Pertunjukan tari Barong dan Rangda dalam katagori Bebali

kasih atas kedatangan dan lindunganNya dari mara bahaya. Bagi masyarakat yang dilalui akan memperoleh wasuh jenggot Barong Ket yang disakralkan dan wasuh tersebut mereka yakini sebagai obat atau untuk disiratkan di sekeliling rumah sebagai cara mengusir wabah tersebut. Di samping Barong Ket dan Rangda dikelilingkan di dalam masyarakat pendukung, pertunjukan Barong Ket dan Rangda juga dilaksanakan manakala upacara piodalan Pura telah selesai, yang dilaksanakan di jaba tengah. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan pada upacara piodalan pura puseh Batununggul Nusa Penida Klungkung Bali, tanggal 29 April 2005 atau pada hari yang ke ketiga nyejer, pementasan dilakukan di jaba tengah atau madya mandala setelah upacara persembahyangan bersama piodalan hari ke tiga selesai dan hendak nyimpen atau menutup. Secara otomatis para peserta upacara keluar dari jeroan atau utama mandala, setelah mengikuti persembahyangan bersama. Tepatnya pk.19.30, umat yang telah keluar dari jeroan tua, muda, dan anak-anak, beramai-ramai dan berkelompok mencari tempat duduk. Mereka duduk secara rapi, berjejer, dengan penuh kesabaran menunggu dimulainya pertunjukan tampilan ratu gede mesolah. Arena pertunjukan amat sederhana, hanya dibatasi oleh empat tedung agung atau payung kotak-kotak, yang ditancapkan di masing- masing sudut, sehingga arena pertunjukan berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran 12 m x 20 m. Para penonton tidak boleh duduk atau berdiri melebihi garis yang telah ditetapkan tersebut, karena ruang gerak penari akan memanfaatkan semua ruang arena itu. Penerangan yang digunakan cukup menggunakan enam lampu neon yang berkapasitas 50 watt cukup menerangi arena seluas kurang lebih 240 m2. Di sebelah kanan tampak sederetan atau sekelompok susunan gamelan gong kebyar yang sudah tertata rapi dan lengkap masing-masing penabuhnya. Sebagai tabuh atau gending pembuka, dilantunkan sebuah instrumentalia gegilakan, gilak bebarongan, dan crucuk punyah. Gending- gending tersebut dapat memecah keheningan dan segera mengubah suasana dari sunyi menjadi hingar-bingar. Suara gamelan yang mendayu-dayu itu pertanda pertunjukan akan segera dimulai, dan orang-orang pun bergegas berdatangan menuju arena pertunjukan dan mengakibatkan arena pertunjukan bertambah berjubel, tetapi mereka tampak duduk dengan tertib. Walaupun setiap piodalan di pura Puseh ini selalu Ratu Gede mesolah atau menari, tetap saja para warga masyarakat antusias menontonnya, dengan penuh perhatian dari adegan satu ke adegan berikutnya. Setelah lagu pembukaan dilantunkan, selanjutnya tampilan pertama adalah tari Pendet sebagai pengantar pembuka selamat datang kepada para penonton. Penari Pendet ini ditarikan oleh empat orang penari putri yang cantik-cantik. Busana yang dikenakan menggunakan kain merah hati yang dihiasi prada emas dengan penuh ornamen patra bunga atau kembang. Di badannya melingkar setagen perpaduan dari beberapa warna yang juga ditambahkan ornamen dari warna prada emas, sehingga semua penari tampak ceking semampai. Rambutnya digelung khas Bali dan dihias dengan rangkaian bunga jepun kamboja, cepakakantil, sandat dan rangkaian bunga emas, yang ditata menjadi bentuk segitiga di atas kepala, hingga menjadi bentuk yang sangat artistik. Mereka tampil sangat menarik, karena mereka semuanya remaja putri yang baru naik dewasa, gerak dan tariannya sangat lincah dan penuh semangat. Setelah empat penari itu menaburkan bunga, ini merupakan suatu tanda bahwa tari pendet tersebut sudah selesai dan penarinya undur diri langsung masuk kejeroan. Selanjutnya muncul tari Jauk manis yang juga termasuk ke dalam kelompok tari pembukaan. Secara umum bentuk topeng jauk ini adalah sebagai berikut; kedua matanya melotot, gigi bagian atas tampak menonjol, berkumis, hidung mancung, dan warna dominan topeng adalah putih. Hiasan kepala menggunakan gelungan atau mahkota kebesaran, memakai kaos tangan, pada masing-masing jari terdapat kuku yang amat panjang. Busana yang digunakan memakai celana panjang pada kakinya menggunakan setewet, baju hitam lengan panjang memakai gelang kana, kain putih panjang sebagai lancingan dan bulet ke belakang, hiasan leher memakai bapang dengan untaian manik-manik yang ditata sedemikian rupa sehingga membentuk hiasan yang sangat indah seperti permata, memakai badong, lamak, di sekitar badan dihias dengan rumbai-rumbai atau semacam kain berwarna-warni dengan ukuran lebar 5 cm, panjang 50 cm, yang dihias dengan prada emas dengan ornamen bunga-bungaan, dan di belakang memakai keris panjang khas Bali. Bentuk tariannya amat bersahaja, walaupun bentuk secara keseluruhan topeng jauk ini amat galak, tidaklah demikian dengan bentuk tariannya, karena bentuk tariannya sangat halus, menurut ukuran dan patokan tari Bali, demikian pula dengan iringan kerawitannya juga menggunakan gending-gending yang manis pula. Barangkali karena warna topeng ini putih, maka menurut pragina atau penari, topeng ini digolongkan ke kelompok tipe topeng manis. Gb.23 Tari Jauk manis Pertunjukan berikutnya adalah tari Barong Ket atau Ratu Gede mesolah ngelembar atau ngugal sebagai tari pembukaan. Sebelum pertunjukan dimulai pertama muncul seorang pemangku membawa sesaji segehan agung di hadapan pintu keluar nanti bagi para penari. Sesaji digelar di plataran, lalu pemangku berdoa nguncarang atau melantunkan mantram- mantram untuk menghaturkan sesaji tersebut dengan terlebih dahulu melakukan tabuh rah berupa persembahan anak ayam hitam mulus, lalu kepalanya ditarik hingga lehernya putus dan selanjutnya meneteslah darah segar ayam sebagai persembahan terhadap Barong Ket dengan harapan agar supaya pertunjukan dapat berjalan dengan lancar dan tidak ada halangan yang merintangi pertunjukan. Barong ditarikan oleh dua orang, yang dibagian depan memegang topeng sebagai kepala Barong, sedangkan yang di belakang seorang penari yang menarikan dan menggerak-gerakkan ekor. Dari kejauhan tampak Ratu Gede atau Barong Ket sangat wibawa, karena keangkeran bentuk topeng, didukung oleh perhiasan badan dari kepala hingga ekor. Hiasannya menggunakan kulit sapi yang ditatah rajin dan sangat rapi, dilapisi dengan prada emas yang berkilau, dengan diselingi di sana-sini terdapat kaca pemantul menambah wibawa bentuk Barong itu. Kebetulan penari barong ini sangat tegar dan kuat, sehingga tidak ada masalah ketika menarikan, karena berat Barong sendiri kurang lebih satu kwintal. Bayangkan jika penarinya tidak kuat mengangkat barang berat sambil memikirkan ekspresi tariannya, juga merupakan suatu keahlian tersendiri. Penari Barong diwajibkan secara adat untuk berpuasa dan mekemit atau tirakat di pura puseh Batununggul, untuk memperoleh wangsit atau kekuatan dalam menarikan Barong ini. Setelah ngelembar atau menari, lalu Barong Ket beristirahat sejenak mesigsigan atau mencari kutu, sementara sebagai iringan terdengar sayup-sayup suara seruling yang sangat khas dan melengking. Setelah itu keluar monyet atau kera dengan sangat lucu, karena topeng kera ini bagian matanya berlobang, sehingga penari kera dapat mengedip-ngedipkan matanya dengan leluasa persis seperti kera sesungguhnya dan ini amat menarik perhatian penonton. Penari kera mencari kutu Barong, dan tampaknya ia adalah sahabat dekat sambil bermain-main, bercanda riang gembira, lalu Barong Ket dituntun masuk meninggalkan arena. Gb.24 Barong Ket ngelembar tari pembukaan. Koleksi Dewa Adegan selanjutnya muncul Ni Rarung bersama Ni Lendi sambil menari riang gembira sedang menuju kuburan untuk berlatih dan praktik ilmu pengeleakan. Gambaran topeng Ni Rarung yaitu kedua matanya mendelik layaknya seorang raksasi, hidung mancung, gigi atas salah satunya ada yang mencuat ke depan bagaikan taring. Sesampainya di kuburan Rarung dan Lendi berlatih mempraktikkan ilmu pengeleakan dengan sikap angranasika yaitu menyatukan sabda, bayu, dan idep, untuk dapat mengubah bentuk menjadi makhluk jadi-jadian. Sikap ini pula disebut ngereh untuk menjadi desti. Belum mereka mencapai tujuan, datanglah tiba-tiba Banaspatiraja atau Barong Ket, yang menggoda tapanya. Menyadari tapanya diganggu oleh Banaspatiraja, maka Ni Rarung dan Ni Lendi mengurung niatnya melanjutkan tapanya. Mereka kemudian menantang perang tanding melawan Banaspatiraja, lalu terjadilah perang dahsyat antara Ni Rarung dengan Banaspatiraja. Berhubung kesaktian Ni Rarung dan Ni Lendi tidak kuasa menandingi kesaktian Barong Ket atau Banaspatiraja, maka Ni Rarung dan Ni Lendi mengakui kalah berperang. Kemudian Ni Rarung dan Ni Lendi menghadap dan melapor dengan gurunya yaitu Siwalu Nateng Dirah si raja ilmu pengeleakan. Ni Rarung dan Ni Lendi datang menghadap Siwalu Nateng Dirah dan Bhatari Durga. Keduanya berwajah yang sangat menakutkan dan seram, keempat taringnya sangat tajam dan mencuat keluar mulutnya, mata melotot, lidah menjulur ke bawah dengan hiasan ornamen api-apian. Keduanya memiliki tangan yang berkuku panjang, kedua susunya bergelantungan, memakai hiasan kalung dari usus besar manusia, memakai bunga hati dan limpa manusia pada telinga dan sebagai anting-anting. Siwalu Nateng Dirah warna rambutnya coklat kehitam-hitaman, sedangkan Bhatari Durga warna rambutnya putih. Demikian gambaran dua tokoh leak ini penampilan wujudnya sangat menakutkan, apalagi dengan sinar lampu yang remang-remang membuat berdirinya bulu kuduk. Sebelum Ni Rarung dan Ni Lendi melapor tentang kekalahannya berperang dengan Banaspatiraja, wajah kedua topeng tokoh leak ini ditutupi dengan rurub kain kasa yang berisi rerajahan. Sebelum dua topeng ini ditarikan terlebih dahulu muncul di arena pertunjukan, seorang pemangku memakai pakaian serba putih dengan destar putih pula, menghaturkan sesaji segehan agung, diikuti persembahan tabuh rah dengan memotong kepala ayam hitam mulus di hadapan topeng ini sebagai persembahan kepada Rangda dan Batari Durga. Adegan selanjutnya yaitu ni Rarung melaporkan dan menceritakan kekalahan mereka bertarung dengan Banaspatiraja. Pada saat itu pula Siwalu Nateng Dirah naik pitam ingin membalaskan dendam kekalahan muridnya. Untuk itu Siwalu Nateng Dirah langsung terbang menuju Setra Gandamayu untuk menantang perang kepada Banaspatiraja atau Barong Ket. Akhirnya terjadi pula peperangan yang sangat dasyat dan luar biasa, karena masing-masing mengeluarkan kesaktiannya. Siwalu Nateng Dirah atau Rangda juga meminta tolong kepada Batari Durga untuk ikut membantu dalam peperangan melawan Banaspatiraja. Dalam peperangan antara Rangda dengan Barong Ket tampaknya Barong atau Banaspatiraja yang menang, lalu Rangda dengan sombong menantang seluruh kadang warga Barong Ket. Pada saat itulah beberapa warga kesurupan menjadi daratan atau onying dengan membawa keris terhunus, mengejar lalu menancapkan kerisnya ke dada Rangda hingga berkali-kali. Namun Rangda tidak mempan, lalu ia menantang lagi untuk dikeroyok beramai-ramai, setelah semakin banyak orang yang kesurupan dan siap membawa keris, lalu Siwalu Nateng Dirah berlari keluar dari arena pertunjukan, dan sekarang daratan atau onying berhadapan dengan Batari Durga. Batari Durga mengibas-ngibaskan kain rurubnya, akibatnya semua daratan atau onying yang kena rurub tersebut tidak sadarkan diri, demikian silih berganti dan akhirnya semua onying pingsan, kemudian Batari Durga dengan aman meninggalkan arena pertunjukan. Setelah Bhatari Durga meninggalkan arena maka berikutnya keluarlah Barong Ket untuk menyadarkan para daratan dengan diikuti oleh pemangku sambil memercikkan tirta wasuh Barong. Demikian pertunjukan Barong Ket dalam katagori bebali, dan inti dari makna cerita pertunjukan tersebut adalah melambangkan Rwa Bhineda, yakni dua kutub yang senatiasa bertentangan seperti baik dan buruk yang selalu ada dan tidak ada yang menang. Demikian pertunjukan wali dan bebali, penyelenggaraannya selalu dikaitkan dengan peristiwa penting dalam kehidupan beragama dan adat umat Hindu Dharma di Bali atau pertunjukan yang diciptakan oleh masyarakat untuk tujuan sarana upacara yadnya.

5.3.3. Pertunjukan Barong dan Rangda dalam Katagori Bali-balihan

Berdasarkan catatan di lapangan dalam pengamatan langsung terhadap pertunjukan tari Barong dan Rangda, Di Pura Dalem Kuburan Desa Batununggul Nusa Penida, pada tanggal 18 Mei 2005, hari Rebo atau Budha Kliwon, Wuku Matal, bertepatan pada upacara peringatan piodalan yang dilaksanakan setiap enam bulan sekali, dapat disampaikan sebagai berikut. Menurut keterangan dari imforman, pada mulanya pertunjukan tari Barong Ket dan Rangda tidak memakai lakon, seperti pada pertunjukan yang termasuk katagori pertunjukan wali, namun dalam perkembangan selanjutnya telah menggunakan lakon misalnya cerita Calonarang, Japatuan, Ki Balian Batur, Kunti Sraya, dan lain sebagainya. Lakon Calonarang sangat popular dikalangan masyarakat Bali baik di kalangan orang tua maupun di kalangan muda, khususnya di Desa Pagutan, Denjalan, Tegaltamu, Singapadu, Pajeng, dan Nusa Penida.. Pertunjukan Barong Ket dan Rangda sebagai tari balih-balihan mengetengahkan lakon Calonarang sebagai tontonan bagi masyarakat yang baru selesai melaksanakan piodalan di Pura. Cerita Calonarang terdiri dari beberapa versi yaitu; Katundung atau diusirnya Ratnamanggali, perkawinan Empu Bhahula dengan Ratna manggali, Ngeseng Waringin yaitu puncak perkelahian antara Empu Bharadah dengan Calonarang, Rarung Kautus yaitu penugasan Ni Rarung untuk menyelesaikan masalah perkawinan Ratnamanggali dengan Prabu Erlangga. Cerita Calonarang yang paling popular dan disenangi oleh masyarakat Bali adalah Ratnamangali ketundung. Jalan ceritanya adalah sebagai berikut: Prabu Erlangga yang memerintah Kerajaan Kediri sangat sedih hatinya setelah beberapa tahun kawin dengan Ratnamanggali putri Calonarang. Semenjak itu menyebarlah wabah penyakit, sehingga banyak rakyat meninggal dunia. Pada suatu saat menghadaplah patih Madri kepada raja Erlangga untuk memperbincangkan masalah menyebarnya wabah yang sangat luar biasa dan sekaligus memohon kepada raja agar putri Dirah itu dipulangkan saja. Menurut dugaannya, putri cantik jelita itulah penyebab wabah yang sedang berjangkit. Raja Erlangga mempertimbangkan dan segera menyerahkan Ratnamanggali kepada patih Madri, untuk dipulangkan kepada ibunya yaitu Siwalu Nateng Dirah, karena beliau masih lebih mencintai rakyatnya. Ratnamanggali segera diantar pulang oleh patih Madri, namun Ratna Manggali berontak tidak terima atas perlakuan itu. Dengan cara paksa patih Madri menyerahkan Ratna Manggali kepada ibunya Calonarang. Calonarang yang sedang