Konsep Desa Kala Patra. Konsep Karmaphala .

sebelumnya, sedang apa yang mereka akan alami kelak sangat tergantung dari apa yang mereka kerjakan sekarang. Menurut catatan keterangan yang diperoleh dari informan tentang karma pahala dinyatakan bahwa seseorang yang berbuat baik pasti baik akan diterimanya, demikian juga sebaliknya yang berbuat buruk, buruk pula yang akan diterimanya. Tetapi dalam kehidupan di alam ini terkadang ada seseorang yang selalu berbuat baik, namun ia tetap hidupnya tetap serba kekurangan alias menderita dan sebaliknya ada seseorang yang selalu berlaku curang atau jahat, tetapi nampak hidupnya malah bahagia dan sangat berlebihan. Berkaitan dengan itu sebetulnya karmaphala itu jenisnya ada tiga macam, yaitu 1Karmaphala Sancita adalah phala dari perbuatan kita dalam kehidupan terdahulu yang belum habis dinikmati dan masih merupakan benih yang menentukan kehidupan kita yang akan datang, 2Karmaphala Prarabda adalah phala dari perbuatan kita pada kehidupan ini tanpa ada sisanya, dan 3Karmaphala Kriyamana adalah pahala yang tidak sempat dinikmati pada saat berbuat, sehingga harus diterima pada kehidupan yang akan datang. Jadi adanya orang menderita dalam hidup ini walaupun ia selalu berbuat baik, karena disebabkan oleh sancita karma karma terdahulu yang buruk yang mau tidak mau ia harus merasakan buahnya sekarang karena kelahirannya terdahulu belum habis dinikmatinya. Sebaliknya orang yang berbuat curang atau berbuat jahat dalam kesehariannya, nampaknya dalam kehidupan sekarang bahagia, karena sancita karmanya yang terdahulu baik, tetapi nantinya akan menerima pula hasil perbuatannya sekarang yang tidak baik itu. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa cepat atau lambat dalam kehidupan sekarang atau nanti, segala pahala dari perbuatan itu pasti diterima, karena hal itu sudah merupakan hukum alam. Hukum karmaphala itu tidak menyebabkan putus asa dan menyerah pada nasib tetapi positif dan dinamis, serta hal ini harus disadari. Kita harus sadar bahwa penderitaan kita di saat ini adalah akibat dari perbuatan masa lampau. Perlu disadari bahwa suatu saat penderitaan itu pasti akan berakhir dan diganti dengan kebahagiaan, asal kita berbuat baik selalu walaupun pada saat kita menderita. Perbuatan kita yang baik sekarang ini akan mengakibatkan kebahagiaan nanti. Dengan kesadaran ini masyarakat Bali tidak perlu sedih atau menyesali orang lain karena mengalami penderitaan dan tidak perlu sombong ketika mengalami kebahagiaan. Itu semua adalah hasil perbuatan kita sendiri. Walaupun hukum karmaphala itu seolah-olah berdiri sendiri di dalam lingkaran sebab-akibat, tetapi hal itu tidak terlepas kekuatan Hyang Widhi. Perbuatan itu akan menentukan pahalanya, tetapi mengenai macamnya buah dan waktu memetiknya itu tergantung kepada keadilan Hyang Widhi. Jadi kelahiran kita ke dunia walaupun dalam penderitaan, ini tetap merupakan suatu keuntungan, karena kita atau manusia masih mendapatkan kesempatan untuk berbuat baik, meningkatkan kebenaran jiwa kita untuk menentukan hidup yang akan datang, demikian yang dikatakan oleh informan Bpk.Made Sudira. Konsepsi Karmaphala menyebabkan pula masyarakat Hindu di Bali memandang keluarga secara lebih luas. Keluarga meskipun yang inti, dalam pandangan mereka tidak saja terdiri dari bapak, ibu, serta anak-anak, tetapi juga mereka yang telah meninggal leluhur dan yang hidup akan datang numadi. Kepercayaan ini yang kemudian disertai dengan sistem penghormatan kepada leluhur, seperti telah dikemukakan, bahwa kepercayaan ini sudah berkembang di daerah Bali sebelum masuknya agama Hindu. Karena itu tidak mengherankan kalau hubungan antara anak dengan orang tua di Bali, sangat erat. Juga adanya hubungan kekerabatan. Sistem penghormatan kepada leluhur dalam bentuk bangunan Merajan, Dadia, Pedarman, dan Kawitan lebih mempererat hubungan kekerabatan, khususnya di antara mereka yang satu warga satu ikatan keturunan. Demikian orang Bali pada umumnya percaya akan hukum karmaphala, setiap perbuatan akan mendatangkan akibat, baik berupa hadiah atau hukuman. Karmaphala dipahami sebagai buah perbuatan, kadang-kadang dihubungkan dengan keinginan leluhur atau buah perbuatan sendiri di waktu lampau, sewaktu eksistensi kehidupan dahulu. Hukum karmaphala begitu melekat sebagai hukum alam yang tidak bisa diganggu gugat. Kekuasaan manusia terhadap hukum karma sangat terbatas, hanya dapat diperbaiki dalam eksitensi berikutnya.

3.1.5 Konsep Taksu dan Jengah

Konsep Taksu dan jengah ini, bertalian engan kenyataan setiap bangunan suci atau pemujaan keluarga di Bali terdapat salah satu bangunan di antaranya ada yang disebut “taksu”. Ini adalah semacam kharisma kekuatan dalam yang memancarkan keindahan dan kecerdasan. Para penari yang dapat mempesona penontonnya disebut metaksu. Demikian pula Topeng yang angker, dapat pula dikatakan metaksu. Masyarakat Bali telah mengenal dan memahami pentingnya taksu tersebut dalam bangunan suci, keluarga, maupun dalam berkesenian. Tetapi masyarakat Bali menyadari pula bahwa taksu itu baru bisa muncul, dari hasil kerja keras, di samping faktor-faktor yang bersifat niskala spiritual, karena itu rasa jengah, dalam konteks budaya memiliki konotasi sebagai hal yang bersemangat. Taksu dan jengah harus saling mengisi, sehingga arahnya menjadi positif dalam menuju perubahan nilai-nilai budaya. Konsep taksu dan jengah ini diiringi pula dengan konsep “Tri Kaya Parisuda”, sebagai pelengkap dalam bertindak maupun dalam pergaulan sehari-hari bagi masyarakat Bali. Setiap orang Bali dikehendaki ber-manacika berpikir yang baik, ber-wacika berkata yang baik, dan ber-kayika berbuat yang baik. Untuk dapat berpikir yang baik, sebagai pendorong perkataan yang baik dan perbuatan yang baik, melalui penyeimbangan ajaran-ajaran agama dalam etika pergaulan. Pelaksanaan ritual harus diseimbangkan dengan pemahaman dan pengamalan etika dan tatwa filsafat.

3.2. Sistem Penanggalan

Dalam melakukan kegiatan upacara ritual keagamaan selalu mencari hari yang baik, bagi masyarakat Bali dikenal dengan sebutan pedewasaan. Pedewasaan adalah hari yang dianggap baik untuk melaksanakan upacara keagamaan, sedangkan pedewasaan dasarnya adalah dari wariga. Wariga berarti jalan menuju yang mulia atau kesempurnaan. Peristiwa-peristiwa penting seperti memulai pembuatan topeng atau barang kesenian lainnya yang akan disakralkan, pembuatan bangunan suci, rumah pawongan dan pertunjukan-pertunjukan tradisional yang terkait dengan agama dan adat selalu berpedoman pada dua sistem kalender yang sangat khas dan hanya digunakan oleh masyarakat Hindu di Bali. Kedua sistem penanggalan itu adalah sistem Pawukon atau Saka dan penanggalan sistem Masehi. Sistem kalender Pawukon yang dalam satu siklus Pawukon ada 210 hari, terbagi menjadi 30 Wuku dan setiap Wuku berlangsung selama tujuh hari. Ketigapuluh Pawukon itu adalah 1Sintha, 2Landep, 3 Ukir, 4Kulantir, 5 Taulu, 6 Gumbreg, 7Wariga, 8Warigadean, 9Julungwangi, 10Sungsang, 11Dungulan, 12Kuningan, 13Langkir, 14Medangsia, 15Pujut, 16Pahang, 17Krulut, 18Merakih, 19Tambir, 20Medangkungan, 21Matal, 22Uye, 23Menail, 24Perangbakat, 25Bala, 26Ugu, 27Wayang, 28Kelawu, 29Dukut, dan 30Watugunung.