The Ecology of Rinjani Morel Mushroom (Morchella aff. deliciosa) in Gunung Rinjani National Park-West Nusa Tenggara
EKOLOGI MOREL RINJANI (
Morchella
aff.
deliciosa)
DI TAMAN NASIONAL GUNUNG RINJANI
NUSA TENGGARA BARAT
TEGUH
RIANTO
SEKOLAH
PASCASARJANA
INSTITUT
PERTANIAN
BOGOR
BOGOR
2012
(2)
PERNYATAAN
MENGENAI
TESIS
DAN
SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Ekologi Morel Rinjani (Morchella
aff. deliciosa) di Taman Nasional Gunung Rinjani-Nusa Tenggara Barat adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Bogor, September 2012
Teguh Rianto
(3)
ABSTRACT
TEGUH RIANTO
.
The Ecology of Rinjani Morel Mushroom (Morchella aff.deliciosa) in Gunung Rinjani National Park-West Nusa Tenggara. Under direction
of ERVIZAL AM ZUHUD and ACHMAD.
Ecologically based information on Rinjani morel mushroom (Morchella aff.
deliciosa) habitat is needed to determine decision making by park manager for its
conservation. The study was taken to describe and identify the ecological factors
that correlate with the presence of the fruitbodies of M. aff. deliciosa. Fourteen
plots (10m x 10m) with morel fruitbodies and twenty one plots without morel
fruitbodies at higher level of altitude were established accidentally for measurement of climatic, soil, and trees variables during morel fructification. Data
were described statistically and analyzed using multiple linear regression and discriminant analysis. The research result showed that fructification of M. aff.
deliciosa appeared at level of altitude 1572,00-1609,00m, slope between 7,94- 54,00%, aspect between 4,00-360,00o. The lifespan of morel fruitbodies between
15-20 days. The air temperature range of 18,53 - 19,6oC and 83,00 - 90,50%
humidity on the forest floor measurement, light between 490,00-620,00lux.
Brown Mediterran loam soils supported the morel fruiting, pH neutral (7,0), medium C/N ratio (12,16), low P (12,53ppm) and medium Ca (10,22me/100g).
Anomianthus auritus, Syzygium polyanthum, Weinmannia sp., Uropyhllum macrophyllum, and Piper sp. were identified as dominant tree species. The values
of Shannon-Wiener index obtained for site with morel and site without morel tested using t test (Levene’s test) showed there is no difference in tree diversity
between the two locations. The Morisita–Horn index also showed that similirity indices between the two locations is about 83,40%. The research result indicated
that morel started to fruit when the humidity begin to slow for some short period and stopped to fruit until humidity constant relatively. The multiple linear
regression analysis showed that light was the only ecological factor correlated significantly with the number of morel fruitbodies. Meanwhile the t test showed
there was significantly different ecological components between the morel site and the site without morel i.e the temperature, forest floor moisture, light intensity
and altitude factor. This information on the nature M. aff. deliciosa habitat provides the first step in succesfull management and conservation of morel and
other mushroom resources.
Keywords: morel, Morchella, ecology, fructification, natural habitat, Gunung
(4)
RINGKASAN
TEGUH RIANTO. Ekologi Morel Rinjani (Morchella aff. deliciosa) di Taman
Nasional Gunung Rinjani-Nusa Tenggara Barat. Dibimbing oleh ERVIZAL AM ZUHUD dan ACHMAD.
Kegiatan monitoring keanekaragaman jamur di Taman Nasional Gunung
Rinjani (TNGR) telah dilakukan sepanjang tahun 2007–2010 dan telah
teridentifikasi sebanyak 147 spesies baik jamur tanah maupun jamur kayu.
Sebanyak 16 spesies diantara 147 spesies jamur yang teridentifikasi, merupakan
jenis edible dan dimanfaatkan oleh masyarakat baik untuk dikonsumsi ataupun
dijual di pasar lokal. Salah satu spesies jamur edible tersebut adalah M. aff.
deliciosa yang merupakan satu-satunya spesies morel di kawasan TNGR (Rianto et al. 2011). Morel (Morchella spp, Pezizales, Ascomycota) merupakan spesies
jamur edible sebagai komoditas bernilai tinggi di pasaran internasional. Harga jual morel lebih tinggi dibandingkan matsutake (Tricholoma spp) atau spesies-spesies
chanterelle (Cantharellus spp dan genus terkait). Informasi ekologis baik komponen biotik dan abiotik penentu tumbuhnya M. aff. deliciosa di TNGR perlu
diteliti untuk kepentingan pengelolaan dan konservasi M. aff. deliciosa.
Penelitian dilaksanakan di wilayah Resort Senaru, Seksi Pengelolaan Taman
Nasional (SPTN) Wilayah I, TNGR. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mendeskripsikan habitat M. aff. deliciosa dan mengidentifikasi faktor-faktor
ekologi penentu tempat tumbuh M. aff. deliciosa.Penelitian dilaksanakan antara bulan Februari–Juli 2012. Peralatan yang digunakan antara lain perlengkapan
inventarisasi dan pengukuran komponen fisik dan perlengkapan untuk pembuatan herbarium (spesimen) jamur. Data yang dikumpulkan merupakan faktor pohon,
tanah dan iklim mikro yaitu variabel suhu, kelembaban udara dan tanah, intensitas cahaya, ketinggian tempat, kelerengan, arah kelerengan, pH tanah, kadar hara
makro dan mikro tanah, jenis tanah, tekstur tanah, basal area (Folk 2011, Hall et al. 2003, Pilz et al. 2007). Sampling pencatatan data komponen ekologi secara
aksidental pada lokasi yang telah teridentifikasi sebelumnya (Rianto et al. 2011), pada ketinggian sekitar 1500m dpl, pal KM 3,5–4 jalur pendakian Senaru. Unit
sampling berupa plot pengamatan 10m x10m. Sampling juga dikerjakan pada lokasi lain yang tidak pernah ditemukan morel Rinjani sebagai pembanding.
Analisis data dikerjakan melalui indeks nilai penting (INP) analisi vegetasi, indeks keanekaragaman Shannon-Wiener dan indeks Morisita-Horn. Perbedaan
variabel-variabel ekologi pada lokasi ditemukannya morel dengan lokasi yang
tidak ditemukan morel diuji dengan menggunakan uji t (Levene’s test) dan uji
korelasi Pearson. Analisis regresi berganda dilakukan untuk mengetahui
komponen ekologi yang dominan mempengaruhi jumlah tubuh buah morel
Rinjani.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa morel Rinjani tumbuh pada ketinggian
tempat antara 1572–1609m dpl, kelerengan antara 7,94–54,00%, arah kelerengan
antara 4,00–360,00o, suhu dan kelembaban udara di bawah tegakan antara 18,53–
19,6oC dan 83,00–90,50%, intensitas cahaya matahari 490,00–620,00lux. Morel
tumbuh pada tanah Mediteran coklat dengan tekstur berlempung halus (pasir 37,83% debu 40,11% liat 22,06%), pH 7 dengan kadar C 7,30%, kadar N 0,60%,
(5)
vegetasi menunjukkan bahwa terdapat sejumlah 19 spesies pohon yang tumbuh
dilokasi ditemukannya morel Rinjani. Spesies pohon yang dominan pada lokasi tersebut adalah Anomianthus auritus (klak), Syzygium polyanthum (jukut),
Weinmannia sp. (sarangan), Uropyhllum macrophyllum (kasol), dan Piper sp. (saes). Spesies Anomianthus auritus dan Syzygium polyanthum mempunyai INP
yang sama besar pada lokasi ditemukan morel dan lokasi pembanding. Hasil perhitungan Indeks Shannon-Wiener menunjukkan nilai H’= 2,46 pada lokasi
morel Rinjani dan H’= 2,52 pada lokasi pembanding. Hasil uji t menunjukkan tidak ada perbedaan Indeks Shannon-Wiener antara lokasi morel dengan lokasi
pembanding. Dengan kata lain tidak ada tingkat perbedaan keanearagaman spesies pohon antara lokasi ditemukan morel dengan lokasi tidak ditemukan morel.
Berdasarkan perhitungan indeks kesamaan komunitas Morisita-Horn didapatkan nilai sebesar 83,40% antara lokasi ditemukan morel dengan lokasi pembanding.
Faktor dominan komponen ekologi penentu jumlah tubuh buah morel diperoleh hasil persamaan regresi linier = 2, – , intensitas a a a. Model ini hanya
berlaku pada data yang ada yaitu intensitas cahaya 490,00-620,00lux. Awal
produksi tubuh buah morel Rinjani pada tahun ini minggu ketiga bulan Maret sampai minggu pertama Juni dengan masa hidup tubuh buah antara 15–20 hari.
Tubuh buah morel akan muncul pada saat transisi musim basah ke musim kering, pada saat kadar kelembaban lantai hutan berubah dari tinggi sampai berangsur-
angur konstan.
Kata kunci: morel, Morchella, ekologi, pembentukan tubuh buah, habitat alami,
(6)
©
Hak
Cipta
milik
IPB,
tahun
2012
Hak
Cipta
dilindungi
Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebut sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
(7)
EKOLOGI MOREL RINJANI (
Morchella
aff.
deliciosa)
DI TAMAN NASIONAL GUNUNG RINJANI
NUSA TENGGARA BARAT
TEGUH
RIANTO
Tesissebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Magister Profesi
pada Program Mayor Konservasi Keanekaragaman Hayati
SEKOLAH
PASCASARJANA
INSTITUT
PERTANIAN
BOGOR
BOGOR
2012
(8)
(9)
Judul Tesis : Ekologi Morel Rinjani (Morchella aff. deliciosa) di Taman
Nasional Gunung Rinjani-Nusa Tenggara Barat Nama : Teguh Rianto
NRP : E353100145
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Ervizal AM Zuhud, M.S Dr. Ir. Achmad, M.S
Ketua Anggota
Diketahui,
Ketua Program Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Konservasi Keanekaragaman Hayati
Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
(10)
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Penyayang
yang telah memberikan berkat-Nya sehingga penulis diberikan kesempatan untuk
menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis. Tesis dengan judul “Ekologi Morel
Rinjani (Morchella aff. deliciosa) di Taman Nasional Gunung Rinjani-Nusa
Tenggara Barat” dilatar belakangi bahwa penelitian-penelitian tentang jamur di
habitat alam di Indonesia umumnya dan kawasan Taman Nasional Gunung
Rinjani atau kawasan konservasi lain pada khususnya belum banyak dilaporkan.
Potensi keanekaragaman dan ekonominya yang besar akan sangat sia-sia jika
tidak ada perhatian dari pengelola. Semoga penelitian ini menjadi pembuka bagi
penelitian-penelitian sejenis di kawasan konservasi lain.
Terima kasih untuk dukungan, doa, dan cinta dari istri dan anakku tercinta
Susila Oktapiyani, S. Hut dan Desvyana Qorin. Terima kasih dan penghargaan
yang tak terhingga kepada Prof. Dr. Ir. Ervizal AM Zuhud, M.S. selaku ketua
komisi pembimbing dan Dr. Ir. Acmad, M.S. selaku anggota komisi pembimbing,
atas curahan pemikiran, waktu dan kesabaran dalam memberikan bimbingan
hingga selesainya penulisan tesis ini; Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, selaku Ketua Program Studi Magister Konservasi Keanekaragaman Hayati (KKH). Terima
kasih kepada Kementrian Kehutanan, yang telah memberikan kesempatan melanjutkan pendidikan S2 di Institut Pertanian Bogor. Terima kasih untuk
Kabalai TNGR. Terima kasih untuk rekan-rekan di TNGR terutama Isnan yang telah bersusah payah ikut serta dalam pengambilan data lapangan, juga Mamo,
P. Purwantono, Budi, Roni atas dukungan di lapangan/ Senaru. Terima kasih juga disampaikan untuk kawan-kawan seperjuangan KKH angkatan 2010 P. Parjoni,
Mbak Leni, Mbak Mina, Mbak Desi, Bu Lusi, Mbak Lintang, Mbak Via, Septi, Ferdi, Cahyo, P. Yarman, P. Nyoto, Mbak Imas, Mas Hendra, Mirta, Mas Yusuf,
Mas Buday, Mas Andoko; teman-teman di S2 IPB P. Sofwan, Mas Hari P, Mas Budi Ambong, Mas Iga, Mas Marwoto untuk beragam dialog dan beraneka
diskusi yang memberi banyak inspirasi kepada penulis untuk mengatasi rintangan dan hambatan dalam pengerjaan tesis dan problem keseharian. Terima kasih untuk
semua pihak yang berkontribusi dan tidak bisa disebutkan satu per satu.
Semoga apa yang menjadi topik dalam tulisan ini bermanfaat bagi banyak
pihak terutama berkaitan dengan upaya konservasi pada khususnya.
Bogor, September 2012
(11)
RIWAYAT
HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 12 Desember 1980 di Bantul, Jogjakarta,
merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan bapak Sarino dan ibu
Masiyem. Pada tahun 1993 penulis menamatkan pendidikan sekolah dasar di SD
Negeri Pendemsari Sleman, tahun 1996 menamatkan pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 10 Jogjakarta, dan tahun 1999 menamatkan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 5 Jogjakarta.
Pada tahun 1999 melalui seleksi Ujian Masuk Perguruan Tinggi negeri
(UMPTN), penulis diterima sebagai mahasiswa S-1 Jurusan Konservasi Sumber
Daya Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta. Pada
bulan Agustus 2004 lulus dengan predikat sangat memuaskan.
Sejak bulan Juli 2005 sampai sekarang penulis bekerja di Balai Taman
Nasioanal Gunung Rinjani, Mataram-NTB dengan jabatan fungsional sebagai Pengendali Ekosistem Hutan (PEH). Penulis menikah pada bulan April 2010 dengan Susila Octapiyani dan telah dianugerahi seorang putri Desvyana Qorin.
Pada bulan Agustus 2010 penulis ditugaskan sebagai karyasiswa Kementerian
Kehutanan pada Program Mayor Konservasi Keanekaragaman Hayati, Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi pada
program tersebut, penulis melakukan penelitian dengan judul “Ekologi Morel
Rinjani (Morchella aff. deliciosa) di Taman Nasional Gunung Rinjani-Nusa Tenggara Barat” di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Ervizal AM Zuhud, MS. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Achmad, MS. selaku Anggota Komisi
(12)
DAFTAR
ISI
Halaman
DAFTAR ISI ... .i
DAFTAR TABEL ... .iii
DAFTAR GAMBAR... .iv
DAFTAR LAMPIRAN ... ..v
I PENDAHULUAN ... 1
I.1 Latar Belakang ... 1
I.2 Tujuan ... 2
I.3 Manfaat ... 3
I.4 Kerangka Pemikiran ... 3
II TINJAUAN PUSTAKA ... 5
2.1 Bioekologi Morel (Morchella spp.) ... 5
2.1.1 Taksonomi ... 5
2.1.2 Morfologi ... 5
2.1.3 Siklus Hidup Morel ... 7
2.2 Edibilitas dan Kandungan Nutrisi ... 8
2.3 Habitat dan Musim Tumbuh ... 8
III KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN ... 11
3.1 Letak dan Luas... 11
3.2 Topografi ... 11
3.3 Tanah ... 11
3.4 Iklim ... 13
3.5 Vegetasi ... 14
IV METODOLOGI ... 15
4.1 Lokasi dan Waktu ... 15
4.2 Alat dan Bahan ... 15
4.3 Variabel Pengamatan ... 16
4.4 Pengumpulan Data ... 17
4.5 Analisis Data ... 18
4.5.1 Faktor Vegetasi ... 18
4.5.2 Analisis Korelasi ... 20
4.5.2 Analisis Faktor Dominan Komponen Ekologi... 20
V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25
5.1 Kondisi Fisik Tempat Tumbuh Morel Rinjani ... 25
5.2 Faktor Vegetasi ... 40
5.3 Faktor Dominan Komponen Ekologi. ... 42
5.4 Kondisi Morel Rinjani... 43
5.5 Pemanfaatan Morel dan Gangguan Manusia... 45
5.6 Strategi Konservasi Morel Rinjani... 46
(13)
5.6.1 Perbanyakan Morel Rinjani Insitu ... 47
5.6.2 Monitoring Populasi... 48
5.6.3 Pengawasan Pengunjung ... 49
5.6.4 Budidaya Eksitu ... 49
VI SIMPULAN DAN SARAN... 51
6.1 Simpulan ... 51
6.2 Saran ... 51
DAFTAR PUSTAKA ... 53
LAMPIRAN ... 57 (ii)
(14)
DAFTAR
TABEL
No. Halaman
1 Musim tumbuh jamur edible kawasan TNGR ... 9
2 Variabel-variabel faktor ekologi penduga tumbuhnya M. aff. deliciosa ... 18
3 Variabel fisik pada lokasi ditemukan morel dan lokasi tidak
ditemukan morel... 25
4 Variabel tanah pada lokasi ditemukan morel dan lokasi tidak
ditemukan morel... 26
5 Variabel kelerengan dan arah lereng pada lokasi ditemukan morel
dan lokasi tidak ditemukan morel ... 36
6 Perbandingan profil kesuburan tanah pada morel Rinjani, M. elata
dan M. esculenta/M. hybrida... 38
7 Analisis vegetasi tingkat pohon pada lokasi ditemukan morel dan
lokasi tidak ditemukan morel ... 40
(iii)
(15)
DAFTAR
GAMBAR
No. Halaman
1 Kerangka Pemikiran Penelitian ... 4
2 Tubuh buah M. aff. deliciosa di TNGR ... 6
3 Anggota Morchellaceae yang ada di dunia ... 6
4 Siklus hidup morel (Volk, 2000) ... 8
5 Kondisi kontur kawasan TNGR ... 12
6 Peta iklim P. Lombok klasifikasi Schmidt dan Ferguson yang telah
dievaluasi ... 13
7 Lokasi penelitian di TNGR ... 15
8 Suhu udara pada masing-masing plot selama penelitian ... 27
9 Kelembaban udara pada masing-masing plot selama penelitian... 29
10 Produksi tubuh buah morel dikaitkan dengan suhu lantai hutan,
suhu tempat terbuka dan curah hujan tempat terbuka ... 31
11 Profil hujan dikaitkan dengan musim morel ... 32
12 Intensitas cahaya matahari pada masing-masing plot selama penelitian... 33
13 Lokasi plot ditemukannya morel berdasar ketinggian tempat ... 37
14 Fase hidup tubuh buah morel Rinjani... 44
15 Bagian dalam tubuh buah morel Rinjani ... 45
16 Morel Rinjani lebih banyak ditemukan di jalur pendakian... 46
17 Rencana perbanyakan morel insitu ... 47 (iv)
(16)
DAFTAR
LAMPIRAN
No.
Halaman
1 Output analisis deskriptif data pengamatan pada lokasi ditemukannya morel 59
2 Output analisis deskriptif data pengamatan pada lokasi lain yang tidak
ditemukan morel ... 60
3 Indeks Nilai Penting dan Indeks Shannon-Wiener pada lokasi ditemukannya
morel ... 61
4 Indeks Nilai Penting dan Indeks Shannon-Wiener pada lokasi tidak ditemukan morel ... 62
5 Output uji t Indeks Shannon-Wiener ... 63
6 Perhitungan Indeks Morisita-Horn ... 64
7 Output uji normalitas data ... 65
8 Output uji t ... 67
9 Output uji regresi linear berganda metode Enter ... 69
10 Output uji regresi linear berganda metode Stepwise ... 73
11 Output uji korelasi Pearson ... 76
12 Jamur-jamur yang ditemukan pada lokasi pembanding ... 77
13 Hasil analisis sampel tanah dari Lab. Departemen Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan ... 79
14 Data curah hujan Kec. Bayan dan data suhu udara Sta. Klimatologi Kediri .. 81 (v)
(17)
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Makrofungi merupakan sumberdaya alam hayati yang penting dalam kehidupan manusia. Makrofungi atau dalam istilah yang lebih dikenal dengan
jamur, secara ekologis memegang peranan nyata pada peristiwa-peristiwa
ekologis seperti asosiasinya dengan hutan primer dalam siklus nutrisi, jaring- jaring makanan serta secara signifikan mempengaruhi kelangsungan hidup
perkecambahan anakan-anakan pohon, pertumbuhan pohon dan keseluruhan
kesehatan hutan. Jadi dapat dikatakan jamur adalah indikator penting dinamika
ekosistem hutan (Molina et al. 2001).
Kawasan hutan Gunung Rinjani meliputi 26,5% dari luas daratan
P.Lombok. Kawasan hutan Gunung Rinjani juga merupakan kawasan hutan
terluas atau sekitar 86,11% dari luas keseluruhan hutan P.Lombok (BTNGR
1997). Kawasan hutan Gunung Rinjani seluas 125.740 ha terdiri atas beberapa
fungsi kawasan, termasuk di dalamnya sekitar 41.330 ha kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan hutan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR).
Ekosistem kawasan hutan TNGR tergolong masih utuh dan sekitar 40%
atasnya merupakan hutan primer tua. Dengan kondisi tersebut ratusan spesies
jamur tumbuh subur sepanjang tahunnya. Kegiatan monitoring keanekaragaman
jamur di TNGR telah dilakukan sepanjang tahun 2007-2010 dan telah
teridentifikasi sebanyak 147 spesies baik jamur tanah maupun jamur kayu. Dari
147 spesies jamur yang teridentifikasi, 16 spesies diantaranya edible dan
dimanfaatkan masyarakat baik untuk dikonsumsi ataupun dijual. Salah satu
spesies jamur edible tersebut adalah Morchella aff. deliciosa yang merupakan satu-satunya spesies morel di kawasan TNGR (Rianto et al. 2011).
Morel (Morchella spp, Pezizales, Ascomycota) merupakan spesies jamur
edible sebagai komoditas bernilai tinggi di pasaran internasional. Harga jual morel
lebih tinggi dibandingkan matsutake (Tricholoma spp) atau spesies-spesies chanterelle (Cantharellus spp dan genus terkait). Perdagangan morel yang diambil
dari alam di Amerika bagian Utara termasuk Mexico, Kanada dan Amerika
(18)
2
65.000 kg di Pakistan morel kering diekspor per tahunnya dengan rata-rata harga 50 dollar AS per kg di pengumpul atau 216 dollar AS per kg di tangan eksportir (Flores 2006). Sebagai perbandingan harga, di British Coloumbia, Kanada, harga
kering morel per kg sebesar 92 dollar AS di tangan pengumpul (Flores 2006).
Perdagangan jamur di Indonesia dengan komoditas seperti jamur tiram
putih (Pleurotus ostreatus), jamur tiram merah (Pleurotus flabellatus), jamur kuping (Auricularia auricula), jamur kuping putih (Tremella fusiformis), jamur
kancing/champignon (Agaricus bisporus) maupun jamur merang (Volvariella
volvacea). Sebagai perbandingan, harga jamur kancing basah per kg ditangan
distributor Agromaret.com antara Rp 20.000,00–Rp 25.000,00 atau harga jamur merang antara Rp 15.000,00–Rp 23.000 per kg basah (Anonim, 2011). Harga jual
morel lebih tinggi, di laman Alibaba.com harga morel basah paling murah sekitar
20-22 dollar per kg atau sekitar Rp 180.000,00–Rp 198.000,00 (Anonim, 2012).
Akan tetapi, morel merupakan komoditas yang belum lazim dan penelitian
tentang morel sendiri di Indonesia belum pernah dilaporkan.
Berdasarkan monitoring keanekaragaman makrofungi yang telah
dilakukan di kawasan TNGR dari 2007-2010 (Rianto et al. 2011) diantara tiga
kawasan di TNGR yaitu wilayah Resort Aik Berik, Resort Aikmel dan Resort
Senaru, hanya wilayah Resort Senaru sebagai lokasi ditemukannya Morchella aff. deliciosa. Lebih spesifik dijelaskan bahwa lokasi tersebut hanya di sekitar ketinggian 1.500 m dpl dengan spesies pohon dominan penyusun Syzygium spp.
M. aff. deliciosa tidak pernah dilaporkan ada pada ketinggian di bawah atau di
atas 1.500 m dpl. Untuk kepentingan pengelolaan dan konservasi M. aff.
deliciosa, informasi ekologis baik komponen biotik dan abiotik penentu tumbuhnya M. aff. deliciosa di TNGR perlu dilakukan.
1.2 Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah
1. Mendeskripsikan karakteristik habitat M. aff. deliciosa.
2. Mengidentifikasi faktor-faktor ekologi yang mempengaruhi produksi
tubuh buah M. aff. deliciosa.
(19)
3
1.3 Manfaat
Memberikan data dan informasi ekologis (biotik dan abiotik) bagi
kepentingan konservasi M. aff. deliciosa di TNGR maupun untuk kepentingan
budidayanya. Data dan informasi ini dapat dipakai untuk mengembangkan spesies
jamur ini dalam lingkungan terkontrol baik di alam maupun di area budidaya.
1.4 Kerangka Pemikiran
Masyarakat lokal mengapresiasi sumberdaya hutan dari kawasan hutan Gunung Rinjani melalui pengambilan langsung dari kawasan untuk tujuan
konsumsi ataupun ekonomi (dijual untuk menghasilkan sejumlah uang) termasuk
jamur-jamur edible. Menurut Rianto et al. (2011) spesies yang diperdagangkan
secara lokal melalui pengambilan langsung dari hutan hanya spesies-spesies
Termytomyces spp (ada 4 spesies). Sedangkan jenis lain seperti jamur tiram putih
(Pleuretus ostreatus), jamur kuping (Auricularia auricula), jamur tiram merah
(Pleuretus flabellatus), morel (M. aff. deliciosa) atau jamur kuping putih (Tremella fusiformis) tidak sepopuler Termytomyces spp di pasar lokal karena
faktor produktivitas dan keterjangkauan lokasi.
Karakter morel berbeda dengan spesies jamur lain bahkan diantara
spesies-spesies morel sendiri (Morchella spp dan Helvellaceae spp) (Pilz et al. 2007, Stott & Mohammed 2004). Informasi biologi, sumber hara, siklus hidup
dan modus reproduksi morel telah banyak diidentifikasi. Budidaya morel
menunjukkan keberhasilan pada morel tertentu sedangkan jenis lain masih misteri.
Pendekatan ekologi merupakan salah satu cara mengungkap bagaimana morel
tumbuh secara alami.
Tumbuhnya tubuh buah morel bergantung pada 3 (tiga) faktor utama yaitu
iklim, tanah dan pohon (Volk 2000, Hall et al. 2003, Pilz et al. 2007). Ketiga
faktor tersebut secara serentak membentuk faktor tempat tumbuh morel. Faktor-
faktor ini akan berbeda pada setiap jenis morel (Morchella spp.). Pada beberapa keadaan, tubuh buah morel tumbuh dengan baik dan serentak pada beberapa
gangguan hutan seperti pohon tumbang, kebakaran atau gangguan lain.
Morel sebelumnya dilaporkan hanya tumbuh di belahan bumi bagian utara
(20)
4
tropis pegunungan menjadi pertanyaan tersendiri (Masaphy 2011, Wurtz et al. 2005). Oleh karena itu penelitian ini diarahkan untuk mendapatkan data dan informasi komponen-komponen ekologi penentu keberadaan M. aff. deliciosa di
TNGR.
Hasil akhir dari penelitian ini diharapkan nantinya didapatkan suatu rumus
tentang syarat tumbuh M. aff. deliciosa di alam sehingga nantinya dapat dibuatkan model iklim mikro dalam lingkungan terkontrol baik di alam maupun di
laboratorium. Tujuan besar yang akan dicapai dalam proses ini adalah aplikasi
budidaya bagi masyarakat lokal selain tujuan konservasi M. aff. deliciosa.
Tahapan penelitian dalam batasan kerangka pikiran di atas disajikan dalam Gambar 1.
(21)
5
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Bioekologi Morel (Morchella spp.)
2.1.1 Taksonomi
Berdasarkan taksonominya, klasisifikasi genus morel menurut O’Donnell et al. (2011) adalah :
Kingdom : Fungi
Filum : Ascomycota
Subfilum : Pezizomycotina
Kelas : Pezizomycetes
Ordo : Pezizales
Famili : Morchellaceae
Genus : Morchella
Morel di kawasan TNGR merupakan Morchella aff. deliciosa. Penggunaan “aff.” di antara genus dan penunjuk spesies merujuk pada Hall et al. ( 2003) yang berarti
spesies ini termasuk dalam genus tersebut dan mirip secara morfologi dengan
spesies deliciosa. Bukti mikroskopis diperlukan untuk penamaan yang lebih tepat.
2.1.2 Morfologi
M. aff. deliciosa (Gambar 2) dalam Rianto et al. (2011) dideskripsikan
sebagai berikut : Tubuh buah khas morel (spons bertangkai), tudung berbentuk
bulat telur memanjang dan silindris, panjang 5-7 cm, lebar 3-4 cm, permukaannya berkerut atau beralur yang tak beraturan. Tudung berwarna putih dan cenderung menguning-coklat (memudar) ketika tuanya. Tudung berongga ketika dibelah,
warna senada tetapi lebih cerah dibandingkan tudung bagian luar. Batang ukuran
1-1,5 x 2-4 cm, membesar di bagian bawah, warna senada dengan tudung, berongga didalamnya.
Klasifikasi morel yang ada di dunia ini terdiri 3 (tiga) macam berdasarkan
kenampakan warna tudung dan batang yaitu morel hitam/black morel,
(22)
6
atau lebih dikenal dengan nama dagang French black morel, M. conica, dan M. elata. M. esculenta termasuk morel kuning, sedangkan M. deliciosa dan M. crassipes merupakan contoh morel putih (Gambar 3).
Foto : Rianto 2010
Gambar 2 Tubuh buah M. aff. deliciosa di TNGR.
Foto : mushroomsexpert.com, mykoweb.com, rogersmushroom.com, mushroomobserver.org.
(23)
7
2.1.3 Siklus Hidup Morel
Beberapa spesies morel bersifat saprob dan terbentuknya tubuh buah dapat
terjadi tanpa berasosiasi dengan pohon inang. Beberapa diantaranya bersifat
mikoriza, bersimbiosis dengan pohon inang dan pembentukan tubuh buah
memerlukan asosiasi dengan pohon inang (Masaphy 2011, Pilz et al. 2007).
Morel yang tampak kasat mata merupakan bagian makro dari tubuh morel secara keseluruhan. Struktur tubuh morel paling dasar berupa hifa. Kumpulan hifa-hifa membentuk miselium di bawah permukaan tanah. Miselium suatu
spesies morel saprobik dapat hidup membentang dalam suatu area yang luas
puluhan hektar. Pada suatu keadaan lingkungan yang menguntungkan dan
cadangan makanan dalam tubuh miselium cukup, maka miselium akan membentuk tubuh buah dan tumbuhlah morel yang secara kasat mata terlihat
mucul ke atas permukaan tanah (Volk 2000, Hall et al. 2003, Pilz et al. 2007).
Siklus hidup morel lebih detail diperlihatkan pada Gambar 4.
(24)
8
2.2 Edibilitas dan Kandungan Nutrisi
Morel merupakan spesies jamur yang paling dicari di antara jamur edible
yang lain karena cita rasanya yang enak, tetapi musim tumbuh tubuh buahnya
sangat singkat (Hall et al. 2003, Pilz et al. 2007). Penjualan morel melalui internet
seperti di website/ laman terkenal seperti amazon.com atau
oregonmushrooms.com, harga morel kering paling tinggi di antara komoditas jamur edible lain. Laman amazon.com menawarkan harga 50 dollar AS untuk 4 ons kering morel.
Morel merupakan bahan makanan bernutrisi dengan kandungan protein
tinggi, rendah karbohidrat, lemak dan kalori, kaya vitamin dan mineral. Menurut
USDA (2011), morel mengandung sejumlah kecil vitamin B penting, termasuk folat, niasin, asam pantotenat, riboflavin dan tiamin. Morel per 100 gram
mengandung 411 mg kalium, 194 mg fosfor, 43 mg kalsium, 21 mg sodium, 19
mg magnesium dan 12 mg zat besi. Morel per 100 gr mengandung 31 kalori atau
0,31 kalori per gram, 58% (5,10 gr) karbohidrat, 27% (3,12 gr) protein, 16% (0,57 gr) lemak, serat diet/dietary fiber 2,8 gr dan air 89.61 gr (90% dari berat).
Morel telah digunakan untuk mengobati gangguan pencernaan, batuk, dan
sesak napas dalam pengobatan tradisional di Cina (Ying et al. 1987). Morel juga
digunakan untuk mengobati dahak. Miselium morel dilaporkan mengandung senyawa anti tumor, anti oksidan dan anti radang (Mau et al. 2004, Nitha &
Janardhanan 2005).
2.3 Habitat dan Musim Tumbuh
Morel membutuhkan habitat yang spesifik (Volk 2000, Hall et al. 2003,
Pilz et al. 2007). Periode tumbuh tubuh buah sangat singkat, tumbuh hanya dalam
beberapa tempo waktu. Masa hidup morel dapat berbeda-beda tergantung lokasi
dan spesies. M. esculanta dan M. deliciosa di wilayah dengan iklim empat musim
memiliki masa hidup tubuh buah 16-21 hari (Pilz et al. 2007). Black morel memiliki masa hidup tubuh buah sekitar 21 hari (Geho 2007). Barnes & Wilson
(1998) menyatakan secara umum morel memiliki fase makroskopis/tubuh buah
antara 22-27 hari. Di daerah beriklim sedang, morel muncul di awal musim semi
(25)
9
tubuh buah M. aff. deliciosa yang ada di kawasan TNGR diketahui sekitar bulan
April-Juni (Tabel 1).
Habitat morel bervariasi sesuai lokasi dan spesies. Spesies yang sama pun
dapat berbeda syarat tumbuhnya pada lokasi yang berbeda. Barnes & Wilson
(1998) dalam penelitiannya melaporkan M. elata dapat tumbuh di hutan ekaliptus
yang mudah terbakar sementara pada lokasi lain ditemukan di sepanjang tepian sungai dengan kelembaban yang lebih tinggi.
Tabel 1 Musim tumbuh jamur edible kawasan TNGR
No Spesies Musim Tumbuh Sebaran
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 SN AB PG 1. Morchella aff.deliciosa √ √ √ √
2. Auricularia auricula √ √ √ √ √ √ √ √ √
3. Tremella fusiformis √ √ √
4. Termitomyces sp √ √ √ √ √ √
5. Termitomyces sp2 √ √ √ √ √ √
6. Termitomyces sp3 √ √ √ √ √ √ √
7. Clitocybe sp √ √ √ √ √
8. Pleurotus ostreatus √ √ √ √ √ √ √ √ √
9. Pleurotus flabellatus √ √ √ √ √ √ √ √ √
10. Pleurotus sp √ √ √
11. Clavaria vermicularis √ √ √ √
12. Polyporus sp √ √ √ √ √ √ √ √ √
13. Polyporus sp2 √ √ √ √ √ √ √ √ √
14. Artomyces pyxidatus √ √ √ √ √ √
15. Mycena sp √ √ √ √
16. Spesies 1 √ √ √
Keterangan :
SN = Senaru, AB = Aik Berik, PG = Pesugulan
Dasar penentuan musim tumbuh adalah frekuensi keterjumpaan spesies selama penelitian tahun 2007-2010, dengan asumsi musim basah bulan antara bulan Nopember-April.
Sumber : Rianto et al. (2011).
Morel terdistribusi pada wilayah subtropis atau sedang yang memiliki
kondisi iklim 4 musim. Morel belum pernah dilaporkan ada di daerah tropis.
Morel dapat tumbuh di hutan konifer, hutan oak, hutan eukaliptus ataupun hutan campuran. Tumbuhnya morel banyak dikaitkan dengan adanya gangguan pada ekosistem hutan seperti kebakaran hutan (Mashapy 2011, Pilz et al. 2007).
(26)
10
Pilz et al. (2007) menggolongkan faktor-faktor yang mempengaruhi fenologi terbentuknya tubuh buah morel ke dalam tiga grup besar. Faktor pertama adalah kondisi yang memudahkan peristiwa terbentuknya tubuh buah morel
secara masal seperti cadangan makanan, berubahnya kandungan kimia dan pH
tanah, kalah bersaing dengan mikroorganisme tanah yang lain atau tercucinya
ketersediaan hara. Faktor yang kedua adalah faktor fisik pemicu inisiasi terbentuknya tubuh buah morel seperti perubahan suhu dan kelembaban. Faktor
yang ketiga adalah kondisi yang terus-menerus mendukung pertumbuhan morel
(27)
III
KONDISI
UMUM
LOKASI
PENELITIAN
3.1 Letak dan Luas
Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) terletak di P.Lombok, Nusa Tenggara Barat. TNGR berada pada koordinat 11621’30”–11634’15” BT dan
818’18”–832’19” LS. TNGR secara administratif berada pada tiga kabupaten
yaitu Kab. Lombok Utara, Kab. Lombok Tengah dan Kab. Lombok Timur.
Kawasan hutan Gunung Rinjani meliputi 26,5% dari luas daratan P. Lombok. Kawasan hutan Gunung Rinjani juga merupakan kawasan hutan
terluas atau sekitar 86,11% dari luas keseluruhan hutan P. Lombok. Kawasan
hutan Gunung Rinjani seluas 125.740 ha terdiri atas beberapa fungsi kawasan,
termasuk di dalamnya sekitar 41.330 ha kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan hutan TNGR (BTNGR 1997).
3.2 Topografi
Kawasan TNGR merupakan daerah yang bergunung-gunung dengan
ketinggian bervariasi antara 500–3.726 m dpl, sedangkan kelerengannya mulai dari datar-sedang (0–25o), berat (25–40 o) dan berat sekali (>40o). TNGR memiliki
puncak tertinggi kedua di Indonesia (setelah puncak Kerinci) dengan ketinggian
3.726m dpl. Kondisi kontur TNGR berdasarkan output perangkat lunak Global
Mapper 13 disajikan pada Gambar 5.
3.3 Tanah
Tanah di kawasan TNGR terdiri dari jenis tanah regosol, litosol, andosol
dan mediteran. Jenis tanah regosol kelabu dan litosol tersebar secara luas di
daerah puncak dan sekitar Danau Segara Anak. Di sekitar kaki G. Rinjani dikelilingi oleh jenis tanah andosol/ brown forest soil dan regosol cokelat. Jenis
tanah tersebut menyebar dari Kec. Kopang hingga Kec. Aikmel. Jenis tanah
mediteran cokelat dapat ditemukan di Kec. Pringgabaya. Bahan induk tanah
berasal dari abu dan pasir volkan yang sangat mudah tererosi. Hal ini dengan mudah dapat dilihat di sepanjang jalur pendakian yang banyak mengalami erosi
(28)
12
puncak Gunung Rinjani atau daerah montana/ daerah tanpa vegetasi pada ketinggian di atas 2000 m dpl (BTNGR 1997).
(29)
13
3.4 Iklim
Tipe iklim kawasan TNGR menurut As-syakur (2009) yang telah
mengevaluasi klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson 1951 sebelumnya, adalah
tipe E dan F (Gambar 6). Curah hujan rata-rata per tahun antara 1500–2500 mm.
Curah hujan tersebut bervariasi menurut ketinggian tempat dan letak geografis.
Semakin naik ketinggian tempat akan semakin besar curah hujannya. Daerah
pantai utara serta timur relatif lebih kering dibanding daerah pantai barat dan selatan.
Sumber : As-syakur (2009).
Gambar 6 Peta iklim P. Lombok klasifikasi Schmidt dan Ferguson yang telah di evaluasi.
Suhu rata-rata di Lombok (Mataram) sebesar 22°C dengan variasi 30°–
32°C (maksimum) dan 20°–24°C (minimum). Kelembaban udara antara 75%–
85%. Jika tiap kenaikan 100m diikuti dengan penurunan suhu terbesar 0.5°C, maka temperatur di puncak G. Rinjani berkisar antara 1°–11° C terutama jika musim kemarau dan bertiup angin yang kencang (BTNGR 1997).
(30)
14
3.5 Vegetasi
Kawasan TNGR termasuk salah satu perwakilan ekosistem peralihan
antara Asia dan Australia dalam garis Wallace. Kawasan ini merupakan bagian
dari hutan hujan tropis di Prop. Nusa Tenggara Barat yang terdiri dari berbagai
tipe ekosistem dan vegetasi yang cukup lengkap dari hutan tropis dataran rendah
(semi-evergreen) sampai hutan hujan tropis pegunungan (1500–2000m dpl). yang
masih utuh dan berbentuk hutan primer, hutan cemara dan vegetasi sub alpin (> 2.000m dpl) (BTNGR 1997).
Vegetasi pohon penyusun berdasarkan ketinggian di bawah 1000m dpl
seperti beringin, (Ficus benyamina), jelateng (Laportea stimulan), jambu-jambuan
(Syzygium sp), pala hutan (Myritica fatna), buni hutan (Antdesma sp), bajur (Pterospermum javanicum), randu hutan (Gossampinus heptophylla), terep
(Artocarpus elastica), Melastoma spp, pandan (Pandanus tectorius), keruing
bunga (Dipterocrapus haseltii), salam (Syzygium polyantha), klokos (Syzygium
sp), rajumas (Duabanga moluccana) (BTNGR 1997).
Vegetasi pohon penyusun berdasarkan ketinggian antara 1000-2000 m
seperti kayu jakut (Syzygium sp), Melastoma spp, menang/garu (Dysoxylum sp),
sentul (Aglaia sp), deduren (Aglaia argentea), pandan (Pandanus tectorius),
glagah (Saccharum spontaneum), rotan besar (Daemonorops sp), bak-bakan
(Engelhardia spicata). Di kawasan Senaru terdapat kelompok dominan vegetasi dan diberi nama sesuai dominan pohon penyusunnya yaitu zonasi bak-bakan di
ketinggian sekitar 1500m dpl (BTNGR 1997).
Pada ketinggian diatas 2000m dpl vegetasi pohon penyusun semakin
berkurang jumlah spesiesnya. Vegetasi penyusun dominan seperti bak-bakan (Engelhardia spicata), Melastoma spp, melela (Podocarpus vaccinium), jJambu-
jambuan (Syzygium sp) dan cemara gunung (Casuarina jughuhniana). Pada
kawasan Senaru dan Aik Berik ada zonasi khusus vegetasi berupa zona konifer
(31)
15
IV
METODOLOGI
4.1 Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Resort Senaru, Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah I, TNGR (Gambar 7). Secara administratif
berada di Kabupaten Lombok Utara, Propinsi Nusa Tenggara Barat. Penelitian
dilaksanakan antara bulan Februari–Juli 2012 dengan rincian perencanaan penelitian bulan Februari–Maret 2012, pengambilan data lapangan bulan Maret-
Mei, pengolahan data dan analisis bulan Mei–Juli 2012.
Gambar 7 Lokasi penelitian di Taman Nasional Gunung Rinjani.
4.2 Alat dan Bahan
Peralatan dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: peta
digital kawasan TNGR 1 : 25.000, perlengkapan inventarisasi dan pengukuran
komponen fisik, seperti: kompas, pita ukur, tally sheet, tambang plastik, meteran,
thermohigrometer, pHmeter analog, luxmeter, kaca pembesar; perlengkapan untuk pembuatan herbarium (spesimen) jamur yaitu keranjang bambu, kantong plastik, kantong kedap udara, label, alkohol, oven; GPS, kamera digital, perangkat lunak
(32)
16
4.3 Variabel Pengamatan
Variabel pengamatan terkait ekologi morel dibagi menjadi faktor biotik
dan abiotik. Tumbuhnya tubuh buah morel bergantung pada 3 (tiga) faktor utama
yaitu iklim, tanah dan vegetasi (Folk 2011, Hall et al. 2003, Pilz et al. 2007).
Faktor biotik meliputi iklim, tanah dan fisiografi dan faktor biotik terkait dengan
pohon dan vegetasi lain penyusun ekosistem.
Variabel pengamatan untuk morel yang akan diambil adalah :
1. Jumlah morel dalam setiap plot pengamatan. Variabel ini akan
dipergunakan untuk menduga faktor-faktor lingkungan yang dominan
terkait keberadaan morel dan jumlah tubuh buah.
2. Spesimen dalam beberapa stadia makroskopik (fase tubuh buah) untuk melihat masa hidup/lifespan tubuh buah.
Variabel-variabel pengamatan yang akan diambil dari iklim mikro dan
fitur fisiografi adalah :
1. Suhu dan kelembaban udara serta kelembaban tanah di lantai hutan lokasi
ditemukannya morel. Variabel diukur dengan menggunakan
thermohigrometer. Pengamatan dilakukan pada pagi (07.00), siang (12.00)
dan sore (17.00) hari untuk mendapatkan rata-rata suhu dan kelembaban
harian. Rata-rata rata-rata suhu dan kelembaban harian dihitung dengan
rumus :
2. Intensitas cahaya matahari di lantai hutan. Variabel ini diamati dengan
menggunakan luxmeter pada pagi, siang dan sore hari untuk mendapatkan
rata-rata intensitas cahaya matahari harian. Untuk mengetahui seberapa
besar intensitas cahaya matahari sebenarnya diukur juga intensitas cahaya
matahari di tempat terbuka sebagai pembanding.
3. Variabel terkait fisiografi seperti ketinggian tempat, kelerengan, arah lereng/aspect. Variabel kelerengan dan aspect diturunkan dari Aster
(33)
17
GDEM2 S09E116 resolusi spasial 30m. Variabel ketinggian tempat diukur
langsung menggunakan dua buah GPS yang sudah dikalibrasi.
Pengamatan faktor tanah, variabel pengamatan yang akan diambil adalah
sifat fisik, biologi dan kimia. Penentuan sifat-sifat tersebut sebagian dilakukan
langsung di lapangan sebagian lagi dilakukan di laboratorium. Sifat-sifat fisik
tanah dan substrat yang diamati seperti tekstur, kelas tekstur, stratifikasi lapisan; sifat-sifat kimia tanah yang diamati seperti pH, kelembaban, hara makro dan hara mikro (C, N, P, Ca) dan ketebalan serasah (Bergemann & Largent 2000).
Data vegetasi meliputi struktur dan komposisi vegetasi (tinggi pohon,
penutupan tajuk, spesies pohon dominan), basal area/lbds, persen penutupan serasah, penutupan tumbuhan bawah termasuk anakan pohon, jumlah tubuh buah M. aff. deliciosa dan tubuh buah jamur spesies lain dengan musim produksi tubuh buah yang sama juga dicatat untuk melihat perbedaan faktor tempat tumbuh
(Knight et al. 2008, Yang 2004).
Data sekunder berupa kondisi curah hujan dan suhu harian dan bulanan dari stasiun pengamatan cuaca terdekat yaitu Pos Pengamatan Curah Hujan Bayan, Lombok Utara dan Stasiun Klimatologi Kediri, Mataram. Data ini
digunakan sebagai pembanding analisis.
4.4 Pengumpulan Data
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya (Rianto et al.
2011), lokasi M. aff. deliciosa hanya berada pada ketinggian sekitar 1500 m dpl
pada pal KM 3,5–4 jalur pendakian Senaru, Resort Senaru. Oleh karena itu
pengambilan data dilakukan pada lokasi yang telah teridentifikasi tersebut. Pengambilan data menggunakan metode jalur berpetak dengan penempatan plot secara purposive. Unit contoh berupa plot ukuran 10m x10m ditempatkan pada
lokasi habitat morel dan lokasi pembanding. Plot 10m x10m dianggap sebagai
petak ukur yang bisa ditempatkan sebagai ukuran maksimum mengingat karakter
topografi yang ekstrim, pada beberapa plot mungkin akan terpotong jurang. Setiap plot pengamatan kemudian dipetakan dengan GPS. Pencatatan data komponen
ekologi dilakukan pada setiap plot ditemukannya M. aff. deliciosa. Sampel tanah
(34)
18
buah morel. Sampel tanah utuh diambil pada kedalaman hingga 10cm.
Pengambilan data mulai dilakukan ketika pada pengamatan awal telah ditemukan tubuh buah morel. Pada waktu tersebut bisa dikatakan telah masuk musim
produksi tubuh buah untuk morel. Pengamatan dilakukan selama seminggu
kemudian dilanjutkan lagi seminggu berikutnya untuk mendapatkan fase
pertumbuhan yang lengkap tubuh buah morel. Penentuan hari pengamatan dilakukan selama musim tumbuh M. aff. deliciosa (bulan April–Juni, Rianto et al. 2011). Sebagai pembanding dilakukan pengamatan faktor-faktor ekologi jamur
spesies lain yang ditemukan pada ketinggian yang berbeda, pada lokasi lain yang
tidak pernah ditemukan adanya morel Rinjani termasuk pengambilan sampel tanah utuh untuk analisis di laboratorium. Variabel-variabel penduga ditabulasikan seperti pada Tabel 2.
Tabel 2 Variabel-variabel faktor ekologi penduga tumbuhnya M. aff. deliciosa
No Variabel Ket
1 Morel Jumlah individu, fase tubuh buah
2 Suhu udara Thermohigrometer digital
3 Kelembaban udara Thermohigrometer digital
4 Kelembaban tanah Higrometer analog
5 Ketinggian tempat Altimeter
6 Kelerengan ASTER GDEM2 S09 E116
7 Arah kelerengan/ aspect ASTER GDEM2 S09 E116 8 Basal area/lbds Pita ukur (m2/ha)
9 Intensitas cahaya matahari Luxmeter analog
10 pH tanah pH meter tanah analog
11 Tekstur tanah Analisis di lab. tanah
12 Kadar C, N, P, Ca tanah Analisis di lab. tanah
4.5 Analisis Data 4.5.1 Faktor Vegetasi
Deskripsi habitat khususnya karakter vegetasi digambarkan berdasarkan
hasil analisis vegetasi yaitu kerapatan, frekuensi dan dominansi spesies yang ditunjukkan oleh besaran Indeks Nilai Penting (INP). Menurut Sutisna (1981)
suatu jenis pohon dapat dikatakan berperan jika mempunyai INP lebih dari 15%.
(35)
19
Satuan K adalah individu/ha, KR adalah %, D adalah m2/ha, DR adalah %, FR
adalah %.
Indeks Shannon-Wiener (H’) digunakan untuk mengetahui tingkat keanekaragaman pada lokasi morel dan bukan morel/lokasi pembanding. Perhitungan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener sebagai berikut :
dimana :
H’ = indeks diversitas Shannon S = jumlah jenis
Pi = proporsi jumlah individu ke-i (ni/N)
Uji t statistik Indeks Shannon-Wiener dikerjakan untuk membuktikan
apakah nilai H’ pada lokasi morel sama dengan H’ lokasi bukan morel. Perhitungan uji t menggunakan rumus dan langkah-langkah sebagai berikut : Menghitung varian Indeks Shannon-Wiener :
(36)
p
p20
Menghitung nilai t :
Menghitung derajat bebas :
Hipotesis :
H0 : tidak terdapat perbedaan Indeks Shannon-Wiener antara lokasi morel
dan bukan morel
H1 : terdapat perbedaan Indeks Shannon-Wiener antara lokasi morel dan
bukan morel Kriteria uji :
H0 diterima jika t hitung < t tabel
H0 ditolak jika t hitung > t tabel
Tingkat kesamaan komunitas antara lokasi ditemukan morel dengan lokasi
pembanding dihitung dengan menggunakan indeks Morisita-Horn (MI). Nilai
indeks Morisita-Horn berkisar antara 0–100%, semakin besar nilai semakin besar
tingkat kesamaan komunitas antara kedua lokasi. Rumus untuk menghitung
indeks kesamaan Morisita-Horn sebagai berikut :
MI jk
2
pij . pik2 ij 2 ik
x100%
Keterangan :
MIjk = persen komunitas antara habitat j dengan habitat k
pij = proporsi individu jenis i pada habitat j
pik = proporsi individu jenis i pada habitat k
4.5.2 Analisis Korelasi
Variabel lingkungan di habitat alam dapat berdiri sendiri atau serentak
(37)
21
serta merta berdiri sendiri mempengaruhi keberadaan morel atau secara simultan
membentuk karakteristik habitat yang membedakan dengan lokasi lain (Odum 1993). Untuk mengetahui hubungan antara jumlah tubuh buah morel yang tumbuh
dengan faktor-faktor lingkungan digunakan analisis korelasi Pearson (Santoso
2012). Dengan korelasi Pearson dapat diketahui apakah terdapat hubungan yang
nyata antara variabel jumlah tubuh buah morel yang tumbuh dengan variabel lingkungan terukur, bagaimana arah hubungan dan seberapa kuat hubungan. Hubungan yang nyata antara variabel jumlah tubuh buah morel yang tumbuh
dengan variabel lingkungan terukur dapat diketahui dari nilai signifikansi hasil uji
dibandingkan dengan tingkat kepercayaan yang dipergunakan (0,05). Arah hubungan dapat diketahui dari nilai – (negatif) yang berarti berlawanan arah dan + (positif) yang berarti searah. Kekuatan korelasi dapat diketahui berdasarkan besarnya nilai. Nilai 0–0,5 berarti korelasi lemah, di atas nilai 0,5 sampai 1
korelasi kuat.
4.5.3 Analisis Faktor Dominan Komponen Ekologi
Uji beda t dua sampel independen dilakukan untuk menguji rata-rata dari
dua grup variabel-variabel ekologi lokasi morel dan lokasi yang tidak ditemukan
morel. Hipotesis :
H0 : Varian variabel ekologi lokasi morel dan lokasi yang tidak ditemukan
morel identik
H1 : terdapat perbedaan varian dari variabel ekologi lokasi morel dan lokasi
yang tidak ditemukan morel Kriteria uji :
H0 diterima jika nilai p > taraf nyata 0,05
H0 ditolak jika nilai p < taraf
Analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor
ekologi terukur terhadap keberadaan dan jumlah individu morel Rinjani. Analisis
regresi berganda digunakan untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor ekologi
(38)
22
Model regresi berganda dapat dikatakan bagus jika memenuhi syarat
asumsi klasik yaitu normalitas data dan multikolinearitas antar variabel (Santoso 2012). Normalitas data dapat diketahui dari nilai Skewness-Kurtosis, histogram
distribusi data atau pun Normal Probability Plot. Data berdistribusi normal jika
rasio Skewness dan rasio Kurtosis berada di antara nilai –2 hingga +2. Data
berdistribusi normal jika berdasarkan histogram distribusi data berbentuk lonceng. Data berdistribusi normal jika berdasarkan Normal Probability Plot, sebaran data terletak mendekati garis uji. Uji multikolinearitas digunakan untuk mendeteksi
gangguan multikolinearitas atau deteksi korelasi antar variabel-variabel
independen. Adanya multikolinearitas antar variabel dapat diketahui dari nilai VIF (Variance Inflation Factor). Menurut Setyadharma (2010) variabel tidak mengalami gejala multikolinearitas jika memiliki nilai hitung VIF >1 atau <10. Multikolinearitas juga dapat diketahui dari nilai Coefficient Correlations. Nilai
0,5 sampai mendekati 1 menandakan terjadi masalah kolinearitas. Jika
menggunakan metode Enter variabel yang mengalami masalah kolinearitas harus dikeluarkan secara manual dari analisis dan dipilih salah satu variabel dengan nilai t (berdasarkan Tabel Coefficients) yang lebih besar yang menandakan
variabel tersebut memiliki pengaruh yang lebih kuat terhadap variabel jumlah
tubuh buah morel dibandingkan variabel dengan nilai t lebih kecil. Akan tetapi jika menggunakan metode Stepwise hal tersebut tidak perlu dikerjakan karena sistem secara otomatis akan mengeluarkan variabel yang mengalami masalah
multikolinearitas. Dalam penelitian ini akan dikerjakan kedua metode tersebut
untuk melihat perbedaan output manual dan otomatis di atas.
Uji-uji tersebut di atas dilakukan dengan bantuan perangkat lunak IBM SPSS 19.
Model persamaan regresi linear berganda dirumuskan sebagai berikut :
Dengan y merupakan jumlah tubuh buah morel, xn merupakan variabel prediktor,
n merupakan titik observasi ke-n, β0 merupakan intersep, βn merupakan koefisien
regresi linear dari variabel penduga ke-n. Variabel-variabel penduga : x1 = suhu
(39)
23
x5 = kelerengan, x6 = arah kelerengan/ aspect, x7 = basal area/lbds, x8 = intensitas
cahaya matahari, x9 = pH tanah.
Pengaruh variabel-variabel lingkungan terukur terhadap jumlah individu
morel yang ditemukan dapat diketahui dari nilai F (hasil Anova). Hipotesis yang
dipergunakan untuk nilai F tersebut adalah :
H0 : b1=b2=bn=0 (semua variabel lingkungan tidak berpengaruh terhadap
variabel dependen)
H1 : bn≠0 (setidaknya ada satu variabel lingkungan berpengaruh terhadap
variabel jumlah individu morel yang ditemukan)
Kriteria uji :
H0 diterima jika F hitung ≤ F tabel atau nilai p > taraf nyata 0,05
(40)
Minimum- Minimum-
Arah Lereng/Aspect ( ) 124,81+123,62 4,00-360,00 69,61+117,28 0,00-340,50
25
V
HASIL
DAN
PEMBAHASAN
5.1 Kondisi Fisik Tempat Tumbuh Morel Rinjani
Ekosistem hutan di wilayah Senaru merupakan bagian dari ekosistem hutan hujan pegunungan yang terbentang antara ketinggian 800–2500m dpl.
Vegetasi penyusun ekosistem tersebut bervariasi berdasarkan ketinggian. Pada
beberapa ketinggian tertentu jenis-jenis seperti pandan (Pandanus tectorius), goak (Ficus spp), bak-bakan (Engelhardia spicata), cemara gunung (Casuarina
jughuhniana) membentuk kelompok vegetasi yang khas.
Data hasil pengukuran faktor fisik berdasarkan pengamatan lapangan dari
bulan Maret–April 2012 disajikan dalam Tabel 3, dan hasil uji analisis tanah di
Laboratorium Tanah IPB disajikan dalam Tabel 4, data lengkap hasil pengamatan
dan output statistik deskriptifnya disertakan dalam Lampiran 1, Lampiran 2 dan
Lampiran 12.
Tabel 3 Variabel fisik pada lokasi ditemukan morel dan lokasi tidak ditemukan
morel
Lokasi Morel Lokasi Pembanding Variabel
X Maksimum X Maksimum
Suhu (oC) 18,83+0,27 18,52-19,60 18,59+0,24 18,23-19,40
Kelembaban udara (%) 87,14+1,99 83,00-90,50 89,09+1,66 85,50-92,00 Intensitas cahaya (lux) 541,43+45,039 490,00-620,00 916,67+32,38 850,00-980,00 Kelembaban tanah 3,46+0,79 1,50-4,50 3,69+0,56 3,00-4,50 (skala 1-10)
Ketinggian tempat (m) 1584,64+10,59 1572,00-1609,00 1772,09+53,25 1676,00-1846,00 Kemiringan (%) 28,50+17,06 7,94-54,00 29,53+12,22 8,06-50,32
o
Keterangan :
X = Rata-rata dan standar deviasi Minimum- Maximum = Nilai maksimum minimum
Tabel 3 memperlihatkan bahwa variasi suhu udara pada lantai hutan
ditemukannya tubuh buah morel Rinjani selama pengamatan sebesar
18,83+0,27oC, sedangkan pada lokasi lain yang bukan merupakan habitat morel
(41)
26
sebesar 27,00+0,69oC. Suhu udara di tempat terbuka tersebut merupakan suhu
udara yang diukur di pos pengamatan hujan terdekat yaitu Pos Kediri, Lombok Tengah. Suhu udara rata-rata pada lantai hutan pada lokasi ditemukannya morel
lebih tinggi dibandingkan variasi suhu pada lokasi lain yang tidak ditemukan
morel. Suhu udara pada lantai hutan baik lokasi ditemukannya morel maupun
tidak, lebih rendah dibandingkan tempat terbuka. Hal ini sesuai dengan gradien suhu vertikal atau lapse rate bahwa kenaikan tiap 100m ketinggian tempat akan
menurunkan suhu sebesar +0,65oC.
Tabel 4 Variabel tanah pada lokasi ditemukan morel dan lokasi tidak ditemukan
morel
No Variabel Lokasi Morel Lokasi Pembanding 1 Jenis tanah Mediteran coklat Mediteran coklat 2 Tekstur tanah (% pasir
debu liat)
Pasir 37,83% debu 40,11% Liat 22,06% (Berlempung halus)
Pasir 50,08% debu 20,01% liat 29,91% (Lempung liat berpasir)
3 Kadar C tanah (%) 7,30 10,98 4 Kadar N tanah (%) 0,60 0,79 5 Rasio C/N 12,16 13,84 5 Kadar P tanah (ppm) 12,53 17,27 6 Kadar Ca (me/100g) 10,22 11,55 7 pH tanah 7 7
Berdasarkan uji t statistik (Levene’s test) (Lampiran 8) membuktikan
perbedaan yang nyata (nilai p=0,006 atau lebih kecil dari taraf signifikansi 0,05)
antara suhu udara rata-rata pada lantai hutan lokasi ditemukannya morel dengan suhu rata-rata pada lokasi lain yang tidak ditemukan morel maupun suhu rata-rata
pada tempat terbuka. Perbedaan variasi suhu lebih jelas terlihat pada Gambar 8.
Berdasarkan hasil penelitian suhu udara minimal sebesar 18,53oC dan suhu
udara maksimal sebesar 19,6oC pada lokasi ditemukannya morel dari 14 plot
pengamatan. Suhu udara minimal sebesar 18,23oC dan suhu udara maksimal
sebesar 19,40oC pada lokasi lain yang tidak ditemukan morel dari 21 plot
pengamatan. Suhu udara minimal sebesar 25oC dan suhu udara maksimal 28,3oC
pada tempat terbuka pada waktu yang sama. Menurut sebuah studi di Australia
(Stott & Mohammed 2004) pertumbuhan miselia merupakan fungsi dari suhu. Sclerotia M. esculenta dapat diproduksi pada suhu 5–30oC, dan suhu optimum
(42)
Suhu(
⁰
C)
27
produksi antara 20–25oC. Primordia baru akan terbentuk pada suhu antara 10-
25oC. Pada studi yang lain, suhu udara pada masa inisiasi primordia M. rotunda
sampai menjadi ukuran utuh sekitar 5–16oC (Pilz et al. 2007). Pada keadaan suhu
udara di atas 16oC juga dapat terjadi pertumbuhan tersebut tetapi menghambat
pembentukan primordia baru.
Lokasi Morel Lokasi Pembanding
20
19,5
19
18,5
18
17,5
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Plot
Gambar 8 Suhu udara pada masing-masing plot selama penelitian.
Sebuah studi morel di habitat alam Hutan Missouri, Amerika Serikat selama 5 tahun menyatakan bahwa suhu udara lantai hutan pada habitat
M. esculenta saat musim berbuah antara 0,3–31,8oC (Mihail et al. 2007). Dalam
penelitian lain di India beberapa spesies morel kuning dan morel hitam, tubuh
buah morel tumbuh pada suhu 15–24oC (Singh et al. 2004). Suhu dalam hal ini
merupakan faktor penting dalam pertumbuhan morel atau jamur pada umumnya
(Cooke 1979). Dalam kaitannya dengan suhu, jamur bertoleransi dan tumbuh
secara optimum pada suhu tertentu. Kebanyakan jamur termasuk mesofili yang tumbuh pada suhu 10–40oC, dan tumbuh optimum pada suhu antara 25–35oC
(Cooke 1979). Kebanyakan jamur memiliki suhu minimum untuk tidak tumbuh
dan batasan suhu maksimum untuk tidak aktif. Dalam penelitian ini didapatkan
rentang suhu 18,53–19,6oC, dapat dikatakan bahwa suhu tersebut merupakan suhu
(43)
ketinggian yang berbeda sebesar 18,23–19,40 C. Pada lokasi tersebut tidak
28
dijelaskan dalam penelitian ini suhu optimum dalam pembentukan sclerotia atau inisiasi primordia karena membutuhkan teknik pengamatan yang berbeda. Menurut Volk (2000), tidak semua primordia yang terbentuk akan masak/maturasi
menjadi tubuh buah dewasa. Setelah inisiasi, primordia awal ditemukan akan
cepat mati karena kondisi lingkungan tidak mendukung pertumbuhan untuk
maturasi menjadi tubuh buah. Sehingga suhu dalam penelitian ini merupakan suhu ketika primordia sedang atau telah tumbuh menjadi tubuh buah dewasa.
Berdasarkan penelitian ini, rentang suhu udara di lokasi lain pada o
dijumpai tubuh buah morel tetapi dapat dijumpai tubuh buah jamur lain. Suhu
tersebut berbeda secara statistik menurut uji t statistik (Levene’s test). Dalam hal
ini berarti ada faktor lain yang membatasi tumbuhnya tubuh buah pada lokasi lain,
karena rentang suhu udara pada lokasi lain tersebut hampir sama dengan rentang
suhu pada lokasi ditemukannya morel meskipun berbeda secara statistik.
Hasil perhitungan korelasi Pearson (Lampiran 11) antara suhu dan jumlah tubuh buah morel menunjukkan arah korelasi positif dengan nilai 0,355.
Meskipun korelasinya sangat lemah karena nilai korelasinya <0,5 tetapi
korelasinya nyata pada taraf signifikansi 0,05. Berdasarkan hal tersebut dapat
dikatakan semakin besar suhu akan semakin banyak jumlah tubuh buah yang tumbuh dengan batasan suhu. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Mihail et al. (2007), dalam penelitian pola spasial dan temporal tumbuhnya tubuh
buah M. esculenta selama 5 tahun di hutan Missouri, Amerika Serikat, tumbuhnya
tubuh buah morel berkorelasi negatif dengan suhu. Hal ini diduga terjadi karena
perbedaan waktu pengamatan, suhu udara pada pengamatan ini adalah suhu udara diantara peralihan musim basah ke musim kering sedangkan dalam penelitian
Mihail et al. (2007) tersebut suhu udara yang merupakan suhu udara musim semi.
Perbedaan spesies dan lokasi juga dapat menyebabkan perbedaan responsitas
morel terhadap faktor lingkungan.
Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat kelembaban udara pada lantai hutan ditemukannya tubuh buah morel Rinjani selama pengamatan sebesar
87,14+1,99%, sedangkan pada lokasi lain yang bukan merupakan habitat morel
(44)
K
e
lemb
ab
an(
%)
29
ditemukannya morel lebih rendah dibandingkan variasi kelembaban pada lokasi lain yang tidak ditemukan morel. Suhu udara merupakan fungsi negatif kelembaban udara, sehingga hal ini sesuai dengan pengamatan bahwa pada lokasi
ditemukannya morel dengan suhu udara yang lebih tinggi mempunyai
kelembaban udara yang lebih rendah.
Lokasi Morel Lokasi Pembanding
93 92 91 90 89 88 87 86 85 84 83 82
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Plot
Gambar 9 Kelembaban udara pada masing-masing plot selama penelitian.
Kelembaban udara minimal pada lantai hutan pada lokasi ditemukannya
morel sebesar 83,00% dan maksimal sebesar 90,50%. Kelembaban udara minimal
dan maksimal pada lokasi lain yang tidak ditemukan morel sebesar 85,50% dan
92,00%. Output uji t statistik (Levene’s test) (Lampiran 8) nilai p=0,004 atau
lebih kecil dari taraf signifikansi 0,05. Dengan nilai kelembaban udara pada kedua lokasi yang hampir sama tersebut berdasarkan t statistik tersebut terdapat
perbedaan yang nyata kelembaban udara pada lokasi morel dengan lokasi tidak
ditemukannya morel. Perbedaan variasi kelembaban udara lebih jelas dapat dilihat
pada Gambar 9. Secara teori perbedaan kelembaban udara dapat terjadi karena perbedaan variasi suhu udara. Berdasarkan pengamatan dapat dikatakan perbedaan dapat terjadi karena perbedaan kerapatan pohon dan kerapatan tajuk
(45)
30
Kerapatan tajuk dapat menjadi penghalang seberapa besar intensitas cahaya matahari yang sampai ke lantai hutan yang akan berpengaruh terhadap iklim mikro di bawah tegakan, termasuk suhu udara, kelembaban udara dan kelembaban
tanah.
Kelembaban udara menggambarkan kandungan uap air di udara pada
suatu waktu. Kelembaban udara menjadi faktor penting yang menentukan besaran kandungan air di dalam tanah. Air bersama suhu merupakan faktor penting
pemicu dan kondisi yang dibutuhkan untuk inisiasi tubuh buah dan maturasinya.
Berdasarkan hasil perhitungan korelasi Pearson (taraf kepercayaan 99%) sebesar
–0,434 (Lampiran 11). Korelasi bersifat negatif dan lemah karena nilainya <0,5. Sehingga dapat dikatakan bahwa dengan semakin besar kelembaban udara
semakin sedikit jumlah tubuh buah morel yang dapat tumbuh, pada rentang nilai
kelembaban. Hasil ini sama seperti yang dikerjakan dengan penelitian yang
dilakukan Mihail et al. (2007), tumbuhnya tubuh buah M. esculenta berkorelasi
negatif dengan kelembaban udara.
Koleksi morel dalam sebuah studi di Wellington, Amerika Serikat
menunjukkan hasil bahwa produksi tubuh buah M. elata di habitat alam
ditemukan pada rentang kelembaban sekitar 75–80% (Barness & Wilson 1998).
Dalam penelitian lain di India beberapa spesies morel kuning dan morel hitam, tubuh buah morel tumbuh pada kelembaban antara 68–86% (Singh et al. 2004). Lebih detail dijelaskan bahwa masing-masing spesies tumbuh pada kelembaban
tertentu pada saat yang sama. M. esculenta tumbuh pada kelembaban udara sekitar
68% sedangkan M. hybrida membutuhkan kelembaban udara sekitar 86% pada
lokasi lain pada waktu yang sama. Seperti halnya suhu tiap jenis morel merespon kelembaban udara pada rentang tertentu untuk pertumbuhan tubuh buahnya.
Kelembaban udara lantai hutan merupakan salah satu faktor abiotik yang
menentukan pertumbuhan morel. Primordia awal lebih banyak mati dan tidak
menjadi tubuh buah dewasa ketika kelembaban terlalu rendah atau terlalu basah (Volk, 2000). Kelembaban udara berkaitan erat dengan curah hujan. Kelembaban udara berkorelasi positif dengan curah hujan. Curah hujan merupakan faktor
utama perimbangan kadar air di lantai hutan maupun di dalam tanah. Curah hujan
(46)
Su hu( o C )/Cur a hhu ja n (mm) /J u m lahm o rel 31
makrofungi lain (Gates 2009, Geho 2007, Kaul 1997, Pilz et al. 2007, Pinna et al. 2010). Peran hujan penting dalam mempengaruhi kadar air dalam tanah dan udara dalam pertumbuhan dan produksi tubuh buah makrofungi. Berdasarkan Gambar
10 dapat dilihat bahwa dengan semakin turunnya curah hujan pada tempat terbuka
jumlah tubuh buah morel Rinjani yang ditemukan semakin meningkat. Hal ini
dapat dikatakan bahwa morel akan memproduksi tubuh buah lebih banyak pada saat peralihan dari kondisi basah ke kondisi kering.
Morel Hujan tempat terbuka Suhu lantai hutan Suhu tempat terbuka
30 25 20 15 10 5 0
17‐18/03/2012 25‐26/03/2012 04‐08/04/2012 15‐18/04/2012 25‐29/04/2012
Periode pengamatan bulan Maret‐April 2012
Gambar 10 Produksi tubuh buah morel dikaitkan dengan suhu lantai hutan, suhu
tempat terbuka dan curah hujan tempat terbuka.
Efek curah hujan dan jumlah hari hujan terhadap keterjumpaan jumlah tubuh buah morel dapat lebih terlihat jika dibangkitkan data time series tahunan curah hujan tempat terbuka dan curah hujan di bawah tegakan. Dalam sebuah studi, Mihail et al. (2007) membuktikan bahwa curah hujan (>10mm) berkorelasi
positif terhadap kelimpahan morel (M. esculenta). Dalam studi lain Masaphy
(2011) juga menyebutkan bahwa tubuh buah morel secara temporal dikontrol oleh
curah hujan. Dalam penelitian tersebut disebutkan tubuh buah M. conica dan M. elata ditemukan muncul pada bulan Februari setelah terjadi beberapa hari hujan
dengan curah hujan tinggi diikuti beberapa hari tanpa hujan. Gelombang kedua
munculnya tubuh buah M. conica dan M. elata terjadi lagi pada bulan Maret
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)