Pesan dan Nilai dalam Pertunjukan Calonarang

sawa wedhana yaitu pembakaran jenasah dan tulang-tulangnya, apabila tulangnya sudah tidak ada disebut Swasta, dan terakhir abu jenasah dibuang ke laut, dan dilanjutkan atma wedhana atau memukur. Adegan prateka jenasah ini dilakukan oleh orang yang masih hidup diupacarai layaknya seperti orang telah meninggal. Demikian pula adegan Balian yang merupakan praktik perdukunan masih tetap berlangsung hingga kini, walaupun Puskesmas Pembantu dengan kehadiran dokter sudah menyebar di pelosok Desa. Masyarakat Desa masih juga melakukan tradisi nunasang teken Jero Balian atau mempertanyakan tentang penyakit si penderita dengan Balian, sering juga disebut metamba . Adegan Barong Ket dan Rangda keduanya dikeramatkan , keduanya oleh masyarakat dianggap sebagai pelindung dalam kehidupan sehari-hari, namun dalam cerita Calonarang benda suci itu diangkat sebagai bagian dari drama tari. Barong Ket dijadikan sebagai manefestasi kebaikan dan Rangda sebagai manifestasi kejahatan. Menurut Rai Wardhana I B, 1997:56 konsep Rwa Bhinedha terkait langsung dengan pokok-pokok keimanan dalam agama Hindu Dharma yang disebut Panca Sradha yaitu lima kepercayaan. Pertama, percaya akan adanya Hyang Widhi, kedua percaya dengan adanya atman, ketiga percaya akan adanya karma phala, keempat percaya akan adanya punar bhawa atau lahir kembali, dan ke lima percaya dengan adanya moksa. Kelima keyakinan ini saling mendukung antara satu dengan yang lainnya yaitu: masyarakat menyembah dengan bermacam-macam cara di tempat-tempat tertentu kepada Yang Maha Kuasa dan memohon perlindungan serta petunjukNya, agar menemukan jalan terang dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Atman merupakan percikan kecil dari Paramaatman, bila atman meninggalkan badan manusia pun mati dan bagian-bagian tubuh hancur kembali ke asalnya ke panca mahabhuta. Menurut ajaran ini orang yang meninggal dapat naik ke sorga atau jatuh ke neraka. Orang yang berbuat baik suci dan tidak terikat lagi dengan nafsu duniawi akan sampai ke alam nirwana, sedangkan orang yang berbuat jahat atau buruk akan mendapat siksaan di neraka. Apapun yang diperbuat manusia membawa akibat karma phala, akibat yang baik memberikan kesenangan, sedang akibat yang buruk mendapatkan kesusahan. Oleh karena itu manusia harus berbuat baik, agar mendapat kesenangan yang abadi dan hidup tentrem. Buah perbuatan manusia karma itu disebut phala yang terkadang tidak secara langsung dirasakan atau dinikmati seperti membalikkan tangan seketika dapat dilakukan, namun menanam padi harus menunggu berbulan-bulan untuk dapat memetik hasilnya. Jiwa atau roh tidak selamanya di neraka atau di sorga, kelahiran kembali di dunia disebut punabhawa atau samsara. Kalau ia membawa karma yang baik lahirlah menjadi orang yang berbahagia, sebaliknya bila karmanya buruk akan lahir menjadi orang yang menderita. Kelahiran kembali ini merupakan kesempatan untuk memperbaiki atau mawas diri karma, sehingga dapat memenuhi tujuan agama yaitu menuju alam pelepasan atau moksa. Begitu lekatnya hubungan antara pertunjukan Barong dengan melakonkan Calonarang yang menempatkan Barong Ket sebagai manifestasi kebaikan dan Rangda sebagai manifestasi kejahatan, dengan konsep ajaran panca srada. I Made Bandem I Made, 1996:35 juga mengungkapkan bahwa hakikat hidup manusia Bali berpedoman pada hukum karma phala, yakni berorientasi pada nilai baik dan buruk dualisme, yang sangat berpengaruh pada seni pertunjukan dan kemudian muncul norma-norma etika maupun estetika. Norma-norma etika dijabarkan dalan ajaran subha-asubha karma, yaitu kecenderungan sifat-sifat manusia, sifat kedewataan yang menyebabkan manusia berbudi luhur serta mendapat ketentreman lahir dan batin, sedangkan sifat keraksaan merupakan kecenderungan yang rendah yang menyebabkan manusia berbudi rendah dan dapat jatuh kejurang neraka. Kedua sifat tersebut ada pada diri semua orang dalam ukuran yang berbeda-beda. Ini berarti dalam diri seseorang terdapat sifat baik dan buruk. Buku Sarasamuscaya menyebutkan bahwa manusialah yang mengenal perbuatan salah dan benar, baik dan buruk, serta dapat menjadikan yang tidak benar menjadi benar, perilaku itulah yang merupakan salah satu kemampuan manusia yang dikaruniahi oleh Tuhan. Dengan demikian lakon Calonarang memberikan wawasan sistem nilai budaya yang lebih luas dalam kehidupan masyarakat Bali, yang sebelumnya hanya berpedoman kepada konsep dualisme. Segala nilai-nilai dan norma-norma dalam masing-masing adegan, merupakan warisan atau tradisi yang diwariskan lewat cerita yang ditampilkan oral traditions, sehingga masyarakat langsung dapat mengetahui dengan komunikasi secara praktis. Terbukti dengan langgengnya lakon Calonarang dalam pertunjukan Barong Ket hingga kini Pertunjukan tari dalam kehidupan masyarakat senantiasa berhubungan dengan kebutuhan masyarakat pendukungnya. Hal ini dikarenakan tari maupun kesenian yang lainnya berfungsi, dan kehadirannya dimanfaatkan dalam berbagai aspek kehidupan. Ditinjau dari fungsinya tari berperan sebagai sarana upacara, sarana hiburan pribadi, dan sarana tontonan. Upacara merupakan salah satu sarana untuk menunjukkan rasa bakti ke hadapan sang pencipta Hyang Widhi Wasa. Upacara berarti pula suatu rangkaian perbuatan atau tindakan yang terkait pada aturan-aturan sesuai dengan adat-istiadat dan agama. Bermacam-macam upacara dilaksanakan sebagai ungkapan kesungguhan menjalankan ibadah, baik yang ditujukan pada Hyang Widhi Wasa, Rsi, leluhur, sesama manusia dan kepada Buthakala. Dengan adanya tingkatan dalam upacara yadnya, maka penyajian Barong Ket dan Rangda berfungsi sebagai sarana upacara, yang memegang peranan penting dalam upacara Dewa yadnya dan Bhuta yadnya. Barong Ket dan Rangda dalam pelaksanaan upacara yang berkaitan dengan Dewa yadnya, berfungsi sebagai persembahan penyucian yang dilaksanakan secara periodik sebagai pernyataan hari jadi sebuah Pura. Barong Ket dan Rangda sebagai wali pada urutan upacara mider bhuana atau pradaksina. Dalam upacara ini para pemangku sebagai pengawal, semua pratima, Barong Ket dan Rangda, peserta mengusung kain putih yang panjang, berbaris mengelilingi bangunan Pelinggih sebanyak tiga kali putaran. Pada saat itu Barong Ket menari sambil mengatup- ngatupkan rahangnya hingga bersuara keras, diikuti Rangda dengan mengibas- ngibaskan kain kerudung putih yang telah berisi rerajahan sambil menggeram- geram. Pada saat putaran ketiga berakhir mulailah para pemangku atau masyarakat ada yang kerawuhan, diikuti oleh daratan atau onying yang sudah menyiapkan diri ngaturang ngayah. Suasana semakin mencekam mengingat para daratan menusuk-nusukkan keris kedada maupun badannya. Setelah itu datanglah pemangku memercikkan tirta, sehingga semua daratan sadar kembali.

5.3.4 Pertunjukan Barong dan Rangda dalam Sajian Wisata di Bali

Pertunjukan drama tari Barong dan Rangda wisata, yang dikalangan wisatawan mancanegara dikenal dengan nama Barong and Kris Dance, kebanyakan diselenggarakan dipanggung khusus, yaitu area di jaban Pura atau panggung khusus dibangun dengan latar belakang seperti Pura, yang khusus dibangun untuk kepentingan wisata. Pertunjukan Barong yang dipadukan dengan Rangda, pada awalnya untuk kepentingan ritual, bagi masyarakat Bali ditampilkan di beberapa desa, sangat menarik. Tujuan pertunjukan ritual ini jelas untuk memulihkan kembali keseimbangan antara kekuatan positif yang dimiliki oleh Barong dan kekuatan negatif yang dimiliki oleh Rangda. Berbeda dengan pertunjukan Barong Ket dan Rangda dalam kapasitas paket wisata, tidak ada ritual yang perlu dilakukan, bahkan pada perlengkapan Barong Ket dan Rangda pun tidak menggunakan yang disakralkan Pertunjukan Barong dan Rangda dalam konteks seni balih-balihan, yang hanya disuguhkan kepada wisatawan, biasanya berupa pementasan pertunjukan drama tari, dengan lakon yang diambil dari wiracarita Mahabarata yaitu Kuntisraya yang dikenal pula sebagai cerita Sudamala, yang masih bertema “ruwatan”. Secara singkat isi cerita tersebut adalah sebagai berikut : Tersebutlah Dewi Uma pada waktu dikutuk Bhatara Siwa suaminya sendiri, karena telah melanggar tatanan di Kahyangan dipastu menjadi seorang raksasi dengan nama Bhatari Durga. Wujudnya sangat menakutkan atau mengerikan dan harus tinggal di Pura Dalem bersama dengan lingkungan roh-roh jahat, para bhuta- bhuti yang menunggu setra. Pada suatu hari Dewi Durga meminta kepada Kunti ibunda dari para Pandawa agar mengijinkan putra bungsunya yang bernama Sahadewa untuk meruwat dirinya, yaitu membebaskan dari kutukan atau membebaskan dari wujud raksasi yang mengerikan itu, agar supaya kembali menjadi wujud semula yakni seorang dewi Uma yang cantik. Dewi Durga mendapat firasat dan petunjuk dari Bhatara Siwa, bahwa hanya satu-satunya si Bungsu dari Pancapandawa sajalah yang akan mampu meruwatnya hingga ia bisa kembali ke Kahyangan lagi mendampingi Bhatara Siwa sebagai saktinya. Apa yang menjadi permintaan Dewi Durga ini, oleh Kunti disampaikan kepada Sahadewa, dan tampaknya Sahadewa pun dengan rendah hati menerimanya. Namun sebelum ada tanda-tanda bahwa Sahadewa memang kesatria yang bakal mampu meruwat Dewi Durga, sang Dewi ingin menguji kesaktiannya terlebih dahulu. Dewi Durga memerintahkan salah seorang pengikutnya yaitu Celuluk untuk merasuk ke tubuh Kunti, agar supaya sang ibu benci kepada putranya, serta memerintahkan kepada Maha Patih Agung untuk menyiksanya dan membuangnya ke tengah hutan belantara. Maha Patih Agung pada awalnya sangat sayang dan menghormati Sahadewa, karena Sahadewa adalah seorang anak yang berjiwa kesatria dengan sikap sopan-santun selalu menurut dan menghormati sang ibu dan kakak-kakaknya dan anak yang tidak berdosa ini harus menerima siksaan dan harus dihukum dengan membuangnya di tengah hutan dan disajikan kepada Raksasi sebagai persembahan. Dalam waktu singkat Maha Patih Agung pun dirangsuki oleh I Celuluk, dengan seketika itu pula Maha Patih Agung menjadi tidak sadar dan menjadi marah besar, sehingga langsung saja Sahadewa di gelandang, dipukul, diseret, dicekik sampai kedua tangannya diikat, selanjutnya diikatkan pada sebuah pohon besar untuk dipersembahkan kepada Raksasi. Sahadewa menangis tersedu dengan lantunan lagu yang cukup menyedihkan dengan penuh ratapan dan pengharapan memohon kepada