Pola Mata Pencaharian GAMBARAN UMUM LATAR PENELITIAN

khususnya terdapat di wilayah pegunungan Singaraja dan Tabanan. Ada dua jenis tipe kopi yang ditanam yaitu Robusta dan Arabika. Keduanya dieksport baik ke luar daerah maupun ke luar negeri, dan ini tidak sedikit artinya bagi perekonomian rakyat. Dilihat dari segi hasilnya, maka sesudah kopi, penghasilan kelapa merupakan hal yang penting. Luas kebun kelapa menurut Jawatan Pertanian meliputi daerah yang luasnya 6.650.50 ha. Kecuali untuk keperluan eksport juga untuk memenuhi kebutuhan sendiri, dan juga dieksport. Pohon kelapa banyak dijumpai di pinggir pantai. Selain untuk membuat kopra, batok serta sabut kelapa digunakan sebagai bahan untuk kerajinan rakyat. Adapun hasil penanaman buah-buahan, seperti jeruk, Kabupaten Buleleng, serta salak di Kabupaten Karangasem, dieksport keluar pulau, terutama ke kota-kota besar di Jawa. Di daerah Bali bagian selatan yang merupakan daerah dataran yang lebih luas, pada umumnya dengan curah hujan yang cukup baik, penduduk mengusahakan bercocok tanam di sawah. Sedapat mungkin apabila keadaan mengijinkan, maka penduduk berusaha terutama mengolah dan mengusahakan bercocok tanam di sawah. Untuk kepentingan itu maka diperlukannya pengaturan air yang sebaik-baiknya. Berkembanglah usaha rakyat sistem “subak” yang mengatur pengairan dan penanaman di sawah. Apabila air cukup, maka ditanamlah padi secara terus menerus, tanpa diselingi oleh palawija, sebaliknya apabila keadaan air kurang cukup, maka diadakan giliran menanam padi dan palawija dan semua ini diatur oleh “kerama subak” Masyarakat Bali hidup dengan nilai-nilai keagamaan yang diwariskan secara turun-temurun, dalam teknologi pertanian tradisional Bali terkenal pula dengan sistem “Subak”. Subak merupakan organisasi tradisional bersifat sosioreligi, merupakan organisasi terbuka. Tidak saja dalam keanggotaan, tapi juga dalam menerima konsep dan program pembaharuan dari luar dirinya. Subak sebagai salah satu lembaga tradisional di Bali, ia tidak terlepas dari konfigurasi lembaga-lembaga sosial lainnya yang ada di Bali, seperti; desa adat, banjar dan sejumlah sekha lembaga fungsional dalam kehidupan sehari-hari orang Bali, serta adat istiadat, dan agama yang dianutnya I Nyoman Suadi dalam Tifa Daniel ed, 1993:86. Subak mempunyai pengurus yang dikepalai oleh “klian subak”. Di samping itu subak mempunyai juga aspek keagamaannya dan untuk ini mempunyai suatu sistem upacara-upacara serta tempat-tempat pemujaannya sendiri. Dalam hubungan dengan pemerintahan, subak mengenal suatu sistem administrasi dari sedahan hingga sedahan agung pada tingkat Kabupaten. Di daerah-daerah yang luas tanah pada umumnya tidak mencukupi keperluan penduduk yang bertambah padat dengan laju yang cepat, terdapat pula sistem penggarapan tanah yang dikerjakan oleh buruh tani. Di daerah-daerah yang airnya kurang atau daerah yang hanya mengandalkan dari curah hujan, petani menanam padi gaga, jagung, ketela pohon, kacang-kacangan, dan sebagainya. Kecuali bercocok tanam, berternak juga merupakan usaha yang penting dalam masyarakat pedesaan Bali. Binatang peliharaan yang terutama adalah babi dan sapi. Babi dipelihara oleh para wanita, biasanya pekerjaan sambilan dalam kehidupan berkeluarga atau rumah tangga, sedangkan sapi dipelihara untuk membantu pekerjaan di sawah, kebun dan ladang untuk membajak dan ada pula penggemukan, lalu kemudian dijual untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, bahkan juga sebagai komoditas eksport. 76

BAB III POLA KEBUDAYAAN MASYARAKAT BALI

3.1 Konsep Kepercayaan

Seperti telah diketahui bahwa masyarakat Bali secara mayoritas memeluk agama Hindu, tidak jelas sejak kapan agama Hindu mulai masuk ke Bali. Berdasarkan catatan hasil wawancara kepada informan di lapangan dinyatakan bahwa yang datang ke Bali pertama adalah Rsi Markadeya, karena dianggap sebagai penyebar Agama Hindu yang datang pertama kali ke daerah Bali sekitar abad keVIII. Sebelum Agama Hindu diperkenalkan, masyarakat Bali telah memiliki kepercayaan yang pada prinsipnya percaya pada tiga hal yakni 1 adanya kepercayaan alam sekala nyata dan alam niskala tidak nyata, 2 adanya reinkarnasi, dan 3 kehidupan setelah mati, serta adanya roh nenek moyang leluhur bersemayam di gunung-gunung. Manusia yang masih hidup bisa memohon perlindungan kepada roh-roh leluhur tersebut, dan dengan kekuatan niskala roh-roh leluhur itu juga bisa memberikan keselamatan kepada keturunannya. Jadi pemujaan roh leluhur seperti yang dilakukan masyarakat Hindu di Bali sekarang ini, sudah ada dan dikenal jauh sebelum kedatangan Hindu. Dengan kepercayaan yang telah dimiliki masyarakat itu, agama Hindu tidak mengalami hambatan masuk dan berkembang di Bali. Ajaran Hindu, agama tertua yang diwahyukan tersebut, telah tercermin dalam unsur-unsur kepercayaan masyarakat Bali sejak zaman prasejarah. Termasuk pula konsep penciptaan makrokosmos maupun mikrokosmos yang percaya dengan adanya unsur positif bapak dan unsur negatif ibu, yang dalam kepercayaan Hindu di lambangkan dengan lingga dan yoni, langit dan bumi, Dewa dan Dewi. Dalam kepercayaan masyarakat Bali prasejarah, hal itu dilambangkan dengan gunung sebagai laki-laki dan laut sebagai perempuan, lihat Raka Santri dalam Setia Putu ed, 1992:100. Ciri khas perkembangan agama Hindu diterimanya budaya lokal untuk memperkuat tumbuhnya inti ajaran Weda. Hal ini pula yang terjadi di Nusantara khususnya di Bali. Menurut informan mengumpamakan ajaran-ajaran Weda seperti air yang mengalir terus sepanjang abad berliku-liku melalui daerah yang amat luas. Karena panjangnya masa dan luasnya daerah yang dilewati, wajahnya dapat berubah- ubah, namun isinya tetap sama. Ajaran Hindu disebut pula Sanata Dharma, artinya Dharma kebenaran yang abadi. Peredaran zaman tidak menjadikannya tua, karena kebenaran yang diturunkan Hyang Widhi wahyu memang tidak akan pernah menjadi tua. Tetapi luluhnya agama Hindu ke dalam konsep-konsep budaya lokal, sering menyebabkan orang salah mengerti, mana agama mana pula budaya atau adat. Para Rsi dan Empu yang datang ke Bali, baik ketika zaman jayanya kerajaan Singhasari di Jawa maupun ketika Bali dikuasai Majapahit lewat perang besar itu, di bawah komando Patih Mangku Bumi Gajah Mada, ibarat membawa air Weda yang menggenamgi danau seni budaya lokal. Rsi Markandeya memperkenalkan panca datu, yang dipakai dasar setiap bangunan pemujaan di Bali sampai sekarang ini. Di samping itu beliau juga merintis adanya subak bagi masyarakat Bali yang bersifat sosial religius, bukan hanya bermanfaat bagi masyarakat Bali, tetapi juga dikagumi oleh masyarakat dunia. Setelah itu datanglah Empu Kuturan ke Bali, lebih memperkuat ikatan budaya lokal, dengan menyempurnakan sistem desa adat, yang juga bersifat sosial religius. Kedatangan Empu Kuturan dinilai telah membawa perubahan besar dalam tata keagamaan. Dalam prasasti dan juga dalam lontar