Sistem Penanggalan POLA KEBUDAYAAN MASYARAKAT BALI
Pawukon ini berjumlah 30 dan setiap wuku berlaku selama 7 hari. Sistem penanggalan Pawukon tersebut jelas berasal dari masa Jawa Kuno di Jawa Timur,
yang justru di Jawa Timur maupun di Jawa Tengah sendiri dewasa ini sudah tidak dikenal secara meluas, terutama oleh generasi muda. Menurut legenda Jawa, nama-
nama dari wuku itu mengambil nama-nama dari raja Jawa yang bernama Prabu Watugunung dengan istrinya yang bernama Dewi Sinta yang sebenarnya adalah
ibunya sendiri beserta 28 putra mereka. Dalam Babad Tanah Jawi tentang wuku disebutkan riwayatnya demikian; konon ada seorang raja dari Kerajaan Gilingwesi
bernama Prabu Watugunung yang jatuh cinta kepada seorang wanita cantik yang sebenarnya adalah ibunya sendiri. Kedua pasangan yang tidak mengetahui asal-usul
mereka itu hidup bahagia sampai mempunyai anak 28 orang, yang diberi nama wuku nomor 2 sampai nomor 29 di atas.
Kisah riwayatnya diceriterakan sebagai berikut; empat keturunan dari Sanghyang Rudra terdapat nama Respati, yang kemudian dinobatkan menjadi raja di
Kerajaan Purwacarita bergelar Prabu Palindriya. Ia mempunyai permaisuri tiga orang putri bernama 1Dewi Soma, kemudian mempunyai putra bernama; Anggara,
Budha dan Sukra, 2Dewi Sinta memperoleh putra bernama Radite dengan sebutan nama Joko Wudug, dan 3Dewi Landep, adik Dewi Sinta yang kemudian
mendapatkan putra Dewi Sriyuwati dan Wukir. Di antara ketiga permaisuri tersebut Dewi Sinta mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kisah Prabu Watugunung.
Diceritakan pada suatu ketika Dewi Sinta pergi meloloskan diri dari kraton, karena tidak senang dimadu dengan adiknya sendiri. Pada saat meninggalkan kraton Dewi
Sinta dalam keadaan hamil. Di tengah hutan ia melahirkan bayi pria, yang kemudian diberi nama Radite. Radite dilahirkan dan ditakdirkan menjadi seorang anak yang
serakah, kalau makan seolah-olah tiada pernah kenyang. Pada suatu hari ia dengan menangis minta makan nasi yang sedang ditanak ibunya. Ibunya menjadi marah,
Radite dipukul kepalanya dengan sendok nasi enthong bhs.Jawa sampai berdarah karena luka pada kulit kepalanya, Radite kemudian pergi meninggalkan ibunya.
Karena kesaktiannya yang luar biasa ia dapat merebut negara Gilingwesi, lalu menobatkan dirinya menjadi raja menduduki tahta kerajaan tersebut dengan gelar
prabu Watugunung. Sifat keserakahan menimbulkan usaha-usaha untuk melebarkan kekuasaannya dengan menaklukkan raja-raja dan memperistri janda-jandanya. Pada
akhirnya ia mengambil sebagai istrinya Dewi Sinta, ibunya sendiri tanpa diketahui oleh keduanya dan berputra sembilan belas orang. Ia pun kemudian mengawini Dewi
Landep, bibinya dan berputra enam orang. Putra-putranya tersebut kemudian menjadi nama-nama wuku, yang kemudian menjadi perhitungan waktu dalam adat-
istiadat Jawa maupun dalam berkehidupan keagamaan di Bali. Lama-kelamaan Dewi Sinta dengan sangat terkejut mengetahui, bahwa Prabu
Watugunung, suaminya ternyata adalah anaknya sendiri setelah melihat adanya bekas luka di kepala dan mendengar cerita yang dikisahkan Prabu Watugunung pada
waktu masih kecil. Dengan secara halus Dewi Sinta mencari jalan untuk melepaskan diri dari suaminya Prabu Watugunung, dengan upaya apabila Prabu Watugunung
ingin tetap berpermaisurikan Dewi Sinta, ia harus mempunyai seorang madu bernama Dewi Sri. Untuk memenuhi permintaan istrinya tersebut Prabu Watugunung
mengerahkan semua kekuatan bala-tentaranya berangkat ke Suralaya untuk melamar Dewi Sri. Jika keinginan ini tidak dipenuhi para Dewata, maka Suralaya akan
digempur dengan perang. Ternyata para Dewata tidak menyetujui lamaran Prabu Watugunung tersebut, sehingga peperangan tidak dapat dihindarkan Prabu
Watugunung berhadapan balatentara Suralaya dibawah panglima Batara Indra. Berhubung pasukan Prabu Watugunung sangat dahsyat dan balatentara Suralaya
terdesak, maka paruman atau hasil musyawarah para Dewata menugasi Batara Wisnu untuk perang tanding menanggulangi keserakahan Prabu Watugunung.
Setelah melalui perang tanding yang sangat hebat akhirnya Prabu Watugunung tewas oleh senjata cakra yang dilepaskan Batara Wisnu. Tamatlah riwayat Prabu
Watugunung sebagai akibat dari keserakahannya sendiri. Terlaksalah keinginan Dewi Sinta untuk memisahkan diri dari suaminya, yang sebenarnya adalah anaknya
sendiri Sudibyoprono,1991:564. Sedangkan Pewaran terdiri dari 10 sepuluh wara adalah sebagai berikut ;
1Eka-wara adalah 1 Luang 2Dwi-wara adalah 1 menga dan 2 pepet
3Tri-wara adalah 1Pasah, 2Beteng, 3Kajeng. 4Catur-wara adalah 1Sri, 2Laba, 3Jaya, 4Menala.
5Panca-wara adalah 1Umanis, 2Pahing, 3Pon, 4wage, 5Kliwon. 6Sad-wara adalah1Tungleh, 2Ariang, 3Urukung, 4Paniron, 5Was,
6Mawulu. 7Sapta-wara adalah 1Redite, 2Soma, 3Anggara, 4Budha 5Waraspati,
6Sukra, 7Sanescara. 8Astha-wara adalah 1Sri, 2Indra, 3Guru, 4Yama, 5Ludra,
6Brahma, 7Kala, 8Uma. 9Sanga-wara adalah 1Dangu, 2Jangur, 3Gigis, 4Nohan, 5Ogan,
6Erangan, 7Urungan, 8Tulus, 9Dadi. 10Dasa-wara adalah 1Pandita, 2Pati, 3Suka, 4Duka, 5Sri, 6Manuh,
7Manusa, 8Eraja, 9Dewa, 10Raksasa. Sistem kalender Bali merupakan perpaduan antara perhitungan musim yang
menggunakan gabungan antara perhitungan bulan lunar system dan perhitungan matahari sonar system. Satu tahun Saka terdiri dari 12 bulan yaitu; 1 Kasa,
2Karo, 3 Katiga, 4Kapat, 5Kalima, 6Kaenam, 7Kapitu, 8Kawulu, 9Kasanga, 10Kadasa, 11Jistha, 12Sadha. Siklus bulan kalender Saka yang
disebut Sasih itu sebenarnya berlangsung selama 29,5 hari, lebih sedikit dan tidak 30
hari. Maka setiap sembilan minggu, dua hari dijadikan satu hari yang dalam Sansekerta disebut ngunalatri yang berarti kekurangan satu malam, oleh karena itu
menurut perhitungan kalender Saka satu tahunnya berlangsung selama 354 atau 355 hari. Maka upacara Nyepi untuk memperingati tahun Baru Saka, dalam perhitungan
kalender Masehi atau tahun Gregorian selalu selisih 10-12 hari. Perhitungan dalam menentukan rerahinan atau hari raya umat Hindu Dharma
sangat rumit. Di samping satu minggu yang berlangsung selama tujuh hari yaitu; Radite, Soma, Budha, Waraspati, dan Saniscara. Mingguan yang berlangsung selama
tujuh hari itu disebut sapta wara. Di antara ke sepuluh mingguan yang penting selain Sapta-wara adalah Panca- wara, Tri-wara, dan bagi masyarakat Bali dianggap
sakral. Pertemuan dua hari dari dua sistem mingguan di mana apabila saniscara sapta-wara bertemu dengan kliwon panca-wara disebut “Tumpek”. Pertemuan
hari-hari penting menjadi sangat sakral bila bertemu dengan wuku yang memiliki makna tersendiri. Misalnya “Tumpek Landep” yang jatuh pada wuku Landep, hari
Saniscara kliwon. Pada hari tersebut masyarakat Hindu Dharma memberikan sesaji kepada senjata-senjata tajam seperti keris, pisau, dan alat-alat tajam lainnya. Hari
tumpek ini selalu datangnya setiap enam kali selama satu siklus pawukon. Selanjutnya Tumpek yang kedua adalah Tumpek Uduh yang jatuh pada hari
Sanescara Kliwon wuku Wariga. Setiap pada hari itu umat Hindu Dharma di Bali memberikan sesaji kepada pohon-pohon yang ada di kebun masing-masing, sebagai
ungkapan terima kasih atas pemberian panen buah yang berlimpah. Tumpek yang ketiga adalah Tumpek Kerulut yang merupakan hari penting untuk memberi sesaji
kepada alat-alat instrumen musik, topeng-topeng, maupun pakaian atau busana tari. Tumpek keempat adalah Tumpek Kandang, pada hari itu masyarakat Hindu Dharma
di Bali memberikan sesaji kepada semua binatang ternak mereka. Tumpek kelima adalah Tumpek Wayang. Tumpek ini jatuh pada hari Saniscara Kliwon wuku
Wayang. Pada hari ini masyarakat yang punya wayang memberikan sesaji kepada wayangnya masing-masing. Bagi anak yang lahir pada hari tumpek wayang, anak
tersebut dianggap tidak beruntung oleh masyarakat. Untuk itu anak tersebut perlu diruwat dengan memberikan sesaji dan melukat, serta dimohonkan air tirta dari
wayang agar semua letah dan mala yang dibawa dari lahir, juga menyelenggarakan pertunjukan wayang kulit.
Purnama dan Tilem juga merupakan hari-hari penting dalam melakukan upacara keagamaan, karena hari Purnama dan Tilem itu bagi masyarakat penganut
Hindu Dharma diyakini hari yang penuh berkah dan kesucian karena pada saat itu para Dewata turun ke bumi. Dalam Purnama dan Tilem ada yang bernama
penanggal, prawani, dan panglong. Purnama –tilem berganti selama 15 hari sekali. Penanggalan adalah sehari setelah tilem sampai 12 hari, 13-14 tiga welas-empat
welas. Panglong adalah waktunya dari sehari sesudah purnama sampai dua belas hari. Prawani adalah sehari sebelum purnama dan tilem.
O 1-2-3-4-5-6-7-8-9-10-11-12- 13-14- 15- 1-2-3-4-5-6-7-8-9-10-11-12- 13-14 O Penanggalan Prawani Panglong Prawani
TILEM PURNAMA
TILEM
Untuk menentukan hari raya, terutama tahun baru Saka atau yang dikenal dengan hari raya Nyepi, dipakai perhitungan sistem gabungan antara matahari dan
bulan, sehingga harinya tetap jatuh pada sasih kasanga atau di sekitar bulan Maret setiap tahun pada saat bulan tilem.
Dalam wariga ada lima bagian waktu yang dipakai menentukan rerahinan atau hari-hari penting untuk dapat melakukan yadnya seperti Dewa yadnya,Resi
yadnya, Pitra yadnya, Manusa yadnya, dan Bhuta yadnya. Adapun macam rerahinan tersebut adalah sebagai berikut 1 Rerahinan yang dilakukan setiap hari, 2
Rerahinan yang berdasarkan Tri-wara dengan Panca-wara, 3 Rerahinan yang berdasarkan Sapta-wara dengan Panca-wara, 4 Rerahinan yang berdasarkan
Pawukon dan, 5 Rerahinan yang berdasarkan Pesasihan