritual, yaitu 1 untuk menghubungkan diri atau mendekatkan diri di hadapan Hyang
Widhi, 2 sebagai tanda terima kasih atas segala waranugraha yang telah dilimpahkan-Nya, 3 untuk mencapai kesucian, membebaskan diri segala dosa
demi tercapainya kesempurnaan lahir dan batin baik dalam makrokosmos maupun dalam mikrokosmos.
Menurut ajaran agama Hindu ada beberapa jalan yang ditempuh untuk pendekatan dengan Hyang Widhi adalah melalui catur-marga empat jalancara yaitu
1Bhakti marga, ialah dengan jalan penyerahan diri serta mencurahkan rasa cinta- kasih yang setulus-tulusnya, 2Karma-marga, ialah dengan jalan berbuat dan
bekerja secara sungguh-sungguh dan tidak mengharapkan balasan atau imbalan, 3Jnana-marga, ialah dengan jalan belajar serta mengamalkan ilmu pengetahuan
secara bersungguh-sungguh dan tidak mengharapkan imbalan, 4Raja-marga, ialah dengan jalan melakukan tapa-brata yang tekun dan disiplin.
Pada umumnya keempat marga itu diwujudkan dengan penyelenggaraan upacara, jakni pelaksanaan atau perwujudan dari pada catur marga atau yadnya. Dalam
pelaksanaan upacara yadnya ini dibutuhkan perlengkapan-perlengkapan yang disebut upakara.
Dalam penyelenggaraan upacara yadnya dilengkapi pula dengan “banten” atau sesaji merupakan susunan dari berbagai media seperti janur, buah, bunga, air,
dan sebagainya, ditata sedemikian rupa sehingga menjadi bentuk yang indah dan artistik mempunyai arti simbolis keagamaan sesuai dengan fungsinya.
Sesungguhnya di samping sebagai persembahan atau tanda terima kasih, maka banten mempunyai fungsi seperti 1 sebagai alat atau sarana konsentrasi untuk
memuja Hyang Widhi, 2 sebagai perwujudan dari pada Hyang Widhi atau orang yang diupacarai, misalnya kuwangen, daksina pelinggih, lingga, puspasarira,
dan 3 Sebagai alat penyucian, misalnya prayascita, durmengala, byakala, dan lain sebagainya
Sebetulnya inti dari banten atau sesaji sesuai seperti apa yang tersurat dalam kitab suci Bhagawad Gita seperti berikut :
Patram puspam phalam toyam Yo me bhaktya prayacchati
Tad aham bhaktyupahrtam Asnami prayatatmanah Bhagawad Gita.IX.26 .
Artinya : Siapapun yang dengan ketulusan mempersembahkan kepadaKu, daun, bunga, buah dan air, persembahan yang didasari rasa cinta-kasih yang tulus ihklas
dari hati nurani yang suci, Aku terima. Berdasarkan sloka di atas bahwa banyak sedikitnya persembahan banten atau sesaji, tidaklah menjadi ukuran diterima
atau tidaknya persembahan tersebut, melainkan tergantung pada keihklasan serta kesucian hati seseorang, dengan perkataan lain yang diutamakan di dalam
melaksanakan yadnya adalah perasaan suci nirmala seseorang, bukan tingkatan nista madiya maupun utama mempunyai nilai yang sama.
Upacara yadnya perwujudannya ada lima macam yaitu pertama Dewa yadnya adalah upacara persembahan ditujukan kepada Ida Hyang Widhi, karena kita
hutang hurip atau jiwa pada Hyang Widhi yang telah menciptakan kehidupan serta segala yang menunjang kehidupan di alam semesta ini. Orang Bali percaya
dengan adanya dewa-dewa. Dewa-dewa tersebut merupakan sinar suci dari Hyang Widhi Brahman. Tetapi orang Bali juga yakin bahwa segala sesuatu yang
bermacam-macam ini bersumber dari satu azas, suatu realitas yang tertinggi. Realitas tersebut tidak kelihatan, tidak terbatas oleh ruang dan waktu, tidak
terbagi-bagi, tidak dapat tembus oleh akal manusia, dapat menyelami segala sesuatu, realitas ini disebut Brahman. Brahman di sini bukan dipandang sebagai
tokoh dewa, melainkan sebagai azas pertama, sebagai yang meliputi segala sesuatu. Brahman itu tiada lain adalah Tuhan itu sendiri. Dengan demikian yadnya
yang ditujukan kepada para Dewa sesungguhnya ke hadapan Hyang Widhi, sedangkan para Dewa hanya sebagai perantara antara manusia dengan
penciptaNya.
Kedua Rsi yadnya, Resi adalah orang-orang suci yang telah menerima wahyu serta ajaran-ajaran atau ilmu pengetahuan yang berguna bagi kesejahteraan umat
manusia, terutama ajaran-ajaran tentang kerokhanian. Rsi Yadnya adalah pemujaan kepada para pendeta dan orang-orang suci yang memahami makna
hakekat hidup. Atas jasa dan kemurahan para Maha Rsi yang menuntun dan membebaskan kita dari kebodohan dengan pengetahuan suci yang mengantarkan
pada kesejahteraan dan kebahagiaan jasmani dan rohani, untuk itu umat Hindu merasa memiliki hutang yang dikenal dengan Rsi Rna. Dalam hubungan ini Rsi
yajna dilaksanakan sebagai ungkapan rasa terima kasih atas jasa tersebut. Ketiga Pitra yadnya adalah pemujaan kepada roh suci leluhur, merupakan
ungkapan terima kasih kepada leluhur yang telah melahirkan, memelihara, membesarkan kita. Ungkapan terima kasih kepada para leluhur dilakukan dengan
melaksanakan upacara Pelebon bagi orang bangsawan dan ngaben bagi orang kebanyakan. Setelah upacara ngaben atau palebon dilakukan upacara nyekah atau
upacara ngerorasin, di sini arwah para leluhur dipersonifikasikan dengan boneka yang disebut puspasarira, karena memang terbuat dari rangkaian beberapa macam
kembang. Setelah mendapatkan puja weda dari Pedanda, di mana roh leluhur dituntun masuk ke Puspasarira, lalu diberikan tirta atau air suci dan selanjutnya
baru dibakar hingga menjadi abu. Abu tersebut oleh sanak keluarga dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam cengkir gading, lalu dibentuk atau dirangkai lagi
menjadi bentuk Puspasarira lagi. Sebagai rangkaian acara terakhir Puspasarira ini dinaikkan ketempat madiya atau semacam bangunan yang menjulang tinggi
hampir menyerupai seperti meru dengan warna kuning dan putih, diarak oleh para keluarga dekat dan para hadirin beramai-ramai dengan iringan gamelan
baleganjur, menuju laut untuk dilarung, dengan maksud agar supaya semua elemen-elemen jasad manusia kembali menyatu dengan alam semesta.
Keempat Manusa yadnya, adalah upacara yang dilaksanakan kepada sesama manusia seperti upacara magedong-gedongan, yaitu upacara umur tujuh bulan
kandungan, upacara kelahiran bayi, upacara kepus punsed, upacara ngelepas hawon, upacara tutug kambuhan, upacara telu bulan atau umur bayi 105 hari
setelah kelahiran, upacara otonan atau bayi setelah berumur enam bulan, atau 210 hari setelah kelahiran, upacara ngempugin setelah anak sebelum mencapai
dewasa, upacara maketus, yaitu upacara setelah giginya tanggal, upacara munggah dahataruna, adalah upacara setelah anak mengalami datang bulan pertama,
upacara mapandes yaitu upacara potong gigi dan upacara pawiwahan perkawinan serta upacara pawintenan yaitu upacara pembersihan lahir dan batin
dalam rangka belajar atau menuntut ilmu. Pengalaman masa kanak-kanak sangat berpengaruh dalam perkembangan kepribadian selanjutnya, oleh sebab itu sejak
masih ada dalam kandungan orang Bali telah berusaha mendidik si jabang bayi lewat upacara-upacara. Setelah bayi lahir, orang tua si bayi akan memberikan
syukuran dalam bentuk upacara yadnya. Setelah bayi berumur 3 hari, ketika tali ari-ari placenta putus, orang tua anak juga mengadakan upacara putus punser.
Umur tiga bulan diadakan upacara potong rambut yang pertama dan pemberian nama. Dimulai dari dalam kandungan, lahir, sampai dewasa, orang Bali selalu
sibuk dengan upacara-upacara, sehingga dapat dikatakan kepribadian orang Bali bersifat serimonial, segala keadaan diresmikan melalui upacara.
Kelima Bhuta yadnya adalah upacara yang ditujukan kepada Bhuta Kala, untuk memohon keseimbangan maupun keharmonisan alam semesta bhuwana alit dan
bhuwana agung. Upacara diwujudkan secara bergairah dengan simbol-simbol kreatif, arca-arca
mempunyai arti khusus, jajanan, buah-buahan, daun, bunga, air dan api, semua mempunyai makna secara simbolis, hal ini telah tampak nyata berupa kreasi dari
perwujudan simbol-simbol tersebut berbentuk aneka upacara seremonial dalam kebudayaan masyarakat Bali. Semua upacara tersebut dilakukan dengan sungguh-
sungguh dan tulus ikhlas. Bermacam-macam upacara tersebut dilakukan secara berulang-ulang, pada setiap hari, bulan, tahun bahkan ada pula yang seratus tahun
sekali. Upacara yang pelaksanaannya di Pura, terutama berkaitan dengan pelaksanaan upacara “dewa yadnya” atau upacara yadnya lainnya tidak lepas dari
kesenian, karena merupakan suatu rangkaian, baik seni lukis, seni kriya, seni tari, seni vokal dan seni-seni lainnya digunakan sebagai seni wali, dalam
melaksanakan upacara tersebut. Pelestarian terhadap beraneka upacara dan nilai-nilai budaya khususnya kesenian
bagi masyarakat Bali adalah suatu tanggung jawab terhadap agama yang mereka yakini, sebaliknya semua kegiatan upacara keagamaan senantiasa melibatkan
kesenian. Oleh sebab itu maka kehidupan berkesenian subur dan berkembang di Bali. Lebih-lebih dengan adanya pariwisata budaya, justru berkesenian semakin
dapat lebih berkembang.