Pemanfaatan Morel dan Gangguan Manusia Simpulan

warna lebih putih pada tubuh buah dewasa. Warna semakin kuning pucat atau coklat tua pada tudung dan batang pada tubuh buah yang sudah tua. Berdasarkan morfologi ini menurut Rianto et al. 2011 morel Rinjani lebih merujuk pada M. deliciosa yang termasuk kelompok morel putih white morel . Akan tetapi, penamaan bisa saja salah karena M. deliciosa diidentifikasi tumbuh di wilayah beriklim sedangsubtropis. Menurut banyak ahli mikologi penamaan yang tepat untuk spesies jamur adalah dengan uji spora atau DNA. Gambar 15 Bagian dalam tubuh buah morel Rinjani.

5.5 Pemanfaatan Morel dan Gangguan Manusia

Morel merupakan sumberdaya yang bernilai ekonomi tinggi dan sangat enak untuk dikonsumsi yang belum banyak diketahui oleh masyarakat Indonesia. Morel telah menjadi komoditas yang mahal untuk ukuran bahan makanan di negara-negara barat. Pengambilan morel di alam telah mendatangkan penghasilan yang cukup nyata bagi masyarakat sekitar hutan sedangkan produksi secara budidaya belum bisa dikerjakan dalam skala besar. Morel juga dikategorikan sebagai jamur yang paling dicari oleh para mushroomer sebutan bagi penggemar mushroom ketika berburu jamur di hutan di negara-negara barat. Pengambilan sumberdaya jamur di kawasan TNGR oleh masyarakat sekitar dilakukan bersama hasil hasil hutan lainnya seperti pakis, rumput atau buah-buahan hutan. Akan tetapi pengambilan tersebut hanya pada ketinggian bawah dan hanya spesies jamur yang umum diketahui dan diperjualbelikan di pasar lokal seperti jamur tiram putih Pleurotus ostreatus, jamur tiram merah Pleurotus flabellatus, jamur kuping Auricularia auricula jamur kuping putih Tremella fusiformis dan jamur rayap Termytomyces spp,ada 3 spesies jamur rayap di TNGR. Keberadaan morel hanya diketahui oleh pengunjung pendaki terutama wisatawan mancanegara sehingga ancaman bagi morel Rinjani adalah pengunjung baik karena pengambilan atau ketidaksengajaan terinjak secara fisik mengingat lokasi tumbuhnya berada di kanan kiri jalur pendakian Senaru dan sangat dekat dengan pos peristirahatan yang biasa dipergunakan untuk bermalam. Gambar 16 memperlihatkan morel Rinjani yang tumbuh di jalur pendakian, visibel untuk diambil dan rentan untuk terinjak secara fisik. Lokasi tumbuh ini tidak banyak bergeser tiap tahun musim tumbuhnya. Gambar 16 Morel Rinjani lebih banyak ditemukan di jalur pendakian.

5.6 Strategi Konservasi Morel Rinjani

Berdasarkan faktor ekologi hasil penelitian dapat dirancang strategi konservasi morel Rinjani sebagai berikut :

5.6.1 Perbanyakan Morel Rinjani Insitu

Perbanyakan secara insitu mengacu pada PP No. 7 tahun 1999 pasal 8 ayat 1 sebagai bagian upaya penyelamatan spesies di dalam habitatnya. Perbanyakan morel Rinjani secara insitu dikerjakan pada lokasi-lokasi yang mempunyai karakter ekologi yang sama dengan lokasi ditemukannya morel Rinjani. Perbanyakan dikerjakan dengan alasan eksistensi spesises morel karena potensi nilai ekonomi dan lokasi habitatnya yang sekarang merupakan jalur intensif pendakian. Perbanyakan dapat dikerjakan dengan mengambil sclerotium untuk ditanam ditempat lain baik agar menghasilkan tubuh buah. Syarat-syarat ekologi disesuaikan dengan hasil penelitian. Berdasarkan ketinggian tempat, perbanyakan morel insitu dapat dikerjakan pada lokasi yang mempunyai ketinggian tempat antara 1572–1609m dpl sesuai hasil penelitian. Gambar 17 menunjukkan lokasi- lokasi dengan ketinggian tempat antara 1500–1650m dpl baik di kawasan TNGR maupun kawasan hutan lain. Lokasi yang memungkinkan adalah di bagian utara, barat dan selatan G. Rinjani seperti Gambar 17 karena karakter iklim lokasi-lokasi tersebut sama dengan lokasi morel saat ini. Penentuan lokasi yang tepat dan mudah untuk diakses dilakukan dengan cek lapangan. Gambar 17 Rencana perbanyakan morel insitu. Perbanyakan morel secara insitu merupakan cara tepat dan cepat penyelamatan spesies morel mengingat persen keberhasilan budidaya di laboratorium lingkungan terkontrol sangat kecil dibandingkan trial error perbanyakan tubuh buah morel di habitat aslinya. Isolat morel pada banyak percobaan berhasil didapatkan hanya tingkat keberhasilannya menjadi tubuh buah tidak seperti isolat-isolat jamur edible lain. Oleh karena itu perdagangan morel sampai saat ini masih mengandalkan pengambilan dari alam. Keberhasilan insitu dapat dimungkinkan ketika 3 faktor utama petumbuhan morel diketahui yaitu prakondisi, pemicu inisiasi dan pendukung pertumbuhan tubuh buah Pilz et al. 2007. Penelitian ini hanya menjawab faktor pertama yaitu kondisi yang memungkinkan morel tumbuh pada lokasinya saat ini, karena secara statistik memiliki karakteristik yang berbeda terutama faktor fisik. Penelitian ini hanya sedikit menjawab faktor kedua, bahwa pemicu inisiasi morel Rinjani karena menurunnya curah hujan, suhu dan kelembaban di lantai hutan. Seberapa besar penurununan belum dapat dijawab karena berdasarkan multivariat suhu dan kelembaban tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah tubuh buah morel. Hal ini diduga karena jumlah data yang kurang karena keterbatasan waktu dan biaya, untuk pendekatan populasi yang sebenarnya. Hal ini dapat diatasi dengan monitoring secara berkala termasuk dengan memasukkan variabel curah hujan yang sampai di lantai hutan. Faktor yang ketiga berupa kondisi yang terus- menerus mendukung pertumbuhan morel seperti tingkat kehangatan dan kelembaban serta curah hujan juga dapat diidentifikasi berdasarkan monitoring berkala tersebut.

5.6.2 Monitoring Populasi

Monitoring populasi dikerjakan untuk melihat produktivitas morel. Monitoring populasi dikerjakan untuk menumpulkan data seri time series untuk memantau kecenderungan populasi dan kelimpahan morel. Monitoring dapat dikerjakan selama 5 tahun untuk menilai bagaimana produktivitasnya, untuk dibandingkan dengan spesies morel lain bagaimana potensi pemanfaatan langsung. Monitoring dapat dikerjakan dengan membuat plot permanen pada lokasi tempat tumbuh morel. Kecenderungan populasi dan kelimpahan morel dengan dukungan bukti statistik akan penting bagi pengelolaan morel lebih lanjut. Informasi monitoring sangat dibutuhkan dalam budidaya eksitu untuk tujuan komersil.

5.6.3 Pengawasan Pengunjung

Monitoring pengunjung juga perlu dilakukan baik morel atau sumberdaya lain. Pada kenyataannya pengambilan langsung sumberdaya seperti pakis, jamur, tanaman hias atau sumberdaya lain dari kawasan masih sering terjadi dan terus menerus karena masih tingginya ketergantungan masyarakat lokal terhadap sumberdaya hutan. Secara teori, pihak pengelola seharusnya tidak mengijinkan segala sumberdaya keluar dari kawasan dalam bentuk dan tujuan apapun sesuai amanat Undang-undang No.5 Tahun 1990 pasal 21. Pemanfaatan seharusnya bersifat tidak langsung. Akan tetapi karena praktek-praktek ini telah ada bahkan sebelum dibentuk taman nasional, pelarangan tidak akan menyelesaikan masalah. Pengelolaan sebaiknya dilakukan dengan meregulasi cara-cara pemanenan dan mengusahakan teknik pembudidayakan yang dapat diaplikasikan ke masayarakat lokal. Identifikasi masyarakat lokal yang secara langsung memanfaatkan sumberdaya kawasan termasuk jamur perlu dilakukan sebagai bagian dari pengaturan pemanenan. Upaya ini dilakukan dengan tujuan untuk lebih mengatur eksistensi sumberdaya dan keberlajutan pemanfaatan di masa mendatang serta meminimalisir pihak-pihak lain yang akan mengambil kesempatan di luar masyarakat lokal. Monitoring pengunjung juga dilakukan dalam rangka pengamanan dan perlindungan sumberdaya secara umum. Pengecekan terhadap barang-barang bawaan pengunjung ketika keluar masuk kawasan seharusnya dikerjakan untuk meminimalisir pengambilan langsung sumberdaya. Hal yang ditakutkan adalah pencurian sumberdaya oleh peneliti asing tanpa ijin khusus penelitian. Karena dengan semakin canggihnya teknologi sampel plasma nutfah mungkin hanya akan sebesar kotak korek api bahkan lebih kecil.

5.6.3 Budidaya Eksitu

Budidaya eksitu menjadi tujuan konservasi morel jangka panjang mengingat keberhasilan budidaya morel dalam lingkungan terkontrol sangat kecil. Teknik budidaya eksitu morel telah lama dikerjakan di negara-negara barat. Akan tetapi belum menunjukkan hasil yang maksimal. Budidaya eksitu belum dapat diproduksi dalam skala besar mengingat biaya produksi dan persen keberhasilan pertumbuhan morel. Produktivitas morel di alam juga masih melimpah meskipun musimnya tergolong sempit hanya beberapa waktu bulan sehingga masyarakat di India atau Amerika Utara atau belahan bumi lain lebih menyukai pengambilan langsung dari alam Pilz et al. 2007. Budidaya eksitu morel rinjani dapat dikerjakan ketika data dasar tersebut telah ada. Budidaya eksitu selain untuk tujuan eksistensi spesies morel Rinjani, juga demi tujuan yang lebih besar yaitu mengurangi ketergantungan langsung masyarakat terhadap sumberdaya hutan baik jamur maupun sumberdaya lain. Teknik budidaya yang aplikatif bagi masyarakat dapat dirumuskan kemudian. VI SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

1. Tipe habitat morel Rinjani M. aff. deliciosa berupa hutan pegunungan atas pada ketinggian antara 1572–1609m dpl, kelerengan antara 7,94– 54,00, arah kelerengan 4,00-360,00 o . Spesies pohon yang dominan pada lokasi tersebut adalah Anomianthus auritus klak, Syzygium polyanthum jukut, Weinmannia sp. sarangan, Uropyhllum macrophyllum kasol, dan Piper sp. saes. Masa hidup tubuh buah 15–20 hari, tumbuh pada suhu dan kelembaban udara di bawah tegakan antara 18,53–19,6 o C dan 83,00–90,50, intensitas cahaya matahari 490,00–620,00lux. Morel tumbuh pada tanah Mediteran coklat dengan tekstur berlempung halus, pH 7, dengan kadar CN sedang 12,16, kadar P yang rendah 12,53 ppm dan kadar Ca sedang 10,22 me100g. Tubuh buah morel Rinjani akan muncul pada saat transisi musim basah ke musim kering, pada saat kadar kelembaban lantai hutan berubah dari tinggi sampai berangsur-angur konstan. 2. Suhu udara, kelembaban udara, intensitas cahaya, ketinggian tempat dan kerapatan pohon merupakan faktor lingkungan yang berkorelasi terhadap jumlah tubuh buah morel Rinjani sedangkan intensitas cahaya merupakan faktor penentu jumlah tubuh buah morel Rinjani. 3. Konservasi morel Rinjani dapat dikerjakan melalui perbanyakan pada lokasi lain yang identik secara ekologi, monitoring populasi dan produktivitasnya dan pengembangan budidaya eksitu.

6.2 Saran