Kondisi Fisik Tempat Tumbuh Morel Rinjani

Minimum- Minimum- Arah LerengAspect 124,81+123,62 4,00-360,00 69,61+117,28 0,00-340,50 25 V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Kondisi Fisik Tempat Tumbuh Morel Rinjani

Ekosistem hutan di wilayah Senaru merupakan bagian dari ekosistem hutan hujan pegunungan yang terbentang antara ketinggian 800–2500m dpl. Vegetasi penyusun ekosistem tersebut bervariasi berdasarkan ketinggian. Pada beberapa ketinggian tertentu jenis-jenis seperti pandan Pandanus tectorius, goak Ficus spp, bak-bakan Engelhardia spicata, cemara gunung Casuarina jughuhniana membentuk kelompok vegetasi yang khas. Data hasil pengukuran faktor fisik berdasarkan pengamatan lapangan dari bulan Maret–April 2012 disajikan dalam Tabel 3, dan hasil uji analisis tanah di Laboratorium Tanah IPB disajikan dalam Tabel 4, data lengkap hasil pengamatan dan output statistik deskriptifnya disertakan dalam Lampiran 1, Lampiran 2 dan Lampiran 12. Tabel 3 Variabel fisik pada lokasi ditemukan morel dan lokasi tidak ditemukan morel Lokasi Morel Lokasi Pembanding Variabel X Maksimum X Maksimum Suhu o C 18,83+0,27 18,52-19,60 18,59+0,24 18,23-19,40 Kelembaban udara 87,14+1,99 83,00-90,50 89,09+1,66 85,50-92,00 Intensitas cahaya lux 541,43+45,039 490,00-620,00 916,67+32,38 850,00-980,00 Kelembaban tanah 3,46+0,79 1,50-4,50 3,69+0,56 3,00-4,50 skala 1-10 Ketinggian tempat m 1584,64+10,59 1572,00-1609,00 1772,09+53,25 1676,00-1846,00 Kemiringan 28,50+17,06 7,94-54,00 29,53+12,22 8,06-50,32 o Keterangan : X = Rata-rata dan standar deviasi Minimum- Maximum = Nilai maksimum minimum Tabel 3 memperlihatkan bahwa variasi suhu udara pada lantai hutan ditemukannya tubuh buah morel Rinjani selama pengamatan sebesar 18,83+0,27 o C, sedangkan pada lokasi lain yang bukan merupakan habitat morel sebesar 18,59+0,24 o C . Suhu udara pada tempat terbuka pada waktu yang sama sebesar 27,00+0,69 o C. Suhu udara di tempat terbuka tersebut merupakan suhu udara yang diukur di pos pengamatan hujan terdekat yaitu Pos Kediri, Lombok Tengah. Suhu udara rata-rata pada lantai hutan pada lokasi ditemukannya morel lebih tinggi dibandingkan variasi suhu pada lokasi lain yang tidak ditemukan morel. Suhu udara pada lantai hutan baik lokasi ditemukannya morel maupun tidak, lebih rendah dibandingkan tempat terbuka. Hal ini sesuai dengan gradien suhu vertikal atau lapse rate bahwa kenaikan tiap 100m ketinggian tempat akan menurunkan suhu sebesar +0,65 o C. Tabel 4 Variabel tanah pada lokasi ditemukan morel dan lokasi tidak ditemukan morel No Variabel Lokasi Morel Lokasi Pembanding 1 Jenis tanah Mediteran coklat Mediteran coklat 2 Tekstur tanah pasir debu liat Pasir 37,83 debu 40,11 Liat 22,06 Berlempung halus Pasir 50,08 debu 20,01 liat 29,91 Lempung liat berpasir 3 Kadar C tanah 7,30 10,98 4 Kadar N tanah 0,60 0,79 5 Rasio CN 12,16 13,84 5 Kadar P tanah ppm 12,53 17,27 6 Kadar Ca me100g 10,22 11,55 7 pH tanah 7 7 Berdasarkan uji t statistik Levene’s test Lampiran 8 membuktikan perbedaan yang nyata nilai p=0,006 atau lebih kecil dari taraf signifikansi 0,05 antara suhu udara rata-rata pada lantai hutan lokasi ditemukannya morel dengan suhu rata-rata pada lokasi lain yang tidak ditemukan morel maupun suhu rata-rata pada tempat terbuka. Perbedaan variasi suhu lebih jelas terlihat pada Gambar 8. Berdasarkan hasil penelitian suhu udara minimal sebesar 18,53 o C dan suhu udara maksimal sebesar 19,6 o C pada lokasi ditemukannya morel dari 14 plot pengamatan. Suhu udara minimal sebesar 18,23 o C dan suhu udara maksimal sebesar 19,40 o C pada lokasi lain yang tidak ditemukan morel dari 21 plot pengamatan. Suhu udara minimal sebesar 25 o C dan suhu udara maksimal 28,3 o C pada tempat terbuka pada waktu yang sama. Menurut sebuah studi di Australia Stott Mohammed 2004 pertumbuhan miselia merupakan fungsi dari suhu. Sclerotia M. esculenta dapat diproduksi pada suhu 5–30 o C, dan suhu optimum Suhu ⁰C produksi antara 20–25 o C. Primordia baru akan terbentuk pada suhu antara 10- 25 o C. Pada studi yang lain, suhu udara pada masa inisiasi primordia M. rotunda sampai menjadi ukuran utuh sekitar 5–16 o C Pilz et al. 2007. Pada keadaan suhu udara di atas 16 o C juga dapat terjadi pertumbuhan tersebut tetapi menghambat pembentukan primordia baru. Lokasi Morel Lokasi Pembanding 20 19,5 19 18,5 18 17,5 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 Plot Gambar 8 Suhu udara pada masing-masing plot selama penelitian. Sebuah studi morel di habitat alam Hutan Missouri, Amerika Serikat selama 5 tahun menyatakan bahwa suhu udara lantai hutan pada habitat M. esculenta saat musim berbuah antara 0,3–31,8 o C Mihail et al. 2007. Dalam penelitian lain di India beberapa spesies morel kuning dan morel hitam, tubuh buah morel tumbuh pada suhu 15–24 o C Singh et al. 2004. Suhu dalam hal ini merupakan faktor penting dalam pertumbuhan morel atau jamur pada umumnya Cooke 1979. Dalam kaitannya dengan suhu, jamur bertoleransi dan tumbuh secara optimum pada suhu tertentu. Kebanyakan jamur termasuk mesofili yang tumbuh pada suhu 10–40 o C, dan tumbuh optimum pada suhu antara 25–35 o C Cooke 1979. Kebanyakan jamur memiliki suhu minimum untuk tidak tumbuh dan batasan suhu maksimum untuk tidak aktif. Dalam penelitian ini didapatkan rentang suhu 18,53–19,6 o C, dapat dikatakan bahwa suhu tersebut merupakan suhu optimum dalam pertumbuhan tubuh buah morel Rinjani. Akan tetapi tidak bisa ketinggian yang berbeda sebesar 18,23–19,40 C. Pada lokasi tersebut tidak dijelaskan dalam penelitian ini suhu optimum dalam pembentukan sclerotia atau inisiasi primordia karena membutuhkan teknik pengamatan yang berbeda. Menurut Volk 2000, tidak semua primordia yang terbentuk akan masakmaturasi menjadi tubuh buah dewasa. Setelah inisiasi, primordia awal ditemukan akan cepat mati karena kondisi lingkungan tidak mendukung pertumbuhan untuk maturasi menjadi tubuh buah. Sehingga suhu dalam penelitian ini merupakan suhu ketika primordia sedang atau telah tumbuh menjadi tubuh buah dewasa. Berdasarkan penelitian ini, rentang suhu udara di lokasi lain pada o dijumpai tubuh buah morel tetapi dapat dijumpai tubuh buah jamur lain. Suhu tersebut berbeda secara statistik menurut uji t statistik Levene’s test. Dalam hal ini berarti ada faktor lain yang membatasi tumbuhnya tubuh buah pada lokasi lain, karena rentang suhu udara pada lokasi lain tersebut hampir sama dengan rentang suhu pada lokasi ditemukannya morel meskipun berbeda secara statistik. Hasil perhitungan korelasi Pearson Lampiran 11 antara suhu dan jumlah tubuh buah morel menunjukkan arah korelasi positif dengan nilai 0,355. Meskipun korelasinya sangat lemah karena nilai korelasinya 0,5 tetapi korelasinya nyata pada taraf signifikansi 0,05. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan semakin besar suhu akan semakin banyak jumlah tubuh buah yang tumbuh dengan batasan suhu. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Mihail et al. 2007, dalam penelitian pola spasial dan temporal tumbuhnya tubuh buah M. esculenta selama 5 tahun di hutan Missouri, Amerika Serikat, tumbuhnya tubuh buah morel berkorelasi negatif dengan suhu. Hal ini diduga terjadi karena perbedaan waktu pengamatan, suhu udara pada pengamatan ini adalah suhu udara diantara peralihan musim basah ke musim kering sedangkan dalam penelitian Mihail et al. 2007 tersebut suhu udara yang merupakan suhu udara musim semi. Perbedaan spesies dan lokasi juga dapat menyebabkan perbedaan responsitas morel terhadap faktor lingkungan. Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat kelembaban udara pada lantai hutan ditemukannya tubuh buah morel Rinjani selama pengamatan sebesar 87,14+1,99, sedangkan pada lokasi lain yang bukan merupakan habitat morel sebesar 89,09+1,66. Kelembaban udara rata-rata pada lantai hutan pada lokasi K e lemb ab an ditemukannya morel lebih rendah dibandingkan variasi kelembaban pada lokasi lain yang tidak ditemukan morel. Suhu udara merupakan fungsi negatif kelembaban udara, sehingga hal ini sesuai dengan pengamatan bahwa pada lokasi ditemukannya morel dengan suhu udara yang lebih tinggi mempunyai kelembaban udara yang lebih rendah. Lokasi Morel Lokasi Pembanding 93 92 91 90 89 88 87 86 85 84 83 82 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 Plot Gambar 9 Kelembaban udara pada masing-masing plot selama penelitian. Kelembaban udara minimal pada lantai hutan pada lokasi ditemukannya morel sebesar 83,00 dan maksimal sebesar 90,50. Kelembaban udara minimal dan maksimal pada lokasi lain yang tidak ditemukan morel sebesar 85,50 dan 92,00. Output uji t statistik Levene’s test Lampiran 8 nilai p=0,004 atau lebih kecil dari taraf signifikansi 0,05. Dengan nilai kelembaban udara pada kedua lokasi yang hampir sama tersebut berdasarkan t statistik tersebut terdapat perbedaan yang nyata kelembaban udara pada lokasi morel dengan lokasi tidak ditemukannya morel. Perbedaan variasi kelembaban udara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 9. Secara teori perbedaan kelembaban udara dapat terjadi karena perbedaan variasi suhu udara. Berdasarkan pengamatan dapat dikatakan perbedaan dapat terjadi karena perbedaan kerapatan pohon dan kerapatan tajuk antara lokasi ditemukannya morel dengan lokasi lain yang tidak ditemukan morel. Kerapatan tajuk dapat menjadi penghalang seberapa besar intensitas cahaya matahari yang sampai ke lantai hutan yang akan berpengaruh terhadap iklim mikro di bawah tegakan, termasuk suhu udara, kelembaban udara dan kelembaban tanah. Kelembaban udara menggambarkan kandungan uap air di udara pada suatu waktu. Kelembaban udara menjadi faktor penting yang menentukan besaran kandungan air di dalam tanah. Air bersama suhu merupakan faktor penting pemicu dan kondisi yang dibutuhkan untuk inisiasi tubuh buah dan maturasinya. Berdasarkan hasil perhitungan korelasi Pearson taraf kepercayaan 99 sebesar –0,434 Lampiran 11. Korelasi bersifat negatif dan lemah karena nilainya 0,5. Sehingga dapat dikatakan bahwa dengan semakin besar kelembaban udara semakin sedikit jumlah tubuh buah morel yang dapat tumbuh, pada rentang nilai kelembaban. Hasil ini sama seperti yang dikerjakan dengan penelitian yang dilakukan Mihail et al. 2007, tumbuhnya tubuh buah M. esculenta berkorelasi negatif dengan kelembaban udara. Koleksi morel dalam sebuah studi di Wellington, Amerika Serikat menunjukkan hasil bahwa produksi tubuh buah M. elata di habitat alam ditemukan pada rentang kelembaban sekitar 75–80 Barness Wilson 1998. Dalam penelitian lain di India beberapa spesies morel kuning dan morel hitam, tubuh buah morel tumbuh pada kelembaban antara 68–86 Singh et al. 2004. Lebih detail dijelaskan bahwa masing-masing spesies tumbuh pada kelembaban tertentu pada saat yang sama. M. esculenta tumbuh pada kelembaban udara sekitar 68 sedangkan M. hybrida membutuhkan kelembaban udara sekitar 86 pada lokasi lain pada waktu yang sama. Seperti halnya suhu tiap jenis morel merespon kelembaban udara pada rentang tertentu untuk pertumbuhan tubuh buahnya. Kelembaban udara lantai hutan merupakan salah satu faktor abiotik yang menentukan pertumbuhan morel. Primordia awal lebih banyak mati dan tidak menjadi tubuh buah dewasa ketika kelembaban terlalu rendah atau terlalu basah Volk, 2000. Kelembaban udara berkaitan erat dengan curah hujan. Kelembaban udara berkorelasi positif dengan curah hujan. Curah hujan merupakan faktor utama perimbangan kadar air di lantai hutan maupun di dalam tanah. Curah hujan mempunyai pengaruh besar terhadap produksi tubuh buah baik morel maupun Su hu o C Cur a hhu ja n mm J u m lahm o rel makrofungi lain Gates 2009, Geho 2007, Kaul 1997, Pilz et al. 2007, Pinna et al. 2010. Peran hujan penting dalam mempengaruhi kadar air dalam tanah dan udara dalam pertumbuhan dan produksi tubuh buah makrofungi. Berdasarkan Gambar 10 dapat dilihat bahwa dengan semakin turunnya curah hujan pada tempat terbuka jumlah tubuh buah morel Rinjani yang ditemukan semakin meningkat. Hal ini dapat dikatakan bahwa morel akan memproduksi tubuh buah lebih banyak pada saat peralihan dari kondisi basah ke kondisi kering. Morel Hujan tempat terbuka Suhu lantai hutan Suhu tempat terbuka 30 25 20 15 10 5 17 ‐18032012 25 ‐26032012 04‐08042012 15 ‐18042012 25 ‐29042012 Periode pengamatan bulan Maret‐April 2012 Gambar 10 Produksi tubuh buah morel dikaitkan dengan suhu lantai hutan, suhu tempat terbuka dan curah hujan tempat terbuka. Efek curah hujan dan jumlah hari hujan terhadap keterjumpaan jumlah tubuh buah morel dapat lebih terlihat jika dibangkitkan data time series tahunan curah hujan tempat terbuka dan curah hujan di bawah tegakan. Dalam sebuah studi, Mihail et al. 2007 membuktikan bahwa curah hujan 10mm berkorelasi positif terhadap kelimpahan morel M. esculenta. Dalam studi lain Masaphy 2011 juga menyebutkan bahwa tubuh buah morel secara temporal dikontrol oleh curah hujan. Dalam penelitian tersebut disebutkan tubuh buah M. conica dan M. elata ditemukan muncul pada bulan Februari setelah terjadi beberapa hari hujan dengan curah hujan tinggi diikuti beberapa hari tanpa hujan. Gelombang kedua munculnya tubuh buah M. conica dan M. elata terjadi lagi pada bulan Maret setelahnya ketika terjadi curah hujan tinggi dalam beberapa hari diikuti beberapa hari tanpa hujan. Fenomena ini seperti fenomena munculnya tubuh buah morel Rinjani. Jika dikaitkan dengan curah hujan dan suhu lantai hutan, fenomena munculnya morel Rinjani seperti dalam Gambar 10 dan Gambar 11. Gambar 11 Profil curah hujan dan suhu udara dikaitkan dengan musim morel. Berdasarkan Gambar 10 dan Gambar 11 dapat dilihat bahwa dengan semakin turunnya curah hujan jumlah tubuh buah morel Rinjani yang ditemukan semakin meningkat. Pada kondisi tersebut jumlah curah hujan dan suhu udara semakin menurun dan menjadi konstan untuk beberapa waktu. Pada kondisi tersebut dapat dikatakan morel memproduksi tubuh buah lebih banyak pada saat peralihan dari kondisi basah ke kering. Fakta ini sama seperti yang dikerjakan Mihail et al. 2007 pada pengamatan fenologi berbuah M. esculenta maupun Masaphy 2011 dalam pengamatan fenologi berbuah M. conica dan M. elata tersebut. Pembentukan tubuh buah morel akan terinisiasi pada saat curah hujan berangsur-angsur sedikit sampai konstan tidak ada hujan. Curah hujan mempengaruhi jumlah air dalam tanah. Pada saat jumlah air dalam tanah berangsur-angsur menurun atau tanah mulai kehilangan kelembabannya, tubuh buah mulai diproduksi Geho 2007, Masaphy 2011, Pilz et al. 2007. Tubuh buah akan berhenti diproduksi ketika kondisi tanah kering konstan. Oleh karena itu musim tumbuh morel hanya berlangsung singkat beberapa periode waktu. Seperti yang diperlihatkan dalam Gambar 11, fenologi berbuah morel Rinjani hanya sekitar 3 bulan. Pada pengamatan sebelumnya musim berbuah morel Rinjani sekitar bulan April–Juni, sedangkan dalam penelitian ini berbuah sekitar Maret– Mei. Pergeseran waktu tersebut dapat terjadi karena perubahan kondisi fisik iklim mikro pada habitat morel Rinjani atau perubahan iklim global yang mempengaruhi iklim mikro secara tidak langsung. Pilz et al. 2007 menggolongkan faktor-faktor yang mempengaruhi fenologi terbentuknya tubuh buah morel ke dalam tiga grup besar. Faktor pertama adalah kondisi yang memudahkan peristiwa terbentuknya tubuh buah morel secara masal seperti cadangan makanan, berubahnya kandungan kimia dan pH tanah, kalah bersaing dengan mikroorganisme tanah yang lain atau tercucinya ketersediaan hara. Faktor yang kedua adalah faktor fisik pemicu inisiasi berbuah morel seperti perubahan suhu dan kelembaban. Faktor yang ketiga adalah kondisi yang terus-menerus mendukung pertumbuhan tubuh buah morel seperti tingkat kehangatan dan kelembaban serta curah hujan. Faktor fisik lain dalam penelitian ini adalah intensitas cahaya matahari. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa intensitas cahaya matahari yang sampai ke lantai hutan selama penelitian pada lokasi morel rata-rata 541,43+45,039lux dengan rentang antara 490,00-620,00lux. Intensitas cahaya matahari pada lokasi tidak ditemukan morel rata-rata 916,67+32,38lux antara 850,00-980,00lux. Intensitas cahaya matahari pada tempat terbuka di atas 2000lux. Gambar 12 memperlihatkan perbedaan intensitas cahaya pada lokasi ditemukannya morel dengan lokasi yang tidak ditemukan morel secara visual. Berdasarkan uji t statistik Levene’s test Lampiran 8 membuktikan perbedaan yang nyata taraf kepercayaan 95 antara intensitas cahaya pada lokasi habitat morel dengan lokasi bukan habitat morel. Perbedaan yang jelas antara intensitas cahaya matahari pada kedua lokasi diduga karena kerapatan pohon di lokasi habitat morel lebih rapat dibandingkan dengan lokasi bukan Lux habitat morel sehingga jumlah cahaya yang diterima lantai hutan lebih rendah pada lokasi habitat morel. Berdasarkan perhitungan analisis vegetasi Lampiran 1 dan Lampiran 2, densitas pohon pada lokasi habitat morel sebesar 78,23m 2 ha, sedangkan densitas pohon pada lokasi bukan habitat morel lebih rendah sebesar 47,47m 2 ha. Lokasi Morel Lokasi Pembanding 1050 1000 950 900 850 800 750 700 650 600 550 500 450 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 Plot Gambar 12 Intensitas cahaya matahari pada masing-masing plot selama penelitian. Jamur pada umumnya membutuhkan kisaran intensitas cahaya matahari tertentu dalam pertumbuhan tubuh buah. Asnah 2010 menemukan tubuh buah jamur makroskopis di hutan Tangkahan, Sumatera Utara tumbuh pada intensitas cahaya sekitar 400lux. Tampubolon 2010 menemukan tubuh buah jamur makroskopis di hutan Bukit Lawang, Sumatera Utara tumbuh pada intensitas cahaya sekitar 400lux. Menurut Zhanxi 2004, intensitas cahaya yang optimum untuk pertumbuhan tubuh buah jamur adalah 200 lux. Barness Wilson 1998 menemukan M. elata di Wellington, Amerika Serikat tumbuh pada intensitas cahaya pada kisaran 10–250lux. Setiap spesies membutuhkan kisaran intensitas cahaya yang berbeda untuk pertumbuhan tubuh buah. Peranan cahaya matahari telah dibuktikan oleh banyak para ahli mikologi dalam inisiasi dan proses pematangan tubuh buah pada banyak spesies makrofungi Kaul 1997. Pertumbuhan batang atau pembentukan spora sangat dipengaruhi oleh cahaya matahari. Menurut hasil uji korelasi Pearson antara intensitas cahaya dan jumlah tubuh buah sebesar -0,883 Lampiran 11. Korelasi bersifat sangat kuat karena 0,5 dan sangat nyata pada taraf kepercayaan 99. Korelasi bernilai negatif yang menandakan semakin besar intensitas cahaya semakin sedikit jumlah tubuh buah morel yang tumbuh, dalam kisaran intensitas cahaya di atas. Hasil ini sesuai dengan Asnah 2010 dan Tampubolon 2010 bahwa intensitas cahaya berkorelasi negatif dengan jumlah tubuh buah jamur makroskopis yang ditelitinya. Stott Mohammed 2004 menyebutkan bahwa intensitas cahaya matahari dimungkinkan menjadi pemicu kondisi terproduksinya tubuh buah M. esculenta. Kelembaban tanah pada lokasi morel pada skala rata-rata 3,46+0,79 dengan kisaran antara 1,50–4,50 kering sampai sedang. Sedangkan kelembaban tanah pada lokasi pembanding pada skala rata-rata 3,69+0,56 dengan kisaran 3,00–4,50 sedang. Kondisi ini mengindikasikan bahwa tubuh buah morel atau pun jamur makroskopis lain yang ditemukan, membutuhkan tanah lapisan atas sebagai subtratnya dengan kondisi kelembaban cukup kering sampai sedang. Hasil uji t statistik Levene’s test Lampiran 8 menunjukkan bahwa kedua lokasi sama dalam tingkat kelembaban tanah. Uji korelasi Pearson juga menghasilkan tidak ada korelasi nyata antara kelembaban tanah dengan jumlah tubuh buah morel. Hal ini berbeda dengan studi yang dikerjakan Singh et al. 2004 atau Mihail et al. 2007, bahwa kelembaban tanah merupakan faktor penting nyata berpengaruh terhadap tumbuhnya tubuh buah sama halnya dengan kelembaban udara di lantai hutan. M. esculenta membutuhkan kelembaban tanah yang cukup sekitar 68- 72,8 sedang sampai basah untuk pertumbuhan tubuh buahnya sedangkan M. hybrida membutuhkan paling tidak kelembaban tanah sekitar 86 basah. Perbedaan spesies dan lokasi dan ketelitian alat alat pengukur kelembaban manual diduga menyebabkan perbedaan hasil. Faktor-faktor fisiografis yang terkait dengan tempat tumbuh adalah ketinggian tempat, kemiringan dan arah lereng aspect. Morel Rinjani ditemukan pada ketinggian tempat berkisar antara 1572–1609m dpl Gambar 13. Menurut pengamatan sebelumnya morel Rinjani tidak pernah ditemukan pada lokasi di bawah atau di atas lokasi pengamatan tersebut Rianto et al. 2011. Lokasi lain yang dipilih sebagai pembanding komponen habitat morel merupakan lokasi yang berada pada ketinggian antara 1676–1846m dpl. Lokasi tersebut merupakan habitat makrofungi spesies lain seperti Coltricia cinnamomea, Coprinus sp 2 dan Clavaria vermicularis Lampiran 12. Spesies-spesies lain yang juga ditemukan seperti Coltricia perennis, Marasmius sp2, Inocybe sp, Hygrocybe miniata, Hygrocybe sp, Clavulinopsis fusiformis, Coprinus sp, tetapi frekuensi dan jumlahnya tidak sebanyak 3 spesies yang disebut sebelumnya. Sehingga penempatan plot dipilih pada lokasi ditemukannya tubuh buah Coltricia cinnamomea, Coprinus sp 2 dan Clavaria vermicularis. Semua spesies tersebut adalah jamur tanah kecuali Coltricia perennis yang tumbuh di kayuranting lapuk. Berdasarkan hasil uji korelasi Pearson sebesar –0,754 antara ketinggian tempat dengan jumlah tubuh buah morel menunjukkan bahwa korelasi bersifat kuat dan nyata pada taraf kepercayaan 99 Lampiran 11. Korelasi bernilai negatif yang berarti semakin tinggi ketinggian tempat semakin sedikit jumlah tubuh buah yang tumbuh, dalam kisaran ketinggian tempat. Tabel 5 Variabel kemiringan dan arah lereng pada lokasi ditemukan morel dan lokasi tidak ditemukan morel Frekuensi Persentase Junlah Individu Arah Lereng Lokasi Morel Pembanding Lokasi Morel Pembanding Lokasi Morel Pembanding 0-90⁰ 8 17 57,14 80,95 41 158 90-180⁰ 3 1 21,43 4,76 11 18 180-270⁰ 270-360⁰ 3 3 21,43 14,29 17 35 14 21 69 211 Frekuensi Persentase Junlah Individu Kemiringan Lokasi Morel Pembanding Lokasi Morel Pembanding Lokasi Morel Pembanding 0-8 1 7,14 4 8-15 3 2 21,43 9,52 18 9 15-25 3 7 21,43 33,33 13 79 25-45 5 8 35,71 38,09 25 79 45 2 4 14,28 19,05 9 44 14 21 69 211 Variasi kemiringan dan arah lereng tidak jauh berbeda antara lokasi ditemukannya morel dengan lokasi pembanding. Variasi kemiringan lokasi ditemukannya morel antara 7,94–54,00 dan antara 8,06–50,32 pada lokasi pembanding. Arah lereng antara 4,00–360,00 o pada lokasi morel dan 0,00– 340,50 o pada lokasi pembanding. Menurut hasil uji t statistik Levene’s test Lampiran 8 menunjukkan bahwa kedua lokasi tidak berbeda nyata baik kemiringan dan arah lereng. Jika melihat prosentasinya Tabel 5 sebagian besar morel 57,14 maupun jamur makroskopis lain 80,95 ditemukan pada arah lereng 0-90 o atau berada pada arah Utara-Timur, searah dengan arah matahari terbit. Pada faktor kemiringan, tubuh buah morel Rinjani ditemukan merata pada semua rentang kemiringan sedangkan jamur makroskopis lain pada lokasi pembanding ditemukan lebih banyak pada kemiringan agak curam sampai curam 15–25 dan 25–45. Gambar 13 Lokasi plot ditemukannya morel berdasar ketinggian tempat. Hal tersebut seperti hasil yang dikerjakan Yang 2004 dalam penelitiannya tentang distribusi Tricholoma matsutake di China dikaitkan dengan faktor lingkungan, bahwa T. matsutake di alam lebih banyak ditemukan lebih banyak pada arah lereng utara dan kemiringan 11–20. Lebih lanjut disebutkan bahwa faktor fisiografis seperti ketinggian tempat, kemiringan dan aspect mempengaruhi distribusi jamur makroskopis secara tidak langsung yaitu dalam mempengaruhi iklim mikro. Akan tetapi, belum ada laporan studi yang membuktikan bahwa tubuh buah morel berkaitan secara nyata terhadap faktor fisiografis. Tabel 6 Perbandingan profil kesuburan tanah pada morel Rinjani, M. elata dan M. esculentaM. hybrida No Variabel Morel Rinjani M. elata M. esculenta M. hybrida 1 Tekstur tanah Berlempung halus Lempung Lempung berpasir 2 Kadar C tanah 6,30-8,81 sangat tinggi 2,2-11 sedang- sangat tinggi 3,2-7,9 tinggi-sangat tinggi 3 Kadar N tanah 0,54-0,70 tinggi 0,11-0,5 rendah- sedang 0,2-0,4 sedang 4 Kadar P tanah ppm 9,2-15,9 ppm rendah 5 ppm rendah 0,2-0,9 rendah 5 Kadar Ca me100g 9,77-10,97 me100g sedang 7,8-23 me100g sedang-sangat 2,0-6,4 ppm sedang tinggi 6 pH tanah 7 netral 5,4-6 asam 5,8-7,0 asam-netral Hasil pengamatan variabel tanah disajikan dalam Tabel 4. Lokasi ditemukannya morel merupakan lokasi dengan kadar CN, P dan Ca yang lebih rendah daripada lokasi pembanding. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa tingkat kesuburan tanah pada lokasi morel lebih rendah daripada lokasi pembanding. Akan tetapi jika dibandingkan dengan penelitian sejenis Tabel 6 Singh et al. 2004, Barness Wilson 1998 kandungan hara pada lokasi habitat morel sudah termasuk tinggi, atau memang morel tidak membutuhkan kadar hara yang terlalu tinggi seperti pada lokasi bukan habitat morel. Singh et al. 2004 juga membandingkan kandungan hara lain pada lokasi lain, bahwa lokasi habitat morel memiliki kandungan hara lebih tinggi dari pada lokasi yang bukan habitat morel. Akan tetapi kandungan hara M. esculentaM. hybrida pada penelitian Sigh tersebut jika dibandingkan dengan kandungan hara tanah tempat tumbuh tubuh buah morel Rinjani lebih rendah untuk kadar C, N, P, maupun kadar Ca. Artinya morel Rinjani membutuhkan hara makro yang lebih tinggi dibandingkan M. esculentaM. hybrida berdasar penelitian Singh et al. 2004 tersebut. Dalam penelitian lain M. elata menunjukkan variasi kebutuhan hara makro yang lebih lebar dalam pertumbuhan tubuh buahnya Tabel 6Barness Wilson 1998. Pilz et al. 2007 menyebutkan bahwa kandungan hara merupakan kondisi yang memudahkan peristiwa berbuah morel secara masal. Kandungan hara makro dan mikro yang cukup dimungkinkan menjadi faktor penentu induksi berbuah morel. Akan tetapi seberapa optimum kadar hara dalam tanah terutama yang dibutuhkan dalam pertumbuhan tubuh buah morel belum ada penelitian yang membuktikan. Menurut beberapa studi morel di habitat alam, morel tumbuh pada tanah dengan porositas dan aerasi yang cukup tinggi atau adanya kandungan fraksi pasir yang cukup dominan Barness Wilson 1998, Geho 2007, Pilz et al. 2007, Singh et al. 2004. Dalam penelitian ini dibuktikan dengan adanya kandungan pasir dan debu 37,83 dan 40,11 lebih banyak dibandingkan dengan fraksi liat 22,06. Dalam penelitian lain tubuh buah M. esculenta dan M. angusticeps tumbuh pada tanah dengan fraksi pasir yang lebih banyak dari pada fraksi liat dan debu Singh et al. 2004 Nilai pH tanah pada lokasi habitat morel dan lokasi bukan habitat morel menunjukkan hasil sama sebesar 7 netral. pH tanah membatasi sebaran morel dalam pertumbuhan tubuh buahnya. Banyak penelitian melaporkan kisaran pH tanah dalam habitat morel di alam antara 5–7 atau morel tumbuh dalam tanah yang bersifat asam sampai netral Barness Wilson 1998, Geho 2007, Pilz et al. 2007, Singh et al. 2004. Laporan studi yang melaporkan morel dapat tumbuh pada pH yang bersifat basa sangat sedikit. Berdasarkan Tabel 6, tubuh buah M. esculentaM. hybrida tumbuh pada pH tanah dengan pH bersifat asam-netral, sedangkan M. elata ditemukan pada pH lebih asam. Kemampuan tubuh buah morel bertoleransi terhadap pH tanah bersifat spesifik tergantung lokasi dan spesies Pilz et al. 2007. Faktor-faktor lingkungan tidak serta merta berdiri sendiri mempengaruhi keberadaan morel. Faktor-faktor lingkungan secara simultan membentuk karakteristik habitat yang membedakan dengan lokasi lain Odum 1993. Untuk masalah ini akan dibahas dalam analisis multivariat bahasan selanjutnya.

5.2 Faktor Vegetasi