Perkembangan dan Kebijakan Sektor Kehutanan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perkembangan dan Kebijakan Sektor Kehutanan

Selama dua dasawarsa pertama setelah kemerdekaan, kehutanan Indonesia hanya melayani kebutuhan kayu untuk konstruksi, mebel dan kayu bakar. Pada tahun 1967 ketika dibuka kesempatan investasi Penanaman Modal Asing PMA dan Penanaman Modal Dalam Negeri PMDN dalam berbagai sektor termasuk sektor kehutanan produksi kayu log dilaporkan sekitar 3.3 juta m 3 . Pada tahun 1979 pembangunan industri pengolahan kayu oleh para pemegang Hak Pengusahaan Hutan HPH telah mencapai 1 011 unit sawmill penggergajian kayu dengan produksi 1.71 juta m 3 Kayu Gergajian KGG, 11 unit plywood mill industri kayu lapis dengan produksi 42 000 m 3 kayu lapis, satu unit pabrik fibreboard dengan produksi 1 000 ton serta industri wood working dengan produksi 180 ribu m 3 Pada tahun 1988 produksi kayu bulat mencapai 32 juta m . Pada tahun 1980-an industri pengolahan kayu mengalami kemajuan yang sangat pesat, seiring larangan ekspor kayu bulat yang secara penuh diberlakukan pada tahun 1985. Pada tahun 1987 tercatat industri kayu lapis, industri kayu gergajian, industri pulp dan kertas berturut-turut menyumbangkan perolehan devisa sebesar 56 persen, 21 persen dan 10 persen dari total devisa ekpor hasil hutan. Devisa yang diperoleh dari ekspor hasil hutan pada tahun 1989 mencapai US 4 juta. Departemen Kehutanan dan ITTO, 2001. 3 naik dari 2 juta m 3 pada tahun 1962 dengan 96 persen diantaranya berasal dari hutan alam luar pulau Jawa. Pada saat yang sama tercatat jumlah pabrik pengolahan hasil hutan sebagai berikut 2 700 unit industri penggergajian kayu dengan kapasitas 17 juta m 3 per tahun, 110 unit industri kayu lapis dengan kapasitas 7 juta m 3 per tahun, 54 unit industri block board dengan kapasitas 0.7 juta m 3 per tahun, 7 unit industri particle board dengan kapasitas 0.3 juta m 3 per tahun, 38 unit industri pulp dengan kapasitas 1.4 juta ton pulp per tahun serta 8 ribu unit industri kayu sekunder. Kapasitas produksi industri-industri tersebut adalah 9.8 juta m 3 KGG, 8.2 juta m 3 Pada tahun 1999-2000 industri pengolahan hasil hutan kayu meliputi 4 400 unit industri penggergajian kayu, 120 unit industri kayu lapis, 39 unit industri particle board, 102 unit industri block board, 13 unit industri serpih kayu, 2 unit MDF, 82 unit industri pulp dan kertas, serta sejumlah besar industri pengolahan kayu sekunder. Kapasitas industri tersebut mencapai masing-masing 19 juta m panel kayu, 936 ribu ton kertas. 3 per tahun KGG, 11.1 juta m 3 Departemen Kehutanan dan ITTO 2001 menyatakan kemampuan pasokan bahan baku kayu sekitar 50 juta m per tahun kayu lapis, 5.23 juta ton pulp per tahun dan 9.12 juta ton kertas per tahun. Nilai total aset industri pengolahan kayu hasil hutan tersebut pada tahun 2001 diperkirakan mencapai US 27.8 milyar dengan tidak kurang dari 4 juta orang tenaga kerja dan mendukung kehidupan 16 juta orang Departemen Kehutanan dan ITTO, 2001. 3 per tahun, dilain pihak kebutuhan industri diperkirakan mencapai 72 juta m 3 per tahun dengan rincian: industri penggergajian kayu yang memiliki izin 22 juta m 3 per tahun, industri penggergajian kayu tanpa izin 8 juta m 3 per tahun, industri kayu lapis 18 juta m 3 per tahun dan industri pulp 24 juta m 3 . Dengan demikian terjadi kesenjangan antara kebutuhan dan kemampuan pasokan bahan baku yang mengakibatkan tekanan kepada hutan sebagai sumber penghasil kayu. Departemen Kehutanan 2006 menyampaikan kondisi umum Kehutanan sampai dengan tahun 2004. Kondisi sumberdaya hutan antara lain disebutkan 1 Indonesia termasuk kedalam negara ynag memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dalam flora dan fauna. Terdapat 515 jenis mamalia 12 persen mamalia dunia, 511 jenis reptil 7.3 persen reptil dunia, 1 531 jenis burung 17 persen burung dunia, 38 ribu jenis tumbuhan dan lain-lain. Namun populasi dan distribusi kekayaan hayati tersebut terus merosot bahkan sebagian diantaranya terancam punah akibat pemanfaatan sumberdaya hutan yang kurang bijaksana, perubahan peruntukan kawasan hutan, bencana alam, kebakaran hutan, degradasi hutan dan lain-lain, 2 secara sosial pada tahun 2003 di dalam dan di sekitar hutan berdiam 48.8 juta jiwa dan 10.2 juta diantaranya miskin. Ada sekitar 6 juta jiwa bermata pencaharian langsung dari hutan, 3.4 juta diantaranya bekerja di sektor swasta kehutanan. Masyarakat yang berdiam di dalam dan di sekitar hutan tersebut pada umumnya rendah pendidikannya, rendah fasilitas kesehatannya, terbatas infrastruktur perhubungan, komunikasi, listrik maupun air bersihnya, dan 3 secara ekonomi kontribusi sektor kehutanan sejak tahun 1993 terus merosot. Pada tahun 1993 mencapai 3.5 persen PDB, maka tahun 2003 merosot menjadi 2.4 persen PDB. Produk ekspor kehutanan telah bergeser dari dominan kayu lapis kepada pulp dan kertas. Disamping penyusutan jumlah HPH dan produksi kayu hutan alam berganti dengan pembangunan dan produksi kayu hutan tanaman. Sektor kehutanan menghadapi kondisi lingkungan strategis sebagai berikut : 1 Desentralisasi kehutanan, sesuai UU No. 32 tahun 1999 tentang otonomi daerah, sebagian besar urusan kehutanan kecuali antara lain mengenai penunjukkan dan pengaturan kawasan hutan telah didesentralisasikan ke pemerintah kabupatenkota. Dilain pihak masih ada kendala SDM di daerah untuk melaksanakan dengan optimal desentralisasi tersebut. Ada kendala komunikasi antara pusat dan daerah dalam implementasi program sektor, 2 Desentralisasi fiskal memberikan kewenangan kepada daerah untuk berkreasi dalam memperoleh tambahan dana dengan menentukan Pendapatan Asli Daerah PAD yang bersumber dari berbagai pungutan hasil pembangunan sektoral termasuk kehutanan. Daerah yang memandang hutan sebagai sumberdaya pembangunan akan mendorong pemanfaatan hutan sebesar-besarnya untuk meningkatan PAD, DAU Dana Alokasi Umum dan DAK Dana Alokasi Khusus yang mengancam kelestarian sumberdaya hutan, 3 Deregulasi kehutanan yang harus mendukung tercapainya tiga strategi pembangunan kabinet Indonesia bersatu yaitu pertumbuhan ekonomi 6.6 persen pertahun, pembangunan sektor riil dan revitalisasi sektor pertanian, perikanan dan kehutanan. Banyak peraturan dan perundang-undangan yang dinilai birokratif dan menghambat harus disederhanakan, dan 4 komitmen global yang mengharuskan pembangunan sektor kehutanan tidak bisa melepaskan diri dari perhatian, komitmen dan peran serta pemerintah Indonesia kepada masyarakat internasional. Indonesia harus mematuhi prinsip pembangunan kehutanan Forest Principles yang disepakati pada KTT Bumi 1992, konvensi keanekaragaman hayati, konvensi tentang degradasi lahan, Protokol Kyoto, konvensi perdagangan tumbuhan dan satwa liar CITES dan lain-lain. Sektor kehutanan juga menghadapi isu strategis sebagai berikut: 1 Ketataprajaan yang baik, yakni pembangunan kehutanan harus dilakukan dengan baik bebas dari korupsi tetapi efisien, transparan dan partisipatif dalam membuat program dan konsisten dalam melaksanakan kebijakan, 2 Isu tenurial yang memunculkan konflik mengenai hak lahan kawasan hutan. UU No. 41 tahun 1999 mengamanatkan agar kawasan ditunjuk dan ditetapkan pemerintah yang hak dan pengelolaannya berada ditangan negara dalam hal ini Departemen Kehutanan. Namun demikian undang-undang tersebut juga memberikan dan menjamin hak- hak masyarakat adat yang berada di kawasan hutan dan diakui keberadaannya sebagaimana diatur dalam UU No. 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Sementara sebagian besar masyarakat adat tidak memiliki data memadai untuk menyelesaikan kasus tenurial seperti ini, 3 Tataruang sering menjadi masalah karena pembangunan nasional memerlukan dukungan pemenuhan kebutuhan lahan untuk ekspansi pembangunan pertanian, perkotaan, pemukiman, perhubungan, pertambangan dan lain-lain, yang seringkali dilakukan dengan mengkonversi kawasan hutan. Ketidakpastian tata ruang di kabupaten dan provinsi berimplikasi pada kepastian alokasi lahan dan menghambat upaya pemerintah untuk optimalisasi fungsi hutan. Pemekaran daerah dalam banyak kasus sering mempersulit penetapan tata ruang, 4 Pengelolaan hutan telah dimulai sejak zaman Belanda dengan prinsip pengelolaan hutan lestari melalui berbagai sistem yang beberapa kali disempurnakan seperti TPI Tebang Pilih Indonesia, TPTI Tebang Pilih Tanam Indonesia. Namun demikian sistem tersebut tidak secara utuh diterapkan oleh para pelaksana, sehingga secara perlahan telah menurunkan kualitas dan kuantitas sumberdaya hutan dan ekosistemnya. Oleh karena itu pada akhir tahun 1980-an diperkenalkan sistem pengelolaan hutan dengan pola hutan tanaman yang lebih dikenal dengan hutan tanamn industri HTI. Produksi kayu hutan alam terus merosot dan HTI terus didorong dan dipercepat pembangunannya, 5 Industri kehutanan yang berkembang pesat sejak tahun 1980 dalam bentuk industri kayu gergajian, kayu lapis dan panel yang semuanya berbahan baku kayu dari hutan alam. Industri ini mencapai puncaknya pada pertengahan dekade 1990-an dan kemudian sejalan merosotnya pasokan kayu hutan alam ketiga jenis industri tersebut menurun dan secara bertahap diganti perannya oleh industri bubur kertas, kertas, paper board, panel, kayu gergajian yang menggunakan bahan baku dari hutan tanaman, 6 Terdapat kawasan hutan seluas lebih 59 juta hektar terdegradasi akibat berbagai sebab. Oleh karena itu program rehabilitasi melalui HTI dan atau reboisasi diharapkan menjadi salah satu solusi dan 7 Isu kemiskinan menjadi salah satu beban sektor kehutanan. Degradasi hutan dan ekosistemnya berdampak kepada kemampuan ekonomi masyarakat di dalam dan di sekitar hutan menjadi semakin miskin. Apalagi pemerintah juga menghadapi keterbatasan kemampuan untuk menjangkau wilayah tersebut untuk membangun infrastrukur kesehatan, sekolah, perhubungan, pasar dan lain-lain. Sektor kehutanan memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai berikut 1 Indonesia memiliki kawasan hutan yang memiliki fungsi sosial, ekonomi dan lingkungan dengan luas 120.35 juta hektar terdiri dari 23.24 juta hektar Hutan Konservasi TN, HSAW, 29.10 juta hektar Hutan Lindung HL, 16.21 juta hektar Hutan Produksi Terbatas HPT, 27.74 juta hektar Hutan Produksi Tetap HP dan 13.67 juta hektar Hutan Produksi dapat Dikonversi HPK yang berpotensi diberdayakan, dikelola dan dimanfaatkan sesuai dengan fungsinya masing-masing, 2 Kekayaan sumberdaya alam hayati yang begitu besar sehingga saat ini baru sebagian kecil yang sudah dapat dimanfaatkan secara komersial, sedangkan sisanya harus dikembangkan secara komersial dengan memperhatikan prinsip-prinsip kelestarian, 3 Perkembangan permintaan produk- produk hasil hutan sangat menjanjikan. Tahun 2010 konsumsi dunia atas kayu berbasis panel akan mencapai sekitar 320.4 juta m 3 atau naik 2.36 persen dari tahun 1990. Hal ini merupakan peluang yang besar bagi Indonesia untuk mengisi permintaan pasar tersebut Timoteus, 2000 dalam Departemen Kehutanan, 2006. Sementara itu permintaan bubur kertas dari kayu wood pulp dunia tahun 2000 mencapai 180 juta ton per tahun dengan pertumbuhan sekitar 3 persen per tahun Santoso, 2000. Dilain pihak produsen pulp tradisional di Amerika Utara dan Skandinavia sulit meningkatkan produksi karena kendala alam dan mesin yang sudah tua. Sementara itu konsumsi kertas dalam negeri masih sangat rendah 26 kgkapitatahun dibandingkan Singapura yang sudah diatas 100 kgkapitath APKI, 2008. Apabila konsumsi kertas tumbuh 10 persen per tahun dan dengan penduduk hampir 250 juta jiwa, maka setiap tahun harus mendirikan pabrik kertas dengan kapasitas 500 ribu tontahun. Jika peluang tersebut tidak ditangkap, maka akan ditangkap produsen lain dan untuk kemudian untuk selamanya akan menjadi importir kertas, 4 Clean Development Mechanism CDM dapat dijadikan sebagai salah satu sumber pendanaan bagi rehabilitasi kawasan hutan seluas 59.17 juta hektar yang terdegradasi, 5 Jasa lingkungan dan hasil hutan bukan kayu, masih banyak sekali yang belum dimanfaatkan secara komersial. Ke depan pemanfaatan jasa lingkungan dan hasil hutan bukan kayu oleh masyarakat perdesaan akan meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan sekaligus memberdayakan dan mensejahterakan mereka secara ekonomi. Tambunan 2005 menyatakan bahwa kebijakan sektor kehutanan dapat dibedakan menjadi empat episode. Pada akhir tahun 1960-an, episode pertama dimulai dan ditandai dengan terbitnya UU No. 1 tahun 1967 dan UU No. 6 tahun 1968 dan merupakan awal ekploitasi hutan Indonesia didukung penanaman modal dalam negeri maupun penanaman modal asing dalam pengusahaan hutan dan pergeseran eksploitasi hutan dari pulau Jawa hutan tanaman ke luar Jawa hutan alam. Episode ke dua dimulai tahun 1970-an ditandai dengan penataan sistem dan mekanisme eksploitasi hutan melalui penerapan tata cara pemanenan, penetapan kawasan hutan, rencana karya pengusahaan hutan, sistem silvikultur, yang dari sisi kebijakan terlihat adanya arah pemanfaatan hutan diselaraskan dengan arah perlindungan hutan menuju pemanfaatan hutan yang lestari. Episode ke tiga dimulai tahun 1980-an merupakan episode industrialisasi hutan dan pengendalian rente hasil hutan, episode ini ditandai dengan introduksi Hutan Tanaman Industri HTI dan pemungutan Dana Reboisasi DR dan Dana Jaminan Reboisasi Pengelolaan Hutan DJRPH, pajak ekspor kayu serta Iuran Hasil Hutan IHH. Episode ke empat dimulai tahun 1990-an dan dikenal sebagai episode integrasi baik dari sisi industri, pembangunan daerah dan pelibatan masyarakat lokal. Episode ini ditandai dengan pengenalan keterkaitan industri kehutanan hulu-hilir, penyertaan modal pemerintah, kerjasama operasi swasta dan pemerintah, HTI-Trans, alokasi pemasaran kayu untuk pasar lokal dan pelibatan masyarakat lokal dalam bentuk HPH Bina Desa. Dengan kontribusi yang menurun dan kondisi sumberdaya hutan yang terancam serta mengacu studi yang dilakukan Departemen Kehutanan bersama ITTO 2001a,b,c,d,e, Departemen Kehutanan dalam Kabinet Gotong Royong telah menetapkan lima program prioritas yaitu : 1 Pemberantasan penebangan liar illegal logging, 2 Penanggulangan dan pencegahan kebakaran hutan, 3 Rehabilitasi hutan dan lahan, 4 Restrukturisasi industri kehutanan, dan 5 Penguatan desentralisasi bidang kehutanan. Dalam Kabinet Indonesia Bersatu, program prioritas tersebut diteruskan dengan sedikit perubahan dengan 5 target sukses untuk program kerja lima tahun kedepan 2004-2009 yang meliputi : 1 Penanggulangan penebangan liar dan perdagangan kayu ilegal, 2 Revitalisasi sektor kehutanan khususnya industri kehutanan untuk membangkitkan kembali peran ekonomi kehutanan, 3 Rehabilitas dan konservasi sumberdaya hutan, 4 Pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar hutan, 5 Pemantapan kawasan hutan. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.456Menhut-VIII2004 tentang Lima Kebijakan Prioritas Bidang Kehutanan dalam Program Pembangunan Nasional Kabinet Indonesia Bersatu dan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.04Menhut-II2005 tentang Rencana Strategis Kementerian Negara atau Lembaga Renstra-KL Departemen Kehutanan Tahun 2005-2009. Kebijakan Revitalisasi Kehutanan khususnya Industri Kehutanan adalah kebijakan yang dimaksudkan untuk 1 Menciptakan industri kehutanan yang tangguh serta terwujudnya struktur industri pengolahan kayu yang efisien dan berwawasan lingkungan yang menghasilkan produk bernilai tinggi dan berdayasaing global, 2 Meningkatkan penyerapan tenaga kerja, 3 Meningkatkan pendapatan masyarakat dan negara, dan 4 Pengelolaan hutan lestari yang mendukung pengembangan industri kehutanan. Implementasi program revitalisasi tersebut dilakukan dengan 1 Memfasilitasi peningkatan kinerja industri kehutanan, 2 Mengupayakan pelaksanaan pengelolaan hutan lestari pada 200 unit Hutan Tanaman Industri HTI dan Hak Penguasaan Hutan HPH, 3 Mengupayakan peningkatan produksi hasil hutan bukan kayu, 4 Mengoptimalkan Penerimaan Negara Bukan Pajak termasuk Dana Reboisasi, 5 Memfasilitasi pembangunan HTI minimal 5 juta hektar, dan 6 Memfasilitasi pembangunan hutan rakyat seluas 2 juta hektar. Secara lebih khusus dalam bidang ekonomi, kebijakan pemerintah tersebut adalah untuk mewujudkan kondisi ekonomi jangka menengah dimana 1 Kontribusi sektor kehutanan dalam PDB baik dari kayu ataupun bukan kayu dan jasa lingkungan meningkat secara proporsional dan bertahap, 2 Penyerapan tenaga kerja dibidang pemanfaatan hutan, pembangunan HTI, pengolahan hasil hutan, konservasi dan jasa lingkungan meningkat, 3 Pendapatan riil masyarakat yang bergantung pada sumberdaya hutan terutama yang berada di dalam dan di sekitar kawasan hutan meningkat, 4 Sektor kehutanan berperan nyata dalam pembangunan dan pengembangan wilayah, 5 Beraneka usaha kehutanan berskala kecil dan menengah mulai dari pemenuhan bahan baku sampai pemasaran dapat berjalan dan terjamin keberlanjutannya, dan 6 Industri kehutanan berskala besar, mulai dari pemanfaatan sampai pengolahan hasil hutan berkembang secara efisien, berkelanjutan dan berdayasaing tinggi yang didorong iklim usaha yang kondusif. Ditjen Bina Produksi Kehutanan 2008 menjelaskan bahwa kebijakan revitalisasi sektor kehutanan secara nasional terkait dengan 3 agenda Triple Track Strategi Ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu yaitu agenda pertumbuhan ekonomi, penyediaan lapangan kerja dan penghapusan kemiskinan. Agenda pertumbuhan ekonomi pro-growth di bidang kehutanan ditujukan pada peningkatan ekspor hasil hutan dan investasi baru kehutanan secara proporsional antara pengusaha besar, menengah dan kecil di sektor hulu maupun hilir. Agenda penyediaan lapangan kerja pro-job dimaksudkan untuk menggerakkan ekonomi di perkotaan sektor riil berupa industri perkayuan dalam rangka menyerap tenaga kerja. Adapun agenda penghapusan atau pengentasan kemiskinan pro-poor diarahkan pada pemberian akses dan pengakuan legal atas usaha pemanfaatan Hutan Produksi melalui Hutan Tanaman Rakyat HTR untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran di perdesaan sekitar hutan. Dalam implementasinya kerangka kebijakan Revitalisasi Sektor Kehutanan mencakup sub sektor hulu terkait bahan baku, sub sektor hilir terkait industri dan kebijakan penunjang. Kebijakan sub sektor hulu kehutanan mencakup usaha pemanfaatan Hutan Produksi dalam hal ini HPH pada hutan alam dan HTI untuk hutan tanaman sebagai usaha pengembangan sumber bahan baku. Pemerintah mempercepat pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu IUPHHK untuk HPH, HTI dan HTR pada areal-areal yang saat ini tidak ada pengelolaan atau pemanfaatan open acces seluas sekitar 20 juta hektar, termasuk di dalamnya bagi usaha restorasi ekosistem hutan produksi. Untuk jaminan berusaha diberikan selama 65 tahun sesuai dengan Undang-Undang Penanaman Modal. Adapun untuk hutan tanaman, Penanaman Modal Asing PMA berbadan hukum Indonesia diberi kesempatan sebagai pemegang izin usaha. Kebijakan sub sektor hilir kehutanan diarahkan pada pemanfaatan tanaman dari hutan rakyat, HTI, peremajaan kebun dalam rangka outsourcing bahan baku sehingga ekonomi rakyat bergerak. Kebijakan pendukung untuk menunjang kelancaran kedua sub sektor hulu dan hilir mencakup fasilitas pembiayaan, peningkatan mutu pelayanan, penguatan kelembagaan pelaku usaha kehutanan dan fasilitas ke pasar hasil hutan. Dalam revitalisasi sektor kehutanan pemerintah bermaksud 1 Menciptakan industri kehutanan yang tangguh dengan struktur industri pengolahan kayu yang efisien, berwawasan lingkungan yang menghasilkan produk bernilai tinggi dan berdayasaing global, 2 Meningkatkan penyerapan tenaga kerja, 3 meningkatkan pendapatan masyarakat dan negara, dan 4 Mewujudkan pengelolaan hutan lestari untuk mendukung pengembangan industri kehutanan. Maksud tersebut antara lain akan diwujudkan dengan program : 1 peningkatan kinerja industri kehutanan, 2 pengelolaan hutan lestari untuk 200 unit HPH dan HTI, 3 peningkatan produksi hasil hutan non kayu, 4 optimalisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak PNBP termasuk PSDH dan DR, 5 pembangunan Hutan Tanaman Industri HTI seluas minimal 5 juta hektar, dan f pembangunan Hutan Tanaman Rakyat HTR seluas 2 juta hektar Dephut, 2005. Pembangunan suatu industri di suatu wilayah bagaimanapun tidak dapat dipisahkan dari upaya untuk pembangunan perekonomian suatu wilayah. Keberadaan industri kehutanan bersama industri-industri lain di provinsi Jambi telah memberikan andil kepada pertumbuhan perekonomian provinsi Jambi. Disamping itu pengalaman pembangunan selama hampir empat dasawarsa menyadarkan kita bahwa pembangunan ekonomi yang berorientasi pertumbuhan ekonomi membawa dampak pada tumbuhnya kesenjangan, baik antarsektor perekonomian, antarwilayah maupun kesenjangan pendapatan antargolongan masyarakat. Laju pertumbuhan ekonomi suatu daerah antara lain bisa diukur dengan tingkat pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto PDRB serta pendapatan per kapitannya. Semakin tinggi pertumbuhan sering diinterpretasikan dengan semakin baiknya pertumbuhan ekonomi. Pernyataan tersebut tidak salah apabila hasil pertumbuhan ekonomi tersebut dinikmati secara adil dan merata oleh seluruh lapisan masyarakat. Fakta yang sering dihadapi adalah pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak selalu diikuti oleh pendistribusian hasil pembangunan secara baik dan merata. Mekanisme trickle down effect yang diharapkan sering tidak dapat bekerja. Dilain pihak, ketika masyarakat di suatu wilayah tidak menikmati manfaat sumberdaya alam dan lahan yang ada disekitar mereka, sementara tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup mereka terus berkembang dan dengan tingkat penegakan hukum yang ada seperti dewasa ini, maka masyarakat akan mengambil alih penguasaan sumberdaya tersebut dan mengalihkan kepada pemanfaatan oleh masyarakat yang mereka yakini akan memberikan manfaat ekonomi. Dari pohon industri hasil hutan Departemen Perindustrian dan Perdagangan, 2000 sebagaimana tertera pada Gambar 1 dan Gambar 2, dapat diketahui bahwa sesungguhnya masih terdapat industri hilir kehutanan yang masih mungkin dikembangkan dan memberikan nilai tambah lebih besar pada provinsi Jambi. Industri hilir tersebut antara lain adalah industri pulp, kertas dan MDF. 2.2. Konsep dan Teori Pembangunan 2.2.1.