Analisis Korelasi Analisis Data .1 Faktor Vegetasi

ketinggian yang berbeda sebesar 18,23–19,40 C. Pada lokasi tersebut tidak dijelaskan dalam penelitian ini suhu optimum dalam pembentukan sclerotia atau inisiasi primordia karena membutuhkan teknik pengamatan yang berbeda. Menurut Volk 2000, tidak semua primordia yang terbentuk akan masakmaturasi menjadi tubuh buah dewasa. Setelah inisiasi, primordia awal ditemukan akan cepat mati karena kondisi lingkungan tidak mendukung pertumbuhan untuk maturasi menjadi tubuh buah. Sehingga suhu dalam penelitian ini merupakan suhu ketika primordia sedang atau telah tumbuh menjadi tubuh buah dewasa. Berdasarkan penelitian ini, rentang suhu udara di lokasi lain pada o dijumpai tubuh buah morel tetapi dapat dijumpai tubuh buah jamur lain. Suhu tersebut berbeda secara statistik menurut uji t statistik Levene’s test. Dalam hal ini berarti ada faktor lain yang membatasi tumbuhnya tubuh buah pada lokasi lain, karena rentang suhu udara pada lokasi lain tersebut hampir sama dengan rentang suhu pada lokasi ditemukannya morel meskipun berbeda secara statistik. Hasil perhitungan korelasi Pearson Lampiran 11 antara suhu dan jumlah tubuh buah morel menunjukkan arah korelasi positif dengan nilai 0,355. Meskipun korelasinya sangat lemah karena nilai korelasinya 0,5 tetapi korelasinya nyata pada taraf signifikansi 0,05. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan semakin besar suhu akan semakin banyak jumlah tubuh buah yang tumbuh dengan batasan suhu. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Mihail et al. 2007, dalam penelitian pola spasial dan temporal tumbuhnya tubuh buah M. esculenta selama 5 tahun di hutan Missouri, Amerika Serikat, tumbuhnya tubuh buah morel berkorelasi negatif dengan suhu. Hal ini diduga terjadi karena perbedaan waktu pengamatan, suhu udara pada pengamatan ini adalah suhu udara diantara peralihan musim basah ke musim kering sedangkan dalam penelitian Mihail et al. 2007 tersebut suhu udara yang merupakan suhu udara musim semi. Perbedaan spesies dan lokasi juga dapat menyebabkan perbedaan responsitas morel terhadap faktor lingkungan. Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat kelembaban udara pada lantai hutan ditemukannya tubuh buah morel Rinjani selama pengamatan sebesar 87,14+1,99, sedangkan pada lokasi lain yang bukan merupakan habitat morel sebesar 89,09+1,66. Kelembaban udara rata-rata pada lantai hutan pada lokasi K e lemb ab an ditemukannya morel lebih rendah dibandingkan variasi kelembaban pada lokasi lain yang tidak ditemukan morel. Suhu udara merupakan fungsi negatif kelembaban udara, sehingga hal ini sesuai dengan pengamatan bahwa pada lokasi ditemukannya morel dengan suhu udara yang lebih tinggi mempunyai kelembaban udara yang lebih rendah. Lokasi Morel Lokasi Pembanding 93 92 91 90 89 88 87 86 85 84 83 82 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 Plot Gambar 9 Kelembaban udara pada masing-masing plot selama penelitian. Kelembaban udara minimal pada lantai hutan pada lokasi ditemukannya morel sebesar 83,00 dan maksimal sebesar 90,50. Kelembaban udara minimal dan maksimal pada lokasi lain yang tidak ditemukan morel sebesar 85,50 dan 92,00. Output uji t statistik Levene’s test Lampiran 8 nilai p=0,004 atau lebih kecil dari taraf signifikansi 0,05. Dengan nilai kelembaban udara pada kedua lokasi yang hampir sama tersebut berdasarkan t statistik tersebut terdapat perbedaan yang nyata kelembaban udara pada lokasi morel dengan lokasi tidak ditemukannya morel. Perbedaan variasi kelembaban udara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 9. Secara teori perbedaan kelembaban udara dapat terjadi karena perbedaan variasi suhu udara. Berdasarkan pengamatan dapat dikatakan perbedaan dapat terjadi karena perbedaan kerapatan pohon dan kerapatan tajuk antara lokasi ditemukannya morel dengan lokasi lain yang tidak ditemukan morel.