Prinsip-Prinsip Seni Rupa menurut Barat

Bentuk semacam itu bagi setiap individu, kelompok, masyarakat, dan bangsa berbeda-beda. Bentuk simetris barangkali pada suatu masyarakat dinilai bagus, dan bagi masyarakat lain justru kurang bagus. Bentuk gadis montok pada suatu kelompok dinilai cantik, sementara pada kelompok lain yang cantik itu justru kalau tubuh seorang gadis tampak kurus semampai. Aspek artistik atau bentuk indah ini, jelas merupakan faktor budaya, kontekstual dan diperoleh lewat pendidikan Sumardjo, 2000:137. Keindahan dalam arti estetis murni menyangkut pengalaman estetik dari seseorang dalam hubungannya dengan segala sesuatu yang dicerapnya. Sementara keindahan dalam arti yang terbatas lebih disempitkan sehingga hanya menyangkut benda-benda yang dicerap dengan penglihatan, yakni berupa keindahan dari bentuk dan warna. Salah satu jawaban mencari ciri-ciri murni yang ada pada semua benda yang dianggap indah dan kemudian menyamakan ciri-ciri atau kualitas hakiki itu dengan pengertian keindahan. Jadi keindahan pada dasarnya adalah sejumlah kualitas pokok tertentu yang terdapat pada sesuatu dalam karya seni. Namun dalam penilaian suatu karya seni apakah karya seni tersebut indah atau artistik dapat dinilai melalui pertimbangan kualitas yang sering disebut prinsip-prinsip penyusunan atau pengorganisasian elemen-elemen seni rupa atau desain, seperti kesatuan, keselarasan, kesetangkupan, keseimbangan dan perlawanan. Kesatuan unity atau keutuhan karya seni yang indah menunjukkan dalam keseluruhannya sifat yang utuh, yang tidak ada cacatnya, berarti tidak ada yang kurang dan tidak ada berlebihan. Kesatuan merupakan prinsip pengorgaisasian unsur rupa yang paling mendasar. Prinsip kesatuan merupakan prinsip desain yang paling penting dan sangat menentukan, sebagai prinsip induk yang bawahkan prinsip- prinsip desain lainnya. Tidak adanya kesatuan dalam suatu tatanan, mengakibatkan kekacauan, ruwet, atau cerai-berai tak terkoordinasi. Kekacauan yang dapat mengganggu kenyamanan dan mengancam keindahan selalu dihindari dalam suatu tatanan bentuk atau desain yang bernilai. Bilamana bagian-bagian atau komponen- komponen dari suatu komposisi semua sama wujudnya, keutuhannya nampak secara jelas, bila bagian-bagian sangat berlainan satu dengan lain, maka keutuhan dari keseluruhannya dapat dicapai, dengan menjamin agar terdapat hubungan yang kuat antara bagian-bagian, baik mengenai fungsi masing-masing. Keselarasan harmony dimaksudkan adanya keserasian antara bagian-bagian atau komponen yang disusun untuk menjadi kesatuan bagian-bagian itu tidak ada yang saling bertentangan, semua cocok dan terpadu. Tidak ada bertentangan dalam bentuknya, ukurannya, jaraknya, warna-warninya dan tujuannya. Susunan yang harmonis menunjukkan adanya keserasian dalam bentuk raut dan garis, ukuran, warna-warna, dan tekstur. Semuanya berada pada kesatupaduan untuk memperoleh suatu tujuan atau makna. Kesetangkupan atau simetri adalah ciri atau kondisi dari suatu kesatuan, di mana kesatuan itu bila dibagi-bagi dengan suatu tengah garis yang vertikal atau tegak lurus, menjadi dua bagian yang sama besarnya, bentuk, dan wujudnya. Belahan yang satu merupakan pencerminan dari yang lain. Simetri memberi rasa tenang dan aman, dan karenan itu bersifat memperkuat rasa keutuhan sesuatu karya seni. Namun demikian untuk menciptakan ketegangan agar tidak menimbulkan kejenuhan bagi pihak apresiator, maka oleh seniman sengaja dibentuk susunan asimetri, dan keanekaragaman diperlukan untuk bisa menambah kualitas seninya, tetapi dipersyaratkan bentuknya dengan ukuran yang sesuai, dan dibarengi dengan bidang- bidang yang dapat mengembalikan rasa ketenangan pengamat, sehingga dapat mengembalikan rasa keutuhan karya secara keseluruhan. Keseimbangan ini mudah dapat dicapai melalui simetri. Bentuk-bentuk simetri ini dapat dijumpai dalam alam raya ini, seperti dedaunan, kupu-kupu, kelopak bunga dan sebagainya, yang dapat memberi rasa nyaman dan ketenangan. Keseimbangan dalam penyusunan adalah keadaan atau kesamaan antara kekuatan yang saling berhadapan dan menimbulkan adanya kesan seimbang secara visual ataupun secara intensitas kekaryaan. Bobot visual ditentukan oleh ukuran, wujud, warna, tekstur, dan kehadiran semua unsur dipertimbangkan dan memperhatikan keseimbangan Kartika dan Nanang Ganda Perwira, 2004:118. Keseimbangan balance merupakan prinsip pengorganisasian yang berkaitan dengan pengaturan bobot akibat gaya berat dan letak kedudukan bagian-bagian, sehingga susunan dalam keadaan seimbang. Tidak adanya keseimbangan dalam suatu komposisi, akan membuat perasaan tak tenang dan keseutuhan komposisi akan terganggu, sebaliknya keseimbangan yang baik memberikan perasaan tenang dan menarik, serta menjaga keutuhan komposisi. Keseimbangan dalam komposisi dwimatra merupakan pengaturan bobot visual, sedangkan dalam komposisi trimatra, tidak saja pengaturan bobot visual melainkan juga pengaturan bobot aktual. Kontras atau perlawanan, menurut Manroe Beardsley dalam Gie, 1976:48 menyatakan bahwa ada tiga ciri yang menjadi sifat-sifat membuat indah dari benda- benda estetis pada umumnya adalah sebagai berikut : 1 kesatuan unity, bahwa benda estetis itu tersusun secara baik atau sempurna bentuknya, 2 kerumitan complexity, karya seni tersebut tidak sederhana sekali, melainkan kaya akan isi maupun unsur-unsur yang saling berlawanan ataupun mengandung perbedaan- perbedaan yang halus, dan 3 kesungguhan intensity adalah benda estetis yang baik harus mempunyai suatu kwalitas tertentu yang menonjol dan bukan sekadar sesuatu yang kosong, misalnya suasana suram, gembira, sifat lembut atau kasar. Dalam teori umum tentang nilai, pengertian keindahan dianggap sebagai salah satu jenis nilai. Untuk membedakannya dengan jenis-jenis nilai lainnya seperti nilai moral, nilai ekonomi, dan nilai pendidikan, maka nilai yang berhubungan dengan segala sesuatu yang tercakup dalam pengertian keindahan disebut nilai estetis. Dalam hal ini keindahan dianggap sama dengan nilai estetis pada umumnya. Apabila sesuatu benda disebut indah, sebutan itu tidak menunjukkan kepada sesuatu ciri seperti umpamanya keseimbangan atau sebagai penilaian subyektif saja, melainkan menyangkut ukuran-ukuran nilai yang bersangkutan. Ukuran-ukuran nilai itu tidak selalu mesti sama untuk masing-masing hal atau karya seni. Orang melekatkan nilai pada berbagai hal karena bermacam-macam alasan, misalnya karena kemanfaatannya, sifatnya yang langka atau karena coraknya yang tersendiri. Mengenai berbagai ragam dari nilai, ada pendapat yang membedakan antara nilai subyektif dan nilai obyektif. Ada pula yang menyebutkan pembedaan antara nilai perseorangan dan nilai kemasyarakatan. Penggolongan yang paling penting menurut para ahli ialah pembedaan nilai dalam nilai ekstrintik dan nilai intrinsik. Nilai ekstrinsik adalah sifat baik atau bernilai dari sesuatu benda sebagai suatu alat atau sarana untuk sesuatu hal lainnya. Ini sering disebut juga instrumental value, yakni nilai yang bersifat alat atau membantu. Sedangkan nilai intrinsik dimaksudkan sifat baik atau bernilai dalam dirinya atau sebagai suatu tujuan ataupun demi kepentingan sendiri dari benda yang bersangkutan. Yang umumnya diakui sebagai nilai-nilai intrinsik itu adalah kebenaran, kebaikan, dan keindahan Gie, 1976:39. Seni rupa menyoalkan warna dan bentuk yang tak perlu mewakili kognisi di luar dirinya, apalagi memasuki wilayah nilai lainnya seperti nilai moral, nilai sosial, nilai politik, nilai agama, nilai psikologi, dan sebagainya. Oleh karena nilai itu sendiri selalu dalam konteks praktis dan fungsional dalam hidup manusia, maka perasaan nilai di luar artistik menjadi sasarannya juga. Maka lahirlah puisi sufistik, protes metafisik, karikatural, dan lain sebagainya. Lahirlah tema-tema sosial politik dalam teater, nilai religi dalam novel. Nilai-nilai hidup inilah yang dapat bersifat universal. Di mana pun orang dapat bertanya tentang arti kematian, kemiskinan, perceraian dan semua itu dapat dibicarakan dalam karya seni. Bentuk seni sebagai ekspresi menjadi bermakna karena adanya nilai-nilai tersebut di atas yang menyatu dalam suatu kesatuan bentuk artistik, sehingga bentuk seni itu tersebut punya makna. Makna itu tidak muncul dengan sendirinya, maka itu harus dicari oleh seniman itu sendiri. 1.5.3.3.Prinsip-prinsip Seni Rupa Timur Hindu Pandangan Hindu mengenai estetika ditulis oleh Bharata di sekitar abad Vdengan bukunya Natyasastra. Dalam buku tersebut dinyatakan bahwa rasa lahir dari manunggalnya situasi yang ditampilkan bersama dengan reaksi dan keadaan batin para pelakunya yang senantiasa berubah. Pandangan ini oleh para pengikutnya dikembangkan secara terus-menerus. Seorang ahli pikir Khasmir; Sangkuka sekitar abad X berpendapat bahwa pengalaman estetik sebenarnya berada di luar bidang kebenaran dan ketidakbenaran. Dalam estetika Hindu dikenal rumusan bahwa suatu hasil seni untuk bisa dikatakan indah dan berhasil harus memenuhi enam sad syarat atau perincian angga, karena itu rumusan itu disebut sad-angga. Keenam syarat pegangan itu adalah sebagai berikut : 1 Rupabheda; artinya pembedaan bentuk, maksudnya bentuk-bentuk yang digambarkan harus dapat segera dikenal oleh yang melihatnya. Dalam arti bentuk harus segera dikenali karakteristiknya, yang berbeda antara satu dengan lainnya, seperti; bentuk bunga sebagai bunga, pohon sebagai pohon, orang laki sebagai orang laki, orang perempuan sebagai orang perempuan dan lain sebagainya. 2 Sadrsya artinya kesamaan dalam penglihatan, maksudnya bentuk-bentuk yang digambarkan harus sesuai dengan ide yang dikandung di dalamnya. Misalnya sebuah pohon dengan bunga-bunga dan buah-buah yang dimaksudkan sebagai lambang kesuburan, haruslah digambarkan dengan memberikan sugesti yang cukup mengenai kesuburan ini, misalnya dengan menggambarkan batang-batangnya yang serba membulat kecembung-cembungan, bunga-bunganya merekah dengan kelopak- kelopak yang tebal, buah-buahnya serba membulat, seolah-olah semua itu dialiri oleh air sari yang pada dasarnya adalah esensi dari kesuburan. 3 Pramana : artinya sesuai dengan ukuran yang tepat. Sebagai konsekuensi prinsip sadrsya maka tradisi menentukan patokan mengenai ukuran-ukuran dari tokoh-tokoh mitologis yang pada dasarnya adalah perwujudan dari ide-ide tertentu. Ide-ide yang tetap ini harus teguh dengan ukuran-ukuran yang tetap pula, dan di sini proporsi menjadi amat penting. Di samping berhubungan dengan ukuran, prinsip pramana juga menuntut dipakainya pola-pola bentuk yang tepat dalam penggambaran, dalam hal ini menggunakan pola-pola bentuk yang sudah ditetapkan. 4 Wanikabangga: yaitu penguraian dan pembikinan warna. Syarat ini meliputi pembuatan warna-warna dasar dan penyediaan alat-alat kuas, tempat pencampur warna, dan pemakaian warna secara tepat. 5 Bhawa: yaitu dapat diartikan sebagai suasana dan sekaligus pancaran rasa. Suasana dan pancaran rasa ini, misalnya suatu suasana sedih, haruslah dinyatakan dengan jelas, sehingga si penikmat seni bisa diantar melalui jalur yang tak meragukan ke arah perasaan yang dimaksudkan. Suasana atau emosi ini, dibagi atas dua macam : yang tetap sthayi-bhawa dan yang mudah berubah wyabhicari- bhawa. Bhawa yang tetap ada 9, yaitu: 1 cinta, 2 kesedihan, 3 tawa, 4 kemarahan, 5 semangat, 6 ketakutan 7 kemuakan, 8 keheranan, dan 9 ketenangan, ketentraman batin. Adapun bhawa yang mudah berubah ada 33 macam, yang masing-masing dapat dikaitkan pada salah satu bhawa yang tetap. Demi hadirnya keindahan dalam suatu karya seni yang bermutu, maka salah satu bhawa yang tetap harus selalu menonjol mengatasi bhawa yang mudah berubah. Jika suatu karya melebih-lebihkan pengungkapan wyabhicari-bhawa, maka karya itu akan menjadi sintemintal. 6 Lawanya: berarti keindahan daya pesona, wibawa atau greget. Seni bukan hanya soal teknik atau keterampilan, tetapi ekspresi yang memberikan wibawa transendental. Dengan kehadiran lawanya, suatu hasil seni akan menimbulkan kesan yang dalam pada si penikmat, bahkan bias mempengaruhi batinnya lihat Sedyawati,1981:14 dan Sumardjo, 2000:337. Keenam pegangan dalam memahami tentang keindahan itu secara tepat, sehingga akan tercapai keterampilan, kemudian diberi isi suasana mood dan suasana emosi, diberi struktur, irama, dalam perwujudannya, dan akhirnya akan lahirlah seni yang terampil, tepat, penuh ekspresi perasaan yang memberikan wibawa tran sendental.

1.5.3.4 Model atau Bagan Teori dan Konsep Penelitian.

Model teori dan konsep penelitian yang diterapkan dalam penelitian ini adalah memakai model sistem sebagai berikut : Seniman sebagai pencipta awal mula karya seni, Barong dan Rangda sangat memperhatikan sistem nilai-nilai budaya berdasarkan faktor kebutuhan primer dan sumber daya lingkungan dan pranata sosial. Seorang seniman dalam menciptakan Barong dan Rangda atas dasar aspek ideoplastis seperti asal-usul, konsep kepercayaan, mitos, religi, ekonomi, sosial dan estetika. Melalui penerapan fiskoplastis unsur-unsur visual seperti garis, volume, warna dan bentuk. Maka dengan demikian seniman melahirkan karya seni rupa tradisional Barong dan Rangda yang fungsional sesuai dengan kepentingan masyarakat yaitu untuk kepentingan sarana dalam pelaksanaan pertunjukan vali, bebali dan balih-balihan. Untuk lebih jelasnya model teori dan konsep dapat dilihat dalam bagan di bawah ini. BAGAN MODEL TEORI DAN KONSEP PENELITIAN Gb.1 Bagan Model Teori dan Konsep Penelitian

1.6. Metode dan Pendekatan Penelitian

Fokus penelitian ini adalah pesan-pesan budaya dalam kesenian Barong dan Rangda. Fokus ini dengan jelas mengarah kepada penelitian tingkah laku atau aktivitas para pelaku pendukung budaya dalam kegiatan ritual, mempertahankan, mengembangkan corak, bentuk, teknik pembuatan dan fungsi kesenian topeng KEBUTUHAN PRIMER, SEKUNDER INTEGRATIF SUMBER DAYA LINGKU- NGAN DAN SOSIAL BUDA- YA KARYA VISUAL TRADISIONAL BARONG DAN RANGDA IDEOPLASTIS 1.ASAL-USUL 2.KONSEPKEPERCAYAAN 3.MITOS 4.RELIGI 5.EKONOMI 6.SOSIAL 7.ESTETIKA FISIKOPLASTIS UNSUR-UNSUR VISUAL 1.GARIS 2.VOLUME 3.BIDANG 4.WARNA 5.BENTUK FUNGSI FISIK DALAM UPACARA : 1.VALI 2.BEBALI 3.BALIH-BALIHAN SISTEM NILAI BUDAYA PRANATA SOSIAL SENIMAN