Konsep Tri Hita Karana

ditancapkan di sebuah sudut, dengan harapan agar supaya Hyang Widhi senantiasa menyaksikan dan merestui atau memberi perlindungan dalam proses pekerjaan selanjutnya. Mau menari, mematung, maupun melakukan pekerjaan lainnya, senantiasa ada upacara kecil untuk memohon, semoga Hyang Widhi menyaksikan dalam pelaksanaan kerja dan memberikan keselamatan pada seluruh pertunjukan maupun dalam melakukan pekerjaan lain. Hubungan manusia dengan sesamanya manusia sangat demokratis, hal ini dirumuskan dalam istilah “Tat Twam Asi”, yang artinya aku adalah kau, dalam kaitan hubungan manusia dengan manusia dapat diartikan “dia sama dengan diriku”, inilah azas kebersamaan dalam masyarakat Bali, yang telah dikukuhkan dalam lembaga adat. Tat Twam Asi ini mencerminkan unsur kebersamaan atau kesatuan. Konsep ini mengandung makna, bahwa menolong orang lain, maupun makhluk lainnya, tidak lain juga sama artinya menolong diri sendiri. Sebaliknya merusak makhluk lain dan lingkungannya itu, berarti pula merusak diri sendiri. Karena itu dalam pelaksanaan adat di Bali, seluruh anggota dianggap memiliki hak dan tugas yang sama. Ketika misalnya ada kematian salah satu anggota banjar adat, maka anggota lainnya wajib datang membantu, tidak peduli apakah ia seorang kaya atau seorang miskin. Seberapa besar kesungguhan yang ditunjukkan oleh seorang anggota banjar adat kepada sesamanya, akan berakibat sebesar itu pula kesungguhan yang akan diberikan kepadanya, apabila kemudian dia memerlukan bantuan. Persoalan hubungan manusia dengan lingkungannya, masyarakat Hindu di Bali memiliki praktik-praktik yang menarik dalam merealisasikannya. Oleh sebab itu terdapat hari-hari khusus untuk dapat melaksanakan upacara kecil seperti tumpek landep upacara diperuntukkan alat-alat untuk produksi, tumpek uduh upacara bagi tanam-tanaman, dan tumpek kandang upacara diperuntukkan bagi binatang ternak. Menurut catatan dan hasil wawancara terhadap informan di lapangan pandangan hidup orang Bali bersifat holistik menyeluruh tidak memisahkan individu dengan lingkungan. Manusia dianggap merupakan kesatuan eksistensi yang mencakup segalanya. Gejala di dalamnya merupakan sebuah perencanaan besar yang teratur dan saling berhubungan. Manusia dianggap bagian dari makrokosmos yang disebut mikrokosmos. Tiada garis pemisah yang jelas antara manusia dan dunia. Manusia selalu dilihat sebagai bagian integral dari keseluruhan alam semesta, di situ manusia mempunyai tugas dan tempat. Kehidupan di dunia hanya merupakan sebagian kecil dari kehidupan abadi dalam alam kosmik. Tugas kehidupan manusia adalah berusaha mencegah samsara atau reinkernasi, suatu kelahiran kembali secara berulang-ulang setelah kematian, sebagai pertanda samsara yang tiada akhir. Reinkarnasi menghambat sang Atman untuk kembali ke asalnya, menghambat penyatuan Brahman-Atman. Oleh karena itu dapat dipahami mengapa perhatian orang Bali tertuju pada masyarakat dan alam. Orientasi kehidupannya tatkala ia melukiskan pergaulan dan ide-idenya adalah keselarasan dan ketenteraman Dengan latar belakang ini orang Bali yang mayoritas menganut agama Hindu dilatih dan dididik untuk menjadi manusia bijaksana, mengetahui proporsi yang tepat dalam berpikir, merasa, bersikap dan tingkah laku, tidak pernah membiarkan pikiran menjadi dominan sampai menguasai seluruh kesadaran dan merusakkan keseimbangan psikologis, menghindari disharmoni dan pemborosan. Tidak berusaha untuk menguasai alam. Masyarakat Bali mempunyai banyak simbol-simbol dalam kehidupan bermasyarakat terutama terkait dengan adat-istiadat dan dalam tingkah laku pelaksanaan keagamaan sehari-hari, sekaligus orang Hindu dididik untuk selalu toleran dengan perbedaan pendapat dan menghormati pendapat orang lain, demikian menurut keterangan imforman pemuka agama maupun pemuka masyarakat.

3.1.3 Konsep Desa Kala Patra.

Konsep Desa Kala Patra ini merupakan konsepsi utama bagi kebudayaan Bali. Konsep ini pula yang menyebabkan bentuk luar agama Hindu yang dalam pelaksanan kegiatan agama tidaklah sama di setiap daerah. Meskipun ajarannya tetap sama, tetapi cara pengamalan dalam budaya pendukungnya selalu berubah dan berbeda antara satu desa dengan desa yang lainnya, sesuai dengan desa tempat, kala waktu, dan patra keadaan. Konsep ini merupakan kesadaran untuk sama dalam ajaran, tetapi berbeda dalam cara pengamalan, yang kemudian dikenal dengan istilah bhinneka tunggal ika. Di mana pun masyarakat Bali berada, mereka tidak harus menerapkan seperti adat daerahnya, namun mereka dapat menyesuaikan dengan kebiasaan adat di mana mereka berada. Seperti adat di Kota Karangasem dalam melaksanakan upacara maupun upakara yadnya maupun kegiatann upacara lainnya, sangat berbeda dengan adat yang dianut oleh masyarakat Denpasar misalnya. Demikian pula antar daerah-daerah atau kabupaten di Bali mempunyai adat kebiasaan yang berbeda dalam melakukan upacara maupun upacara keagamaan.

3.1.4 Konsep Karmaphala .

Konsep Karmaphala, merupakan hukum sebab akibat. Dengan kesadaran akan”waktu”, masyarakat Bali dibimbing untuk berpikir lurus, karena apa yang mereka alami sekarang, sesungguhnya tidak terlepas dari apa yang diperbuat sebelumnya, sedang apa yang mereka akan alami kelak sangat tergantung dari apa yang mereka kerjakan sekarang. Menurut catatan keterangan yang diperoleh dari informan tentang karma pahala dinyatakan bahwa seseorang yang berbuat baik pasti baik akan diterimanya, demikian juga sebaliknya yang berbuat buruk, buruk pula yang akan diterimanya. Tetapi dalam kehidupan di alam ini terkadang ada seseorang yang selalu berbuat baik, namun ia tetap hidupnya tetap serba kekurangan alias menderita dan sebaliknya ada seseorang yang selalu berlaku curang atau jahat, tetapi nampak hidupnya malah bahagia dan sangat berlebihan. Berkaitan dengan itu sebetulnya karmaphala itu jenisnya ada tiga macam, yaitu 1Karmaphala Sancita adalah phala dari perbuatan kita dalam kehidupan terdahulu yang belum habis dinikmati dan masih merupakan benih yang menentukan kehidupan kita yang akan datang, 2Karmaphala Prarabda adalah phala dari perbuatan kita pada kehidupan ini tanpa ada sisanya, dan 3Karmaphala Kriyamana adalah pahala yang tidak sempat dinikmati pada saat berbuat, sehingga harus diterima pada kehidupan yang akan datang. Jadi adanya orang menderita dalam hidup ini walaupun ia selalu berbuat baik, karena disebabkan oleh sancita karma karma terdahulu yang buruk yang mau tidak mau ia harus merasakan buahnya sekarang karena kelahirannya terdahulu belum habis dinikmatinya. Sebaliknya orang yang berbuat curang atau berbuat jahat dalam kesehariannya, nampaknya dalam kehidupan sekarang bahagia, karena sancita karmanya yang terdahulu baik, tetapi nantinya akan menerima pula hasil perbuatannya sekarang yang tidak baik itu. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa cepat atau lambat dalam kehidupan sekarang atau nanti, segala pahala dari perbuatan itu pasti diterima, karena hal itu sudah merupakan hukum alam.