Konsep Taksu dan Jengah

Parisuda”, sebagai pelengkap dalam bertindak maupun dalam pergaulan sehari-hari bagi masyarakat Bali. Setiap orang Bali dikehendaki ber-manacika berpikir yang baik, ber-wacika berkata yang baik, dan ber-kayika berbuat yang baik. Untuk dapat berpikir yang baik, sebagai pendorong perkataan yang baik dan perbuatan yang baik, melalui penyeimbangan ajaran-ajaran agama dalam etika pergaulan. Pelaksanaan ritual harus diseimbangkan dengan pemahaman dan pengamalan etika dan tatwa filsafat.

3.2. Sistem Penanggalan

Dalam melakukan kegiatan upacara ritual keagamaan selalu mencari hari yang baik, bagi masyarakat Bali dikenal dengan sebutan pedewasaan. Pedewasaan adalah hari yang dianggap baik untuk melaksanakan upacara keagamaan, sedangkan pedewasaan dasarnya adalah dari wariga. Wariga berarti jalan menuju yang mulia atau kesempurnaan. Peristiwa-peristiwa penting seperti memulai pembuatan topeng atau barang kesenian lainnya yang akan disakralkan, pembuatan bangunan suci, rumah pawongan dan pertunjukan-pertunjukan tradisional yang terkait dengan agama dan adat selalu berpedoman pada dua sistem kalender yang sangat khas dan hanya digunakan oleh masyarakat Hindu di Bali. Kedua sistem penanggalan itu adalah sistem Pawukon atau Saka dan penanggalan sistem Masehi. Sistem kalender Pawukon yang dalam satu siklus Pawukon ada 210 hari, terbagi menjadi 30 Wuku dan setiap Wuku berlangsung selama tujuh hari. Ketigapuluh Pawukon itu adalah 1Sintha, 2Landep, 3 Ukir, 4Kulantir, 5 Taulu, 6 Gumbreg, 7Wariga, 8Warigadean, 9Julungwangi, 10Sungsang, 11Dungulan, 12Kuningan, 13Langkir, 14Medangsia, 15Pujut, 16Pahang, 17Krulut, 18Merakih, 19Tambir, 20Medangkungan, 21Matal, 22Uye, 23Menail, 24Perangbakat, 25Bala, 26Ugu, 27Wayang, 28Kelawu, 29Dukut, dan 30Watugunung. Pawukon ini berjumlah 30 dan setiap wuku berlaku selama 7 hari. Sistem penanggalan Pawukon tersebut jelas berasal dari masa Jawa Kuno di Jawa Timur, yang justru di Jawa Timur maupun di Jawa Tengah sendiri dewasa ini sudah tidak dikenal secara meluas, terutama oleh generasi muda. Menurut legenda Jawa, nama- nama dari wuku itu mengambil nama-nama dari raja Jawa yang bernama Prabu Watugunung dengan istrinya yang bernama Dewi Sinta yang sebenarnya adalah ibunya sendiri beserta 28 putra mereka. Dalam Babad Tanah Jawi tentang wuku disebutkan riwayatnya demikian; konon ada seorang raja dari Kerajaan Gilingwesi bernama Prabu Watugunung yang jatuh cinta kepada seorang wanita cantik yang sebenarnya adalah ibunya sendiri. Kedua pasangan yang tidak mengetahui asal-usul mereka itu hidup bahagia sampai mempunyai anak 28 orang, yang diberi nama wuku nomor 2 sampai nomor 29 di atas. Kisah riwayatnya diceriterakan sebagai berikut; empat keturunan dari Sanghyang Rudra terdapat nama Respati, yang kemudian dinobatkan menjadi raja di Kerajaan Purwacarita bergelar Prabu Palindriya. Ia mempunyai permaisuri tiga orang putri bernama 1Dewi Soma, kemudian mempunyai putra bernama; Anggara, Budha dan Sukra, 2Dewi Sinta memperoleh putra bernama Radite dengan sebutan nama Joko Wudug, dan 3Dewi Landep, adik Dewi Sinta yang kemudian mendapatkan putra Dewi Sriyuwati dan Wukir. Di antara ketiga permaisuri tersebut Dewi Sinta mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kisah Prabu Watugunung. Diceritakan pada suatu ketika Dewi Sinta pergi meloloskan diri dari kraton, karena tidak senang dimadu dengan adiknya sendiri. Pada saat meninggalkan kraton Dewi Sinta dalam keadaan hamil. Di tengah hutan ia melahirkan bayi pria, yang kemudian diberi nama Radite. Radite dilahirkan dan ditakdirkan menjadi seorang anak yang